Whats on Park-ssaem's Mind?

BTS fanfiction

Characters belongs to God, BTS belongs to Bighit

Minyoon

Kisah seorang guru kasmaran

.

.

.

Saya Park Jimin. Saya seorang guru olahraga di sebuah SMU swasta. Saya hanya guru biasa, tapi banyak yang melabeli saya sebagai selebitis sekolah. Mereka bilang saya punya aura artis dan tampang mendukung untuk debut sebagai anggota boysgroup atau jadi bintang iklan. Ah, saya tidak sepenuhnya setuju. Saya tidak setampan dan sehebat itu, lagipula usia saya sudah kelewat tua untuk jadi artis.

Saya tinggal di sebuah apartemen sewaan sederhana yang jaraknya tak jauh tapi juga tak dekat dari sekolah. Saya menempati apartemen itu sendirian. Masih bujang. Belum beristri apalagi beranak. Beberapa kali saya pernah berpacaran tapi tidak ada yang benar-benar membuat saya jatuh cinta. Malah saya lebih cinta pada motor gede yang saya beli dari gaji saya sendiri. Itu motor kesayangan yang selalu menemani saya setiap hari, kemana pun saya pergi.

Hampir setahun saya tak menggandeng kekasih. Saya mulai pasrah bila memang harus menua tanpa pendamping hidup. Hanya saja, di musim semi ini, ketika sakura bermekaran dan sekolah tempat saya mengajar kedatangan guru baru, hati saya ikut berbunga.

Bisa dibilang saya memiliki ketertarikan pada guru baru itu. Si guru musik baru. Min-ssaem, atau nama lengkapnya Min Yoongi. Saya merasa jatuh cinta pada pandangan pertama kepadanya. Duh, bagaimana mengatakannya ya? Dia itu bersinar bahkan dari jarak yang amat jauh sekalipun. Saya di lapangan sepak bola dan dia di jendela lantai tiga. Saya bisa melihatnya dengan jelas, seseorang berkulit seputih susu dengan rambut hitam legam. Seperti bintang diantara kegelapan malam, seperti teratai di atas lumpur. Meski Min-ssaem adalah laki-laki, tapi dia berkali-kali lipat jauh lebih memesona dibanding beberapa guru dan murid wanita yang sengaja berdandan dan bertingkah manis di depan saya.

"Park-ssaem."

Saat itu saya yang baru datang ke kantor guru langsung dipanggil oleh pujaan hati. Saya jelas gugup. Ada apa gerangan? Biasanya saya yang memanggil dia duluan.

"Iya, Min-ssaem?" saya mendekati mejanya dan dia tengah duduk santai di sana, dengan secangkir kopi yang baru saja dia taruh di dekat laptopnya. Saya gelagapan. Dia memandang saya dengan dahi berkerut dan bibir mengerucut imut.

Hm, yang bisa saya lakukan adalah menghindari tatapannya. Saya tidak sanggup. Apalagi semalam saya habis memimpikan dia.

"Anda lupa menyisir? Atau datang tak pakai helm ke sini?" saya otomatis menyentuh rambut saya sendiri. Saya pasanglah senyum kering. Sebetulnya saya yang mengacak rambut ini tadi, di toilet, saat saya merasa frustasi karena Min-ssaem hadir di mimpi saya yang tak tuntas.

"Ah, iya saya lupa menyisir..." cengengesan adalah jurus saya untuk berbohong. Min-ssaem mendecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, lantas dia mengambil sesuatu dari tasnya dan berdiri di depan saya.

"Seorang guru juga harus berdandan rapi di depan muridnya. Guru 'kan contoh. Apa kabar kalau murid Anda ikut-ikutan datang ke sekolah dengan rambut seperti singa?" sindirannya begitu manis. Saya tertawa. Ketika tangan yang memegang sisir hitam itu bergerak merapikan rambut saya, rasanya ada yang meletup-letup di dada.

Min-ssaem perhatian sekali. Saya jadi berkhayal kalau dia jadi istri saya, mungkin tiap hari saya akan disisirnya begini. Eheh...

"Terimakasih, Min-ssaem..." saya celingak-celinguk dan mendapati beberapa pasang mata memandang kami sambil senyam-senyum dan bersiul jahil. Guru-guru di ruangan ini seperti mendapat tontonan bagus jika saya sedang bersama Min-ssaem. Kalau mereka mengira kami berpacaran, saya bersyukur saja. Meski nyatanya tidak—eh, belum sampai ke situ.

"Nah, ini baru selebritis sekolah."

Saya malu. Dia memuji saya dengan senyumnya yang betul-betul manis. Saya jadi merasa tak butuh gula dalam kopi saya untuk seharian. Hanya dengan melihat senyum Min-ssaem saja kebutuhan gula saya sudah terpenuhi.

"Hari ini ada jadwal olahraga?" tanyanya.

"Iya, jam sepuluh." saya mengangguk. Dia juga mengangguk lantas tersenyum. Min-ssaem membalik badan dan tandanya obrolan pagi kami selesai. Sebelum saya pergi ke meja saya sendiri, saya lirik dia. Min-ssaem hendak menaruh sisirnya kembali ke tasnya, sayang sisir itu jatuh ke lantai. Dia membungkuk dengan cepat, dan saat itu juga saya dapat melihat bokongnya yang... ngg...

"Pakai ada acara jatuh segala 'sih." keluhnya.

Saat dia berhasil memungut sisirnya dan menegakkan tubuhnya kembali, saya masih tak bisa lepas dari bokong kencang yang tercetak pada celana katun hitamnya itu.

"Apa ada sesuatu, Park-ssaem?" dia sadar saya masih diam di tempat seperti sebongkah batu. Saya hanya memasang tampang bodoh dengan cengiran.

"Tidak ada." saya menggeleng dan cepat-cepat pergi dari mejanya. Dia mungkin memandang saya aneh, biarlah. Semoga saja yang dia pikirkan hanya saya yang kurang tidur jadi banyak melamun. Semoga saja dia tak tahu kalau saya... memikirkan bokong seksinya.

Meja saya berseberangan dengan meja Min-ssaem. Karena pembatas tiap meja, saya hanya bisa melihat dia dari ubun-ubun sampai mata saja. Andai Min-ssaem sedikit lebih tinggi, saya bisa mendapat pemandangan yang lebih jelas. Bukannya saya menyindir, hanya saja saya tak tahu harus menyalahkan siapa, saya yang mendapat posisi tak strategis, pembatas meja yang terlalu menjaga privasi, atau Min-ssaem yang kerjaannya hanya menunduk dan fokus pada monitornya terus-menerus. Di sela-sela kegiatan saya menyiapkan absensi untuk hari ini, saya mencuri-curi pandang padanya.

Beberapa lama saya tetap begitu dan Min-ssaem tetap fokus seperti robot. Hanya, saat saya hendak menuliskan tanggal di kertas absensi dan kebetulan mata saya mengarah padanya, saya tak sengaja menangkap momen yang tak terduga. Betapa gerakan sederhana namun mematikan itu mampu membuat saya menghabiskan beberapa detik untuk terdiam. Dia menggunakan tangannya untuk menyingkirkan rambut depannya ke belakang, membiarkan dahi luas nan mulusnya terekspos bebas sebelum helai-helai hitam itu jatuh kembali ke tempat semula. Itu satu kebiasaan saya yang seperti penyakit akut. Bagi saya itu tak spesial, hanya saja ketika Min-ssaem yang melakukan, saya tidak mampu berkedip.

Oh Tuhan, seorang bidadari ada di depan saya dan terhalang pembatas meja. Ingin rasanya merusak pembatas itu dan membuat celah besar supaya saya bisa memandangnya dengan bebas.

"Park-ssaem."

"Iya, Min-ssaem?" saya dengar bunyi klik-klak dari keyboard laptopnya. Dia sedikit mendongak kemudian.

"Anda sudah sarapan?"

Saya terdiam. Hampir dua minggu saya berkenalan dengannya, tapi baru kali ini dia menanyakan tentang sarapan saya.

"Belum." jawab saya jujur. Saya memang tak ingat untuk sarapan sama sekali. Bangun tidur saya langsung membereskan masalah saya di kamar mandi, kemudian merenung lama dan buru-buru menyambar baju saat saya sadar sudah hampir terlambat untuk berangkat.

Saya mendengar krasak-krusuk, dan kepala Min-ssaem yang menghilang—maksud saya dia membungkuk sampai kepalanya tak terlihat dari sudut pandang saya.

Entah saya melamun atau apa, tahu-tahu ada tangan pucat yang menggantung di pembatas meja kami dengan sebungkus roti melon yang dipengangnya.

"Untuk Anda. Sarapan dulu sebelum mengajar. Jangan melamun terus..."

"Eh... anu..." saya ragu untuk menerimanya.

"Ambil saja. Perut kosong menurunkan daya konsentrasi." dia mendongak. Sedikit melotot tapi bibirnya melengkungkan senyum. Saya tidak mengerti dia memaksa saya untuk menerimanya atau apa. Yang jelas, ekspresinya begitu lucu hingga sempat terlintas di pikiran saya untuk memakan pipinya yang terangkat itu...

"Terimakasih, Anda sangat baik. Saya jadi sungkan." saya mengambil sebungkus roti itu dengan kedua tangan, seperti hamba yang menerima upah dari tuannya. Saya dan hamba itu sama-sama bersyukur mendapat barang berharga. Bedanya ini hanya roti. Tapi tetap saja berharga sebab yang memberinya adalah Min-ssaem yang saya sukai.

"Tidak perlu sungkan, Anda partner saya, wajar kalau kita berbagi." tangan itu telah kembali ke tempatnya. Saya dengar dia terkekeh dalam senyumnya.

Saya masih memegang sebungkus roti itu dengan kedua tangan. Saya dekatkan ke dada lalu saya menelungkup, tersungkur di meja dan tersenyum selebar-lebarnya. Saya tidak bisa melakukan ini di depan Min-ssaem makanya saya bersembunyi. Saya bisa dianggap tidak sehat kalau ketahuan senyam-senyum hanya karena sebungkus roti.

"Park-ssaem."

"I-iya?" panggilannya membuat saya terkejut hingga reflek menegakkan duduk sekali sentak.

"Sudah jam sepuluh..."

...Whats on Park-ssaem's Mind?...

Jam pelajaran saya berakhir bertepatan dengan waktu istirahat siang. Beberapa murid langsung berlarian keluar hall bahkan tanpa mengucap terimakasih pada saya. Sudah biasa, anak zaman sekarang memang begitu. Saya cuek-cuek saja membiarkan mereka meninggalkan hall sementara saya mengecek apakah alat-alat bekas senam lantai tadi sudah ditaruh kembali ke tempat yang benar atau belum. Saya menengok ke gudang, dan melihat sekitar takut-takut ada barang yang tertinggal. Setelah merasa semua baik-baik saja, saya menyambar jaket dan keluar dari hall. Saya lapar. Saya harus makan.

Sebelum ke kantin sekolah, saya kembali ke kantor guru terlebih dulu untuk menaruh absensi. Masuk ke kantor, saya dapat melihat Min-ssaem berada di kursinya, memegang sumpit. Ahh, dia pasti sedang makan siang. Saya jadi gugup, apalagi saya habis mengajar olahraga. Berkeringat. Saya takut badan saya bau. Saya sempat mengangkat tangan dan mencium ketiak saya untuk memastikan. Ya memang bau keringat. Saya pasrah saja. Berjalan sedikit menjauh darinya mungkin adalah cara terbaik.

"Siang, Min-ssaem..." ucap saya saat lewat mengitari mejanya. Dia nampak terkejut dengan sapaan saya, dia tidak menjawab karena mulutnya penuh dengan makanan. Sementara saya menaruh absensi di meja, dia menutupi mulutnya dengan tangan. Saya tak paham mengapa dia mengunyah dengan cepat seperti diburu-buru. Saya hanya memandang kagum saat dia sudah berhasil menelan semuanya dan langsung melempar senyum pada saya. Ooh, jadi untuk itu. Astaga, manisnya.

"Anda bawa bekal sendiri?" yang saya tanyakan sebetulnya tidak perlu dijawab. Sudah jelas dengan duduknya dia di kursinya, bukan di kantin, pastilah bawa bekal sendiri.

"Iya." dia mengangguk lalu membuka tutup botol airnya dan minum beberapa teguk dengan anggun. "Oh, Park-ssaem sudah makan siang?"

"Belum. Baru saja saya habis mengajar. Mau—"

"Mau coba ini?"

Ucapan saya disela mungkin tanpa sengaja. Saya dan dia juga sama-sama terkejut. Yang saya mau katakan adalah 'mau ke kantin'. Tapi tidak saya lanjutkan melihat dia mengangkat sedikit kotak bekalnya. Isinya nampak menggiurkan dengan bermacam lauk yang ditata rapi. Seperti bekal buatan ibu-ibu muda dengan anak yang baru berumur lima tahun.

"Anda buat sendiri?"

Dia mengangguk. Saya takjub. Yaa, saya tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia menawari saya untuk mencicipi makanannya, hasil masakannya sendiri. Mana bisa saya menolak?

Akhirnya saya mengitari meja dan menghampirinya. Entah kenapa saya reflek saja bersimpuh ketika sumpit itu menyomot segulungan pajeon—perlu diingatkan ini supaya tangan Min-ssaem tidak perlu jauh-jauh untuk menjangkau mulut saya. Sebetulnya saya juga tidak menyangka saya akan disuapi. Ketika makanan itu masuk ke mulut saya, dia tersenyum, dan membuat saya ikut tersenyum sambil mengunyah. Enak. Ya ampun, padahal hanya telur dadar tapi kenapa rasanya sangat enak? Mungkin wajah manis Min-ssaem jadi bumbu tambahan yang bikin telur dadarnya makin enak.

"Mau lagi?"

Sambil mengunyah saya mengangguk tanpa berpikir. Dia mengambil sejumput nasi, disuapkannya lagi pada saya, belum habis saya kunyah, Min-ssaem sudah menyodorkan lauk lain yang otomatis saya terima dengan senang hati.

Saya bahagia sekali. Seperti dilayani seorang istri.

"Park-ssaem ada nasi di bibirmu." saya bengong ketika tangan itu tahu-tahu sudah menyentuh bibir saya. Min-ssaem membungkuk dan dari arah pandang saya, celah-celah diantara kancing kemejanya terlihat. Kulitnya benar-benar putih. Dan saya baru sadar kalau dia tidak pakai kaos dalam atau apa pun lagi dibalik kemeja peach pastel tipisnya. Saya tahan napas beberapa saat. "Park-ssaem?"

"Ah, i-iya?"

"Kenapa hari ini Anda banyak melamun? Apa ada masalah?" dia salah paham. Saya tidak melamun, saya memikirkan Anda, Min-ssaem.

"Tidak..." saya menggeleng. Leher putihnya benar-benar mengalihkan perhatian saya. Belum pernah saya melihat kulit seputih dan secerah ini. Saya mulai berpikir kalau dia rajin mandi susu. "Saya hanya kurang tidur."

"Hm..." dia memasukkan nasi dan lauk ke dalam mulutnya. Dia mengunyah di depan saya. Cara makannya yang juga anggun membuat saya ingin terus memerhatikannya. Bagaimana bibir itu bergerak, bagaimana jakun kecilnya naik-turun, dan bagaimana tangan lentiknya memegang sumpit. Ah, tangan-tangan panjang yang kurus, tangan seorang pianis yang menawan. "Minum dulu. Anda 'kan belum minum ya? Kok saya lupa."

Min-ssaem menyodorkan botol minumnya. Saya terima dengan kepala tertunduk. Mungkin baginya biasa saja, tapi bagi saya ini luar biasa. Apalagi mengingat dia tadi juga minum dari botol yang sama. Artinya saya dapat ciuman tak langsung darinya 'kan?

Saya mengatupkan bibir supaya tidak teriak kegirangan. Nanti dikira saya seperti anak remaja tanggung yang baru tahu urusan kasmaran. Saya mencoba profesional dengan mengangkat kepala dan mengucap terimakasih seraya membuka tutup botol itu dan minum dengan elegan.

"Saaa wassup... we funtan shounen dan.. wassup, wassup—"

Saya hampir tersedak ketika mendengar suara cempreng itu. Nyatanya ada seseorang yang masuk ke kantor guru sambil bernyanyi-nyanyi.

"Ah! Siang Park-ssaem, Min-ssaem!" orang ini. Manusia kelewat semangat yang baterainya tidak pernah habis. Jung Hoseok, si guru sastra.

"Siang." jawab saya ketus. Min-ssaem hanya menangguk tanpa bicara karena ada makanan di mulutnya.

"Min-ssaem, betapa senyummu merekah bagai bunga sakura di musim semi. Indah dan memikat." Jung-ssaem berpuisi sambil meretangkan tangannya, bergaya seperti penyair. Saya tidak suka orang ini, dia berlebihan dalam segalanya. Sudah begitu berani merayu pujaan hati saya.

"Anda bisa saja Jung-ssaem..." Min-ssaem sedikit tersipu dan saya lihat Jung-ssaem membalasnya dengan senyum 1000 watt. Dari gelagat Jung-ssaem, saya bisa tahu kalau dia juga mengincar guru musik ini. "Jung-ssaem, apa Anda juga mau ikut m—"

"Min-ssaem..."

Saya, dengan sengaja menjatuhkan kepala saya di lutut Min-ssaem dan seketika membuat Jung-ssaem memekik terkejut. Saya berhasil menghentikan Min-ssaem untuk mengundang si guru sastra itu untuk makan bersama.

"Ada apa, Park-ssaem?" bahkan pelembut celananya pun sangat harum. Saya penasaran dia pakai pelembut merek apa. "Apa anda sakit?"

"Tiba-tiba kepala saya pening..." bohong, saya bohong.

Min-ssaem langsung menaruh kotak bekalnya di meja dan menangkup bahu saya. Sebelah tangannya juga sempat membelai kepala saya sampai ke belakang. Saya merinding. Disentuh Min-ssaem enak juga rasanya.

"Kalau sakit cepatlah ke UKS, Park-ssaem!" usul Jung-ssaem. Saya meliriknya dan dia menatap saya dengan pandangan tak suka. Saya tahu dia cemburu. Menyuruh saya pergi ke UKS adalah caranya supaya saya menjauh dari Min-ssaem.

"Aduh... pusing... kenapa ya... padahal saya baik-baik saja tadi..." adu saya pada Min-ssaem. Saya semakin ngusel di lututnya dan dia bergumam kikuk.

"Anu, Park-ssaem, mau saya antar ke UKS?"

"Saya saja yang mengantarnya, Min-ssaem sedang makan, bukan?"

Baru saja saya mau senang karena tawaran Min-ssaem, hanya saja Jung-ssaem menyela. Manusia satu itu benar-benar membuat saya ingin memusuhinya...

...Whats on Park-ssaem's Mind?...

CONTINUED

Sebenernya ini apa sih? Hahahahaha.

Saya cuman gatel habis nonton ulang drama abal Flower Bangtan itu. Jadinya tiba-tiba kesambet buat nulis cerita tentang si guru olahraga dan si guru musik. Mainstream ya? Biarin lah. Habisnya ngga nahan...