SARANGHAEYO

.

.

.

Disclaimer : Masashi Kishimoto

mysticahime™

2010 ©

.

.

.

-Don't Like Don't Read-

NEED NO FLAMES HERE

.

.

.

"Annyeong~"

Sakura alias Kim Soon Hae menyapa pengunjung yang baru masuk melalui pintu café tempatnya bekerja selama beberapa bulan ini dengan senyum ceria yang menghiasi wajah manisnya. Pekerjaannya sebagai waitress mewajibkannya untuk terus tersenyum, bukan hal yang sulit baginya, karena pada dasarnya Sakura adalah gadis yang periang.

"Nuna." Orang yang baru masuk itu menyapa Sakura dengan singkat, lalu duduk di salah satu meja. Sakura menghampirinya.

"Son Hyeok-a~" sapa Sakura sambil tersenyum pada tamunya itu.

Sasuke alias Park Son Hyeok hanya meringis ketika mendengar Sakura menyebutkan nama Korea-nya. Lelaki berambut raven itu akhirnya memilih untuk membuka buku menu dan memilih asal sebuah menu minuman di sana dan memesannya.

Dengan cekatan Sakura mencatat pesanan Sasuke, lalu melenggang pergi ke balik meja kasir setelah menyelipkan bolpoin dan kertas pesanan itu di saku seragam pelayan café-nya yang didominasi oleh warna biru muda.

Dan apa yang dilakukan Sasuke? Ia malah menelungkupkan wajahnya di atas meja dan... tidur!

.

.

.

"Hei Nuna~" Sasuke memanggil Sakura saat mereka sedang berjalan pulang di tengah keremangan malam. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Lampu-lampu di tepi jalan Onjuro menyala temaram, seolah-olah sengaja meredupkan sinarnya.

"Ada apa?" tanya Sakura tanpa menoleh. Gadis itu terlalu sibuk mengamati pemandangan Seoul di malam hari, yang memang selalu tampak indah dan gemerlap seolah ditaburi ratusan lampu yang berwarna-warni.

"Mengapa kau tidak mau mencari pekerjaan lain?" tanya Sasuke ingin tahu.

Sakura menoleh dan menatap mata onyx Sasuke. "Hmmm..." gumamnya. "Aku suka bekerja di café. Bagaimana denganmu?"

Sasuke hanya diam, tidak mau melanjutkan percakapan itu. Sakura melirik Sasuke selama beberapa saat, kemudian kembali menikmati pemandangan malam kota Seoul. Bagi Sakura, pemandangan malam kota Seoul memiliki kemewahan tersendiri. Di malam hari, Seoul tampak begitu indah seperti kotak harta karun yang berkilauan, dan memberikan sensasi tersendiri bagi orang-orang dengan ekonomi pas-pasan seperti Sakura dan Sasuke, meskipun Sasuke sendiri tidak terlalu peduli dengan keadaan ekonomi keluarganya.

Keduanya berjalan menyusuri trotoar dalam diam, kemudian berbelok ke sebuah jalan yang agak sempit dan merupakan blok apartemen murah yang menjadi tempat tinggal mereka. Dengan hati-hati mereka menaiki undakan-undakan tangga besi berkarat yang mengarahkan mereka berdua ke ruang apartemen yang mereka sewa, ruangan 302 di lantai tiga. Sakura menatap punggung Sasuke yang terbungkus jaket parasut biru tua. Sebenarnya Sasuke memerlukan jaket yang lebih tebal daripada jaket parasut itu, mengingat sebentar lagi musim dingin akan tiba. Namun perekonomian keluarga mereka yang terbatas membuat hal-hal sepele seperti masalah jaket yang kurang tebal pun terlupakan.

"Dongsaeng~" Dengan pelan Sasuke memanggil Sasuke. Sasuke tidak bergeming. Suara yang terdengar hanyalah suara langkah-langkah mereka, suara sol sepatu yang berbenturan dengan pijakan tangga besi yang mereka injak.

Tap. Tap. Tap.

"Son Hyeok-a~" panggil Sakura lagi.

Tap. Tap. Tap.

"Sasuke!" Kali ini Sakura setengah berteriak. Lelaki yang berjalan di depannya pun menoleh dengan senyuman sinis terulas di bibirnya.

"Lain kali, panggil aku dengan nama 'Sasuke'," kata Sasuke dingin, "atau kau keburu mati sebelum aku menoleh."

Sakura menghela nafas. Adik tirinya ini sangat membenci Korea, terutama setelah Sakura membawanya ke sini untuk merangkai garis kehidupan baru. Memperbaiki kehidupan mereka. Bukankah itu alasannya membawa Sasuke ke sini? Menata hidup yang lebih baik? Tetapi, pada kenyataannya, Sasuke sangat membenci Korea, lebih dari apapun.

"Park Son Hyeok adalah namamu," balas Sakura.

Tanpa diduga, Sasuke berbalik dan menghadang Sakura yang berdiri dua undakan di bawahnya. Dengan keadaan seperti itu, Sasuke tampak jauh lebih tinggi dari Sakura, meski pada keadaan sejajar, tinggi mereka hanya terpaut dua belas sentimeter. Sakura tersentak saat melihat kilatan emosi pada mata Sasuke.

"Nuna, mengapa kita harus memakai nama Korea? Kita kan orang Jepang!" Kata-kata Sasuke memberondong Sakura sehingga gadis itu terbengong-bengong sejenak. Tapi Sakura berhasil mengendalikan dirinya dari kekagetan itu dan membalas.

"Kita tinggal di Korea! Dan lagi, Sasuke, kau juga memanggilku 'nuna' kan? Itu bahasa Korea!" balas Sakura tak kalah keras.

"Teman-temanku menyuruhku untuk memanggil seorang kakak perempuan dengan sebutan 'nuna'." Sasuke membuang muka. "Padahal aku tidak pernah menganggapmu sebagai kakakku."

Sakura naik satu undakan. Sekarang dengan mudah ia dapat menyentil kening Sasuke yang sedang agak menunduk.

"Aku lebih tua setahun darimu, babo." Ia menjulurkan lidahnya, kemudian memaksa kakinya untuk naik ke undakan yang sama dengan Sasuke. "Nah, ayo kita pulang. Udara mulai terasa dingin, dan aku sudah merasa lelah karena bekerja tiga shift sekaligus di café!"

Gadis berambut bubble gum itu menggamit lengan kanan Sasuke dan menggandengnya ke pintu apartemen mereka.

Sasuke mengamati sosok Sakura yang sedang memasukkan anak kunci ke lubangnya, kemudian memutar kunci tersebut dan membuka pintu.

Aku memang tidak pernah menganggapmu kakakku, Sakura... Aku mencintaimu...

.

.

.

"Soon Hae!"

Sakura menoleh pada orang yang memanggil nama Koreanya, seorang gadis Korea-Inggris berambut pirang dan bermata biru yang mempunyai nama Cho In No, atau biasa dipanggil Ino. Ino adalah teman bekerja Sakura di café itu. Mereka sebaya, dan sama-sama cantik, sehingga selalu menjadi obyek pencuci mata para pengunjung pria di café tersebut. Dengan malu-malu, Ino mendekati Sakura dan membisikkan sesuatu di telinga gadis pink itu.

"Soon Hae-a~ di mana dongsaeng-mu itu?" bisiknya dengan nada genit.

"Dongsaeng?" tanya Sakura. "Maksudmu... Son Hyeok?"

"Benar sekali!" Ino menjentikkan jari-jarinya yang lentik tepat di depan wajah Sakura, membuat gadis itu mengerjap beberapa kali. "Di mana dia?"

"Ehh... Son Hyeok... sedang... di sekolahnya," Sakura kembali mengelap gelas-gelas bening dengan sehelai lap berwarna putih.

"Apa ia akan datang sore nanti?" Ino masih berusaha mengorek informasi dari Sakura.

"Entahlah." Tangan Sakura meletakkan salah satu gelas tersebut di atas rak panjang yang berada di atas bak cuci. "Terkadang aku pulang sendiri bila Son Hyeok ingin bermain bersama teman-temannya."

"Mengapa kau tidak menelepon ponselnya?" Ino menyambar sehelai lap putih lainnya dan mulai membantu Sakura mengelap gelas-gelas yang baru selesai dicuci itu. Sakura melirik Ino sekilas, dan ia tahu maksud temannya itu membantunya. Ia ingin pekerjaan Sakura cepat selesai sehingga bisa menanyakan hal-hal lain mengenai Sasuke.

Sakura menghela nafas panjang.

"Baik aku maupun Son Hyeok sama-sama tidak memiliki ponsel. Kami lebih mementingkan hal-hal lain selain ponsel," katanya datar. Tidak sepertimu, Nona Cho. Kami harus bekerja keras demi memenuhi kebutuhan kami dan biaya sekolah Sasuke. Kami bukan orang kaya yang bekerja di café semata-mata hanya untuk mencari pacar! Tapi Sakura tidak mengucapkan bagian terakhir itu. Kata-kata pedas yang sedikit kasar itu dapat merusak hubungannya dengan Ino—hal terakhir yang ia inginkan saat ini.

"Ah~" Ino mengangguk mengerti. "Tapi kurasa, di waktu-waktu seperti ini, kau dan Son Hyeok perlu—"

Klinting~

Bel yang sengaja digantung di atas pintu café berdenting nyaring. Sakura sontak menyapa sang pengunjung café.

"Annyeong~" Ia memasang senyum selebar mungkin, sedangkan Ino mencuri-curi pandang pada tamu yang baru datang itu.

"Nuna." Sasuke alias Park Son Hyeok masuk ke dalam café dengan keadaan berantakan. Kemeja putih seragamnya tampak awut-awutan dan bernoda di beberapa bagian. Noda lumpur dan... darah? Sakura segera mengamati wajah Sasuke. Hidungnya berdarah dan beberapa bagian wajahnya lebam biru kehitaman. Pelan-pelan Sakura menyentuh salah satu lebam di wajah Sasuke itu. Sasuke meringis.

"Apa yang terjadi?" tanya Sakura.

Sasuke mendecih kesal. Ia menjauhkan wajahnya dari tangan Sakura.

"Mereka," geramnya, "orang-orang Korea tolol itu!" Ia mengumpat berbagai macam umpatan yang ia tahu dalam bahasa Jepang. Sama sekali tidak seperti Sasuke yang biasanya. Sakura membimbing Sasuke duduk di salah satu kursi yang berada di pojok café, lalu pergi ke dalam ruangan khusus staff untuk mengabil kotak P3K. Ino mendekati Sasuke yang sedang duduk dan berwajah masam.

"Siapa yang melakukannya?" tanya Ino. Sasuke menoleh dengan tanpa ekspresi. Mata onyx-nya dengan tajam menatap mata aquamarine Ino. Sekali lagi ia mengumpat dalam bahasa Jepang yang tidak dimengerti Ino.

"Ceritakan padaku," pinta Ino, setengah merengek. "Aku tidak akan membocorkannya pada siapapun."

Sesaat Sasuke tampak ragu, namun Ino terus mendesaknya.

"Ada segerombolan pria tukang mabuk di jalanan dekat apartemen yang menyukai nuna," katanya, lalu ia mendecih. "Saat aku lewat tadi, mereka tertawa-tawa dan menunjukku, mengatakan hal-hal yang tidak sopan mengenai nuna, dan berkata akan meniduri nuna saat ia pulang kerja nanti. Aku tidak bisa menerima hal itu, jadi aku memukulnya."

Ino menutup mulutnya dengan kedua tangan.

"Astaga, betapa gilanya mereka!" desis Ino.

"Mereka siapa?" Terdengar suara lembut Sakura dari belakang. Sasuke dan Ino serempak menoleh ke arah suara Sakura. Gadis berambut bubble gum itu sedang memegang kotak P3K dan segera berjalan menghampiri Sasuke.

"Bukan siapa-siapa," Ino langsung berbohong.

"Teman-teman sekolahku." Sasuke memberikan jawaban lain ketika ia melihat raut wajah Sakura yang tampak tidak percaya. "Kau tidak percaya padaku, Nuna?"

Sakura terdiam mendengar kata-kata Sasuke, lalu tanpa banyak bicara ia mengobati luka-luka Sasuke. Dikompresnya lebam-lebam biru kehitaman itu dengan es batu, sementara itu ia menyeterilkan luka-luka di lengan Sasuke dengan cairan antiseptik yang berada di dalam kotak P3K itu. Sasuke meringis.

"Sakit?" Gadis itu mendongak dan menatap mata onyx Sasuke dengan mata jade-nya. Sasuke berhenti meringis.

"Tidak," katanya kaku, membuat Sakura tersenyum lebar.

"Bagus!" katanya dengan semangat. "Itu baru namanya dongsaeng-ku! Seorang laki-laki harus kuat menahan rasa sakit."

Sasuke terus mengamati Sakura yang kini membubuhkan cairan betadine ke atas lukanya, kali ini tidak bereaksi sama sekali. Kini kulit putih Sasuke tampak berhiaskan warna-warna merah kecoklatan dari cairan betadine yang akan menyembuhkan luka-luka yang dideritanya.

"Ne, Otouto~" Untuk pertama kalinya setelah sedemikian lamanya tinggal di Korea, Sakura memanggil Sasuke dengan panggilannya ketika masih di Jepang dulu. "Berhati-hatilah dengan orang-orang Korea, oke? Mereka sedikit mendiskriminasi orang-orang Jepang," lanjut gadis itu dalam bahasa Jepang karena ia sadar ada Cho In No di sana, dan Ino adalah orang separuh Korea. Dan Sakura tidak ingin menciptakan masalah yang akan mempengaruhi kehidupan mereka di Korea dengan mengucapkan kata-kata yang relevan dengan unsur SARA itu.

Untuk beberapa saat Sasuke diam mengamati luka-luka yang dideritanya, sejurus kemudian ia menatap wajah kakak tirinya.

"Hn, baiklah..." jawab Sasuke dalam bahasa Jepang pula. Sakura menyunggingkan senyum manis, lalu membelai-belai rambut emo Sasuke dengan tangan kanannya.

.

.

.

"Korea?" Lelaki yang berusia sekitar lima belas tahun itu menatap sosok gadis yang berdiri di hadapannya dengan wajah tak percaya. Gadis berambut kembang gula itu berusia sekitar setahun lebih tua, walau tinggi si anak lelaki sedikit melampaui tinggi tubuhnya. Gadis itu mengangguk dengan ekspresi serius yang terpatri kaku di wajah cantiknya.

"Sasuke, kau dan aku sama-sama tidak menyukai keadaan okaasan dan otousan di rumah. Suasana rumah kita kacau. Tidakkah kau berpikir begitu?" tanya gadis itu tanpa melepaskan tatapannya dari Sasuke.

"..."

Tanpa membiarkan detik-detik berlalu sementara ia menunggu jawaban dari Sasuke, gadis itu melanjutkan pembicaraan.

"Dan aku memutuskan untuk pergi, keluar dari Jepang. Aku akan pergi, ke Korea..."

"Mengapa oneesan harus pergi ke Korea? Bukankah oneesan selalu ingin kuliah di Harvard? Mengapa tidak pindah ke Amerika saja?" Tanpa sadar Sasuke memotong kata-kata kakak tirinya, Sakura, yang belum selesai. Sakura menatap Sasuke.

"Korea adalah tempat Satsuki-kaasan dilahirkan," desah Sakura. Ia selalu sedih bila mengingat almarhumah ibunya, Haruno Satsuki, yang meninggal ketika ia menginjak usia tiga tahun. Enam tahun setelah kehilangan itu, Sakura mendapatkan seorang ibu baru, Uchiha Mikoto, dan juga seorang adik tiri yang berusia setahun di bawahnya, Sasuke. "Lagipula, aku mempunyai nama Korea."

"..."

Dengan pelan, Sakura memukul bagian belakang kepala Sasuke. "Jangan diam saja begitu, baka," katanya. "Aku perlu tanggapanmu."

"Hn..." Sasuke menggumam sambil membuang muka.

"Apa?" Gadis itu tahu bahwa Sasuke ingin mengucapkan sesuatu.

"Tidak jadi." Sasuke berbalik membelakangi Sakura, kemudian berjalan pergi dengan kedua tangan terselip di saku celananya.

"Hei, HEI!" Sakura mengejar langkah Sasuke dengan setengah berlari, dan pada akhirnya ia berhasil menangkap sebelah pundak Sasuke. Sasuke menoleh sedikit dan menaikkan sebelah sudut bibirnya, membentuk senyuman yang seolah berkata 'apa?'.

"Pasti... ada yang ingin kau katakan padaku," duga Sakura.

Sasuke tersenyum lagi. Sakura selalu tahu apa yang ada di hatinya, bahkan bisa menebak gelombang otaknya. Hanya Sakura-lah yang mengerti. Kakak tirinya...

"Jangan tersenyum-senyum terus!" Sakura mencubit pipi kiri Sasuke dengan tangan kanannya, sehingga raut wajah rupawan Sasuke berubah menampilkan ekspresi aneh yang tidak pernah ditunjukkannya, bahkan saat lelaki berambut raven biru tua itu masih kecil sekalipun.

"..."

"Ck!" Sakura mendecak kesal melihat reaksi Sasuke yang lagi-lagi diam. "Jangan bilang kau sedang berpura-pura bisu lagi."

"Hn, aku tidak pernah berpura-pura bisu." Jawaban Sasuke membuat mata emerald Sakura melebar.

Dan sebelum Sakura membalas perkataan Sasuke, laki-laki itu telah memeluknya, membuat kedua mata Sakura semakin melebar. 'Memeluk', itu adalah hal yang paling jarang dilakukan oleh Sasuke. Pada siapapun, pada gadis-gadis yang bergantian mengajaknya keluar saat malam minggu, pada ibunya sendiri...

"Aku punya nama Korea juga," katanya di balik helai-helai rambut pink Sakura yang beraroma shampoo cherry. "Aku akan ikut denganmu..."

Aku akan selalu menjagamu. Aku mencintaimu... Tentu saja dua kalimat terakhir itu hanya tersengkut di tenggorokan Sasuke, setidaknya sampai saat ini...

.

.

.

"Soon Hae!"

Lagi-lagi Ino membuyarkan lamunan Sakura. Gadis berambut pirang panjang itu menggeleng-geleng melihat Sakura terus membersihkan kaca jendela café yang sama dalam kurun waktu sepuluh menit ini. Seharusnya, Sakura sudah membersihkan paling tidak empat buah jendela kaca, namun gadis imigran ini terus-menerus membersihkan jendela yang sama dengan mata hijau indahnya yang menerawang.

"Cho In No?" Sakura menoleh dari entah apa yang dipandanginya barusan, mata emerald-nya bertabrakan dengan mata aquamarine lembut Ino.

"Ada yang sedang kau pikirkan?" tanya gadis itu dengan nada khawatir.

Tentu saja Sakura tak dapat mengatakan bahwa ia tadi sedang melamunkan percakapannya dengan Sasuke yang terjadi dua tahun yang lalu, tepat saat mereka akan pindah ke Korea. Terlalu memalukan. Apalagi saat Sasuke memeluknya. Bisa-bisa Ino cemburu. Ya, Ino menyukai Son Hyeok alias Sasuke, adik tiri Sakura. Dan Ino percaya bahwa hubungan Soon Hae dan Son Hyeok hanyalah sebatas hubungan kakak-adik tiri pada umumnya. Sakura benar-benar tidak ingin menghancurkan hubungan pertemanannya dengan Ino. Cho In No adalah teman pertamanya di Seoul. Ia pula yang menawarkan pekerjaan di cafe ini setelah Sakura berhenti dari pekerjaan sebelumnya, florist di rumah Ino. Keluarga Cho memang mengelola sebuah toko bunga yang sudah terkenal, dan Sakura berhenti karena bermasalah dengan salah seorang florist lainnya. Mengingat hal itu, Sakura menjadi kesal. Segera ia buang jauh-jauh ingatan mengenai hal itu.

"Lupakan saja." Sakura menyelipkan sehelai rambutnya yang menjuntai menutupi wajahnya ke belakang telinga.

"Begitu..." Ino mencebikkan bibir bawahnya, namun sejurus kemudian wajahnya berubah menjadi cerah. "Hei, bisakah kau menolongku?"

"Menolong apa?"

Wajah putih Ino terlihat berbinar-binar saat mengatakannya.

"Mengatur kencanku dengan Son Hyeok."

~To Be Continued~

.

.

.

Wah, pada akhirnya Cyan membuat fict romance lagi! Hehe~ xD

Entah kenapa, waktu ngetik" Cherry Blossom, kok yang muncul di otak itu ide" fict romance yaaa? Hmmm...

Baiklah, kali ini SasuSaku dipasangkan menjadi kakak-adik tiri! *dichidori mas sasu dan dipukul mbak saku-mati di tempat*

Okeee, Cyan ga akan banyak bacot mulai sekarang~ Tapi, boleh minta review kan? :3

mysticahime™