Play Girl yang Kehilangan Kemampuan?

Naruto by Masashi Kishimoto

Pair : Uchiha Sasuke, Hyuga Hinata

Rate : T

Warning : typo, abal, OOC, etc.

Siang hari yang terik ini aku benar-benar mendapat "rejeki". Bagaimana tidak? Seharusnya saat ini aku sudah terlelap tidur siang di atas tempat tidurku yang nyaman.

Sayangnya, meskipun mata sudah terlihat buram karena banyaknya air mata yang menggenang akibat berkali-kali menguap serta suara-suara di dalam perut yang sudah "berteriak" minta diisi, mobil jemputan Sakura yang sudah kami tunggu lebih dari setengah jam yang lalu masih belum juga menampakkan diri. Akibatnya, aku dan Sakura harus rela menunggu di halaman kampus dengan ditemani udara sepoi yang berhembus laksana lagu pengantar tidur untukku.

"Sopirmu masih lama, Sakura?" Kataku sambil melihat jam tangan yang entah sudah berapa kali aku tengok untuk yang kesekian kalinya.

"Sabar ya, Hinata! Tadi aku sudah menghubungi rumah, kata mereka supirku sudah dalam perjalanan." Sakura menatapku dengan mata berkaca-kaca ala seekor kucing yang sedang meminta tambahan susu kepada majikannya.

Aku tahu apa arti tatapannya ini. Aku menghembuskan nafasku dengan lemas ketika mendengar jawaban dari sahabatku yang satu ini. "Memangnya Naruto-kun di mana?" Biasanya ketika Sakura tidak bisa dijemput, dia akan meminta Naruto untuk mengantarnya. Tapi hari ini berbeda, padahal jelas-jelas mobil Sakura sedang ada di bengkel, tapi dia tetap saja mau berlama-lama menunggunya.

"Hei, jangan membicarakan dia!" Sakura tampak melototkan matanya ke arahku.

Lagi, aku menghembuskan nafasku berat mendengar jawaban Sakura. Sampai saat ini pun aku masih heran bagaimana Sakura dan Naruto bisa menjalani hubungan sebagai kekasih, padahal seingatku tidak ada satu hari pun yang mereka lewati tanpa adanya pertengkaran.

"Kenapa lagi, Sakura?" Sebagai sahabat yang baik tentu saja setidaknya aku harus bertanya.

"Si bodoh itu melupakan janjinya untuk menjemputku dan lebih memilih untuk mengerjakan riset bersama teman kampusnya yang lain." Sakura tampak geram ketika bercerita. "Padahal dia sudah janji dan ini sudah hari ketiga kami tidak bertemu." Naruto memang kuliah di universitas yang berbeda dengan kami.

"Bagaimana mungkin aku bisa berpacaran dengan cowok pelupa dan tidak peka seperti dia?"

Aku memutar mataku malas mendengar sikap drama Sakura yang berlebihan. "Itu juga yang dari dulu ingin aku tanyakan." Jawabku pelan.

Tapi sepertinya suaraku tidak cukup pelan bagi Sakura. "Hinata!" Sakura menggeram lagi dengan kesal.

Aku menunjukkan cengiran lebar ke arah Sakura, mencoba bercanda dengannya saat ini nyatanya bukanlah pilihan yang tepat untuk dapat aku lakukan. Aku memutar posisi dudukku agar bisa menghadap ke arah Sakura sepenuhnya.

"Saat ini dia sedang melakukan risetnya, Sakura. Dia tidak sedang bermain-main. Dia menuruti kemauanmu untuk segera lulus dari pendidikan S2 yang dia tempuh. Itu semua untuk dirimu. Untuk menunjukkan keseriusannya padamu. Lalu apalagi yang harus kau risaukan?" Tanyaku tak serius benar-benar ingin mendengar jawabannya.

Setidaknya kali ini aku harus serius menghibur Sakura. Aku tidak ingin sikap dramanya akan mengembang semakin besar seperti sebuah adonan kue donat.

Sakura menatapku dalam, berusaha mencerna setiap perkataan yang tadi aku ucapkan. Tidak berapa lama kemudian dia menampilkan senyum secerah matahari di musim semi. "Kau benar, Hinata. Terimakasih." Ucapnya sambil memeluk tubuhku.

"Tentu saja aku benar, Sakura. Walaupun saat ini aku tidak memiliki pacar, tapi aku memiliki pengalaman yang lebih banyak daripada kau. Apalagi untuk sekedar menghadapi para cowok." Ucapku menyeringai.

Meskipun aku tidak melihat, aku tahu kalau saat ini Sakura sedang memutar matanya, dia melepas pelukannya dariku. "Aku tahu itu dengan sangat baik, Nona Hyuga. Mengingat berapa banyaknya pacar yang kau miliki bahkan dalam waktu yang bersamaan."

Aku terkekeh mendengar nada jengkel Sakura. "Kau sungguh berlebihan, Nona Haruno." Ucapku dengan nada seolah merasa tersakiti sambil menyentuh dadaku. "Tapi bukankah sekarang tidak lagi?"

"Belum!" Sakura mengoreksi kalimatku.

Sakura kemudian mengalihkan perhatiannya pada tas hitam di pangkuannya, dia lalu mengeluarkan sebungkus biskuit rasa vanila dari sana. "Ini Hinata, makan dulu! Lumayan untuk mengisi perut." Sakura menyodorkan bungkus biskuit itu kepadaku.

Mataku berbinar menatap biskuit favoritku yang ditawarkan oleh Sakura. "He he he terimakasih, Sakura. Kau memang yang terbaik kebetulan aku saat ini sedang lapar."

Sakura memutar matanya lagi. "Memangnya kapan kau tidak pernah merasa lapar, eh?"

Aku pura-pura tidak mendengar sindiran Sakura dengan mengambil sebuah biskuit rasa vanila itu kemudian aku memutarnya lalu aku jilat krim yang ada di bagian tengah. Aku tersenyum merasakan sensasi manis yang terasa di ujung lidahku.

Sakura menatapku tak percaya. "Astaga Hinata, dari dulu sampai sekarang gaya makanmu masih saja tetap sama. Mirip seperti model iklan makanan ringan." Sakura melihatku dengan tatapan geli.

"Justru inilah kenikmatannya, Sakura. Kau coba saja kalau tidak percaya." Jawabku sambil nyengir ke arahnya.

"Uh, terimakasih atas tawarannya Hinata. Tapi maaf aku tidak tertarik untuk mencobanya." Sakura menggelengkan kepalanya berlagak seperti seorang kontestan adu debat yang tidak setuju dengan pendapat lawannya.

Aku mendengus mendengar jawaban Sakura.

Setelah menghabiskan satu bungkus biskuit berukuran besar berdua, akhirnya mobil jemputan Sakura pun datang. Aku menghembuskan nafasku lega ketika mobil hitam itu berhenti tak jauh dari hadapan kami.

'Yes, akhirnya.' Batinku terlonjak gembira.

"Hei, hentikan senyummu itu, Hinata! Aku tahu kalau kau dari tadi sudah merindukan tempat tidurmu. Tapi jangan terlalu menunjukkan kalau kau sangat senang dengan kepergianku!" Aku hanya meringis tak berdosa mendengar perkataan Sakura.

"Aku pulang dulu, Hinata. Terimakasih sudah menemaniku. Hati-hati, ya! Sampai jumpa besok." Sakura tersenyum ke arahku.

Aku membalas senyum Sakura tak kalah manis. "Sampai jumpa, Sakura."

Sakura berlari masuk mobilnya. Sebelum berjalan si sopir sempat mengklaksonku yang hanya aku balas dengan senyuman.

Setelah kepergian Sakura, aku berjalan menuju parkiran tempat dimana motorku berada. Aku memang lebih sering pergi ke kampus dengan menggunakan motor daripada menggunakan mobil. Neji-nii bahkan sempat melarangku dengan keras ketika aku masih ngotot untuk memilih motor daripada sebuah mobil yang telah dibelikan tou-san untukku.

Menurutku motor terasa lebih efisien untuk digunakan di kota padat seperti Konoha ini. Apalagi dengan motor, aku lebih mudah untuk berkelit dari kendaraan lain ketika kondisi jalan sedang ramai, mengingat kebiasaanku yang ceroboh dan terlalu mudah terlelap dan sangat sulit terbangun ketika sedang tidur, jadi menggunakan motor adalah hal yang sangat membantuku terutama ketika harus dikejar waktu akibat keterlambatanku.

Kecintaanku menggunakan motor nyatanya harus diuji dengan sulitnya untuk meluluhkan hati kakak tercintaku. Sikapnya yang selalu berlebihan terhadapku membuatnya mati-matian melarangku untuk berkendara sendiri menggunakan motor. Untunglah sekarang Neji-nii sedang disibukkan dengan pekerjaan barunya di perusahaan tou-san, jadi dia memiliki kegiatan lain selain mengkhawatirkanku.

Halaman depan kampus dan area parkir tidak terpaut jarak yang jauh. Tapi perjalanan yang aku lalui juga tidaklah secepat seperti jarak yang terlihat. Selama perjalanan aku disibukkan dengan menjawab salam dan pertanyaan dari beberapa orang yang menyapaku. Dan bisa ditebak bahwa yang menyapaku kali ini sebagain besar adalah laki-laki.

Aku sendiri tidak pernah berusaha mencari tahu seberapa popular atau terkenalnya nama Hyuga Hinata di Konoha International University ini. Aku bukanlah orang yang mau repot seperti Sakura dan Ino yang akan dengan senang hati mencari tahu hal sepele seperti itu.

Aku juga tidak pernah ingin tahu bagaimana caranya cowok-cowok itu mengenal dan mengetahui namaku padahal jumlah dari mereka yang aku kenal jauh lebih sedikit dari mereka yang tidak aku ketahui.

Untunglah kondisi tempat parkir jauh lebih sepi dibanding perjalananku tadi menuju kesini sehingga tidak akan ada lagi hal yang mungkin dapat mengganggu kepulanganku untuk kesekian kalinya dalam hari ini.

Ini adalah hari Selasa, masih banyak sekali kendaraan yang ada di tempat parkir. Mungkin karena masih ada banyak kelas hari ini atau mungkin juga karena mereka sedang mengikuti kegiatan kampus. Kegiatan apa itu aku pun juga tak tahu.

Jujur saja, aku bukanlah tipe anak rajin yang bersedia dengan senang hati mengikuti kegiatan di luar jam kuliah. Kalaupun aku memiliki waktu luang, biasanya lebih banyak aku habiskan di rumah, entah itu membaca novel ataupun tidur siang. He he he. Bagiku itu lebih bermanfaat dan tidak menyita waktu serta tenagaku.

Aku berjalan menghampiri motor matic yang terparkir di antara sekian banyak motor yang ada di parkiran. Ketika aku akan memakai helm ungu kesayanganku, aku dikejutkan dengan tepukan pelan di pundak yang membuatku melompat kaget.

Kualihkan wajahku ke sumber pekikanku tadi. Dengan wajah garang aku melihat di sampingku telah berdiri sesosok makhluk dengan cengiran tanpa dosanya.

"Kaget ya, Hinata-chan?" Katanya masih dengan memasang wajah geli. Aku hanya memutar mataku malas, enggan menanggapi makhluk tersebut. "Kenapa kau baru pulang? Bukankah kau tidak mengikuti kegiatan apa pun?"

"Tadi aku menemani Sakura terlebih dahulu. Mobil yang menjemputnya sedang terlambat datang. Kau baru selesai latihan futsal, Toneri-kun?" Tanyaku basa basi pada teman sekelasku dalam jurusan arsitektur ini.

"Kau tahu kalau aku hari ini latihan futsal, Hinata-chan?" Tanyanya dengan mata berbinar. "Aku sangat senang, ternyata kau memperhatikanku juga." Imbuhnya dengan raut bahagia.

Aku mengernyitkan kedua alisku kemudian kuputar lagi mataku untuk yang kedua kali. "Jangan berlebihan, Toneri-kun! Aku melihat pakaianmu sekarang." Kataku sambil menunjuk kaos dan celana training pendek yang sedang dia pakai. "Nenekmu yang sedang menyeberang jalan pun juga akan tahu kalau kau baru saja mengikuti latihan futsal."

Toneri terkekeh mendengar ucapanku. Aku mengernyit bingung, padahal aku kan tidak sedang membuat lelucon untuknya.

"Nenekku sudah lama meninggal, Hinata-chan. Kau jangan memanggilnya! Bagaimana kalau nanti malam dia mendatangi kamarmu?" Aku memutar lagi mataku dengan bosan mendengar lelucon garingnya. Memangnya dia menganggapku sebagai anak kecil yang akan takut dengan ceritanya seperti itu?

Uh..

Baru saja 10 menit aku berbicara dengan Toneri, tapi aku sudah memutar mataku sebanyak tiga kali. Bagaimana nanti kalau selama sehari aku harus bersamanya? Apa aku harus memutar mataku sebanyak 144 kali? Oh tidak! Aku tidak ingin membayangkannya.

"Hinata-chan?" Panggilan Toneri berhasil mengembalikanku ke dunia nyata. "Apakah kau bersedia pulang bersamaku?" Tanyanya dengan memasang cengiran yang semakin lebar.

"Maaf, Toneri-kun. Apa kau tidak memperhatikan kalau saat ini aku sudah duduk manis di atas motorku? Sudah ya, tolong kau menyingkir dulu! Aku ingin pulang sekarang. Sampai jumpa."

Tanpa menunggu jawaban dari Toneri, aku segera menjalankan motorku menuju gerbang kampus.

Aku memang sudah tahu kalau Toneri menyukaiku. Dia terlalu menunjukkan perasaannya dengan gamblang sehingga orang awam pun akan tahu bahwa dia menyimpan perasaan kepadaku.

Tapi harus bagaimana lagi? Bagiku Toneri hanya sekedar teman sekelas. Untuk saat ini aku masih belum ingin menjalin hubungan lagi dengan seseorang.

Heh? Lagi? Hush! Hush!

Aku menggelangkan kepalaku keras untuk menghalau ingatan masa lalu yang tak tahu dirinya tiba-tiba terbayang kembali di pikiranku.

Aku sudah bertekad untuk melupakan kenangan buruk masa laluku, maka dari itu aku memutuskan untuk move on. Meskipun menurut Sakura caraku move on tidaklah sehat, tapi bagiku ini adalah cara terbaik agar aku bisa mengalihkan pikiran dari masa laluku.

Perjalanan dari kampus menuju mansion Hyuga memang lumayan lama. Memakan waktu 30 menit dengan menggunakan kecepatan yang standar.

Kampusku memang terbilang cukup jauh dari mansion, aku memilih berkuliah disana karena KIU merupakan salah satu kampus ternama di Jepang. Selain itu, dengan kuliah disana aku tidak perlu merasa khawatir orang-orang nanti akan mengenal dan melihatku sebagai bayang-bayang orang lain. Cukup sudah aku merasakan hal ini saat Junior danSenior High, aku tidak ingin merasakannya lagi saat menjalani masa kuliahku.

Ketika berhenti di lampu merah terakhir sebelum sampai ke kediaman Hyuga, seperti de javu, lagi-lagi aku dikejutkan dengan tepukan pelan di bahu kananku yang lagi-lagi juga kembali membuatku terlonjak sebentar dari jok motor.

Dengan geram aku menolehkan kepala ke arah tersangka yang tepat berada di sampingku.

Saat akan mengeluarkan barisan panjang "puisi" ungkapan hati, dengan susah payah harus aku telan kembali semua rangkaian kalimat tersebut.

Saat ini d sampingku berdiri seseorang. Eh? Bukan berdiri tapi duduk di atas jok motor besarnya, seorang cowok berambut merah, bermata karamel dengan senyuman baby face, seseorang yang wajahnya familiar untukku. Bukan karena aku akrab sekali atau sangat mengenal dia. Bukan! Tentu saja bukan! Aku hanya sekedar tahu nama orang tersebut, dia adalah salah seorang dari teman Neji-nii yang dulu sering berkunjung ke mansion.

"Hinata, ya? Adik Hyuga Neji?"

Aku mengeluarkan senyum kecut mendengar kalimatnya. Nyatanya lagi-lagi orang hanya mengenalku sebagai adik dari seorang Hyuga Neji.

Aku berusaha tersenyum lebih tulus kepada orang di sampingku. "Benar. Kau Sasori-nii, kan?" Tanyaku sambil melihat senyum di wajahnya. Senyum yang tidak aku tahu apa artinya.

Mungkin saja dia senang karena bertemu dengan ADIK TEMANNYA atau apapun itulah, aku juga tak peduli.

Hingga bunyi klakson di belakang menyadarkanku bahwa saat ini lampu telah berubah warna. "Aku permisi dulu, Sasori-nii. Sampai jumpa." Sama seperti sebelumnya, aku pun langsung menjalankan motorku tanpa menunggu jawaban darinya.

Aku melirik dari kaca spion, dia berbelok ke sisi jalan sebelah kanan. Baguslah kalau dia tidak berniat mengikutiku. Heh? Memangnya siapa aku sampai Sasori harus repot-repot mengikutiku? Aku terkekeh mendengar dewi batinku yang kembali mengucapkan kalimat yang narsis.

Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan Sasori. Dulu dia sering berkumpul bersama Neji-nii dan teman-temannya yang lain di mansion Hyuga saat mereka masih berkuliah di kampus yang sama. Sejak Neji-nii mengurus salah cabang perusahaan tou-san, teman-temannya sudah tidak pernah lagi datang dan berkumpul.

Baik dulu ataupun sekarang, aku hampir tidak pernah berbicara kepadanya dalam artian terlibat pembicaraan yang panjang dengannya, dengan teman-teman Neji-nii yang lain juga tentunya. Dulu aku hanya tersenyum basa basi ketika tidak sengaja harus berpapasan dengannya.

"Huh." Aku menghembuskan nafas panjang. "Kenapa rasanya hari ini aku berurusan dengan banyak cowok? Hari yang aneh." Kataku menggumam pelan.

Tidak terasa sebentar lagi aku akan sampai di mansion Hyuga. 'Tempat tidur, aku segera datang.'

Saat melewati taman Konoha yang tidak terlalu jauh kediaman Hyuga, dengan sengaja aku melambatkan motorku. Udara di taman ini memang sejuk, banyak pohon yang ditanam di sekitar taman yang membuatnya terlihat rindang.

Aku memasukkan udara dengan rakus ke paru-paruku sambil mengedarkan pandanganku ke arah taman yang tidak hanya sukses memanjakan pernapasan tapi juga memanjakan manik lavenderku.

Saat siang hari, taman Konoha memang terlihat sepi. Lagipula siapa yang bersedia dengan senang hati keluar rumah dengan cuaca terik Konoha seperti saat ini? Walaupun udara di sini tidak menyengat, tapi kondisi di perjalanan tidaklah sesejuk ketika telah sampai di sini.

Tiba-tiba aku melihat sebuah pergerakan dari balik pohon besar yang berada di ujung taman. Dengan reflek, segera aku menghentikan motorku. Aku mengernyitkan lavenderku berusaha memperjelas penglihatan terhadap obyek yang berada di depan sana. Seketika lavenderku membulatkan ketika penglihatanku telah jelas.

Di depan sana, di dalam taman Konoha yang rindang dan sepi, aku melihat sebuah adegan dewasa yang biasanya terdapat dalam scene film Hollywood.

Di belakang pohon besar yang terletak lurus di depanku, ada dua orang manusia yang berbeda gender sedang berdiri. Sang cewek sedang menyandarkan tubuhnya di pohon sedangkan sang cowok berdiri di depannya dengan kedua tangan berada di sisi cewek tersebut.

"Sedang apa mereka?" Aku menggumam dengan pelan tanpa berusaha mengalihkan pandanganku.

Ish. Ish.

Pikiranku yang bersih harus ternodai oleh adegan tidak senonoh yang saat ini ditunjukkan gratis oleh pasangan di depan sana.

He he he.

Sejujurnya, mereka memang hanya sekedar berdiri berhadapan, tetapi tetap saja bagi orang yang melihatnya sikap mereka terlihat sangat intim. Apalagi ini adalah tempat umum dimana orang lain akan dengan mudahnya melihat dan memperhatikan tindakan yang mereka lakukan. Batinku terus memberi dukungan pembelaan terhadap asumsi yang telah berhasil aku buat.

Jadi, sekarang diriku sendiri menyimpulkan bahwa saat ini mereka sedang beradegan mesum. Adegan mesum versiku sendiri memang, he he he.

Ketika sedang bergelut dengan isi pikiranku terhadap kebenaran dari kesimpulan yang aku ambil, tiba-tiba saja sang cowok yang sebelumnya melihat ke arah gadisnya secepat kilat mendongakkan kepalanya dan melihat ke arahku sehingga membuat pandangan kami bertemu.

Deg. Deg.

Dengan gelapan segera aku larikan motorku secepat mungkin. Aku merutuki sifatku yang lambat menyadari. "Apa dari tadi dia sadar kalau aku memperhatikannya?"

Deg. Deg. Deg.

"Hinata bodoh! Bagaimana mungkin bisa kepergok oleh orang itu? Bisa-bisa dia mengira kalau aku tukang ngintip."

Ish. Ish. Ish. Bodoh! Bodoh!

Aku gelengkan kepala sambil menepuk helmku keras-keras.

Deg. Deg. Deg.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah kaca spion sekedar meyakinkan diri bahwa cowok itu tidak memiliki niat untuk mengejar atau bahkan memakiku karena telah mengganggu kegiatannya.

Huh. Aku menghembuskan nafas lega tanpa aku sadari.

Hm. Siapa cowok itu, ya? Wajahnya tampan juga. Walaupun hanya sekilas tapi bisa kulihat kalau dia memiliki kulit yang bersih dan hidung mancung. Dan jangan lupakan matanya yang tajam dengan manik kelam yang terlihat menghanyutkan.

Aku mengerutkan keningku dalam. "Sepertinya aku pernah melihatnya, tapi dimana?"

Aku masih mencoba mengingat-ingat dimana sekiranya aku pernah bertemu dengan cowok tampan itu. Tapi mana mungkin aku pernah bertemu dengan dia sebelumnya? Karena kalau memang itu benar terjadi, tidak mungkin kan aku melupakan keberadaan pria tampan sepertinya? He he.

"Astaga!" Aku tertegun dengan pemikiranku sendiri. "Ada apa denganmu, Hinata? Bisa-bisanya kau memikirkan cowok asing yang mesum itu."

'Benar-benar hari yang aneh.'

Huh.. Aku sudah tidak sabar ingin menceritakan hal ini kepada Sakura. Kira-kira bagaimana reaksinya setelah mendengar bahwa aku telah bertemu dengan cowok tampan tipe idealnya. Aku tertawa dengan asumsiku sendiri.

~ TBC ~

Fic ini sebenarnya lebih dulu aku buat daripada 'Beautiful to Me' dan udah lama banget kesimpen di dokumen, tapi masih ragu buat publish atau ngga.

Pairnya masih sama seperti fic sebelumnya, yaitu SasuHina. Yey, ini adalah pair favorit author.