Hi, everyone!

Anne datang lagi dengan fic spesial Ramadhan! Ini adalah fic request dari salah satu pembaca (si Afadh yang cakep ^_^) yang minta Anne buat para tokoh Harry Potter yang karakternya jadi muslim. Di sini Anne buat mereka tetap penyihir tapi dengan setting mereka adalah muslim yang menjalankan puasa Ramadhan. Mungkin banyak yang terkesan aneh, tapi ini bisa jadi tantangan buat Anne nulis.

Bagi yang tidak berkenan dengan OOC ini, bisa kok nggak perlu baca fic Anne yang ini. Hehe.. Anne sangat paham.

Untuk updatenya, Anne akan usahakan setiap minggu selama bulan Ramadhan ini akan ada satu chapter yang Anne akan update. Sampai lebaran nanti, fic Starving, Fasting akan menemani hari-hari berpuasa kalian semua.

Penasaran? Yuk, dibaca!

Happy reading!


Salam terakhir di Subuhnya selesai. Doa dan dzikir yang ia panjatkan untuk memulai harinya cukup panjang kali ini. Harry, menggulung sajadah biru kesukaannya ke salah satu meja di ujung kamar. Ia sudah selesai. Tinggal sang istri, Ginny Potter, yang belum kunjung keluar dari kamar mandi kamar mereka. Tidak berapa lama kemudian, muncul dari pintu kamar mandi Ginny berusaha cepat menggosok rambutnya yang masih basah.

"Kok digulung sajadahnya?" tanyanya memperhatikan perlengkapan sholat suaminya telah kembali ke tempat biasa disimpan. Cahaya dari sela jendela kamar yang terbuka makin membuat Ginny panik. Kali ini waktunya tidak banyak untuk sekadar berbincang.

Sembari melipat sarung, Harry mengerutkan dahi tak paham. "Aku sudah selesai, Gin. Kalau aku tak bersihkan kau biasanya marah, kan?" alasannya masuk akal dan memang begitu kebiasaannya.

Handuk Ginny sebagian basah. Beberapa helai rambutnya juga tertinggal. Satu hal yang sering membuatnya sebal tiap keramas. Usahanya berkunjung ke salon sihir tiap dua minggu sekali di dekat toko lelucon kakaknya tidak membuahkan hasil yang baik untuk kesehatan rambut kepalanya. "Aku harus mengganti ramuannya besok." Batinnya .

Spontan ia lemparkan ke atas kasur lantas meraih satu lipatan kain putih berhias bordir bunga merah muda. Sajadah merah pemberian Charlie, kakaknya, ketika berkunjung ke Turki untuk memeriksa salah satu naga sakit dulu. Ia bentangkan sajadahnya mengantikan posisi Harry saat sholat tadi.

"Iya, kan. Padahal aku kan sudah taruh sajadah dan sarungku di sana. Lily yang suka obrak-abrik lagi tiap dia masuk ke sini, sayang!" Harry meyakinkan dengan serius jika bukan ia yang membuat perlengkapan sholatnya selalu berantakan setiap siang sampai sore.

Sambil membantu mengembalikan handuk basah Ginny, Harry kembali berasumsi. "Kau tau sendiri, aku mulai ada di rumah sebelum Maghrib. Jadi itu tidak mungkin kalau tidak ada orang lain yang masuk ke kamar kita. Siapa lagi kalau bukan Lily. Sedangkan Al? Aku tak percaya ia berbuat seperti itu." Harry berbicara begitu yakin. Pekerjaannya adalah mengadili para bersalah. Namun jika ia yang diadili sedangkan kesalahan itu bukan perbuatannya, Harry sangat tidak suka itu.

"Alahh.. kau banyak berkelit, Mr. Potter!" bagian wajahnya tersisa tampak setelah berbalut mukena dari ujung kepala ke bawah. Rambut merahnya yang sempat mencuat di selipkan ke sela-sela tepian area wajah mukenanya.

Ginny memperhatikan jam dinding kamarnya dengan Harry. 3:45 AM. Subuh sudah berlalu setengah jam lebih lalu. Ia jarang sekali terlambat. Kalau pun ya, itu karena ada masalah. Salah satunya adalah salah Harry.

Harry tertawa memperhatikan istrinya gugup. Hari sudah semakin pagi tapi Ginny belum menunaikan ibadah wajibnya. Jika dipikir-pikir, Harry merasa bersalah karena permintaannya tadi malam yang membuat istrinya tidak bisa bangun pagi hari ini. Sampai untuk ibadah sholat Subuh pun harus dilakukan di antara mereka yang telah siap lebih dulu. Belum lagi, mereka harus 'mandi' terlebih awal sebelum melakukan sholat. Bersuci itu perlu.

"Tenang, Gin. Masih ada banyak waktu. Bahkan setelah kau selesai nanti, kita bisa sempatkan melanjut yang tadi malam—"

"No! Aku tak mau membuat rambutku kembali basah. Bisa masuk angin aku keramas dua kali di saat ayam bahkan belum berkokok. Kau juga ingat, kan, kalau hari ini aku harus mengambil rapor Lily ke sekolah."

Harry menuang cairan pembersih di atas lensa kacamatanya. Sambil menggosoknya pelan, Harry melihat sekilas pada Ginny lantas membalas, "nanti aku bantu pakai mantra pengering ke rambutmu. Aku juga ke Kementerian nanti, Gin. Jadi, kita sama-sama." Serunya. Harry kembali memakai kacamata yang kembali bersih.

"Lagian, menolak 'permintaan' suami itu dosa, loh!" Harry menyeringai penuh kemenangan. Ia sering membawa pernyataan itu jika Ginny memasang jelas tanda penolakan.

"Tak perlu bawa-bawa dosa, suamiku. Kau tak sadar, ya? Ini saja, kau lebih dulu membuat dosa karena mengajak ngobrol orang yang hampir terlambat sholat dengan permintaan—bagaimana kau menyebutnya, Harry.. dragon—"

"Dragon meet gasoline."

"Ya, dragon meet gasoline! Yeah! Kau naga dan aku.. bensin. Begitu, kan? Sejak menikah sampai sekarang aku tak paham bagaimana istilahmu itu nyambung dengan 'kegiatan' kita."

"Nanti aku jelaskan, love. Sekarang cepat kau sholat. Aku akan membangunkan Lily dan Al lalu menyiapkan sarapan." Harry memberikan kesempatan Ginny mengambil posisi berdirinya. Sedangkan ia sudah bersiap meraih gagang pintu untuk segera menuju kamar putri bungsunya terlebih dulu. "Kali ini biarkan aku yang menguasai dapurmu." Ujarnya.

Ginny hanya tersenyum. Tepat saat pintu ditutup kembali oleh Harry, Ginny melafalkan takbir pembukanya.


Siap dengan seragam sekolahnya. Lily menenteng lemas tas ransel berwarna biru navynya turun menuju ruang makan. Aroma pancake memenuhi lantai bawah dengan asap putih terlihat mengepul dari salah satu wajan pemanggang. Harry menoleh ketika suara deritan kursi terdengar di belakangnya.

Lily berseru dengan kedua tangan terangkat ke atas. "Morning, Daddy!" panggilnya melihat sang ayah turut melakukan hal yang sama dengan spatula masih di tangan.

"Morning, peanut! Sudah siap semuanya?"

"Sudah—tapi, astaga.. aku lupa memintamu menandatangani surat ijin dari Ms. Mandy, Daddy! Padahal ini yang dibutuhkan."

Satu teko kaca berisi jus jeruk dengan sepiring pancake dari pemasakan adonan terakhirnya. Harry meletakkan sarapan untuk keluarganya. Apron sudah ia lepas dari badannya. Urusan pekerjaan, persiapannya belum semua siap. Ia baru membawa tas kerjanya. Tapi jubah Aurornya masih belum sempat ia ambil.

Ia lihat sebuah amplop panjang berlogo sekolah Muggle tempat Lily belajar sejak beberapa tahun lalu. "Surat ijin untuk apa, Lily?" Harry memang tidak tahu masalah surat ijin Lily itu. Putrinya sendiri atau bahkan Ginny tidak sempat bercerita apa-apa semalam.

"Ijin orangtua untuk anak-anak tingkat 5 berkunjung ke museum di awal tahun ajaran baru nanti." Ginny dengan pakaian rapi turun dari arah tangga. Membawa satu jubah coklat tebal dengan beberapa buah lencana terpasang di sana.

"Terima kasih, sayang!" bisik Harry setelah menerima jubah kerjanya. Sebagai bentuk ucapannya tadi, sebuah kecupan singkat bibirnya mendarat sempurna di bibir Ginny.

Albus, muncul dari arah halaman belakang mengerang tak suka. "Oh, no.. bisa tidak kalian jangan lakukan itu di depan anak-anak?" protes Albus diikuti anggukan setuju Albus.

"Itu ulah Daddy, sayang!" elak Ginny.

"Dad dan Mum sama-sama berulah." Lily menyoraki dengan puas kedua orangtuanya.

Masing-masing dari mereka mengambil posisi duduk di bangku masing-masing. Bangku terisi kecuali satu di sisi Albus. James Sirius, anak tertua Potter masih ada di Hogwarts menjalani tahun ke duanya. Sedangkan Albus, ia baru akan berangkat ke Hogwarts tahun ini. Ia sudah tak bersekolah di sekolah Muggle. Minggu lalu ia baru saja menerima kelulusan di tingkat 6. Dengan nilai yang sangat memuaskan, Albus benar-benar tenang menikmati hari-hari bebasnya sambil menunggu waktu ia berangkat ke Hogwarts.

Sementara si bungsu Lily, hari ini ia harus kembali ke sekolah bersama ibunya untuk mengambil hasil akhir belajarnya di tingkat 4. Semalaman Lily tak bisa tidur memikirkan apakah ia naik ke kelas 5 atau tinggal kelas.

"Aku yakin kau akan naik kelas, Lils. Tenang saja." Kata Albus ditengah ia menuang sirup ke atas dua lembar pancake buatan ayahnya.

Ginny tersenyum melihat putrinya mulai tenang dengan perkataan Albus. "Mum juga yakin kau akan naik. Mum selalu pantau nilai-nilaimu, sayang. Dan itu bagus-bagus, kok." Satu lagi semangat yang Ginny berikan pada putrinya.

Dengan tegas pula Harry ikut mengutarakan kebiasaan janjinya pada anak-anaknya ketika di akhir tahun ajaran sekolah. "Dad akan kasih hadiah kalau nilainya bagus. Seperti biasa." Tawarnya.

"Es krim?" wajah Lily berbinar.

"Yeah—tapi.. besok bukannya sudah puasa, ya?"

Albus dan Lily saling berhadapan. Hening sejenak dari keempat Potter di meja makan mereka. Potongan kecil pancake Albus tak jadi ditelan. Ia lebih memilih menoleh ke arah sang ayah lantas bertanya, "puasa?" Albus pucat.

"Em.. puasa, ya?" dengan lugunya Lily mengulang pertanyaan kakaknya,"yang nggak boleh minum?"

"Makan juga, sayang." Pertegas Ginny. piring Lily ia bantu dengan menuang sirup madu kesukaan putrinya ke seluruh permukaan pancake.

Lily memperhatikan ibunya lantas kembali bertanya, "es krim?"

"Es krim juga. Apapun yang kau masukkan mulut lalu kau telan.. itu tidak boleh."

Harry menjelaskan hal yang memang sudah diketahui oleh anak-anaknya dengan lebih sederhana. Hanya saja, Harry kembali teringat. "Kenapa kalian seperti tidak pernah tahu puasa?" tanyanya.

"Oh no, Dad!" Albus lemas di atas meja makan. Kenangannya akan puasa langsung memenuhi isi kepala detik itu juga. "18 hours? Again?"

"Yang Dad terima infonya kemarin begitu, son. Pukul 3 kurang beberapa menit kita sudah Imsak dan buka puasa kita em.. Maghrib sekitar pukul 9." Tutur Harry. surat ijin orangtua dari Lily kembali ia baca untuk ditandatangani.

Di sisi Ginny, Lily tak ubahnya sang kakak, wajahnya langsung beringsut pucat membayangkan ia tak bisa memakan camilan di tengah hari bolong. Ginny tahu kebiasaan putrinya sering minum jus jambu ketika siang tiba. Tapi untuk puasa, semua itu harus dihentikan.

"London memiliki waktu siang lebih lama dari negara lain, sayang." Ginny mengusap rambut merah Lily lembut. "Jadi bersabarlah. Itu ujiannya orang berpuasa di negara kita. Toh nggak panas, kan? Kita masih diberi angin."

"Oh, I hate London!" spontan Lily ucapkan.

"Huss," tegur Albus, "jangan begitu, Lils. Tahun lalu kau puasa, kan?"

Lily menggangguk lemas, "setengah hari. Uncle Ron, sih, waktu itu aku mau full tapi gara-gara Uncle Ron lupa makan kacang di kedai Madam Lydia.. aku—ikut-ikutan makan kacang dengan Uncle Ron dan Hugo."

Semua anggota keluarga Potter terbahak mendengar cerita Lily yang pernah menangis karena lupa memakan kacang bersama Ron yang ternyata sengaja membatalkan puasa karena tak tahan lapar.

"Aku benci puasa dengan Uncle Ron!" kata Lily.

"Nanti biar Mum yang tegur!"

Ya, Lily berharap ibunya benar-benar.

"Oke, suratmu sudah Dad tandatangani. Jadi saat kau naik kelas 5, kau boleh ikut kunjungan ke museum itu, sayang." Harry menyerahkan surat ijin putrinya kembali. "Museum itu bagus sekali. Berbeda dengan yang museum sebelumnya yang pernah kita kunjungi dulu bersama."

Setelah membaca surat ijin Lily, Harry teringat ketika dulu ia masih di tingkat sekolah sama dengan putrinya itu. Ada kunjungan yang sama di museum yang sama pula. Seingat Harry, museum yang akan Lily datangi itu penuh dengan artefak-artefak kuno dan tulang-tulang hewan jaman pra sejarah.

"Mungkin kunjunganmu untuk tugas, Lils. Seperti aku dulu. Tapi ngomong-ngomong di museum itu memang seru. Aku sudah sempat melihat infonya di internet. Ada salah satu ruangan baru yang mereka buka berisi beberapa figur hewan-hewan mitologi seluruh dunia. Di gambarnya sempat ditunjukkan patung naga besar yang menyemburkan api."

Lily kembali tertarik dengan penjelasan Albus. "Apinya asli?" tanyanya.

"Entahlah, aku belum pernah ke sana, Lils. Munggle mengira naga itu tidak ada, jadi aku rasa itu palsu."

"Yeah—" Lily mencoba menoleh ke Harry dengan pandangan kecewa, "padahal naga itu ada. Kau pernah melihatnya kan, Dad? Pernah melawannya juga, kan?"

"Tentu." Entah mengapa pandangan Harry tertuju ke arah Ginny. Seringai nakalnya muncul tiba-tiba membuat Ginny ikut memasang tanda waspada. "Bahkan Dad punya satu naga yang.. ganas."

"Wooo! Really?" tanya Albus dan Lily bersamaan.

Ginny menghentikan sarapannya. Perasaannya tak enak.

"Di mana, Dad? Aku boleh Lihat?" Albus dan Lily bertanya bergantian.

"Hey, anak-anak. Kalian tidak boleh melihatnya. Itu hanya untuk Dad.. dan Mummy kalian."

Benar kataku! Batin Ginny terbukti. Ia langsung diingatkan dengan istilah aneh yang sering Harry ucapkan padanya. Dragon meet gasoline?

"Loh, kenapa?" Lily paling kecewa mendengar ia tak boleh melihat naga itu. "Apa dia tidak bisa menyemburkan api seperti naga biasanya?"

"Naganya sakit, ya, Dad?" lanjut Albus.

Harry dengan tegas menggeleng cepat. "Tentu saja dia bisa menyebur. Hanya saja dia lebih unik. Akan terjadi masalah besar kalau semburannya terkena.. bensin. Panas sekali!"

Deg! Ginny berdiri dari dari bangkunya tak tahan. Ia tahu ke mana arah bicara suaminya. Harry benar-benar sedang menggodanya. "Suamiku sudah sinting!" gerutunya pelan. Untung saja tak terdengar oleh anak-anak. Tapi dengan jarak yang tak terlalu jauh, Harry bisa mendengarnya.

"I am!" balas Harry dengan cengiran kepuasan. Ia sukses membuat istinya kembali salah tingkah.

"Wow, sayang sekali kita tidak boleh melihatnya." Albus dan Lily benar-benar kecewa mereka tak bisa tahu 'naga' rekaan yang dimaksud sang ayah. Mereka berdua terlalu polos. Ginny mengerang sebal di dapur. Sambil terus membersihkan peralatan makan keluarganya, ia berteriak menyarankan agar anak-anaknya segera menghabiskan sarapan mereka.

"Sudah hampir siang. Nanti terlambat, Lils. Albus habiskan sarapanmu. Hari ini kau ke rumah Uncle Ron dulu, ya. Setelah ke sekolah Lily, kau biar diantar Dad ke sana. Nanti sore kita kumpul di the Burrow. Granddad meminta kita semua berkumpul di sana sebelum puasa."

Seruan 'yes' terdengar kompak dari mulut Albus, Lily, dan Harry bersamaan. Melupakan naga dan kembali ke pancake sarapan mereka.

"Dengan lamanya puasa yang ada, setidaknya bulan puasa ini 'naga' Harry tidak akan berulah selama sebulan penuh!" Ginny benar-benar bersyukur ia bisa beristirahat.

TBC


#

Mungkin chapter pembuka ini memang agak sinting kayak daddy Harry.. Hahaha.. tapi tenang, ya. Untuk bulan puasa akan aman dengan hal-hal yang seperti ini. Itulah sebabnya Anne post chapter ini sebelum puasa (semoga yang baca di bulan puasa bisa langsung istigfar) ^_^

Oh, ya, untuk sekadar info aja.. fic ini mengambil setting tahun ini. Dan untuk waktu puasa (waktu sholat) di London, Anne berpatokan sama waktu yang dipakai oleh London Central Mosque. Di London sana, waktu Subuhnya bisa beda dengan masjid satu dan yang lain. Jadi Anne ambil netralnya (yang sering dipakai kedubes Indo di London).

So, penasaran apa yang akan dilakukan mereka semua saat puasa tahun ini? Ikuti terus kisahnya! Semoga terhibur, ya. Karena kisah ini hanya untuk hiburan bulan puasa semata. Hehehehe... ^_^

Anne moho maaf lahir batin, ya! Selamat puasa bagi yang menjalankannya!

PS: Anne tunggu reviewnya! Maaf kalau masih typos :)

Thanks,

Anne xoxo