Bluebish Boots

by Rarachiii

Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki

au. drabble. ooc. AominexKuroko. family/friendship.

.

.

.

Kokoro. Kuroko.

Si penghangat hati bersurai sewarna biru es. Siapa yang bisa menolaknya jika sudah memamerkan setengah lingkar sabit yang manis di pantulan netra?

Senyum pertama. Senyum kedua. Datang bersamaan dengan selempit koran pagi dan susu yang masih hangat dalam wadah kaca berleher panjang. Si rumah bagi setengah lingkar bulan sabit itu mencuap kali pertama dan duanya begini;

"Halo. Selamat pagi. Tetsuya Kuroko siap menemani!"

Suaranya yang sayup seperti gadis namun riang dan tenang membuat selaput-selaput syaraf yang berkumpul di wajah Daiki Aomine berkedut. Anak ini lucu, bisa ramah pada orang baru yang kaku. Daiki tidak bisa jadi tetangga baru yang baik hati—dia sadari itu.

Sementara Nyonya Aomine—ibunya, sekarang berkolega dengan Nyonya Kuroko. Proyek menulis cerita anak di gedung sebelah. Daiki harus berbaik-baik dengan si pemilik senyum hangat.

Setangkup roti gandum dengan gosong di tepi menjadi balasan permintaan maaf implisit. Tanpa ada senyum balasan—seoles krim blueberry yang ia blender sendiri menjadi balasan pengganti. Langsung menghilang di lima kunyahan Tetsuya saat Daiki melengos sebentar membaca tajuk halaman depan koran.

"Hei-hei, pelan-pelan! Kau mati tersedak, aku yang ditanyai macam-macam."

Terbit senyuman ketiga. Lalu keempat dan kelima.

Hari itu perkenalan yang begitu membekas.

Daiki cukup galak di umurnya yang ke enambelas. Jika semua orang menjauhinya karena itu, maka Tetsuya Kuroko ini yang mendekatinya seperti kutub magnet yang disumpah janji suci untuk bersama selamanya.

Tetsuya datang lagi dan lagi. Dengan senyuman yang tak henti-henti.

Berbagi sebotol susu berdua, berbagi bola basket… kadang selop rumah yang sudah rompel pinggirannya itu. Sekali dua kali perdebatan kecil memakan korban. Vas bunga mahal Nyonya Aomine menjadi keping-keping kaca kala kulit bundar oranye menciumnya mesra. Daiki yang galak, Tetsuya yang mengalah. Daiki yang terkena jeweran.

Senyum ke sepuluhribu. Sudah seberapa besar mereka sekarang?—ah, dua puluh tiga. Sebentar lagi Daiki pindah kota. Tetsuya memberinya pelukan perpisahan di sebelah kobaran api penghangat Paskah dari tungku. Kali ini, Daiki balas tersenyum.

"Jaga ibuku, aku pergi dulu."

Sebuah pelukan hangat, sehangat senyum Tetsuya yang diam-diam dihitung Daiki. Kotak kado bersampul biru tua kini mengisi lengan Daiki.

Hadiah perpisahan—hadiah Paskah?

"Dua-duanya. Itu boots mahal. Jangan di rusak, ya."

Senyum ke sepuluhribusatu terbit kemudian.

Daiki melongok isinya: sepasang boots warna biru tua dengan coretan spidol silver di ujung boots kanan.

"Tanda tanganmu jelek sekali, Tetsu."

Kalimat mencemooh sebagai pengganti "Terima kasih". Tapi, Daiki yang galak sepertinya sudah pupus, karena dia tersenyum (lagi) sekarang.

.

.

.

first fic on this fandom. RnR?^^