Naruto © Masashi Kishimoto
Pairing:
GaaHina
Rate: T

Request dari Ai HinataLawliet


Day 1: Artificial Clouds


Seorang remaja berusia kira-kira enam belas tahun berdiri di lantas paling atas menara Kazekage. Sepasang mata emerald menyusuri pemandangan di hadapannya dengan cermat. Angin gurun yang kering namun hangat sesekali mempermainkan rambut merahnya yang berkilauan ditimpa teriknya sinar mentari.

Sejauh matanya memandang, hanya terlihat gurun pasir dan bebatuan.

Membosankan, tetapi indah di matanya.

Inilah Sunagakure.

Tempat ia lahir dan dibesarkan.

Tempatnya menyisihkan senyum, tawa, dan air mata.

Tempat orang-orang yang disayanginya tinggal.

Sudah hampir satu tahun ia memegang jabatan sebagai seorang shinobi dengan status tertinggi di desa itu. Orang yang dihormati, disayangi, sekaligus ditakuti oleh warganya. Kalau untuk yang terakhir ini, memiliki artian yang jauh berbeda dengan yang dulu dikenalnya. Dulu orang-orang takut dengan Shukaku berekor satu yang disegel didalam dirinya, sampai-sampai ayahnya sendiri menganggapnya sebagai ancaman bagi Suna. Sebuah ancaman yang eksistensinya harus dilenyapkan dari muka bumi ini.

"Aku hidup untuk diriku sendiri, dan hanya mencintai diriku sendiri."

Entah sejak kapan perspektif kekanakan itu, yang didasari dendam dan amarah beserta hasratnya akan pertumpahan darah pudar, kemudian berangsur menghilang sepenuhnya dari dalam dirinya. Pertemuannya dengan seorang bocah berambut pirang dari Konoha merubah segalanya.

Uzumaki Naruto.

Ninja berisik, bermulut besar, otak daripada otot dan sebagainya. Terlepas dari itu, dirinya adalah seorang Jinchuuriki yang sama dengan Gaara, namun dengan warna yang jauh berbeda. Darinya ia belajar, arti dari kata-kata yang sebelumnya ia sudah bertekad untuk membuangnya jauh-jauh.

Teman, sahabat, ikatan.

Akhirnya ia mengerti, betapa indahnya hal itu. Jauh di dalam dirinya, ia pun menginginkannya. Dan satu persatu ia mulai mendapatkannya. Saudara, sahabat, keluarga. Ia pun tak pelak lagi bertanya-tanya, lalu apa yang ada setelah itu? Apa yang kurang? Manusia memang tidak pernah puas. Ada bagian dalam dirinya yang mendambakan sesuatu yang lain, yang tidak dapat ia pahami sebelumnya. Tapi ada sebuah perasaan irasional yang meyakinkannya bahwa ia akan mengerti suatu hari.

Dan Gaara akan menunggu dengan sabar sampai saat itu tiba.

.

.

.

Lamunannya di siang bolong dibuyarkan oleh kedatangan Kankuro, kakak laki-lakinya. Sang Puppet Master membawa sebuah kabar resmi untuk adiknya, "Gaara, orang-orang dari Konoha sudah datang."

Gaara mengangguk, "Baiklah, aku akan segera ke ruanganku," jawabnya, kemudian segera membawa dirinya dengan jutsu tepat ke dalam kantor Kazekage.

Sampai disana ia duduk di kursinya, menatap sebuah lembaran misi diatas meja. Sunagakure telah meminta bantuan langsung dari Konoha untuk menindaklanjuti kemungkinan bahwa Akatsuki telah memasang sejumlah mata-mata di perbatasan antara Kaze no Kuni dengan Hi no Kuni. Godaime Hokage, Tsunade kemudian berjanji akan mengirim beberapa orang shinobi yang bisa membantu mereka menemukan para penyusup tersebut.

Tak harus menunggu lama, pintunya kembali diketuk. Kankuro mempersilakan beberapa orang masuk kedalam ruangan kemudian kembali menutup pintunya, memberikan sedikit privasi.

Gaara menatap satu persatu wajah-wajah familiar yang berdiri di hadapannya. Memancing nama-nama mereka keluar dari ingatannya.

"Inuzuka Kiba, Aburame Shino, Hyuuga Neji… dan..." Ia melirik satu-satunya kunoichi di ruangan itu, "Hyuuga Hinata?"

"Ha-Hai! Kazekage-sama!" Hinata membungkuk dalam-dalam.

Neji tertawa diam-diam melihat kekikukan tingkah laku sepupunya itu.

"Ba—ka. Jangan gugup begitu, dong … Hinata. Kau ini seperti baru pertama kali bertemu Gaara saja." Celetuk Kiba sambil tersenyum lebar.

"Tapi memang betul, Kiba. Hinata baru pertama kali ini bertemu langsung dengan Gaara sejak ujian Chuunin empat tahun lalu." Tukas Shino. Wajahnya seperti biasa tidak terlihat dibalik kacamata hitam dan hoodie yang dikenakannya.

"Oh, ujian Chuunin yang—" Teringat insiden yang terjadi di ujian Chuunin berdarah itu, Kiba cepat-cepat membungkam mulutnya. Salah satu oknum penyebabnya saat ini duduk tepat dihadapannya, namun dengan air muka dan garis wajah yang jauh berbeda. Tampaknya sudah banyak yang berubah diantara mereka selama beberapa tahun ini.

Gaara berdehem, mencoba memecahkan keadaan yang tiba-tiba terjerumus dalam keheningan yang tidak nyaman. Ia kemudian meneruskan penjelasannya mengenai detail misi gabungan kali ini.

.

.

.

Untuk mempercepat pencarian, karena para ninja dari Konoha itu juga tidak bisa berlama-lama menetap di Suna, Gaara membagi mereka menjadi beberapa tim. Kiba, Shino, dan Neji membentuk tim yang berbeda bersama dengan Kankurou dan Temari. Sementara Gaara berpasangan dengan Hinata. Pihak Suna sebenarnya tidak merelakan pemimpin mereka untuk turun tangan dalam misi kecil-kecilan seperti ini, namun karena tidak ada kepastian akan bahaya yang mengancam dan juga didukung kepercayaan bahwa tidak akan ada ninja yang cukup kuat untuk bisa menyentuh Kage kesayangan mereka, para shinobi itu pun dengan berat hati melepaskan kepergiannya.

Keduanya sudah cukup jauh masuk kedalam hutan di perbatasan ketika tiba-tiba Hinata menghentikan langkahnya dan bertanya kepada partner-nya yang berjalan dibelakang, "A-Apa Kazekage-sama ti-tidak apa-apa sampai ikut kesini?"

Gaara sedikit tidak siap menjawab pertanyaan itu, terutama karena mendengar embel-embel Kazekage-sama yang menempel dibelakang. Entah kenapa segala formalitas itu mengganggunya. "Tidak apa-apa kok. Lagipula aku jadi punya waktu untuk sedikit melatih kemampuanku."

"Ta-tapi, ka-kalau…." Gadis Hyuuga itu mengkhawatirkan kemunculan mendadak Akatsuki, sekuat apapun Gaara, kalau hanya berdua... bagaimana jika seandainya Kazekage diculik atau diserang didepan matanya? Hinata tidak yakin ia cukup kuat untuk mengimbangi para kriminal itu kalau mereka datang berkelompok.

"Hinata."

"Ya Kazegake-sama?"

"Panggil aku Gaara saja. Lagipula kita kan seumuran."

"Ba-baiklah Kazekaah... Gaara-kun."

"Hm. Begitu lebih baik."

Dengan pengertian baru yang telah disetujui kedua belah pihak, Gaara dan Hinata meneruskan penyelidikan mereka. Tak jauh dari situ, mereka menemukannya. Beberapa orang ninja bayaran dan binatang-binatang kecil dalam bentuk patung tanah liat yang dikontrol dengan jutsu, disebar di sekeliling perbatasan. Jumlahnya tidak terlalu banyak, menurut hasil observasi Hinata dari Byakugan-nya, namun tetap saja ancaman tersebut harus dilenyapkan. Diduga makhluk dari tanah liat tersebut merupakan hasil karya dari Deidara, spesialis ledakan Akatsuki, ninja pelarian dari Iwagakure.

.

.

.

"Sabakyuu… Sabaku Sousou!" Gaara menghancurkan salah satu musuh yang bersembunyi dengan pasirnya untuk yang kesekian kali. Hinata melihat seluruh kejadian itu dari atas sebuah dahan pohon tempatnya berpijak, dibuat tercengang dengan kemampuan Gaara. Tanpa kesulitan yang berarti ia mengatasi semua lawannya. Sudah sepantasnya ia ditunjuk sebagai Kazekage di usianya yang tergolong sangat muda.

Baru kali ini Hinata melihat jutsu khusus milik Gaara itu dari dekat. Kecepatannya tidak akan bisa diikuti dengan mata biasa. Menakutkan sekaligus indah, kekuatan yang jauh diluar bayangannya.

Karena hal itu jugalah, pandangannya teralihkan untuk sesaat, dan sudah terlambat baginya ketika akhirnya ia menyadari dua figur tanah liat lain mendekatinya dari dua arah yang berlawanan. Salah satu figur itu meledakkan dahan pohon dibawahnya.

Hinata mampu menghindari ledakan kedua, namun semuanya terjadi begitu cepat, ia tidak sempat bereaksi membuat gerakan tambahan lain di udara.

"Gaara!" Entah kenapa nama itu secara refleks terucap dari mulutnya.

"Hinata!" Gaara menoleh, segera menyadari bahaya yang mengancam.

Tidak ada waktu lagi, tubuh Hinata dipastikan akan jatuh bebas ke permukaan tanah kalau ia tidak bergerak cepat. Dengan penuh konsentrasi, ia menghantamkan kedua telapak tangannya ke bawah.

Mudah-mudahan belum terlambat.

Serta merta Hinata memejamkan matanya, berharap akan datangnya rasa sakit yang menjalar diseluruh tubuhnya ketika ia menyentuh bumi yang keras. Tapi ternyata yang ia rasakan malah kebalikannya.

Benturan yang lembut di atas permukaan dengan tekstur yang sedikit kasar.

Apa ini?

Dibukanya matanya perlahan.

Pasir?

Sekumpulan pasir yang berbentuk awan, cukup besar untuk menjadi bantalan baginya, menahan berat badannya agar tidak jatuh ke tanah.

Gaara?

Dari kejauhan ia melihat Kazekage muda itu perlahan berjalan mendekatinya. Pandangan matanya menyiratkan rasa cemas.

"Tidak apa-apa, Hinata?" Gaara berlutut di sampingnya.

Hinata mengangguk. "Terimakasih, Gaara-kun," ia rupanya masih takjub dengan awan kecil di bawahnya.

Gaara tersenyum melihat perilaku canggung si kunoichi, "Suka dengan apa yang kau lihat?"

Hinata mengangguk lagi.

Entah darimana sebuah ide terlintas dipikiran Gaara. Sesuatu yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Spontanitas bukan salah satu sifat dominannya, tapi kali ini ia bersedia untuk membuat pengecualian. Tampaknya para shinobi dari Konoha cenderung memberikan efek seperti itu terhadapnya. Sekumpulan orang yang menarik. Tak terkecuali gadis di dekatnya ini.

Ia kemudian turut menyeimbangkan dirinya diatas pasir itu, berdiri di sebelah Hinata yang masih terduduk.

"Ga—Gaara-kun?"

"Tetaplah duduk disitu. Pegangan yang erat ya." Pintanya.

"Eh?"

"Karena kalau ada pasir, aku bisa melakukan apapun." Ia berbisik, hampir terdengar hanya kepada dirinya sendiri, sebelum mengangkat sebelah tangannya perlahan ke udara. Seiring dengan itu, awan pasir buatannya pun sedikit demi sedikit mulai naik ke atas.

Melewati pepohonan, sejajar dengan menara Kage di kejauhan, melesat hingga hampir setinggi gunung.

Hinata tidak sadar bahwa selama itu ia mencengkeram erat pakaian milik Gaara, takut dengan ketinggian dibawahnya sekaligus terpesona dengan pemandangan dihadapannya.

Cantik sekali. Ternyata ini Sunagakure yang selama ini dilihat Gaara.

Seberkas cahaya jingga dari balik gunung menyinari wajah Hinata. Matahari mulai terbenam. Ia melihat kearah remaja lelaki yang berdiri di sebelahnya.

Betapa terkejutnya ketika ia melihat sebuah tangan pucat sudah berada disana, terulur ke arahnya. Pemiliknya menatapnya tanpa berkedip. Emerald yang bersinar lembut itu seakan menyihir kepolosan mata jernih dengan sentuhan lavender milik Hinata, memohon tanpa kata-kata untuk mempercayainya.

Dan tanpa keraguan sedikitpun, Hyuuga Hinata meraih tangan itu.

Gaara menariknya berdiri. Kemudian tangannya tetap disana, menggenggam tangan si gadis berambut indigo.

Hinata menyerap apa yang dilihatnya baik-baik kedalam ingatannya. Seluruh warna yang ia lihat pada hari itu. Hangatnya cahaya mentari, termasuk kehadiran bocah Kazekage didekatnya, seolah menyalurkan energi baru dan kepercayaan diri keseluruh tubuhnya yang kaku.

Diam-diam Gaara memperhatikan pandangan itu. Sebuah senyum samar menghiasi wajahnya. Dan ketika akhirnya kedua pasang mata itu beradu pandang, disaat itulah Sabaku no Gaara menambahkan satu kepingan lagi dalam hatinya. Satu nama lagi kedalam daftar orang yang ia bertekad untuk selalu melindunginya.

Hyuuga Hinata.

Mungkin, dan Gaara pun berharap, mulai dari sekarang dan selamanya nama itu akan selalu mewarnai hari-harinya.


End of Day 1.


A/N: Saya suka banget sama kalimat favoritnya Gaara: Suna sae areba, nandemo dekiru (kalau ada pasir, aku bisa melakukan apapun). Kerennya. Apalagi kalo saya lagi main game-nya dan denger kata-kata itu, langsung saya hit tombol pause dan kena fangirl moment akut :D

Cheers,
Sei