That face, how to say it? Soft hair... beautiful blue eyes...

I can remember it, but still... I can't draw it through my canvas.

Are you real? Or just illusion that come into my every dream?

.

.

.

Disclaimer : Kurobas sepenuhnya punya Fujimaki Tadatoshi sensei, hanya Kurokonya yang milik Akashi :)

WARNING: SHO-AI, MISS TYPO, ALUR KECEPATAN, DLL

Pair AkaKuro / ...xKuro

.

.

.


"Wajah itu... bagaimana melukisnya?"

Seorang pemuda bersurai merah tengah duduk di kursi taman. Tiba-tiba taman yang menjadi background menghilang digantikan latar hitam pekat.

Kedua tangan pemuda itu menutup wajah tampannya. Bacground hitam pekat yang sama sekali dia tidak ingin lihat datang lagi.

Puk!

Sebuah tangan halus mulai mengusap pelan surai merah crimson yang membuat pemiliknya mendongak ingin tahu.

Manik heterokrom miliknya menangkap pemuda bersurai biru muda bermanik aquamarine sedang tersenyum tipis ke arahnya.

Panas matahari melesak masuk dari celah jendela kamar milik seorang pemuda dengan surai crimson. Manik heterokromnya sedikit terlihat saat suara berisik alarm mulai berbunyi.

Dia bangkit dari tempat tidurnya terburu-buru. Tidak peduli kantuk masih menyerangnya, dia mengambil sebuah kuas dan kanvas dari meja kecil di sebelah kasur king sizenya.

Tangannya dengan cepat mencelupkan kuas ke tempat cat air yang sudah diisi oleh berbagai warna.

Setelah warna biru muda menempel di ujung kuasnya, dia mulai menggambar.

Menggambar sosok dalam mimpinya barusan. Sosok yang selalu gagal dia lukis. Sosok yang dia inginkan.

Tangannya seketika terhenti. Padahal dia ingat betul wajah sosok itu, tapi kenapa dia tidak bisa melukisnya?

Dengan kasar, dia melempar kanvas yang sudah dipenuhi warna biru muda itu ke sudut ruangan.

Di sudut ruangan terdapat tumpukan kanvas dengan goresan biru muda yang mendominan. Itu bukti sudah berkali-kali dia gagal melukis sosok dalam mimpinya.

"Wajah itu... bagaimana aku melukisnya? Padahal terlihat jelas dalam pikiranku." gumamnya pada dirinya sendiri.

Sudah ratusan lukisan yang sudah dia lukis. Hanya satu lukisan yang dia gagal selesaikan. Lukisan pria bersurai biru muda yang dia inginkan.

Pemuda bersurai merah itu duduk di pinggiran kasurnya menatap tajam sudut ruangan tempat dia melempar kanvas tadi.

"Aku harus melukisnya. Aku tidak pernah gagal. Aku harus mencarinya."

Padahal dirinya sendiri tidak tahu kalau sosok itu nyata atau tidak. Bisa jadi sosok itu hanya khayalannya semata. Khayalan yang merasuk ke dalam mimpinya setiap malam.

Kriingg kriingg

Dering telepon membuyarkan lamunannya dan meraih handphone berwarna merah darah yang ada di ujung kasur king sizenya.

"Halo, Akashi Seijuurou di sini. Apa kepentinganmu menelponku? Cepat katakan karena aku sibuk." katanya setelah membuka flip handphonenya dan mendekatkannya di telinga.

"Uhh, Sei-chan dingin seperti biasanya~" sahut orang yang menghubungi Akashi.

"Cepat katakan saja, Reo." Akashi mendecakkan lidah kesal. Dirinya sangat tidak suka basa basi.

"Baiklah, siang nanti akan ada rapat tentang pameran lukisan minggu depan dan kuharap Sei-chan bisa hadir." jelas pemuda yang dipanggil Reo itu.

"Dimana?" tanya Akashi malas.

Kalau ini bukan karena pekerjaan, dia sangat malas keluar rumah hari ini—apa lagi yang mengajak itu asistennya, Mibuchi Reo. Sudah bisa dipastikan moodnya makin jelek.

"Di kafe Murasaki. Kau tahu?"

"Yeah, aku akan datang nanti siang."

"Sip deh, Sei-chan~"

Tutt tutt

Akashi langsung memutus sepihak teleponnya agar Mibuchi tidak melanjutkan bicara yang tidak penting lagi seperti sebelum-sebelumnya.

Sudah 5 tahun dia bekerja menjadi pelukis di sebuah galeri ternama di Jepang.

Dia mulai bekerja di usia yang sangat dini, yaitu 13 tahun dan sudah mendapat banyak penghargaan.

Tetapi, Akashi sendiri tidak menganggap hal itu hebat. Bisa dibilang dia belum puas. Dia baru puas saat bisa melukis pria yang terus menghantui mimpinya selama bertahun-tahun.

...

Langkah kecil dan tertatih-tatih membawa seorang anak kecil menuju toko bunga di pinggir jalan.

Kantong berisi bunga di pelukannya bergoyang seirama dengan langkahnya yang kecil itu.

"Ah, terima kasih Tetsu-kun sudah membantuku! Aku benar-benar tertolong!" kata wanita bersurai peach menghampiri anak kecil itu dan mengambil kantong dari tangan mungilnya.

"Sama-sama, Momoi-san," kata anak kecil itu mendongak menatap wanita yang lebih tinggi darinya.

"Ayo masuk, Tetsu-kun!" ajak Momoi sambil tersenyum ke arah Kuroko kemudian masuk ke toko bunga miliknya.

Toko bunga Momo terletak di pinggir jalan raya. Tempatnya yang strategis dan pemiliknya yang cantik dan masih muda membuat toko itu selalu ramai.

Anak yang bernama Kuroko Tetsuya itu mengikuti Momoi yang sudah masuk terlebih dahulu ke toko bunga berukuran medium itu.

"Ini bunga pesanan Anda, maaf membuat menunggu!" Momoi menyerahkan kantong berisi bunga Hortensia segar pada pelanggannya yang sudah menunggu.

Pelanggan yang menunggu itu tersenyum manis. "Tidak apa, terima kasih. Ini uangnya." Pelanggan itu mengambil bunga yang dibelinya lalu menyerahkan uang pada Momoi.

Momoi membungkukan badannya ketika pelanggan itu meninggalkan toko bunga.

Momoi membalikan tubuhnya menatap Kuroko yang sedari tadi setia di belakangnya. Kemudian Momoi mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya dan menyerahkannya pada Kuroko.

"Ini bagian Tetsu-kun hari ini," kata Momoi tersenyum hangat.

Kuroko mengambil uang dari tangan Momoi dengan mata berbinar tapi ekspresinya minim.

"Arigatou, Momoi-san. Mou arigatou karena sudah mengizinkan anak SMP sepertiku bekerja paruh waktu di sini."

Anak SMP memang seharusnya tidak boleh bekerja paruh waktu. Apa lagi kelas 1 SMP seperti Kuroko, tapi karena Momoi tidak tega menolak permintaan Kuroko yang merupakan tetangganya jadi Momoi mengizinkan Kuroko bekerja di tempatnya. Dengan syarat tidak boleh memberi tahu siapa pun.

Momoi mengelus pelan surai biru muda milik Kuroko.

"Doita Tetsu-kun," Momoi melepaskan tangannya dari surai biru muda milik Kuroko. "Ngomong-ngomong Tetsu-kun ingin membeli apa sampai bekerja paruh waktu?"

Kuroko memasukan uang ke dalam sakunya kemudian menatap manik pink Momoi. "Aku ingin membeli tiket pameran Lukisan Kyoto minggu depan."

"Hee, Tetsu-kun suka lukisan?" tanya Momoi heran tidak sangka anak kecil seperti Kuroko tertarik dengan lukisan karena biasanya anak seumuran Kuroko lebih menyukai komik atau video game.

Kuroko menjawab dengan anggukan singkat. "Tapi meskipun aku suka lukisan, aku tidak bisa melukis."

Gadis bersurai peach itu tertawa kecil. "Ah, aku kelupaan sesuatu. Tetsu-kun bisa berjaga sebentar di sini?"

"Tentu."

Momoi meraih tas kecil berwarna pink dari kasir lalu beranjak menuju pintu keluar toko.

"Sebentar, kok tidak akan lama!" katanya kemudian menghilang dari balik pintu toko.

Kuroko bisa melihat Momoi terburu-buru dari kaca jendela toko yang berukuran besar dan dihiasi beberapa pot bunga.

Kuroko memutuskan untuk menyiram tanaman yang ada di dekat jendela sambil menunggu Momoi kembali.

Gadis itu sudah seperti kakak perempuan Kuroko. Meskipun Momoi bawel dan cerewet, dia itu baik dan perhatian sekali dengan Kuroko.

Bibir Kuroko tersenyum tipis saat menyiram bunga mawar merah. Dia suka sekali warna merah.

...

Manik heterokrom Akashi menatap malas orang-orang yang ada di depannya.

Sekarang kumpulan seniman itu sedang mengadakan rapat santai disebuah kafe di pinggir jalan.

Meja yang ditempati para seniman itu ada di teras Murasaki's Cafe. Mereka lebih suka rapat di luar sambil menikmati angin musim gugur.

Ya, musim panas akan segera berakhir. Daun-daun berbagai warna berguguran menyebar ditiap jalan.

"Sudah kubilang, di pameran nanti kita harus memberi kesempatan buat pelukis yang lain untuk unjuk gigi. Kenapa harus karya Akashi terus yang dipamerkan?" kata seorang berbadan besar berkulit tan bernama Nebuya.

Mibuchi yang berada di sebelah Akashi mendengus. "Aku, sih tidak keberatan toh aku tidak terlalu terlibat dalam acara itu. Kau harus bilang langsung pada Sei-chan."

Mendengar namanya di sebut-sebut, Akashi mendelik ke arah Mibuchi.

"Oi, Akashi. Bagaimana kalau kau mengalah kali ini? Orang-orang juga bosan lihat lukisanmu terus. Mereka butuh sesuatu yang ba—"

"Kau yakin?" potong Akashi tatapan malasnya diganti dengan tatapan dingin yang menusuk. "Selama ini tidak ada pengunjung pameran yang mengeluh masalah lukisanku."

"O—oi!" Nebuya seketika gugup dan tubuh besar gelapnya gemetar.

"Oh iya, kalau kau ingin lukisanmu yang dipajang di toilet itu masuk pameran, sebaiknya kau jangan bermimpi. Lukisan seperti itu taruh saja ditempatnya." Akashi menyesap cangkir teh di tangannya.

"Di tempat sampah."

BRAK!

Tangan besar Nebuya memukul keras meja yang dihuni para seniman itu.

Seniman yang lain terlihat panik sementara Akashi kembali menyeruput tehnya.

"Jaga mulutmu, Akashi!"

"Hei, jangan bertengkar di sini!" teriak seorang pria kurus berambut hitam. Mata kirinya tertutup poni panjangnya.

Pria itu menghampiri meja yang menjadi sumber keributan sambil membawa kantong berisi bunga berwarna biru muda —Hortensia.

Dari dalam kafe, keluar seorang laki-laki tinggi bersurai ungu panjang sebahu yang juga ikut menghampiri meja itu.

"Ada apa ini, Muro-chin?~" tanya raksasa ungu itu dengan nada malas.

Pemuda yang bernama lengkap Himuro Tatsuya itu mendelik ke arah raksasa ungu yang baru datang.

"Mereka ribut di sini, Atsushi." kata Himuro pelan lalu beralih ke arah Nebuya yang mematung. "Bisakah kalian pergi dari sini? Kalian membuat pelanggan kami yang lain ketakutan."

Raksasa ungu pemilik kafe menatap tajam ke arah Nebuya membuat pria besar berkulit tan itu merinding.

Dan memang benar. Para pelanggan yang juga mengambil meja di teras tengah meringkuk ketakutan disertai bisikan-bisikan kecil.

Nebuya bangkit meninggalkan kafe sambil mengumpat kurang ajar diikuti seniman yang tadi bersamanya.

Yang tersisa di teras kafe hanyalah Mibuchi dan Akashi.

Himuro menghela napas panjang saat Nebuya dan kawanannya sudah menghilang dari hadapannya.

Murasakibara menatap bawaan Himuro dengan tatapan yang malas, tapi tersirat ingin tahu.

"Apa yang kau bawa, Muro-chin?"

"Oh ini," Himuro membuka bungkus kantong berisi bunga, lalu menunjukkannya pada Murasakibara. "Bunga Hortensia."

"Hortensia?" ulang pemilik Murasaki's Cafe itu kebingungan mendengar nama asing di telinganya.

"Hortensia itu nama jenis bunga, Atsushi," sambung Akashi yang sepertinya tertarik dengan pembicaraan ini.

Murasakibara dan Himuro entah kenapa menunggu penjelasan lebih lanjut dari Akashi. Mereka ikut duduk di meja yang dihuni seniman yang mereka usir—dengan cara halus tentunya.

"Bunga itu memiliki nama latin Hydrangea Macrophylla dan tumbuh di sekitar kuil Kannon-ji yang ada di kota ini—Kyoto." lanjut Akashi saat manik heterokromnya mendapati tatapan ingin tahu dari—bisa dibilang— teman-temannya.

"Hee Aka-chin tahu banyak ya," kata Murasakibara.

"Itu pengetahuan umum Atsushi," kata Akashi, tegas.

Pemuda yang memiliki tahi lalat di bawah mata kanannya tertawa geli melihat bosnya memasang wajah bingung.

Sebenarnya Akashi paling tidak suka banyak bicara, tapi kalau menyangkut hal yang disukainya dia akan menjadi orang yang benar-benar berbeda.

Bukan tanpa alasan dia menyukai bunga Hortensia. Menurutnya semua bunga sama saja, tapi Hortensia berbeda. Selain tumbuh di daerah tempat tinggalnya, Hortensia memiliki warna yang menjadi warna kesukaannya sekarang.

Biru muda.

"Hmm... Hortensia, ya? Jarang-jarang ada yang menjual bunga seperti ini," sambung Mibuchi sambil membuka lebih lebar kantong yang sudah diletakan di tengah meja dan menampakan warna biru muda cerah dari sana.

"Yah, memang jarang, tapi karena sekarang sudah memasuki musim gugur bunga ini mulai banyak tumbuh." kata Himuro dengan senyuman manis andalannya.

"Lalu, untuk apa Muro-chin membeli bunga ini?" tanya Murasakibara.

"Untuk dipajang di tokomu Atsushi." jawab Himuro seadanya tapi tidak menghilangkan senyuman manis dari wajahnya.

Sedari tadi manik heterokrom Akashi terus menatap bunga Hortensia yang ada di tengah meja.

Mendadak dia teringat mimpinya. Tatapannya langsung beralih ke jalan raya di depan kafe. Kedua matanya menyipit saat melihat pemandangan yang tidak asing, tapi dia belum pernah lihat secara nyata sebelumnya.

"Aku membelinya di toko bunga di seberang jalan," lanjut Himuro sambil menunjuk ke arah toko bunga Momo yang ada berhadap-hadapan dengan kafe.

Manik heterokrom Akashi membulat tiba-tiba saat melihat anak kecil dengan ekspresi datar sedang menyiram bunga mawar dari balik jendela kaca.

Anak itu punya semua yang dia inginkan.

Rambut biru muda.

Manik biru laut.

Kulit putih pucat.

"Hei, itu 'kau', kan?"

.

.

.

TBC


(a/n) pertama" minta maaf buat minna yang nunggu ff saya yang lain, berhubung mau lebaran saya mau minta maaf sm semuanya yg sudah saya nodai(?) lahir dan batin, :)

Mind to read and review?