Bleach -0- Tite Kubo
Multychapter. AU.
Snowflakes
Part 1
.
.
.
Hamparan salju membentang seluas mata memandang. Pohon pinus yang tumbuh pun tertimpa butiran salju, mengaburkan warna hijau dedaunan yang kini dipenuhi lanskap putih.
Arena ski ramai dikunjungi oleh orang-orang yang menyukai permainan berseluncur. Mereka melakukan banyak atraksi untuk menikmati olahraga musim dingin tersebut. Beberapa di antara pengunjung yang belum mahir berski lebih memilih bermain di tempat yang aman dengan cara menghindari tumpukan terjal salju.
Kurosaki Ichigo berada di antara para pengunjung. Fisiknya tinggi, terlihat kurus meski badannya berisi dan dihiasi otot khas atlet lelaki. Jaket tebal berwarna biru tua membungkus seluruh tubuhnya yang tegap. Dengan topi rajutan berwarna hitam ia menyembunyikan sedikit rambut jingga kebanggaannya. Rahangnya sekilas menegang sebelum akhirnya menerbitkan seringai kecil di sudut bibirnya yang tebal.
"Tiga—" ia mulai menghitung mundur.
Matanya berbinar coklat hangat memancar senang, "—Dua."
"Satu!"
Laki-laki penggila ski itu meluncur indah di atas salju yang terjal. Sampai-sampai ia memekik girang demi meluapkan kegilaannya pada olahraga ekstrim.
"Wooow!"
Enam menit berseluncur membuat Ichigo membuang segala masalah hidupnya. Beban demi beban menguap berkat hobinya yang terbayarkan. Kesempatan bersenang-senang seperti ini tentu saja tak akan ia buang begitu saja. Lupakan patroli. Lupakan ayahnya yang sering membuatnya jengkel setengah mati. Lupakan adiknya Karin yang suka menyindir. Lupakan teman-teman sintingnya. Dia—akan berpesta dengan salju-salju ini.
"Huwooow!"
Entah dalam menit ke berapa, Ichigo yang keasyikan berseluncur tidak bisa mengontrol kecepatannya yang kian meningkat. Sampai ketika mata elangnya membulat sempurna, ia dikejutkan akan keberadaan seseorang yang berada tepat di tengah jalur ski.
"Awas, hei!"
Pekikan Ichigo lantas menarik perhatian orang-orang di sana termasuk seseorang yang akan ia tabrak.
Bagai gerakan lambat, waktu seakan-akan berputar pada ilusi Ichigo yang dipenuhi oleh euphoria salju.
Lalu tabrakan tak bisa lagi diindahkan.
Gdubruuk. Kira-kira seperti itulah bunyi dua onggok daging berhasil jatuh di atas permukaan tanah bersalju. Ichigo menggeram kecil, agak menyesal dengan apa yang baru saja terjadi. Dikerjapkan matanya setelah beberapa saat lalu terpejam.
Badannya tengah menimpa seseorang.
Sepasang bola mata besar berkabut ungu. Bulu mata panjang juga kedua alis tipis yang menjurang di pangkal hidungnya yang kecil. Ichigo menelan ludah saat dengan lancangnya ia menghirup aroma tulip yang menyeruak di sekitar perpotongan leher orang itu, dan mata Ichigo bergulir pada bibir kecil berlipstik merah muda.
Pe-perempuan?!
"Minggir!"
Segera Ichigo berdiri dari posisi yang—yeah jujur saja, menakjubkan. Seumur hidup ia belum pernah memeluk seorang gadis—kecuali adiknya—bahkan untuk hal yang paling genting. Dan apa yang terjadi tadi? Ia nyaris menumpu otot dadanya pada tubuh mungil itu tanpa rasa bersalah.
Masih terpaku dengan kehadiran perempuan itu. Ichigo menilik jaket hitam yang perempuan itu pakai. Seperti burung gagak. Bahu Ichigo mengendur mencoba mengulurkan tangan untuk membantu, namun tangannya justru ditepis begitu saja.
Seluruh keterpesonaan yang sesaat lalu menguasai waktunya perlahan memudar. Ichigo tercengang pada sosok sang perempuan yang kini tengah berusaha berdiri seraya membersihkan jaketnya yang dikotori salju.
"Pendek sekali," Ichigo mendesis serendah mungkin, namun ejekan itu tak luput dari sistem pendengaran anak perempuan tadi.
Gadis itu menghela napas. Seakan-akan ejekan itu sudah jadi makanan sehari-harinya saat orang melihat ukuran tubuhnya yang memang mungil. Seratus empat puluh empat sentimeter, sepertinya lebih rendah tiga puluh senti dari lelaki di depannya. Tanpa berbicara apapun lagi, gadis itu berlalu dari hadapan Ichigo.
"Tu-tunggu dulu. Nona! Oi!"
Setelah gadis tadi menghilang Ichigo baru menyadari bahwa ia belum meminta maaf. Ukh, bodohnya. Ia mendecakkan lidah sembari menatap nanar punggung mungil perempuan yang baru saja ia tabrak.
Selang beberapa detik, mata Ichigo tertumbuk pada benda berkilauan di dekat kakinya. Agak membungkuk ia meraih benda cantik itu.
Gelang.
Memperhatikan corak putih berantai dengan tiga leontin kecil berbentuk partikel salju. Snowflake. Ichigo menoleh pada direksi kepergian seseorang yang sebelumnya ia tabrak. Akh! Ini pasti milik gadis itu. Beranjak ingin mengejar si pemilik gelang, niatnya terhambat ketika dari arah langit, salju kembali turun.
Apalagi kakinya yang panjang terlalu malas untuk melangkah. Dengan berat hati, Ichigo akhirnya hanya menyimpan perhiasan itu ke dalam saku celana.
(:)
"Ayo dong, Kak. Tolonglah."
Adik Ichigo bernama Karin mengguncang lengan atas kakaknya dengan tatapan memelas. Memohon pada sang kakak agar mau melatih tim sepakbolanya untuk maju ke turnamen olahraga antar sekolah. Ichigo memang bukan pemain sepakbola, tetapi ia bisa dijagokan sebagai pemain amatir terbaik di Karakura.
"Aku tidak mau melatih anak perempuan. Ya ampun, Karin! Semestinya kaumemilih kesenian untuk kegiatan ekskul bukan menendang bola," komentar Ichigo seraya mengangkat setumpuk pakaian kotor.
Karin tidak menyerah. Gadis lima belas tahun itu merebut pakaian kotor milik kakaknya, kemudian membujuk sang kakak dengan tatapan memohon. Retinanya berbinar seperti anak anjing. "Ayolah, Kaaak. Selama latihan, aku akan mencuci semua pakaian kotormu. Termasuk celana dalammu juga akan kucucikan. Asal kau mau jadi pelatih kami," Karin memajukan bibir bawahnya. Duh, adiknya itu sangat tomboy, tapi kalau sudah begini… Ichigo tidak bisa apa-apa lagi.
"Memangnya apa yang terjadi dengan pelatih kemarin?"
"Kak Hitsugaya sedang sibuk dengan persiapan ujian akhir. Hu-uh, lagipula dia berencana akan meneruskan kuliah ke luar negri."
"Apa tidak ada lagi orang lain selain aku, hah?"
"Tidak ada! Hanya kakak yang bisa melatih secara gratis, makanya—"
Karin mengerem penjelasannya ketika raut tidak suka terlihat dari hidung kakaknya yang mengerut. "Tidak ada yang gratis di dunia ini. Aku ini 'kan kakakmu, seharusnya kau katakan pada anggota timmu kalau bayaranku sebagai pelatih ini mahal!"
Sebal dengan tingkah kakaknya, Karin melempar pakaian kotor ditangannya pada Ichigo.
"Dasar kakak tidak berguna," desis Karin sebelum akhirnya berbalik pergi.
Merasa bersalah pada Karin, Ichigo akhirnya menyerah. Ia mengelus tengkuk leher kemudian berkata, "Oke, begini saja." Seraya mendekati Karin, Ichigo mencoba bernegoisasi. "Aku akan jadi pelatih sementara timmu, dengan syarat kaumencuci pakaian kotor kakak sampai pelatihan berakhir. Dan—"
"Dan?" adiknya itu memandang Ichigo penuh minat.
"Membantu ayah di klinik selama sebulan," lanjut Ichigo.
"Tidak mau. Sebulan? Mending kami mencari pelatih lain saja."
"Bagaimana kalau tiga minggu?"
Sontak Karin menggeleng, "No way."
"Dua minggu?"
"Tidak."
"Se-seminggu?" Ichigo mulai dongkol dengan penawarannya yang tak kunjung disepakati. Padahal 'kan adiknya yang minta tolong, kenapa malah dirinya yang jadi dongkol? Huh.
Senyum terbit di sudut bibir Ichigo ketika melihat Karin yang tengah berpikir keras.
"Tiga hari," usul Karin tak mau kalah. "Kalau kakak tidak mau ya sudah," sambil berpura-pura sombong, Karin kembali melangkah pergi.
Sudahlah. Bosan jika terlalu lama berdebat dengan anak kecil, Ichigo mendesah pasrah.
"Oke," seraya menjentikkan jari jempol dan tengah, Ichigo menyorongkan pakaian kotornya pada si adik dengan senyum sumringah. "Silakan lakukan pekerjaanmu. Jam 2 sore aku akan ke sekolahmu untuk melatih. Jangan sampai ada yang terlambat," Ichigo memperingatkan Karin dengan nada mengintimidasi.
Rayuan Karin berhasil. Sementara itu, Ichigo berencana menyelesaikan sedikit urusannya di pos kepolisian sebelum nanti melatih tim Karin di sekolah.
.
(:)
.
Usai menyimpan file penting dari beberapa tindak kriminal yang terjadi di Karakura. Lelaki berambut oranye dengan tampilan kasual itu beranjak keluar dari tempatnya bertugas. Beruntung pos tempatnya bertugas jaraknya cukup dekat dengan kawasan kota, jadi di hari Minggu secerah ini, Ichigo berniat mengunjungi pagelaran lukisan yang diselenggarakan oleh salah seorang temannya.
Arloji di tangannya menunjukkan pukul sebelas siang. Ia sudah menghubungi teman baiknya Sir Ukitake untuk berjanji hadir di pagelaran tersebut. Meski usia mereka seperti anak dan ayah, keduanya berinteraksi layaknya teman sebaya. Ichigo bahkan lebih nyaman menceritakan masalahnya pada Sir Ukitake daripada ayahnya sendiri.
Setiba di sebuah gedung seni, Ichigo segera menyusuri jalur yang di tiap sisinya telah diramaikan para pengunjung dan pencipta seni. Sembari berjalan memperhatikan banyak pagelaran seni yang ditampilkan, ia terus mencari jalur dimana stant seni lukisan digelar.
Matanya memandang takjub pada barisan lukisan-lukisan indah yang dipajang. Ada banyak karya lukisan yang diperlihatkan. Menurut cerita yang ia dengar dari Sir Ukitake, hanya terpilih 13 lukisan dari pelukis yang berbeda yang lukisannya berhak dipajang dalam pagelar seni tahun ini. Termasuk lukisan Sir Ukitake.
"Oh, Ichigo!"
Seorang lelaki paruh baya dengan rambut putih bersanggul berjalan anggun mendekati Ichigo. Mereka saling mendekat dan saling menunjukkan raut senang.
"Bagaimana kabar Anda, Sir?" tanya Ichigo begitu sopan seraya menyalami tangan pria pelukis itu.
"Aku sehat. Terima kasih sudah mau datang kemari, Ichigo."
"Jangan sungkan, Sir. Aku menikmati lukisan-lukisan ini, kok."
Keduanya kembali ternyum simpul. Mereka berjalan menuju lukisan milik Sir Ukitake.
Daya tarik Ichigo berlabuh pada lukisan di depannya. Gambaran seorang wanita—entah tua atau muda—ia tidak tahu karena yang terlihat hanya punggung dan rambut hitam panjang wanita itu. Lalu matahari bersinar oranye. Wanita bergaun sama dengan warna matahari itu tengah memandangi matahari yang sinarnya menerpa seluruh tubuh hingga yang tampak hanya helaian hitam miliknya yang seolah berayun-ayun tertiup angin.
Amaterasu. Dewi Matahari.
"Lukisanmu ini mengerikan, Sir."
Sir Ukitake terkekeh mendengar komentar Ichigo. Orang seperti Ichigo yang blak-blakan dan awam dalam hal seni sungguh menarik. "Begitu ya," Sir Ukitake menyentuh bingkai lukisan miliknya.
"Eum—wanita itu seperti akan bersiap-siap pergi ke neraka."
"Hahaha. Itu matahari, Ichigo, bukan neraka."
"Yeah, tapi keduanya sama-sama panas."
Alasan lucu Ichigo kembali mengundang tawa dari si pelukis.
Tidak ingin membiarkan tamunya pulang tanpa jamuan, Sir Ukitake mengajak Ichigo ke luar stan.
"Bagaimana kabar dokter Isshin?" Sir Ukitake bertanya di sela perjalan mereka menyusuri koridor gedung.
"Dia sehat. Kecuali penyakit rindunya pada ibu yang semakin parah."
"Sebaiknya dia menikah lagi biar sembuh."
Ichigo tersentak. Ide itu memang seringkali muncul tiap kali ia memergoki sang ayah berwajah merana. Ia dan Karin tidak punya banyak waktu untuk menemani ayahnya, wajar jika duda kesepian seperti sang ayah membutuh seorang pengganti. Paling tidak Ichigo bisa hidup mandiri tanpa memikirkan nasib ayahnya yang kesepian atau akan ada seseorang yang mengurusi Karin selama dirinya tidak ada.
Sambil terus mengobrol , mereka berjalan melewati para pengunjung lainnya sebelum akhirnya sampai ke sebuah kafe sederhana yang berada di sebelah gedung seni.
.
.
Kuchiki Rukia terduduk lemas di salah satu kursi kelas. Sembari mengacak-acak rambutnya dengan gemas, ia menghela napasnya keras-keras.
Dimana gelang kakinya?!
Sudah dua hari ini ia mencari-cari benda itu ke segala tempat. Tetapi hasilnya nihil. Di tiap sudut kelas, ruangan yang pernah ia kunjungi, lapangan, arena ski! Bahkan rumahnya pun nyaris berantakan setelah ia tak menemukan benda berharga itu dimanapun.
Gadis berusia tujuh belas tahun itu bermuram durja. Hari Minggu cerah ini pun harus dilalui dengan wajah mendung karena hatinya masih tidak rela mengingat hadiah pemberian saudara kembarnya menghilang. Kenang-kenangan terakhir mereka sebelum berpisah.
Cahaya dari langit menyengat kaca jendela kelas. Salju tidak turun dan cuaca benar-benar cerah. Rukia merengek-rengek dengan suara terkecil, meratapi kecerobohannya. Dari dalam kelas, sayup-sayup ia mendengar suara berisik di lapangan. Di hari libur beberapa klub sekolah memang selalu mengadakan latihan rutin, itulah sebabnya sekolah tidak pernah sepi walaupun di hari Minggu. Ia sendiri tidak lagi mengikuti klub ikebana mengingat ini sudah semester terakhir menuju ujian kelulusan.
Rukia beranjak dari kursi. Matanya yang bermanik ungu mengikuti gerakan awan yang bergerak mengikuti arah angin. Membiusnya sejenak, membuang kefrustasian dalam beberapa menit gara-gara kehilangan sesuatu yang berharga. Kepalanya terus mendongak mengikuti gerakan awan yang berwujud seperti gumpalan permen kapas. Tanpa sadar gadis itu mengecap lidahnya sendiri, membayangkan sensasi manis sedang singgah di mulutnya yang keluh.
Traang!
Terkejut dengan sesuatu yang menghantam kaca jendela kelas, Rukia menutup kedua telinganya seraya mundur dari serpihan kaca. Selang beberapa detik membuka mata, ia menemukan sebuah bola kaki menggelinding di bawah meja guru. Kaca jendela yang pecah hampir mengenai badan mungilnya kalau saja ia tidak cepat menghindar.
Rukia mengigit gemas bibir bawahnya kemudian mengambil benda bundar tersebut. Lewat bingkai jendela, ia bisa melihat beberapa siswa tengah memandang nanar dari lapangan sekolah.
.
Reaksi penasaran tergambar jelas dari mimik wajah Ichigo.
"Aduh! Jinta Bodoh! Kenapa malah menendang bolanya ke sana?!" Karin berketeriak pada seorang siswa laki-laki berambut merah yang tampak menyesali kesalahannya.
"Ma-maafkan aku."
"Cepat ambil bolanya!" perintah salah seorang teman mereka.
Ichigo sebagai pelatih tim sepak bola adiknya masih membisu. Tatapannya lurus pada Rukia yang berdiri di dalam kelas sambil memeluk bola. Susah payah ia merebut kesadaran, akhirnya lelaki itu mengenali atensi dari sosok gadis mungil itu. Ia membelalak kagum.
Dahinya yang biasa mengerut kini malah terlihat bersih dari lipatan-lipatan imajiner khas Ichigo. Seluruh indera yang dimiliki Ichigo seolah kehilangan fungsi—ia mematung memperhatikan bagaimana anggunnya gadis—yang kemarin lalu ia bilang pendek—tengah memarahi Jinta.
Tanpa sadar pria berusia 23 tahun itu menyunggingkan senyum. Dia merasa geli melihat bibir tipis gadis belia itu belum berhenti bergerak. Image bawel seakan tidak cocok untuk sosok mungil perempuan bermata ungu yang belum ia kenal itu.
Di tengah kesenangannya memandangi wajah Rukia, Ichigo kaget ketika gadis itu memelototinya dari kejauhan. Jantung polisi muda tersebut mendadak berdetak keras. Bagaimana mungkin hanya karena seorang gadis kecil, ia menjadi terintimidasi. Bukannya menghirup udara dengan bebas, Ichigo merasa ada sesuatu yang menyumbat jalur pernapasan saat gadis itu mulai berjalan mendekat. Lelaki itu menelan ludah seolah-olah ia tengah disudutkan oleh predator sekelas hiu.
Badan mungil Rukia seakan berubah besar di mata seorang Kurosaki Ichigo.
"Apa Anda pelatih mereka, Pak?"
Pa-Pak?! Hei aku belum setua yang kaupikirkan?!
"Ya," sahut Ichigo singkat. Mengontrol dirinya agar tetap tenang dan bersikap dewasa.
"Silakan Anda bertanggung jawab atas kaca jendela yang pecah. Permisi."
Rukia membungkuk lalu berbalik meninggalkan keterpakuan Ichigo. Waktu berhenti dan Ichigo belum sadar kalau kini ia justru menjadi bahan tontonan Karin dan teman-temannya.
"Kakak, kau baik-baik saja?"
Ichigo menoleh pada Karin seraya menganggukan kepala. Sesi latihan mereka sepertinya harus ditunda karena kaca jendela yang pecah.
Tunggu! Ichigo mengarahkan pandangan pada sosok Rukia yang telah menghilang, apa dia tidak ingat tentang kejadian di arena ski waktu itu? Entah kecewa karena apa, Ichigo menghela napas—oh, mana mungkin gadis kecil itu ingat kalau sebagian wajah Ichigo hampir tertutup topi dan kacamata.
Sebetulnya bukan itu yang mengganjal dalam benak Ichigo… duh, apa ya? Hidung Ichigo mengerut, mencoba mengingat sesuatu. Tapi, dasarnya lupa ya tetap saja lupa.
.
"Ah! Gelang itu!" Ichigo menjerit di tengah perjalanan. Karin yang berjalan di belakang sang kakak bingung melihat tingkah Ichigo yang agak aneh setelah bertemu dengan kakak kelasnya tadi. Dengan pipi mengembung, bungsu Kurosaki itu menggeleng-gelengkan kepala lemah pada tingkah kakaknya yang sudah berlari cepat ke rumah.
Gelang salju. Pantas ia merasa ada yang mengganjal saat ia bertemu lagi dengan gadis yang ditabraknya di arena ski waktu itu.
Pintu rumah tertutup keras. Ichigo buru-buru melangkah hingga menimbulkan bunyi gaduh ketika hentakan kakinya membahana di tiap undakan tangga dan di sepanjang koridor menuju kamar tidur.
Dicarinya celana panjang yang kemarin dikenakannya saat bermain ski. Gantungan baju yang dipajang di dindingnya tergantung tiga helai celana. Dua celana pendek selutut dan satu celana panjang berwarna hitam? Oh tidak! Celana yang ia kenakan waktu itu bukan berwarna hitam, tapi—merah!
"Karin!"
Adiknya yang baru saja sampai di rumah lagi-lagi dibingungkan oleh teriakan Ichigo.
Duh, apa lagi sih? Karin menggerutu di dalam hati kemudian melangkah ke dapur seraya menyahut panggilan. "Apa sih, Kak?!" sahutnya tak kalah kencang dengan suara kakaknya.
"Apa tadi kaumencuci celana panjang merahku?"
Karin tampak berpikir dengan kedua bola matanya yang memutar ke atas. "Tidak. Seingatku tidak ada celana warna merah."
Baiklah. Itu berarti kabar bagus. Hanya saja dimana celana merah miliknya itu? Ichigo kembali ke kamar lantas mencari lagi. Terpaku pada warna merah yang terlipat rapi di atas meja belajar, ia pun berubah lega.
Diambilnya celana tersebut kemudian perlahan mencari-cari sakunya demi menemukan sesuatu yang ia cari. Di dalam saku celana sebelah kanan, Ichigo menggenggam sesuatu yang ditemukan.
Syukurlah. Gelang ini masih ada. Tanpa sadar rona wajahnya berseri-seri.
"Apa celana merahnya sudah ketemu, Kak?"
Sembari menyembulkan kepala ke sela pintu kamar kakaknya, Karin takjub mendapati sang kakak—tersenyum.
.
Bersambung
.
Hallo, readers!
Anyway, menurut readers mana yang harus dipilih? Update cepet tapi dengan part yang pendek (maks. 200'an word) atau update lama tapi dengan part panjang (min. 400'an word)? Eumm :)
Sebelum ada readers yang kecewa; mau diinfo'in dulu nih. Fiksi ini masuk rate M bukan karena akan ada content dewasa kelas berat, author pemalas satu ini hanya ingin mengambil sisi aman yang—mungkin—narasi atau scenenya mengarah pada hal dewasa. Meski begitu, semoga fiksi ini masih layak dibaca.
Tunggu part selanjutnya ya :D
