Yesterday is Our History
Kurobas belong to Fujimaki Tadotoshi-sensei
Hajimari no Niina belong to Minamori Koyomi-sensei
Tidak ada keuntungan materill dalam fic ini. maaf apa bila ada kesamaan ide atau alur. fic ini terinspirasi dari manga Hajimari no Niina.
Warn : Yaoi, OOC, TYPO
Happy Reading Minna~
Kuroko Tetsuya P.O.V
Aku tidak tahu bagaimana caranya, hanya saja aku bisa mengingat 'kehidupan'-ku sebelumnya. Terjebak dengan ingatan ini, entah itu berkah atau bencana.
Dan, disinilah aku sekarang yang baru menginjak umur enam tahun. Bersama sosok yang dulu merupakan cinta pertamaku, Akashi Seijurou.
Umur kami terpaut enam belas tahun. Sangat jauh? Tentu saja. Karena dulu aku wafat ketika menginjak umur enam belas tahun.
Setelah aku mati, aku lahir.
Dalam sosok yang berbeda tentunya.
Diriku yang dahulu bernama Kuroko Tetsuna. Seorang wanita, berkulit putih bak porselen. Sedangkan aku yang sekarang—Kuroko Tetsuya, adalah seorang pria. Bukankah sangat tidak wajar jika seorang pria menyukai pria lain? Apalagi dengan jarak umur yang sangat jauh.
Oke, abaikan fakta kalau pemikiranku jauh lebih dewasa dari anak seumuran lainnya.
Secara mental, mungkin umurku enam belas tahun. Aku bahkan memahami pelajaran SMA dari ingatan sebelumnya.
Tapi secara fisik, aku berumur enam tahun.
Karena beberapa alasan, aku tidak bisa menceritakan hal ini kepada siapapun. Mungkin yang paling utama karena hal ini merupakan salah satu rahasia langit?
Entahlah.
Hal ini membuatku tersiksa secara batin.
Aku sering melihat Okaa-san, Otousan, serta nii-san—yang seharusnya merupakan adikku dulu—menangis di depan altarku.
Apalagi sifat Akashi yang entah mengapa berubah drastis. Rasanya seperti… bukan sosok yang aku kenal dulu.
Seperti hari ini, dengan kaki-kaki kecilku, aku memanjat pagar pembatas rumah kami—rumah keluargaku dan keluarga Akashi. Menjengkelkan memang, untuk bertemu dengannya saja aku harus menantang maut.
Dan setelah aku sampai di beranda samping rumahnya,
"Pergi Tetsuya, kau mengganggu" ucapnya dingin.
Huh, seharusnya dia memberiku tepuk tangan karena telah berhasil memanjat pagar yang tingginya hampir dua meter itu! Sungguh, tak bisakah sifatnya yang dulu kembali? Akashi yang selalu ceria dan ramah.
"Nee, Sei-nii. Kata nii-san kau punya banyak mainan mobil-mobilan. Bolehkah aku meminjamnya"
"Aku tidak memiliki benda yang kau maksud Tetsuya. Dan sangatlah tidak sopan kalau kau memanggil orang lain dengan namanya" Akashi masih sibuk dengan lembaran-lembaran menjengkelkan itu. Dan sama sekali tidak menatapku.
Hey, akulah wanita yang menjadi cinta pertamu dulu! Hanya karena sosokku berubah, tidak bisakah kau memandangku tetap sama?
"Tapi sei-nii selalu memanggil orang dengan nama-nya"
"…"
Yes! Tepat sasaran!
"Aku itu absolute Tetsuya"
"Huh, Sei-nii selalu berkata seperti itu," Aku melangkahkan kakiku menuju beranda tempatnya duduk. Tapi rasanya diriku yang sekarang masih belum bisa mendakinya. Dan sekali lagi, Akashi tidak mempedulikan keberadaanku. Sungguh, menjengkelkan.
"Sei-nii"
"…"
"Sei-nii!"
"…"
"Sei-kun!"
Akashi menghentikan aktifitasnya. Aku tahu dia terkejut. Tapi aku juga tidak sengaja. Panggilan itu meluncur begitu saja. Membuat manik—yang entah sejak berubah menjadi heterokom—itu kosong.
"gomen Sei-nii" ucapku lirih.
Sampai kapan aku sanggup menatap pandangan seperti ini tanpa berbuat apa-apa? Aku tahu mereka semua kehilangan diriku tapi tak bisakah mereka menganggapku ada?
Di satu sisi, aku merasa sangat bersalah. Namun disisi lain, aku merasa iri.
Kenapa mereka tak bisa melupakanku? Jujur, aku merasa senang karena orang-orang disekelilingku sangat kehilangan diriku.
Hanya saja,
Tak bisakah mereka berhenti membuaTKu merasa bersalah?
. . . . .
Malam pun datang. seperti biasa, kami—aku, otou-san, okaa-san, dan nii-san—berkumpul di meja makan untuk makan bersama.
"Daiki, bagaimana sekolah mu?" Tanya Otou-san kepada nii-san
"Baik-baik saja. Hanya saja akhir-akhir ini latihan di klub basket makin berat" jawabnya sambil menyumpiTKan beberapa potong katsu.
"Nee, daiki-nii. Apa itu basket?"
Sungguh, pertanyaan yang konyol. Hanya saja ketika berada di hadapan mereka aku harus bertingkah 'normal' kan?
Nii-san yang duduk di sampingku menatapku dengan seringaian nakal di bibirnya. Kedua tangannya bebas memelukku erat. Membuatku terkejut membisu.
"Tetsuya mau nii-san ajarkan basket?" bisiknya tepat di telingaku. Akupun mengangguk meng-iya-kan.
"Kalau begitu makan yang banyak dan cepatlah tumbuh besar" nii-san melepaskan pelukkannya lalu menggeletikku pelan. MembuaTKu meronta kesal tapi hanya di sambut tawa kecil dari otou-san dan okaa-san.
Aku tahu,
Mereka tak benar-benar tertawa.
Makan malam itupun berlanjut bagaimana seharusnya. Hanya suara sumpit yang mengisi keheningan. Dan setelah semuanya selesai, okaa-san membawa piring-piring kotor itu ke bak cuci. Sedangkan otou-san dan nii-san pindah ke sofa depan televise untuk menonton pertandingan basket.
"Daiki, apa kau sudah mengurus surat-suratnya?" Tanya otou-san ketika jeda iklan.
Nii-san mengangguk tanpa berkata apa-apa. Membuatku penasaran akan hal yang sedang mereka bicarakan.
Akupun menghampiri keduanya dengan modus bermain mobil-mobilan.
Ingat, umurku baru enam tahun.
Otou-san menghembuskan napas berat. Menepuk kedua bahu nii-san. "Perpindahannya di percepat dua minggu. Akhir bulan depan kita pindah. Ingat itu Daiki"
Nii-san hanya menatap nanar otou-san. Sementara aku mematung.
Apa? Pindah?!
. . . . .
Sepulang sekolah, aku langsung berlari menuju pagar samping beranda. Apalagi kalau bukan untuk menemui sosok yang aku cintai tentunya.
Kali ini aku punya hal yang benar-benar penting untuk di bicarakan!
Ya, keluargaku bulan depan akan pindah ke Tokyo.
Dan aku masih belum menerima hal itu! Aku tak bisa berbuat banyak karena umurku masih enam tahun. Mau protespun, aku tak punya alasan yang jelas. Hanya saja, aku tak mau jauh-jauh dari Akashi. Sangat tak mau!
"Sei-nii," panggilku ketika aku melihatnya sedang sibuk berkutat dengan laptop hitamnya. Ia memandangku sejenak lalu kembali ke aktifitas awalnya.
"Ah. Tetsuya rupanya. Ada apa?" tanyanya dengan nada tak peduli.
Akupun memanjat beranda itu. Dan Yes! Aku berhasil tanpa bantuannya. Aku mengambil posisi di sampingnya. Berharap agar aku bisa di perhatikan olehnya.
"Keluarga kami akan pindah ke Tokyo bulan depan"
"oh. Aku sudah tau. Daiki sudah bercerita"
"Sei-nii tidak sedih?" tanyaku kecewa
"…"
"Sei-nii tidak akan kesepian?"
"…"
"Nanti kalau kita pindah Tetsuya tidak bisa bertemu Sei-nii lagi"
"itu bagus Tetsuya, takkan ada yang menggangguku lagi"
"HUEEEEEEE SEI-NII JAHAT HUEEE" Akupun menangis keras membuat pemuda scarlet itu kerepotan.
Sesekali tak apakan aku mengerjainya? Aku memang sedih ia tak peduli dengan kepindahan kami. Tapi, entah mengapa dadaku rasanya sesak membuat air mata itu jatuh tiba-tiba. Akan aneh bukan jika seorang anak umur enam tahun menangis dalam diam?
"Berhenti Tetsuya. Kalau kau berhenti sekarang aku akan mentraktirmu Vanilla Milkshake"
"Hontou?"
"Ya! Berhenti dan diam disitu sampai pekerjaan ku selesai Tetsuya!" perintahnya tegas. Akupun berhenti menangis. Bukan karena embel-embel traktiran itu. Hanya saja aku melihat kesedihan di manik heterokom tersebut.
Mungkin,
Ia akan kesepian kalau kami pindah?
Akashi menepati janjinya.
Ia mengajakku ke majiba untuk membeli minuman favoritku. Letaknya lumayan jauh dari daerah rumah kami. Dekat dengan SMA nii-san dan juga SMA ku dan Akashi dulu.
"Sei-nii"
"…"
"SEI-NII!"
"Iya Tetsuya, telingaku masih cukup berfungsi untuk mendengar. Jadi tak usah berteriak!" ujarnya kesal.
"Mengapa Sei-nii melamun?"
"Aku tidak melamun"
"bohong! Dari tadi Sei-nii hanya memandang jem—"
Ah, aku lupa.
Ini tempat dimana aku mati.
Tempat dimana membuat kenangan lama seperti film rusak yang adegannya di ulang-ulang.
"Ayo Tetsuya. Aku tak mau pulang terlalu malam nantinya. Lagi pula kau bisa sakit jika pulang malam" Akashi berusaha mengubah topik. MembuaTKu sadar dari lamuananku.
Sampai kapan ia harus terjebak di masa lalu?
Kumohon Sei-nii, lupakan aku.
. . . . .
"Sei-nii, apa sei-nii mau menungguku hingga tumbuh menjadi laki-laki yang dapat diandalkan?" jujur, aku sangat malu mengatakan hal ini. Tapi mau bagaimana lagi, waktuku terbatas. Tinggal hitungan hari, lalu kami akan pindah.
Beberapa waktu lalu keluarga kami sempat mengajaknya untuk piknik di tepi danau sebagai acara perpisahan kecil-kecilan. Dan pada saat itu pula, nii-san mengacaukan rencana yang sudah aku susun.
"memangnya kenapa Tetsuya?" ia tetap memandang laptopnya. MembuaTKu sedikit lega karena tak menyadari wajahku yang sudah seperti udang rebus.
"A-Aku, mau menikah dengan Sei-nii!" ucapku lantang yang lantas membuat jari jemarinya berhenti.
"Jangan bodoh Tetsuya, kita ini laki-laki. Itu sangatlah tidak nor—"
"Tapi nii-san dan kise-nii dua-duanya laki-laki! Mereka pacaran!"
Ups, sepertinya aku membocorkan sebuah rahasia.
"Sudah ku bilang jangan—"
"Sei-nii menolakku?" Air mataku mulai mengalir.
"…" Ia hanya diam menatapku dalam
"Kalau bukan lalu Ap—"
"Pergi, Tetsuya" perintahnya dengan nada dalam.
Akupun berlari meninggalkan tempat itu. hatiku sangat sakit. Dan aku tidak bisa berpikir jernih. Langkah-langkah kecilku bukannya membawa diriku pulang kerumah, malah bergerak tanpa tujuan.
Aku benci Akashi!
Sangat membencinya.
Tanpa ku sadari, aku sudah berada di antara keramaian kota. Terlalu lelah untuk berlari, aku berjalan. Tangisku sudah mulai mereda. Tapi tetap saja hatiku masih tetap sakit.
Aku terdiam sesaat. Tanganku bergerak refleks.
Rasanya seperti…
De javu?
"Sudah ku bilang jangan bertindak ceroboh lagi Tetsu—" entah bagaimana caranya, aku sudah berada dalam pelukkan Akashi?
"—na"
Akupun tersadar.
Hampir saja aku jatuh di lubang yang sama—menolong orang tanpa mempedulikan diri sendiri.
Ya, aku baru saja menyelamatkan bocah—yang mungkin seumuran denganku—yang hampir terpelset dari tangga penyebrangan. Dan peristiwa barusan rasanya sama persis dengan peristiwa enam tahun yang lalu.
Beruntung, Akashi menyelamatkanku. Telat sedetik saja, mungkin aku…
"Hiks Sei-nii. Hiks aku hiks takut hiks" Akupun mulai menangis dalam pelukkannya. Ia juga memelukku erat. Seolah takut kehilangan seseorang untuk kedua kalinya.
. . . . .
Dan akhirnya hari ini pun datang. Hari dimana keluarga kami akan pindah ke Tokyo. Dengan berat hati akupun pamit dengan keluarga Akashi—termasuk Seijurou. Ia berpesan agar aku selalu menjaga diriku agar tidak ceroboh lagi. Dan juga agar aku cepat tumbuh besar.
Eh,
"Jadi Sei-nii menerimaku?" tanyaku semangat.
"Kalau Tetsuya sudah besar" ucapnya dengan senyum tulus terukir di wajah tampannya.
Ah, aku bahkan lupa kapan terakhir kali ia tersenyum seperti itu.
Apakah pada akhirnya ia berhasil melupakan diriku yang dulu?
"Setiap libur musim panas aku akan berlibur disini! Aku akan datang ke Kyoto setiap akhir pekan!" ucapku lantang. Tentu saja. Aku baru di terima dengan pemuda impianku, bagaimana tidak bahagia coba?
"Baka. Kau kira keluarga kita punya pohon uang apa setiap minggu bolak-balik Tokyo-Kyoto" nii-san menyentil keningku.
"itai" ucapku kesal.
"Yang dikatakan Daiki benar Tetsuya. Lagi pula mana ada anak TK yang bolak-balik Tokyo-Kyoto setiap minggu"
"Aku sudah SD Sei-nii"
"Ah, kukira Tetsuya akan selalu menjadi anak TK" ia mengelus lembut surai baby blueku lalu mengecup lembut keningku.
Akupun menggembungkan kedua pipiku kesal.
Lagi-lagi ia memperlakukanku seperti anak kecil. Oh iya, aku memang anak kecil.
"Tetchan, Dai-chan, cepatlah. Sebentar lagi kita berangkat" panggil okaa-san dari dalam mobil. Nii-san pun berjalan mendahuluiku. Dengan langkah berat, aku meninggalkan Akashi, lagi.
. . . . .
Tak ku sangka sudah sebelas tahun aku dan Akashi berhubungan. Dan sebentar lagi umurku menginjak tujuh belas tahun. Dan umur Akashi sudah tiga puluh tiga tahun. Tampangnya tetap saja tampan. Apa selama ini ia merawat diri?
Diluar sana masih banyak gadis yang rela antri untuk dipersunting olehnya. Sudah tampan, ia sukses pula. Usaha kecil-kecilannya dulu kini sudah menjadi perusahaan besar.
Aku selalu mengunjunginya setiap kali ada kesempatan. Akupun rela kerja part time demi menmabah uang saku. Ah, daiki-nii juga baru saja menikah dengan pacarnya yang dulu—Kise Ryouta beberapa bulan lalu. Keduanya kini tinggal di Osaka.
Dan sekarang, adalah musim dingin terakhirku sebagai murid SMA. Aku berniat untuk masuk ke universitas yang ada Kyoto. Agar bisa selalu bersama Akashi. Tapi seleksinya terlalu ketat membuat kepercayaan diriku lenyap duluan.
"Kalau kau berhasil masuk Universitas ini, setelah lulus nanti aku akan langsung menikahimu Tetsuya"
Huh, ngomong saja sih mudah. Lagipula otaknya juga cerdas. Untuk masuk ke Universitas itu, baginya seperti menjentikkan jari.
Dan hal itu berarti, aku harus menunggu empat tahun lagi—itupun kalau skripsiku selesai tepat waktu—untuk menikah dengan Akashi?
AHHH! Bisa gila aku nantinya.
"Kau akan terus mencintaiku walaupun rambutku sudah memutihkan Tetsuya?" Seringaian nakal terukir di wajahnya.
"Huh, sampai Sei-nii jalan pakai tongkatpun aku akan terus mencintaimu! Karena aku sudah menunggu sembilan belas—" Akupun berhenti sejenak.
"Sembilan belas apanya Tetsuya?"
"Sembilan belas miliyar tahuuunnn untukbertemu dengan Pangeran pecinta gunting"
"Kau terlalu banyak membaca novel Tetsuya."
Huh, hampir saja
"Tapi Sei-nii tidak akan selingkuh kan?" Aku mengalihkan topik.
"Tentu saja baka" ia mencubit pipiku. Membuatku meng-aduh kesakitan.
Sepertinya Akashi sudah kembali menjadi Akashi yang dulu.
Akashi yang aku-Kuroko Tetsuna kenal.
TBC
yoo, ini fic ketiga Ha-Chan :")
Tetsuya's Twin Sister akan terus berlanjut kok.
aku atau diriku lebih mengacu kepada Kuroko Tetsuna.
so, mind to RnR minna?
Arigatou Gozaimasu~
