Summary : Gadis itu terus berlari, melewati cahaya purnama yang membakar lukanya. Dan ketika sebuah pengkhianatan menghampirinya, dia bahkan tak lagi peduli dengan semak belukar yang terus mengejarnya. Bahkan ketika senyuman yang bisa menyelamatkannya lenyap. Lalu apa yang akan dilakukannya setelah ini? Terus berlari? Atau kembali ke rumah?

Disclaimer : Saint Seiya belongs to Masami Kurumada. And this fiction pure by me.

The Curse and Her Love

RnR?

-OOOooooOOOoooo-

"Terima kasih."

Seorang pria dewasa dengan rambut biru menatap gadis di depannya. Matanya memancarkan sirat kasihan dan kekhawatiran. Tak seberapa lama, saat gadis itu mulai menunduk lagi. Lalu, tangannya terulur, mengelus puncak kepala gadis itu. Dengan reflek kepalanya yang semula tertunduk kini terangkat, mata apinya menatap pria dewasa itu dengan penuh kecemasan. Banyak bimbang yang terasa di hatinya, antara ingin mengucapkan sesuatu, namun lidahnya terasa kelu untuk berucap. Dan gadis itu hanya bisa diam.

"Tidak apa-apa, jangan khawatir," Saga –pria dewasa itu menepuk-nepuk kepala gadis tersebut. Beberapa waktu lalu –atau jam– Saga menemukannya yang sedang dikejar oleh sekelompok orang, yang ia ketahui bahwa orang-orang tersebut bekerja di organisasi gelap pelelangan anak di bawah umur. Tapi yang lebih mengejutkannya lagi, saat anak gadis itu berbalik, ia langsung menghantam mereka dengan aliran bewarna kebiruan yang terpancar dari tangannya. Membuat sekelompok orang itu langsung tak sadarkan diri. Gadis tersebut memiliki cosmo.

Gadis itu masih menatapnya dengan taku-takut. "Siapa namamu?" tanya Saga.

"Shi… Sizen. Yuiri Shizen." Gadis bersurai merah itu menjelajahi proposi tubuh Saga yang sangat asing baginya.

"Kau berada di kota suci sekarang, Sanctuary. Tempat Dewi Athena dilahirkan, dan tempat di mana ksatria hebat penjaga Athena dihasilkan." Shizen mengerutkan dahinya bingung. Lalu tangannya terangkat, menyentuh zirah emas Saga, membuat ksatria itu tersenyum kecil dalam diam.

"Ini namanya cloth. Cloth sendiri terbagi menjadi tiga macam. Perunggu, perak, dan emas. Tiga macam itu juga dibedakan menjadi tiga tingkatan," Saga tersenyum, lalu menurunkan tangannya dari kepala Shizen. Ia menatap ke dalam anic orange Shizen. Jelas gadis itu masih shock atas apa yang terjadi. Awalnya Saga tak berniat menolong gadis itu, tapi saat melihat bulir air mata dan isakan yang berhasil membuat hatinya bergetar, mau tak mau Saga membawanya ikut serta ke Sanctuary.

"Dan yang kau pakai ini?" Shizen bertanya, tangannya masih menyentuh zirah emas Saga.

"Perunggu adalah tingkatan yang pertama. Dipakai oleh orang-orang yang baru menjadi saint atau ksatria Athena. Lalu yang kedua adalah silver. Sesuai dengan tingkatannya, kekuatan yang dipakai orang-orang dalam cloth silver jelas lebih kuat dibandingkan dengan perunggu," Saga mengambil napasnya, lalu tersenyum dan melanjutkan, "Dan yang terakhir adalah emas. Orang-orang dengan cloth emas tentu yang terkuat dari dua tingkatan yang lainnya. Cloth emas sendiri hanya membutuhkan 12 orang yang benar-benar kuat dari 88 rasi cloth yang ada. Kedua belas cloth emas mewakili 12 konstelasi di langit. Dan perkenalkan, aku Gemini Saga, salah satu dari 12 kstaria emas Athena, penjaga kuil ke-3, kuil Gemini."

Shizen tercengang untuk beberapa saat. Lalu setelah itu dengan cepat menurunkan lengannya dari zirah Saga. Wajahnya tertunduk, membuat Saga tersenyum geli sambil menatapnya. Shizen tentu ragu dengan pernyataan Saga. Selama ini, dia tak pernah berpikir kalau Dewa dan Dewi itu nyata, lalu orang-orang dengan ilmu sakti seperti ini ada. Bahkan saat Ibu dan Ayahnya bercerita tentang peradaban dewa di antara para manusia yang serakah. Atau saat ia tertawa dengan lucunya ketika mendengar tentang Cronos dan Gaia. Tidak sama sekali sepanjang hidupnya. Tapi saat mendengar nada kesungguhan dari Saga, membuat keraguannya goyah.

"Apakah, hal-hal seperti itu ada?" Shizen bertanya dengan suara kecil. Dan Saga nyaris meledakkan tawanya jika ia tak pandai mengontrol emosinya. Dengan kekehan kecil dari bibir Saga, ia menjawb, "Tentu saja. Banyak orang tak percaya dengan hal seperti ini. Tapi pada kenyataannya kau baru saja mengalaminya dengan dirimu sendiri," Saga mengangkat tangan Shizen, "Kau lihatkan cahaya kebiruan yang mengalir dari tanganmu tadi? Itu namanya cosmo. Kekuatan dalam, dan kami para saint menggunakan itu sebagai kekuatan utama kami."

"Itu… cosmo?" Shizen bertanya kecil, lalu mata orangenya beralih ketangannya yang sedang digenggam Saga.

"Ahh, iya," Saga berseru, "Mulai sekarang anggap kuil ini seperti rumahmu sendiri. Kau bisa tidur di kamar itu, dan menggunakan kamar mandi di sebelahnya," Saga menunjuk sebuah ruangan tak jauh dari mereka. "Dan kau, mandilah," Saga tersenyum. Shizen hanya terdiam di tempatnya, ia ingin mengatakan sesuatu, namun suaranya tercekat di tenggorokan. "Ada apa?" tanya Saga sambil menatap Shizen.

"Ano… aku tidak punya baju lagi.." wajahnya menunduk, namun itu tak juga bisa menyembunyikan semburat merah di kedua pipinya. Saga hanya bisa menegakkan bahunya, dan setelah itu menggaruk pipinya yang sebenarnya tak gatal. "Kau bisa menggunakan bajuku untuk sementara ini," ucap Saga sambil tersenyum kepada Shizen. "Sekarang mandilah. Aku akan keluar sebentar." Saga menepuk kepala Shizen, setelah itu berjalan ke luar kuil. Di belakangnya, Shizen mengikuti Saga sampai ke luar kuil. "Terima kasih banyak," ucap Shizen, kali ini wajahnya terangkat, memperhatikan Saga yang juga tengah menatapnya. "Jangan sungkan," Saga tersenyum, lalu mekanjutkan, "Aku pergi dulu. Hati-hati yaa."


Dengan langkah lesu Kanon menapaki tangga demi tangga, berjalan menuju kuilnya. Wajahnya dipenuhi luka goresan, dan ada beberapa yang tampak berdarah. Saat kakinya berada tepat di depan kuil Gemini, ia melihat seseorang dengan surai merah ruby yang kini duduk di sofa di depan TV, menggunakan bajunya pula. Tanpa aba-aba, Kanon segera berlari ke dalam kuil, dan mencengkram kedua bahu gadis itu.

"Siapa kau?!"

"Sa-… Saga?" Shizen membulatkan matanya dan keringat dingin mulai tampak di pelipisnya. Sedangkan Kanon yang mendengar nama Saga disebut melemahkan cengkramannyan di bahu Shizen.

"Saga?" tanya Kanon, bingung.

"Ne.. Kanon. Kau baru saja membuat seorang gadis ketakutan," satu lagi seorang gadis dengan surai cream muncul dari arah dapur. Di tangannya terdapat dua gelas the yang baru saja dibuatnya. Dengan cepat, ia meletakkan dua gelas itu ke meja, lalu memegang bahu Shizen dan tersenyum kepadanya. "Mitsuki? Sejak kapan kau di sini?" kerutan di dahi Kanon bertambah. Lain halnya dengan gadis merah itu, lain lagi dengan Mitsuki. "Baru saja datang, dan menemukan gadis ini di kuilmu," jawab Mitsuki dengan tenang.

"Nahh, Shizen-chan, ini Kanon, kembarannya Saga," kata Mitsuki. Berhasil membuat Shizen menolehkan kepalanya ea rah Kanon. Laki-laki itu memang mirip sekali dengan Saga, yang membedakannya hanyalah warna rambut Kanon yang lebih muda dibandingkan dengan Saga. 'Bodoh sekali aku…' ucap Shizen dalam hati.

"Shizen?" tanya Kanon, memastikan. "Yuiri Shizen. Etto, gomennasai," kata Shizen merasa bersalah kepada Kanon. Untuk beberapa menit sejak pertemuan mereka yang bisa dibilang tak begitu bagus, Kanon sudah berpikir bahwa gadis ini begitu manis dengan wajah merahnya yang hampir menyerupai warna rambutnya. Tapi tidak lama, pandangannya sudah teralih lagi oleh Mitsuki yang kini tengah menghidupkan ea rah. Kanon mengambil langkah pelan mendekati Mitsuki, lalu duduk di sebelah gadis itu sambil memainkan rambut coklat Mitsuki yang terurai.

"Jangan memainkan rambutku. Aku tidak suka!" Mitsuki menggeser tempat duduknya, memberi mereka jarak yang tak cukup jauh, dan berhasil membuat tangan Kanon menjangkaunya lagi.

"Bukankah kau harus sekolah?" tanya Saga. Saat mata birunya bergerak ea rah Shizen yang duduk tak jauh darinya, gadis itu tengah meminum the hangat yang dibuat oleh Mitsuki. "Aku sedang liburan musim panas. Daripada bosan di rumah, mending main-main kesini. Sudah lama sekali rasanya," jawab Mitsuki tanpa mengalihkan pandangannya ea rah Kanon. "Lalu kemana kakakmu?" untuk beberapa saat Mitsuki tak mengeluarkan suara. Sampai Kanon memainkan rambutnya lagi, pertanda bahwa Kanon benar-benar ingin tau tentang keberadaan kakaknya. "Teru-nii memilih menghabiskan musim panas kali ini di London, bersama teman-temannya," hela Mitsuki, dan tepat setelah itu suara batuk Shizen terdengar.

"Kau tidak apa?" tanya Mitsuki, khawatir.

"Yaa. Cukup baik," jawab Shizen. Hening. Sampai akhirnya suara Saga dari pintu kuil terdengar, membuat ketiga manusia di dalamnya segera mengalihkan pandangan mereka ke pintu.

"Kanon, aku tidak pernah lupa menyuruhmu berganti baju setelah pulang misi. Kau bukan anak kecil lagi," oktaf suara Saga sedikit membesar, dan langkahnya semakin lebar dalam mendekati Kanon lalu menjewer telinga adiknya itu.

"Ittai! Aku bukan anak kecil lagi, tidak perlu menjewerku!" balas Kanon tidak terima.

"Nahh, kau bukan anak kecil lagi 'kan?! Kalau begitu cepat bersihkan tubuhmu!"

Kanon segera berdiri dari duduknya, lalu mendecih kecil dan berjalan masuk ke dalam kamar. Sosok lain yang sama dengan Kanon hanya bisa menghela napas dalam menghadapi kebengalan Kanon yang makin hari makin menjadi. "Ini, aku belikan baju untukmu. Nanti kita akan mengunjungi Pope Chamber." Saga lalu mengelus kepala Shizen sebentar, setelah itu menyusul Kanon masuk ke dalam kamar.

"Mereka sudah biasa seperti itu 'kok. Jangan dipikirn lagi, yaa, Shizen-chan," kata Mitsuki dengan senyum manisnya. Dan anggukan adalah jawaban dari Shizen. Mereka menghabiskan waktu dengan saling menukar cerita, sesekali terdengar tawa Mitsuki yang memang lebih kencang dari Shizen. Suara-suara di TV seolah ikut menemani keduanya bercerita. Untuk beberapa saat, mereka terlihat sangat akrab.

"Jadi kau kesal karena kakakmu lebih memilih menemankan temannya ke London daripada menemanimu ke Sanctuary?" tanya Shizen. "Aku tidak akan membantunya mengerjakan PR lagi! Lihat saja dia!" Mitsuki cemberut, membuatnya tampak lucu dan manis. Lalu dengan cepat, tangannya mengambil the yang sisa separuh. Menghabiskan the itu dalam sekali teguk. Tidak lama setelahnya, terdengar suara gaduh di belakang kuil. Mitsuki lalu berdiri, melihat siapa saja yang membuat kegaduhan di siang seperti ini. Tapi sebelum sampai ke halaman belakang, si 'dalang yang telah membuat gaduh tadi menunjukan batang hidungnya.

"Henna?! Sophie?!" Mitsuki lalu menghambur ke pelukan Henna dan Sophie, sesaat mengacuhkan Shizen yang kini telah berdiri, memperhatikan beberapa orang yang kini berhamburan ke kuil Gemini.

"Siapa kau?" pria berambut coklat mendekati Shizen. Lalu matanya mengitari tubuh Shizen. Seumur-umur hidupnya, ia tak pernah melihat ada seorang gadis berambut merah di kuil Gemini. "Apa kau fans yang mau meminta tanda tangan?" dan bogem mentah dilayangkan dengan senang hati oleh Mitsuki. Kedeua gadis yang lainnya juga ikut memperhatikan Shizen. "Nahh, Shizen-chan, ini sahabat-sahabatku. Yang rambut emas itu namanya Henna, dia adik angkatnya Shaka-nii, dan yang satunya namanya Sophie, dan dia adik angkatnya Milo," Mitsuki memperkenalkan kedua sahabatnya kepada Shizen.

"Halloo, Shizen-chan," sapa Henna. Lalu disusul oleh sapaan Sophie. Kanon keluar dari kamar dengan baju yang lebih santai, disusul Saga yang berdiri di belakanganya. "Saga, ini pacarmu yaa? Wahh Saga aku tidak menyangka ternyata kau pedo," Milo menepuk-nepuk pundak Saga, tidak memperdulikan aura negative yang sudah menyebar ke segala penjuru ruangan. "Milo," desis Saga pelan. "Ya?"

"Lepaskan tanganmu itu."

Sadar akan perubahan suasana hati Saga, Milo segera mundur beberapa langkah, "Ma-maaf," ucapnya

"Dia adik angkatku. Aku akan melatihnya menjadi saint," kata Saga. Sedangkan Shizen yang mendengarnya menunjukan senyum manisnya, tak lupa dengan semburat kemerahan di kedua pipinya. Milo satu-satunya orang yang menatap Shizen lebih lama. "Hai, Shizen. Aku Scorpio Milo," sapa Milo dengan cengiran khasnya, Shizen yang melihat itu hanya bisa tersenyum dan mengangguk.

"Jadi, kami ingin pergi memancing. Kalian mau ikut?" Shura berkata saat keadaan tenang kembali. Kanon langsung sumrigah setelah mendengarnya. Tanpada disuruh, ia langsung masuk ke dalam kamar dan kembali lagi dengan peralatan memancing yang lengkap. Sedangkan Shizen dan Saga sudah menghilang di balik dapur, menyiapkan beberapa cemilan dan memasukan air ke dalam termos. Setelah semuanya beres, mereka langsung berangkat.


Shizen berjalan sendiri di barisan belakang, di depannya ada Mitsuki, Henna, dan Sophie yang sedang bercanda. Sesekali gadis itu tersenyum saat tanpa sengaja indra pendengarannya mendengar potongan-potongan percakapan mereka. Lain halnya dengan Milo, sesekali ia menoleh ke belakang atau melambatkan jalannya, dan jika sudah seperti itu, Kanon yang berada di sampingnya akan menyikut perutnya dan membuat mereka terlibat dalam satu argument panjang tak berujung. Contohnya saja seperti saat ini.

"Berhentilah untuk menggoda perempuan, Milo! Kau sudah punya Shaina!" Milo mendelik pada Kanon. Lalu tangannya terangkat dan matanya tak berhenti mengunci Kanon dengan tatapan tajamnya.

"Sudah berapa kali aku bilang, Kanon! Berhenti bicara yang tidak-tidak. Sesekali telingamu itu harus disumpal dengan ceramahnya Shaka! Aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Shaina!" jawab Milo.

"Kau jangan mengelak lagi, Mil. Orang-orang bilang kau memiliki 'something dengan Shaina,"

"Aku yakin kau akan disiksa di Tartarus, Non. Itu sudah maksiat telinga!" Camus yang sedaritadi hanya diam mendengarkan pertengkaran kecil Milo dan Kanon kini memutar matanya jengah. Dengan cepat ia menarik bagian belakang baju Milo dan berdiri di tengah keduanya. "Kau kenapa, Camus?" tanya Milo, tampak heran melihat sahabatnya.

"Hentikan pertengkaran kalian. Kanon, sudah aku bilang berapa kali kalau Milo tidak ada apa-apanya dengan Shaina. Dan Milo, jika kau ingin jalan di belakang, ke sanalah! Jangan bikin ulah di sini." Camus melontarkan kalimat panjang yang berhasil membuat keduanya terdiam. Kanon yang sudah mendekat ke Saga lagi, dan Milo yang kini berjalan di samping Shizen. Keduanya tentu masih canggung untuk saling berinteraksi. Dan memang terkadang beberapa hal yang ingin mereka sampaikan pun tercekat di tenggorokan masing-masing.

Beda halnya dengan trio yang ada di depan dua orang itu. Sophie, Mitsuki, dan Henna dengan sembunyi terpekik tertahan, mengeluarkan senyum geli saat melihat Milo dan Shizen yang tampak 'malu-malu. Dengan cerdik, mereka segera menyingkir, menjauh dari kedua orang tersebut, dan lebih memilih berjalan di depan, mengikuti rombongan gold saint yang lainnya. Ada semburat halus di kedua pipi Shizen, jangan lupakan Milo yang sedaritadi tak berhenti menatap jalanan di bawahnya.


Akhirnya pun mereka sampai di tepi sungai. Pohon berdiri tegak menyambut kedatangan mereka. Setelah menemukan tempat yang cocok untuk menyimpan barang-barang mereka, Kanon dan Aiolia langsung berdiri dan mulai memancing. Saga dan Aiolos hanya bisa tersenyum melihat tingkah adik-adiknya.

"Hati-hati, Aiolia. Jangan sampai terjatuh," Aiolis memperingati adiknya, mengundang tawa dari Kanon. Membuat pipi Aiolia bersemu sedikit karena malu. "Hentikan, Kak! Lia sudah besar!" pekiknya, dan Aiolos hanya bisa tersenyum geli melihat tingkah adiknya

Di sisi lain, tampak Milo yang sedang membantu para gadis mengemaskan barang-barang. Jangan tanya kenapa Milo mendadak rajin begitu, trik seperti ini adalah 1 di antara 1000 cara Milo untuk memikat hati wanita. Sophie adik Milo pun kini tengah mendekat ke arah kakaknya, dengan senyum ganda yang tak Milo sadari. Pria itu masih asyik menata makanan ringan yang dibawa oleh teman-temannya, asyik bersenandung ria sampai akhirnya ia menyadari sesosok manusia yang tengah mendekat ke arahnya.

"Kak Milo…" panggil Sophie.

"Iya Soph–" Milo menelan ludahnya dengan susah payah. Paham betul dengan tanda bahaya yang sebentar lagi akan berbunyi.

"Setelah ini, temankan aku ke kuilnya Henna yaa," ajak Sophie dengan senyum manisnya yang berhasil membuat Milo bergidik ngeri. Oh, jadikan ini alasan mengapa sekarang

Milo tampak 'sedikit lebih alim dari biasanya.

Tak lama setelah itu, Milo bergabung dengan kedua temannya, Kanon dan Aiolia. Beberapa goldies ada yang lebih memilih memperhatika lainnya yang sedang memancing, tak lupa beberapa cemilan yang sudah mendarat di tangan mereka. Ada juga yang sedang tiduran di bawah pohon ek raksasa tak jauh dari sana. Dan para gadis yang kini sudah membentuk lingkaran mulai bercerita tentang pengalaman mereka. "Aku berasal dari London," akhirnya Shizen mengeluarkan suaranya setelah dipaksa oleh Henna dan Mitsuki. Untuk beberapa saat Mitsuki mengerjapkan matanya, lalu, "Wahh hebat sekali! Dan kemana orang tuamu?" sungguh, Shizen tak suka arah pembicaraan ini. Sesuatu yang disebut keluarga terlalu pahit untuk diingat dan diceritakan. Sadar akan perubahan raut wajah Shizen, Mitsuki segera menatap Sophie dan Henna yang menjawabnya dengan bahu yang terangkat.

"Baiklah Shizen. Maafkan aku. Kami tak akan memaksamu jika kau tak mau," ucap Mitsuki menyesal.

"Mereka… mati… bunuh diri dan terbunuh," namun pada akhirnya pun Shizen tetap menceritakan tentang apa yang terjadi. Mungkin inilah yang disebut 'Manusia sebagai makhluk sosial' setegar apapun Shizen dalam menyembunyikan ekspresinya, dia tetap akan mencari orang untuk mendengarkan keluh kesahnya. Dan mungkin, inilah saatnya Shizen harus mulai terbuka dengan 'keluarga barunya.

"Baiklah, ini mengejutkan, tapi kami minta maaf," sekali lagi perwakilan maaf dari Henna yang diikuti anggukan dari Sophie dan Mitsuki, membuat Shizen tersenyum lembut.

"Kalian akan mendengarku bukan?" tanya Shizen. "Kalian… keluargaku," lanjut gadis itu, pelan, bahkan nyaris tak terdengar. Membuat ketiga gadis itu tersenyum lembut kepada Shizen. Lalu Sophie yang paling dekat dengannya, merangkul Shizen. "Yaa… kita semua keluargamu, Shizen," kata Sophie.

"Jadi begini. Saat itu, aku melihat Ibuku dan Ayahku yang sudah tak bernyawa di ruang bawah tanah," Shizen memulai ceritanya, "Bahkan aku tak tau kalau di rumah kami memiliki ruang bawah tanah yang sangat luas. Isinya pun sangat aneh, beberapa barang antik, seperti sabit kronos, atau lukisan wanita cantik yang aku prediksi sudah ada sejak zaman dahulu. Tapi, tidak, mereka mati dengan cara yang aneh. Ibuku, mati dengan mulut yang dipenuhi busa, seperti habis diracuni, dan di sisi pipinya, terdapat lebam biru, aku simpulkan bahwa mereka habis bertengkar hebat, dan ayahku membunuhnya menggunakan pisau yang waktu itu tertancap tepat di jantungnya," Shizen berkata dengan tenang, membuat ketiga gadis itu berpikir, 'bagaimana mungkin dia bisa tenang saat menceritakan tentang kematian ibunya?'

"Lalu bagaimana dengan ayahmu?" tanya Mitsuki hati-hati.

Shizen tersenyum sekilas, lalu melanjutkan, "Ayahku terbaring di tengah lingkaran yang ada di tengah ruangan. Lingkaran aneh, di tengah lingkaran itu ada lingkaran lagi yang ukurannya lebih kecil, tapi itu bewarna merah darah. Di lingkaran itu juga terdapat corak-corak yang aku sendiri tidak tau fungsinya apa. Anehnya lagi, ia mati dengan keadaan memegang sabit besar itu. Awalnya, aku menyimpulkan bahwa ia menusuk dirinya sendiri menggunakan sabit itu. Namun setelah aku perhatikan baik-baik, tubuhnya sama sekali tidak mengeluarkan darah. Termasuk tidak adanya jejak darah yang menempel di sabit itu. Dan–" perkataan Shizen terhenti saat mendengar teriakan Kanon yang memanggil mereka semua untuk mendekat. Mau tak mau membuat gadis-gadis itu dan beberapa goldies yang lain meninggalkan pekerjaan mereka.

Shizen berjalan di samping Sophie. Lama Sophie memperhatikan Shizen sebelum berkata, "Boleh aku bertanya sesuatu?" sesaat mereka berhenti dari langkahnya. "Tentu saja," balas Shizen. "Berapa umurmu saat melihat kedua orang tuamu tewas?"

"Enam tahun," jawab Shizen seadanya, lalu melanjutkan kembali jalannya yang sempat tertunda, meninggalkan Sophie yang tampak shock di belakang. "Bagaima… mungkin?" ucap Sophie pada dirinya sendiri, suaranya yang terlampau kecil membuat orang-orang tak akan dapat mendengarnya. 'Bagaimana mungkin di umur seperti segitu kau dapat menyimpulkan hal-hal sejauh itu, Shizen?

Baiklah, tinggalkan sejenak cerita tadi. Sekarang, fokus kepada Kanon yang mulai menjadi pusat di antara orang-orang itu. "Ayo kita bermain!" ajaknya dengan nada ceria. Membuat Saga dan yang lainnya hampir terjungkal ke belakang karena shock. "Aku pikir kau bukan anak kecil lagi," cibir Saga

"Dengar dulu," beberapa goldies yang berniat mengambil langkah kini membalikan tubuh mereka kembali. "Maksudku, ini pertim. Percayalah, permainan ini akan menyenangkan!"

"Myohahaha!... berapa umurmu, Om?" dengan indah, Kanon meluncurkan alat pancing yang sejak tadi digenggamnya ke kepala Deathmask. Membuat si empunya mengaduh kesakitan. Tapi Kanon tak menghiraukan protesan Deathmask, dan tetap fokus pada tujuannya.

"Baiklah, jadi apa rencanamu?" kini giliran Shura yang yang mengeluarkan suaranya.

"Seperti ini,"

TBC

Author Note : Halloo... setelah lama hilang dari peradaban FFN, akhirnya kembali dengan fandom kesayangan kita, Saint Seiya. Kali ini aku gak bawa MiloCamus yaa… Dan kenalkan OC pertamaku Yuiri Shizen atau yang biasa dipanggil Shimmer. Hahaha perkenankanlah aku untuk menjadikannya tokoh utama di fic kali ini. Uhh.. well, sebenanrnya aku gak ada niatan mau buat OC, tapi melihat teman-teman dengan OC mereka, jadi tertarik juga. Akhirnya, setelah bertapa 3 hari 3 malam di Bukit Sinai #plakk dengan senang hati aku meluncurkan gadis tak berdosa ini untuk ku nistai, wuahaha #EvilLaugh Well, sepertinya AN kali ini cukup panjang, dan yaa mohon kritik dan sarannya~

And big thank's for Gianti-Faith, Ketrin'Shirouki, dan AmuletWin777

.

.