Masih terekam jelas di benakku, pertama kalinya aku bertemu denganmu, betapa aku menganggapmu lemah dan menyebalkan. Apakah kau juga masih mengingatnya, sayang? Saat akhirnya kita memutuskan untuk menguntai benang merah; yang bahkan sahabat menyebalkanmu pun tidak mengetahuinya. Selama kita bersama, sungguh, aku merasa bahwa aku ini adalah pria yang nista. Alih- alih menjadi sandaran hati atau tembok pelindungmu, kau dan tubuh mungilmu itulah yang selalu menjadi pelindung dalam sulitku, penghibur dalam laraku. Seringkali ku menangis dalam diamku, memikirkan betapa tak berdayanya, betapa tak pantasnya aku bila disandingkan denganmu. Tapi kau memilihku tanpa keraguan, meninggalkan semua pilihan hanya demi seorang lelaki payah sepertiku. Sungguh aku sangat menyesal karena tak dapat membahagiakanmu dan menepati janjiku. Maafkan aku, Armin


All characters of Shingeki no Kyojin belong to the respective owner, Hajime Isayama- sensei


"Armin, aku menyukaimu."

Waktu itu aku benar- benar merasa sangat tolol. Hari pertama aku melihatmu; tidak, tepatnya kau dan 2 sahabat baikmu. Aku dan si bodoh Eren terlibat perkelahian, dan wanita cantik bernama Mikasa itu berhasil meredam kemarahan kami. Tapi ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatiku. Anak dengan wajah ketakutan itu… Siapa? Aku terus memikirkannya hingga tidurku pun terganggu karenanya. Kau mungkin tidak tahu betapa kejamnya kau saat itu, bukan? Wajahmu yang polos itu sudah ribuan kali membunuhku, tahu. Sejak saat itu, entah kenapa mataku selalu mengedar mencari sosokmu. Entah itu saat berlatih sparing (hingga aku tidak fokus dan dikalahkan oleh lawanku, kau kejam sekali, Armin), atau tanpa sadar aku tidak sabar menunggu giliranmu berlatih berlatih menggunakan 3DMG. Hingga saat akhirnya aku berhasil mengumpulkan keberanian untuk menyapamu, akhirnya aku mengetahui sedikit demi sedikit tentangmu. Kau mungkin memang terlihat lemah, tapi aku bisa merasakan bahwa kekuatan hatimu juga tidak kalah dari kadet- kadet terkuat sekalipun.

"Jean?" wajahmu mulai diselimuti rona merah, menatap dengan penuh keraguan, "Aku… Sepertinya aku salah dengar…"

"Tidak, Armin. Aku menyukaimu. Sangat menyukaimu."

Ah… Wajah malu- malu itu. Mungkin kau tidak tahu betapa gugupnya aku saat melihat iris biru beningmu mengedar kesana- kemari; tak sedikitpun melirik kearahku. Buku yang sedari tadi menemanimu pun kau lepaskan dengan tiba- tiba, membuatnya kini berpindah tempat dari tangan indahmu ke tanah berpasir.

Hening.

Tolong katakan sesuatu, Armin Arlert. Aku mulai tak bisa menahan gemetar hebat di kakiku. Walaupun aku berlagak keren setiap detik, hanya didepanmu, hanya saat bersamamu aku tak bisa menyembunyikan apapun.

"Ke… Kenapa?" kau bertanya dengan suara mencicit, "Aku ini lemah. Tidak seperti Eren dan yang lainnya, saat melihat titan di depan wajahku saja… Rasanya aku sudah mau pingsan."

Tolong jangan sebutkan nama bedebah itu saat aku sedang bersamamu.

"Padahal… Padahal Jean adalah orang yang hebat… Tidak sepertiku, kau adalah seorang yang kuat. Sedangkan aku, hanya bisa termangu dan membaca- baca buku… Aku tak pantas bersamamu."

Oh, ini juga adalah salah satu sifatmu yang cukup menyebalkan. Aku tahu, terlalu naïf dan optimis adalah sifat yang tak kalah menyebalkan. Tapi aku benar- benar tidak tahan saat melihat pesimis dalam dirimu.

"Tidak. Banyak keindahan dalam dirimu, Armin. Kau hanya terlalu pesimis. Bahkan lemah atau uh, apalah… Kau sebenarnya tidak lemah! Aku tahu… Aku tahu itu. Memutuskan untuk bergabung dengan Pasukan Penyelidik berarti kau berhasil melawan ketakutanmu. Tidak sepertiku yang dari awal sudah sangat egois dan memilih untuk menjadi Polisi Militer… Kau… Mungkin kekuatan fisikmu memang tidak seberapa, tapi hatimu sangat kuat…"

Sejenak aku tak bisa melanjutkan kata- kataku. Rasanya bibir ini terasa amat kelu saat melihat ekspresi yang tak pernah kulihat sebelumnya. Walau aku sering mendengar bahwa lelaki yang kucintai ini mudah sekali menitikkan air mata, tetapi baru kali ini aku melihatnya menangis sungguhan tepat di depan mataku. Kau menutupi wajah itu dengan telapak tanganmu. Kau tahu, betapa bingungnya aku saat itu. Akhirnya kuputuskan untuk bersimpuh di depanmu. Kupegang tangan kecil itu erat, terasa sangat halus dan rapuh. Lalu kau memutuskan untuk berhenti menyembunyikan wajahmu dan menganggukkan kepalamu. Begitu bahagianya diriku saat itu hingga hampir saja aku menjatuhkan buliran air yang terkumpul di ujung pelupuk mataku. Kudekap tubuh kecilnya, dan tangannya pun dengan erat mengapit tubuhku.

"Terimakasih telah menerimaku, Armin. Aku berjanji akan membuatmu bahagia."


"Jean," kau berucap dengan suaramu yang lembut. Rambut pirangmu yang indah berkilauan ditimpa cahaya mentari senja, "Kau tahu, walaupun pergi keluar tembok dan meneliti titan secara langsung adalah hal yang cukup mengerikan, tapi aku sangat bersyukur bisa bergabung dengan Pasukan Penyelidik."

"Benarkah? Aku juga," jawabku. Hari itu kami melakukan pelatihan untuk mempersiapkan perjalan keluar tembok esok hari. Sepertinya ini akan menjadi perjalanan yang sangat penting, mengingat ketatnya jadwal latihan dan bertambahnya rasa lelah di tubuhku. Tetapi selain itu ada hal yang lebih penting, yaitu peringatan satu tahun aku menjalin hubungan denganmu, Armin. Aku bahkan telah menyiapkan sesuatu untukmu. Sebuah cincin yang rencananya akan kuberikan setelah kita pulang dari ekspedisi. Sambil memikirkan esok hari dengan senang, kita berjalan menuju ruang penyimpanan maneuver 3D dan kugenggam tanganmu dengan lembut, tetapi kau malah menepisnya.

"Armin?"

Kau hanya terdiam dengan wajah kian memerah. Oh, begitu. Mungkin kau merasa malu karena aku adalah lelaki yang bodoh, yang tak pantas dijadikan kekasih. Aku hanya bisa terdiam. Apakah aku begitu membosankan selama ini? Apakah semua kejutan yang kulakukan untukmu; seperti bunga di depan kamarmu setiap pagi atau berpegangan tangan seperti ini adalah hal kekanakan? Aku terus berjalan gontai hingga akhirnya sebuah tangan yang sempat menolakku tadi perlahan menggenggam tanganku lembut.

"Maaf Jean," ucapmu pelan, "Aku tak ingin kau malu karena mengencaniku. Dan kejutan- kejutan itu… Terimakasih, aku sangat bahagia. Aku… jadi sangat mencintai Jean…"

"E- eh?"

"A- aaaaa… Maafkan aku! Karena aku sudah lebih dari menyukai Jean, jadi, jadi… Mungkin sekarang ini aku sangat mencintaimu- be- begitu…"

Jujur saja, rangkaian kegiatan hari ini lebih dari cukup untuk membuatku malas tersenyum. Tapi saat melihatmu yang kebingungan dan mengucap kata 'cinta' dengan susah payah, tawaku lepas tanpa bisa dibendung. Biarlah ada berjuta orang yang menganggapku gila, aku tak peduli. Melihat sosokmu yang sangat indah ini saja sudah membuatku bersyukur telah hidup sedikit lebih lama.

"Ja- jangan tertawa dong," kau berujar kesal sambil menunduk, menyembunyikan semburat merah yang masih saja tak meninggalkan wajahmu. Ya Tuhan, Arminku benar- benar sangat manis.

"Maaf… Maafkan aku, Armin. Kau terlihat sangat menggemaskan," kuelus kepalanya lembut, ia sempat ingin menepis tanganku untuk kedua kalinya. Tetapi entah kenapa ia mengurungkan niatnya dan hanya memegangi tanganku.

"Jean, kau tidak malu menjadi kekasihku?"

Aku tertegun.

"Kenapa harus malu, Armin?"

"Kita sama- sama pria… Terlebih lagi, aku ini…"

Hah, aku tidak suka kemana pembicaraan ini akan mengarah. Saat aku memikirkan cara untuk mendiamkan lelaki rupawan di depanku ini, akhirnya aku memutuskan untuk mendaratkan bibirku di bibir mungil yang sukses terdiam saat aku melancarkan serangan untuk beberapa saat. Akh, ini semua hanya untuk mendiamkanmu ya! Salahmu sendiri karena terlalu sering menjelek- jelekkan dirimu!

"Kau lebih berharga dari apa yang kau kira, Armin. Berhenti menjelek- jelekkan dirimu. Bahkan kekurangan yang kau sebut itu merupakan kelebihan di mataku, jadi tolong hentikan…"

Armin terbelalak kaget, sepertinya ia masih tak bisa mencerna perkataanku karena ciuman mendadak tadi. Sial, aku juga jadi lupa apa yang ingin aku bicarakan. Dapat kurasakan panas di kulit wajahku saat memandang sosokmu saat itu. Ingin sekali kupalingkan wajah, tapi hey, kenapa jadi aku yang sangat malu karena melakukan hal normal untuk sepasang kekasih seperti ini?

"Ma- maafkan aku, Armin! Ta- tadi itu pertama kalinya aku melakukannya, jadi maafkan aku kalau tadi gigi kita-"

Sial, aku salah bicara. Saat itu aku membuatmu sangat malu ya? Maafkan aku ya, Armin. Sesungguhnya aku juga sangat gugup. Entah kenapa aku terpikir untuk menciummu, padahal aku sama sekali tidak meminta izin sebelumnya. Tetapi yang kutemukan di depanku sesaat setelah itu adalah sosokmu yang tersenyum lebar, dengan tawa yang merdu bagaikan malaikat. Kau memberanikan diri mendekat ke wajahku, kemudian membalas ciumanku yang sedikit kasar dengan bibirmu yang terlampau lembut. Cukup lama kita menautkan bibir hingga melupakan waktu, melupakan dunia yang mengerikan ini untuk sementara. Saat itu kau menatapku intens, seakan menembus irisku. Aku benar- benar tidak mengerti, dari mana anak pemalu sepertimu mendapatkan keberanian besar untuk melakukan hal seperti ini?

"Jean," kau berucap dengan suara indahmu, "Aku mencintaimu."

Tiba- tiba aku merasakan dadaku bergejolak. Bukan, bukan hanya karena aksimu yang sangat diluar dugaan, Arminku sayang. Aku sendiri bahkan tidak mengetahui apa yang membuatku begitu terguncang. Tetapi kala itu sejenak kurasakan takut yang amat sangat. Entah kenapa tanganku hendak mengambil cincin yang akan kusematkan di jari mungilmu esok hari, tetapi kuurungkan niatku dan aku memilih untuk tersenyum dan menciummu cepat sekali lagi. Setiap keberanian perlu penghargaan kan? Walau wajahmu sangat merah karenanya; dan mungkin wajahku juga, kita tetap berpelukan dan berbagi kehangatan dibawah mentari senja dan hawa dingin kota dalam tembok ini. Saat mata kita saling bertatapan, dan jemari ini saling bertautan, kau terkikik pelan. Membuatku terkejut, tetapi pada akhirnya aku pun tertawa mengiringimu.

"Selamat ya, ketua sub kelompok 2," ucapmu dengan tulus.

"Hah, kau membicarakan formasi pasukan untuk besok ya? Kita berada di tim yang sama kan? Mungkin kau harus sedikit lebih maju ke depan dan bertukar posisi dengan Marco."

"Apa- apaan sih. Aku menyusun formasi itu dengan serius, tahu. Tadi kan sudah aku jelaskan saat rapat strategi. Tempat yang ideal untuk Marco memang disebelahmu, Jean. Ada- ada saja."

Sifat manismu, Arminku sayang, adalah ini. Kau orang yang sangat serius. Jika menyangkut pekerjaan kami sebagai Pasukan Penyelidik; terutama masalah strategi, kau sangat dapat diandalkan. Kau akan menganggapi apapun yang berkaitan dengan ini secara serius. Saat aku bercanda tentang hal seperti ini, kau pasti akan memulai penjelasan panjang mendetilnya dengan wajah berapi- api (dan itu terlihat sangat manis).

"Hahaha, aku hanya bercanda. Aku juga akan melakukan tugas ini dengan benar," ucapku.

"Sebaiknya kau ingat baik- baik hal itu, ketua."

"Baik, baik."

Kau tahu, Armin? Jika sekarang aku teringat kembali akan hari itu, aku merasakan penyesalan yang amat sangat. Mengapa aku tidak memberikan cincin itu padamu saat itu juga? Mengapa aku malah menepis rasa ketakutanku yang tak beralasan? Mengapa aku malah bercanda tentang hal sepenting itu? Mengapa aku tidak menuruti kata- katamu hari itu?

Jika saja aku mematri ucapanmu hari itu, mungkin keadaan tidak akan menjadi seperti saat ini.


Ekspedisi keesokan harinya bukannya membuahkan hasil, Pasukan Penyelidik malah dihadapkan pada kenyataan yang sangat tidak sesuai ekspektasi. Alih- alih membawa pulang seekor titan untuk diteliti, kami dipaksa menelan rasa pahit karena banyaknya korban jiwa tanpa menghasilkan apapun. Aku merasa gagal sebagai seorang ketua. Aku tidak dapat melindungi anggota- anggotaku. Dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat bagaimana puluhan kadet yang menyongsong pagi dengan wajah penuh harapan harus menghadapi takdir mengerikan; menjadi makanan bagi makhluk abnormal itu. Beberapa kadet lainnya memang berhasil kuselamatkan, tetapi jumlah para prajurit yang berangkat dibandingkan dengan mereka yang berhasil kembali berkurang sangat drastis. Saat itu aku benar- benar merasakan yang namanya kehilangan semangat juang, kehilangan semangat hidup sehingga seluruh tubuhku menjadi terasa sangat lemah. Aku bahkan tidak merasakan sakit saat aku terjatuh dari kudaku, membuat semua kadet yang berada di sekitarku terkejut dan panik, tetapi tidak ada yang mampu bergerak untuk sekedar menghampiriku. Aku dapat melihat sosok si naïf Eren dan gadis cantik yang selalu menemaninya, Mikasa memacu kudanya kearahku yang kini terbaring di hadapan titan tanpa perlawanan. Dan kejadian selanjutnya terjadi secepat kilat; seekor kuda dengan kecepatan tinggi berlari kearahku dan dengan sigap mengambil posisi di depanku. Entah siapa orang bodoh yang mau repot- repot melakukannya untukku… Tunggu.

Orang bodoh? Harusnya aku mengetahuinya.

Sosok yang memunggungiku saat itu, aku berharap bukan satu orang itu. Betapa sungguh- sungguhnya aku memohon pada Tuhan kala itu. Kumohon, saat ia membalikkan badan, jangan biarkan aku melihat wajah indahnya. Rambut blonde berkilauan yang sama indahnya seperti hari kemarin, bahu kecil dan tangan kurus itu… Ia pun menghadap kearahku dan menatap dengan irisnya yang indah, hanya saja kali ini matanya mengguratkan pilu yang menusuk hatiku. Seperti tidak ada apapun yang terjadi, ia tersenyum penuh ketulusan.

Tidak.

"Maafkan aku ya."

Tidak. Hentikan.

"Aku mencintaimu, Jean Kirstein."

Hentikan.

Tangan besar itu menepis sang malaikat beserta kudanya dengan kasar, membuatnya melayang tinggi di angkasa dan menghantam tanah dengan keras di detik berikutnya. Malaikat yang telah memberi makna setiap detik episode hidupku itu kini tersangkut didalam sebuah belukar, masih tersenyum walaupun dihiasi cairan merah disana- sini.

"ARMIN!"


Sulit dipercaya bahwa setelah kejadian mengerikan itu, kau masih diberi Tuhan kesempatan untuk hidup, Arminku sayang. Tahukah kau, saat Komandan Erwin memberitahu padaku bahwa engkau belum sepenuhnya meninggalkan dunia ini? Aku begitu bahagia. Tetapi sungguh, aku sangat malu jika harus kembali bertemu denganmu. Setelah kejadian itu, aku mengalami shock berat dan tidak sadarkan diri seharian penuh (aku sungguh seorang pecundang). Hari- hari yang kujalani keesokan harinya pun terasa sangat kelabu. Sempat beberapa kali aku berpikir untuk menyusulmu, tetapi aku bukan seorang pemberani yang dengan mudahnya membuang hidupku. Kau mungkin akan melihat aku yang sangat nista; dengan aura suram mengelilingiku. Seorang ketua yang gagal menyelamatkan kelompoknya, bahkan gagal menyelamatkan dirinya sendiri. Kau pikir aku masih bisa menghadapimu dengan sosok menggelikan begini?

Pada hari dimana Komandan Erwin memperbolehkanku melihatmu setelah sekian lama, ia berkata sesuatu yang membuatku merasa sangat tertekan.

Setelah bertemu dengannya, tolong jangan kembali menyalahkan dirimu atas semua hal yang terjadi. Lelaki ini sangat beruntung karena masih bisa kembali, jangan memperburuk kondisi mentalmu dan dia.

Yah, ini memang salahku. Aku bukan seenaknya menyalahkan diri. Mendadak aku merasa sangat takut. Timbul keraguan untuk menemui malaikatku; yang sayapnya telah dirobek paksa oleh seorang iblis yang berlagak melindunginya.

Begitu aku masuk kedalam kamarmu, kau tahu, Armin? Aku langsung berlutut dan menangis tersedu melihat sosokmu. Apakah ini nyata? Apakah ini bukan proyeksi dari batinku yang telah putus asa? Kau; dengan senyummu yang rupawan seperti biasa, menyambutku dalam diam. Kuhampiri sosokmu yang tengah terduduk manis di sebuah kursi beroda, dan kusentuh tanganmu yang lebih pucat dari biasanya, lalu telapak tangan ini berpindah menangkup wajahmu. Kutatap nanar engkau yang tetap tersenyum, dengan mata yang menatap lurus entah kemana.

"Sentu…han ini… je..an?" kau mengucap namaku dengan susah payah, dengan suaramu yang kini terdengar lebih serak. Aku mengangguk tanpa memedulikan bulir air mata yang membanjiri mataku.

"I…ni… be… nar… j… jean?"

Aku kembali mengangguk, tetapi kau tidak merespon. Akhirnya aku menyadarinya. Kau kehilangan penglihatanmu. Kemampuan bicaramu pun berkurang. Kau bahkan kehilangan fungsi alat gerakmu. Ya Tuhan, maafkan aku karena berpikir bahwa akulah orang yang paling menderita dalam insiden ini. Maafkan aku yang tidak menyadari penderitaan sosok tanpa dosa di depanku ini. Kudekatkan bibirku ke telinganya, dan kubisikkan jawabanku pelan.

"Ya, ini aku, Armin… Ini Jean…" ucapku, masih terisak, "Maafkan aku."

Kau menggerakkan tanganmu perlahan. Beberapa perawat mendekatinya, memberi komando agar kau tidak memaksakan diri. Tetapi seperti yang aku duga, kau tidak mematuhi mereka, Armin. Aku juga masih dapat mengingatnya, saat kau menyentuh wajahku lembut (kau tahu, pada awalnya yang kau pegang itu dahiku loh, bukan pipiku). Saat itu kau mengatakan sebuah kalimat yang membuatku semakin menyadari, betapa mulianya dirimu. Betapa hancurnya hidupku jika tidak bersamamu. Betapa aku tak bisa dengan yang lain, selain dirimu. Betapa beruntungnya aku bertemu denganmu.

"Bu…kan… sa…lah…jean…" tuturmu dengan penuh susah payah. Air mata mengalir dari pelupuk matamu, tetapi kau masih saja tersenyum padaku, "Jean…pri..a…yang…he…bat…"

Setelah itu, aku telah memikirkan banyak hal tentang kita berdua. Aku mulai bekerja serabutan di sela- sela kesibukanku, mengumpulkan semua uang tabunganku, dan membeli sebuah rumah kecil di wilayah yang cukup aman dari jangkauan titan. Aku tahu kalau kau telah kehilangan satu- satunya keluarga yaitu kakek yang sering kau ceritakan kepadaku. Kau juga telah resmi keluar dari Pasukan Penyelidik, jadi aku memutuskan untuk membelikan sebuah istana kecil spesial untukmu. Aku juga memutuskan bahwa aku akan tinggal disana bersamamu. Yah, memang tidak mudah berkompromi dengan beberapa orang (sebut saja Komandan Levi dan Erwin atau si bodoh Eren yang setiap detik bertanya tentang keadaanmu), tetapi akhirnya masalah ini telah terselesaikan dengan lancar. Hari saat aku memboyongmu ke istana kecil kita, kau menangis saat menyentuhkan telapak tanganmu di gagang pintu keemasan itu. Kau membombardirku dengan jutaan pertanyaan yang membuatku pusing sendiri. Karena itu pulalah kau mulai bisa berbicara lancar walau tak seperti sedia kala. Aku sangat bahagia melihatmu yang kembali ceria, berbicara tentang dekorasi ini itu, bertanya dengan heboh tentang bagaimana cara aku mendapatkan buku- buku kesukaannya dalam versi huruf Braille, ingin mencoba memberi makan burung yang selalu mampir ke halaman kecil kami untuk sekedar bertengger di tali jemuran… Aku benar- benar merasa hidup kembali saat melihat kebahagiaanmu, kau tahu?

"Jean… kenapa kau… menghabiskan uangmu… demi aku?"

Suatu saat kau bertanya seperti itu, saat kita sedang duduk berdekatan di halaman kecil yang kini sudah dipenuhi tanaman bunga dan herbal seperti yang ada di buku favoritmu. Mendengar pertanyaan klise semacam itu, aku hanya bisa tertawa dan mengelus kepalamu pelan.

"Karena aku mencintaimu. Aku ingin hidup bersama denganmu," ucapku sambil menatap wajahmu yang memerah.

"Aku… aku punya… masalah pendengaran sedikit…"

"Dasar, kau bohong ya? Aku tahu kau tidak bisa mendengar sesuatu dengan radius yang cukup jauh darimu, tapi kalau sedekat ini tidak bisa… yang benar saja?"

Kukecup pipimu lembut, dan wajahmu pun menghadap kearahku. Sempat kurasakan sakit yang menusuk saat melihat tatapan kosongmu, tetapi saat aku mulai menyalahkan diriku, kembali kau menyejukkan sanubariku.

"Jean… selalu tahu… apapun… tentangku ya…," kau berucap perlahan, "Aku… tidak menyesali… setiap detik hidupku… bersamamu…"

Aku tertegun mendengar pengakuannya. Mengapa… Mengapa kau masih bisa berkata seperti itu tanpa ada rasa benci terhadapku, cintaku? Mengapa kau selalu saja terlihat kuat di depanku? Sedalam apa kau menyimpan segala deritamu hingga aku tak dapat menjangkaunya dengan tanganku?

"Armin Arlert," ucapku mantap. Sepertinya ini adalah saat yang tepat, "Maukah kau menjadi teman hidupku dalam suka dan duka hingga ajal menjemput?"

Kukeluarkan kotak cincin yang telah lama kulupakan sejak tragedi itu, dan aku memutuskan untuk mempersembahkannya pada hari ini untuk kau, calon pendamping yang sangat aku cintai. Wajahmu terlihat sangat terkejut; sangat manis. Kugenggam tangan kurusmu dan kudekatkan kotak yang telah dibuka itu agar kau dapat memastikan benda apa yang telah kupercayakan padamu. Kembali kau meneteskan air mata, dan anggukan pelanmu pun menjawab sebuah keputusan masa depanku; sama persis dengan jawaban saat pertama kali aku menyatakan perasaanku. Kupasangkan cincin itu di jari manismu, kemudian kubimbing tanganmu untuk menyematkan cincin pasangannya di jari manisku. Kita tertawa beriringan dan kuhapus bulir air mata yang mengalir tak henti- hentinya di pipimu.

"Jean… memangnya… sesama pria… boleh… menikah?"

"Kalau tidak boleh, kita akan jadi pasangan pria pertama untuk meresmikan hukum pernikahan baru di Shiganshina."

"Aku… tidak sabar… menjadi suami… Jean…"

"Hei, hei. Siapa bilang kau suaminya, hah?"

"Haha… jadi istri pun… aku… tidak keberatan… asalkan… bersama Jean-"

Kau tiba- tiba terdiam dan menyandarkan kepalamu di bahuku. Rambut indahmu yang tertiup angin sepoi- sepoi tersibak hingga sebagian dari helaian itu mengenai wajahku.

"Kau kenapa, Armin?"

"Hanya… sedikit… pusing…"

"Mungkin kau terlalu banyak membaca buku. Ayo kuantar ke kamar tidur," ucapku sambil menggendong Armin yang kini tertidur dengan lelap dalam dekapanku.


Sudah beberapa bulan kami tinggal bersama, dan aku merasakan kebahagiaan yang amat sangat. Armin juga sudah bicara dengan lancar. Hari ini, seperti biasa kami sarapan pagi bersama sebelum aku berangkat kerja.

"Jean," kau memanggilku sambil memegangi sebuah mug yang entah kenapa terlihat sangat berat saat kau memegangnya, "Jangan lupa minum air."

Aku yang sedang mengunyah roti pun sontak terkejut dan dengan sigap mengambil mug itu dari tanganmu. Dasar Arminku, sudah kubilang kau tidak perlu menyiapkan keperluanku. Tapi masih saja kau melakukannya. Saat aku mengomelimu tentang hal- hal semacam itu, kau pasti akan membela diri dengan berkata, 'jangan menyerobot tugas istrimu, Jean' (yang sukses membuatku merasa malu saat menatapmu, dasar kau kurcaci manisku). Hari ini pun hal yang sama terulang kembali, dan aku hanya bisa berkata 'lain kali lakukan pekerjaan ringan saja' yang dibalas anggukan mantap olehmu. Setelah mencuci piring bersama (yang tentu saja akan diam- diam kau lakukan sendiri saat aku pergi bekerja), aku pun mengenakan seragam Pasukan Penyelidik yang akhirnya sudah berani kusentuh tanpa teringat apapun. Armin hanya memandang dari belakang, kemudian tersenyum manis.

"Jean keren sekali," ujarmu polos, "Aku jadi ingin terus berdampingan dengan Jean walaupun sudah meninggal sekalipun."

"Darimana kau mempelajari kata- kata itu?" sergahku kesal karena dia menyinggung kata- kata yang sama sekali tidak lucu di telingaku, "Hentikan."

"Aku hanya ingin bilang kalau aku ingin dimakamkan berdampingan denganmu, Jean. Salahkah?"

Aku berbalik menatapmu, Arminku; yang sedang memandangku sayu. Kini aku sudah tidak terganggu dengan tatapan mata kosongmu yang menyayat, tetapi aku masih merasa begitu sedih; terutama saat mendengarmu menyampaikan keinginan dengan nada memelas seperti tadi. Aku pun berjalan mendekat dan bersimpuh didepanmu. Kupegang erat kedua tangan itu dan kutautkan jemariku di sela jemari mungilmu.

"Akan lebih baik jika saat ajal tiba, ia menjemput kita berdua bersamaan. Iya kan?" ucapku, yang hanya dibalas anggukan olehmu; dengan bulir air yang terkumpul di ujung matamu, "Karena aku tidak mau meninggalkanmu sendirian. Sendirian itu tidak enak."

"Maafkan aku yang pernah meninggalkanmu, Jean," isak tangismu mulai pecah. Rasanya aku tidak kuat menatap pemandangan di depan mataku, "Aku juga… Sampai nanti pun ingin bersama denganmu."

"Tidak, aku yang harus meminta ribuan maaf padamu, Armin Arlert."

Atmosfir pagi ini terasa sangat berat. Betapa beratnya aku melepas pelukanmu, Armin. Betapa sulitnya aku tersenyum dan melambaikan tangan di seberang pintu, dan berjalan keluar dari istana kecil kita. Tetapi hari ini pun aku harus berjuang keras untuk menghidupi seorang pria yang sangat aku cintai, yang telah tuhan bawa kembali padaku dengan keajaibanNya. Aku pun mulai memacu kudaku keluar tembok dan mencoba menghilangkanmu dari pikiranku untuk sementara. Ekspedisi kali ini berjalan cukup lancar. Tetapi detik terakhir disaat kami telah menangkap satu titan untuk dibawa pulang, makhluk mengerikan itu mulai berteriak keras dan memanggil kawanan yang entah darimana datangnya. Kali ini aku berhasil melumpuhkan beberapa titan dan membimbing rekan satu formasiku untuk menjauhi titan. Tetapi saat aku menoleh ke belakang, alangkah terkejutnya aku menemukan 2 kadet yang kehilangan kudanya; sedang berlari dari titan yang semakin lama semakin mendekat.

Aku tak bisa tinggal diam.

"Connie, Sasha, kau bawa anggota formasi kita ke arah tembok sekarang."

"Tunggu, kau mau kemana Jean!" pekik Connie dengan air muka khawatir, "Hei! Kenapa kau memutar arah kudamu!"

"JEAN!" teriakan Komandan Erwin menggema di udara, tetapi tidak sedikitpun kuputuskan untuk mundur, "KEMBALI KE FORMASI!"

Kupacu kudaku lebih cepat menuju 2 kadet yang kini telah terkulai tak berdaya. Seorang kadet yang kukenali; Eren sedang menopang seorang kadet yang tak aku kenali. Ah, mungkin ini juga yang kau rasakan saat kau memutuskan untuk menolongku, Armin. Kudaku berlari ke depan mereka. Kucoba mengulurkan tangan, tetapi detik- detik setelah itu… Aku tidak dapat mengingatnya. Seperti dihimpit oleh dinding berduri, tubuhku terasa sakit dan remuk hingga ke tulang. Suara- suara gaduh yang terdengar perlahan semakin sayup, dan aku tak bisa memfokuskan pandanganku.

Sudah tiba akhirnya, ya?

Armin Arlert, istriku tersayang. Maafkan aku. Maafkan aku yang mungkin tidak akan mampu memenuhi janji- janjiku. Maafkan suami yang tak dapat menjadi pelindungmu. Sampai nanti pun… Aku ingin selalu bersama denganmu.