Semua orang menyukai Sakura Haruno.
Atau, begitulah menurutnya.
Naruto (c) Masashi Kishimoto
Sakura POV
"Semua akan baik-baik saja."
Suaraku meyakinkan. Aku mengusap bahunya lagi, berusaha menenangkannya. Tapi dia terus menangis. Teman-teman sekelasnya sangat keterlaluan. Harusnya mereka tak perlu mengejeknya hanya karena ia gemuk. Maksudku... tidak ada manusia yang sempurna kan?
"Bagaimana kau tahu?" tuntutnya sambil terisak. Namanya... Mitsuko. Murid kelas sebelah. Ini bukan pertama kalinya ia lari ke toilet dan menangis.
Ini juga bukan pertama kalinya aku mengejarnya.
"Mereka pasti akan bosan," aku menyodorkan tisu. "Ayo hilangkan air matamu. Jangan sampai mereka melihatmu seperti ini."
Berhasil. Dia menurut.
"A-Arigatou, Sakura."
Aku tersenyum miring, "bukan masalah."
"Sakura, kenapa bajumu basah?"
Pertanyaan Ino menyambutku begitu aku masuk ruang loker kelas dua untuk mengganti baju. Aku tersenyum lemah. "Biasa," ujarku, berusaha terdengar santai. "Kakak kelas berusaha mengerjai anak kelas satu, aku tak sengaja lewat saat mereka mengguyurkan seember air."
Aku pasti pengarang yang payah.
"Kau... melindungi anak kelas satu, lagi?" Ino mengernyit, tak mengindahkan ceritaku.
Aku tak menjawab.
"Sakura..."
"Ya?"
"Apa kau manusia?"
Pertanyaan itu lagi.
Kata ibuku, hatiku lemah lembut.
Aku menolak habis-habisan. Aku ini tipe gadis galak. Aku bisa membuat orang babak belur. Lemah lembut darimananya?
"Tapi kenapa kau menolong setiap orang yang sendirian?"
Aku terdiam. "Aku kasihan.." ucapku kemudian.
"Benarkah?"
Kupikir, itu hanya karena aku tidak ingin mereka sepertiku.
"Kau ini bodoh atau bagaimana?" Suara itu membuat telingaku sakit.
"Saya minta maaf..."
"Kau ini sama sekali tidak berguna... tidak bisakah kau melakukannya dengan benar?"
Aku tidak mendengarkan lagi. Mataku melirik teman-teman sekelasku. Beberapa diam, yang lain melirik sinis. Kudengar banyak gumanan menyalahkan. Sebagian justru terang-terangan menyindir.
Hatiku sakit.
Inikah pikiran mereka terhadapku selama ini?
Aku mundur. Selangkah. Dua langkah.
"Maaf."
Lalu aku berlari keluar ruangan.
Tidak ada yang mengejarku.
.
.
.
.
tes.
.
.
.
.
Aku bodoh.
.
.
.
.
.
Bagaimana mungkin aku mengira semua orang menyukaiku?
.
.
.
.
.
Bukankah ini tidak adil, Tuhan? Aku selalu ada untuk orang lain, sebisa mungkin menghibur mereka. Tapi lihatlah ironinya. Aku menangis disini. Sendirian. Tanpa siapapun.
.
.
.
.
tes.
.
.
.
.
.
...ternyata, tidak ada orang yang menganggapku layak untuk dijadikan teman. Sikap baikku... mungkin selama ini hanya kemunafikan, bagi mereka.
.
.
.
.
tes.
.
.
.
.
.
.
Harusnya aku jadi orang jahat saja.
