Synesthesia ; fenomena langka yang hanya terjadi pada satu persen populasi di dunia. Synesthesia bukanlah gangguan sakit jiwa atau pun disabilitas, namun lebih kepada 'kemampuan tambahan'. Penderita synesthesia memiliki dua atau lebih persepsi tentang satu objek yang menjadi pemicu; mereka bisa mendengar warna, mencium bau(smell) sentuhan fisik, atau melihat suara. Banyak jenis kemampuan lain yang minor dan kurang penelitian. Saat ini, ada 19 macam kemampuan synesthesia yang diketahui ilmuwan.

Shingeki no kyojin punya om isayama hajime

Rate T for M/M pairing

School-life AU

OOC, bahasa gado-gado

Levi ; Eren ; Jean


Synesthesia

.

.

.

Levi Ackerman adalah seorang mantan prajurit paling perkasa umat manusia—di kehidupan sebelumnya.

Itu kata rekan sejawat berspesies alien, Hanji, sang paranormal ajaib yang memiliki mata batin bisa 'menembus' dimensi ruang dan waktu—katanya. Tapi Levi tidak pernah menaruh kepercayaan pada hal-hal gaib, punya agama saja pun tidak. Cermin Levi adalah kenyataan, fakta, dan realita. Bening, jelas dan tidak tembus pandang. Apa yang ia lihat, itu yang ia percaya. Tidak seperti pekerjaan paranormal yang suka ramal-meramal melalui berbagai macam alat; kartu tarot, lukisan pasir, gugusan bintang bahkan garis tangan—Levi gagal paham pada orang-orang yang menggantungkan masa depan dalam kaca buram.

Dia adalah Levi Ackerman. Seorang guru matematika di SMA Sina yang terkenal suram, angker, galak dan perkasa. Seluruh murid paham betul jangan main api dengannya.

Hari ini, para guru sedang rapat tentang seorang murid baru yang spesial—bukan karena kecerdasannya, namun karena anak itu memiliki kondisi khusus yang tidak dapat dipahami semua orang.

Levi berkomentar, "Kenapa anak itu tidak dimasukkan saja ke sekolah anak-anak penyandang disabilitas. Aku yakin orang tuanya yang memaksa masuk ke sekolah normal begini. Aku tidak mau tanggung jawab."

Erwin berdeham. "Hanji yang akan mengawasinya, namun ia tetap berada di kelasmu. Kau walinya, Levi. Jangan bersikap terlalu keras padanya. Dia akan tiba minggu depan."

"Memangnya kondisi khusus apa? Apa anak itu memiliki penyakit jiwa? Aku baru tahu kalau sekolah ini menampung pasien cacat mental."

"Dia sehat dan cukup normal," Hanji menatap sengit pada rekannya di sebrang meja, "tapi dia punya kemampuan tambahan."

"Kalau kemampuannya itu bisa menjauhkan hantaman penggaris kayu dari pantatnya, tentu, dia kuterima."

Hanji membuka filemap di hadapannya, membalik-balik halaman sampai menemukan profil siswa baru dan membacanya sebentar."Dia penderita synesthesia; bukan penyakit jiwa—" Hanji menekan tiga kata terakhir, "itu adalah semacam kemampuan tambahan. Tergantung jenis, ada penderita yang bisa mendengar warna, bahkan melihat suara. Anak itu tidak memiliki kecacatan mental."

Levi mendecih meremehkan, "Kemampuan tambahan yang tidak berguna. Kutunggu ia besok di kelasku dan akan ku tes seberapa normal mentalnya." Pria itu dengan seenaknya melenggang pergi dan berhenti sebelum menutup pintu, "Siapa namanya?"

Hanji tidak perlu melihat nama siswa yang tertera di lembaran profil.

"Eren Jaeger."

Levi menutup pintu ruang guru dan pergi keluar.

.

.

.

Rutinitas sebagai seorang guru paling ditakuti satu sekolahan adalah; menebas pantat-pantat murid laki-laki yang tak pernah bosan berciuman dengan penggaris kayu besar, menyuruh para murid perempuan menulis surat permintaan maaf seratus lembar atau menggosok lantai keramik satu sekolah. Tapi hukuman yang lebih horror—membersihkan ruang guru sampai bersih dari debu dan kotoran.

Terkadang, beberapa anak muridnya memang bebal—seperti Jean, Connie, Thomas bahkan Sasha—namun itulah yang membuatnya bertahan. Sebagai guru dengan gelar terbaik satu negara, Levi tidak akan membiarkan anak muridnya tidak ada yang lulus, apalagi mereka sudah kelas tiga.

Jadi, sesi belajar-mengajarnya hari ini penuh dengan wajah ketakutan dan aura ketegangan.

Baru saja ia akan mendepak pantat Jean Kirschtein yang tidak bisa menuliskan rumus kalkulus sederhana, saat pintu kelasnya diketuk dan Hanji masuk tanpa izin diberikan. Tangan wanita itu menarik tangan seorang pemuda berkulit coklat dengan surai sepekat kacang almond. Tanpa rasa kasihan Hanji mendorong Jean dengan tangan lain dan si kuda itu jatuh menungging di atas meja Armin yang duduk paling depan.

Sebelum Levi bersuara Hanji sudah menghadap para murid dan menarik pemuda di sebelahnya lebih dekat. Senyuman lima jari dan kacamata berkilauan.

"Hari ini akan ada teman baru untuk kalian. Bersikap baiklah padanya."

Pemuda itu tampak gugup, jemari meremas ujung kain kemeja putih yang dibiarkan keluar dari celana panjang hitam. "Eren Jaeger. Sa—salam kenal."

Armin, yang sudah mengusir si kuda dari hadapan wajahnya, adalah orang kedua yang memberikan senyuman ramah pada Eren. Mikasa yang duduk di meja sebelah Armin, sudah mencuri duluan atensi pemuda itu dengan senyuman malu-malunya. Eren balas tersenyum kaku pada Mikasa bukan karena rasa terpesona, namun pada insting asing yang mengatakan 'jangan dekat-dekat dengannya'.

Eren melemparkan pandangan ke seluruh ruangan, memperhatikan wajah-wajah asing yang turut memandanginya. Tatapan Eren berhenti pada sosok mahluk mungil di sebelah Hanji—mungkin kouhai salah masuk kelas. Dengan alis tajam menukik dan dahi mengkerut, Eren meneliti mahluk kerdil itu dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Umm, apa kau salah masuk kelas, dik?"

Sumpah, Eren Jaeger tak bermaksud apa-apa.

Seisi kelas menahan napas. Fatal. Fatal. Fatal. Habislah seorang pemuda bernama Eren Jaeger yang baru mereka kenal. Bongkahan batu besar di belakang sekolah yang hampir penuh tercoreti oleh inisial nama murid yang pernah kena hukuman langit akan ditambahi dengan inisial E.J. sebagai tanda pengingat. Hanji yang merasakan selubung aura hitam yang menguar sampai pindah ke samping Armin, menggeser pantat kecil pemuda pirang itu untuk berbagi bangku dengannya.

Armin mendelik pada guru alien di sebelahnya, 'dasar guru tak bertanggung jawab.'

"Bocah," tatapan Levi sanggup menusuk ulu jantung Eren. Warna hitam memenuhi pikiran pemuda itu, "jadi kau anak baru itu. Baru masuk saja sudah membuat urat kesabaranku hampir putus, hmm?"

Eren bergidik mendengar nada rendah penuh ancaman. Hitam, kuning, oranye dan merah berputar-putar dalam pikiran. Wajah pucat seketika, "Ma-maaf. Saya tidak tahu anda…siapa?" matanya melirik-lirik minta pertolongan pada gurunya yang lain. Nihil. Hanji cengar-cengir pasang wajah 'masa bodo' dan menonton drama yang tersaji.

Namun, gerakan bibir tanpa suara dari pemuda pirang di sebelah Hanji-sensei membuat Eren menganga, menoleh dramatis ke arah si kouhai yang menggelap dan sedingin es antartika.

Punggungnya membungkuk nyaris sembilan puluh derajat, "Maafkan saya, sensei!" sembur Eren, tidak berani meluruskan lagi badannya. Mata bertumbuk pada sepatu pantofel hitam yang berpijak pada lantai marmer putih—bersih tanpa setitik cela noda.

Seluruh penonton pasang wajah kasihan. Eren Jaeger divonis mati muda—atau hidupnya di sekolah akan menderita.

Levi beranjak, duduk di singgasananya. Mata tetap tak lepas dari sosok pemuda pencuri perhatian, "Eren Jaeger, tujuh belas tahun, selama ini tidak pernah mengenyam bangku pendidikan normal dan mendapat ilmu dari homeschooling." Ia menjelaskan. Obsidian setajam pedang sengit berperang dengan manik sea green yang meminta dihabisi, "Mari tes seberapa efektifnya pendidikan sekolah di rumah. Eren, kerjakan soal yang berada di papan tulis sekarang juga."

Warna hitam semakin pekat dalam dunia visualisasinya. Eren meneguk ludah. Kembali melirik dan dengan wajah sangat memohon meminta pertolongan pada Hanji-sensei—lagi-lagi ditolak.

"Tunggu apa lagi kau bocah. Cepat kerjakan!" perintah Levi menggelegak, membuat para murid sampai terlonjak.

Armin komat-kamit merapal doa keselamatan bagi teman barunya yang baru sesaat menginjakkan kaki dalam kelas sudah terkena hukuman raja setan.

Eren cepat-cepat mengambil spidol hitam yang tergeletak di pinggir meja Levi tanpa mau melirik mata tajam itu barang sedetik lalu berdiri di hadapan papan tulis. Eren memandangi tulisan-tulisan tangan rapi yang berjejer dan penuh dengan angka, garis, simbol yang sayangnya—tak ia pahami. Barulah ia menyesali mengapa tak pernah memperhatikan sang guru privat ketika mengajarinya matematika.

Sekali lagi, Eren menoleh dramatis. Butiran keringat meluncur manis di pelipis. Tamatlah sudah.

Ayah, Ibu, terima kasih karena sudah merawatku dengan baik. Eren mengucapkan kalimat terakhir di hidupnya dalam hati.

"Otakmu sama kuda seperti Kirschtein. Perlukah aku mencolok telinga kalian dengan linggis dan mengocok isi kepala sampai kurasa otak kalian berdua layak untuk disajikan di atas piring." Tatapan dan nada membunuh dari Levi benar-benar membuat Eren merasa lebih baik mati.

Hitam pekat berbaur dengan warna merah darah—dunia visualisasi Eren memburam. Mendadak segalanya tampak horror. Eren lekas menyingkirkan perasaan yang memicu warna-warna dalam penglihatannya. Kepalanya menggeleng kuat untuk menampik perasaan ketakutan—namun Levi yang melihat itu menganggapnya sebagai penolakan.

"Menuliskan jawaban dengan rumus kalkulus sederhana saja kau tidak bisa, bocah. Lama-lama kujadikan kau ayam kalkun panggang sekalian—"

"Cukup, Levi." Hanji mengatakan nada itu dengan tegas, seperti bukan dirinya yang biasa ceria dan suka nyengir aneh tanpa dosa. "Eren, duduklah. Kursimu di sebelah Jean." Arah mata Hanji menuntun Eren ke bangku kosong pada deretan terakhir yang bersebelahan dengan jendela.

Eren mendesah lega—ternyata Hanji-sensei menyelamatkannya dari kematian. Pahlawan selalu datang terakhir, bukan?

Baru saja Eren hendak menempelkan bokong ke kursi kayu, raja setan itu kembali bersuara. "Berhenti. Siapa yang menyuruhmu bocah. Aku walimu, bukan dia." Kini obsidiannya berperang dengan mata coklat gelap. Sengit tanpa suara.

Anak-anak kini mengangguk paham dengan istilah 'perang dingin' yang akan segera terjadi dalam kelas mereka.

Tidak tahu apa yang harus dilakukan, Eren setengah menungging di atas kursinya. Berdiri tidak, duduk juga tidak. Jean yang berada di sampingnya sampai menahan tawa karena kombinasi posisi dan wajah Eren seperti konstipasi. Sebenarnya itu wajah orang yang gelisah, namun karena Jean adalah mahluk jorok, jadi lain artinya.

"Perlukah kutekankan kalau kau sedang berada dalam kelasku, waria sinting. Bocah itu sedang dalam wilayah kekuasaanku sekarang, kecuali kalau dia berada di rumah sakit jiwa, baru dia milikmu."

Hanji mendengus, sebenarnya ingin menemani Eren demi tujuan pengawasan—sekaligus penelitian—namun ada tugas lain di jadwal tak tertulis dalam otaknya. Wanita itu menoleh dan menatap khawatir pada Eren, gerakan tangan menyuruh pemuda itu untuk duduk saja—dan Eren lekas menurut karena kaki dan bokongnya pegal—lalu kembali berperang dengan sepasang bola mata sedalam gelap lautan.

"Jangan kasar-kasar pada Eren. Pada rapat kemarin aku menjelaskan kondisinya pada guru lain, namun waktu itu kau melengos duluan." Hanji bangkit berdiri dan mendekati Levi. Armin dalam hatinya lega karena mungkin pantatnya tak lagi terbelah dua namun tiga, "Jangan memicu emosi negatif pada anak itu. Ini peringatan. Kalau sampai terjadi hal yang buruk padanya kau harus bertanggung jawab." Bisikan rendah dengan nada ancaman terselubung—bahkan alien sepertinya bisa mengeluarkan nada seperti itu.

Tapi sang raja setan tetap geming, muka datar serata teflon. Sengatan menusuk tetap diberikan pada coklat gelap di atasnya, "Jika dia tidak memancing emosi seperti tadi, dengan senang hati kulakukan. Tapi sekedar menjawab soal kalkulus sederhana saja otaknya tidak mampu. Dia harus kugembleng seperti apa?"

Hanji memijat pelipisnya sejenak, menghela nafas lelah. "Kutemui kau setelah pulang sekolah. Sampai saat itu, jangan macam-macam padanya." Matanya sekali lagi melirik khawatir pada Eren, lalu pergi keluar.

Hanji telah pergi, tak ada lagi penghalang. Eren merutuki dirinya sendiri kenapa ia bersikeras mau masuk sekolah normal—dan di depan, Armin sebagai malaikat baik hati kembali merapal doa keselamatan.

Langkah Levi berdegap seperti dentuman palu ketok hakim ketika berjalan ke arah meja sang tervonis mati; Eren Jaeger. Mendadak pasokan oksigen dalam kelas berkurang drastis.

"Eren Jaeger."

Sang terdakwa meneguk ludah. Percikan merah darah melintas sekilas dalam isi pikiran, "I-iya, Levi-sensei?"

Tolonglah papi mami, Eren mau pulang.

"Pelajari ini. Semuanya." Perintah absolut.

Eren terlonjak ketika buku-buku tebal tentang dunia matematika dibanting di atas mejanya. Berdebum keras. Jean Kirschtein yang duduk di belakang Levi-sensei sampai menahan napas.

"Se—semua ini, sensei? Mana bisa—"

"Kau menolak perintahku, bocah?"

Kepala Eren memanas—bukan karena amarah, namun karena ia merasakan sulur api dari pria cebol yang entah kenapa lebih mirip titan. "Si-siap! Maafkan saya sensei!"

Sang guru killer mendengus, kembali ke singgasananya. Meninggalkan murid barunya yang termangu tak tahu harus lakukan apa. Besok ia harus sudah hapal semua rumus atau dikubur dalam tanah. Eren tak sadar mahluk vertebrata di meja samping sedang menatapnya prihatin—tapi hanya di luarnya saja.

Inner Jean Kirschtein bahagia luar biasa. Ada kambing hitam baru selain dirinya. Levi-sensei jelas lebih tertarik pada si muka badak—dan kuda tak lagi menarik perhatiannya! Jean patut berhore ria.

Jadi, Jean bersiul-siul kecil ketika pelajaran dilanjutkan. Sampai hampir bel istirahat makan siang, mendadak otak kudanya naik setingkat menjadi otak kambing jantan.

Hingga sebuah perintah terakhir dari Levi-sensei tersayang laksana membakar semua kebahagiaan Jean Kirschtein sampai lenyap tak bersisa.

"Jean Kirschtein! Eren Jaeger! Pulang sekolah bersihkan ruang guru dan pelajari buku yang kuberikan!"

Guru perkasa itu menghilang di balik pintu. Bel istirahat berdentang. Badak dan Kuda saling berbagi tatapan nelangsa lalu melorot jatuh ke bawah meja. Murid lain menatap kasihan.

Armin Arlert berdoa semoga kedua temannya itu diijinkan masuk surga.

.

.

.

"Eren Jaeger, ya? Kasihan, baru masuk sudah kena hukuman Levi-sensei."

"Eren, kenapa tadi Hanji-sensei seperti menaruh perhatian khusus padamu?"

"Eren, selama ini kau homeschooling, jadi coba ceritakan gimana rasanya sekolah di rumah? Pasti enak, ya? Nggak ada Levi-sensei pasti enak."

Eren Jaeger, 17 tahun, perjaka tulen, ternyata cukup populer di antara gadis-gadis kelasnya. Masalahnya Eren tidak pernah dikerubungi banyak orang. Senang ya senang ada yang perhatian, tapi risih juga ternyata. Tapi kalimat pertanyaan terakhir yang didengarnya itu memang benar kedengaran enak. Nggak ada manusia cebol itu memang enak. Eren menyesal setengah mampus telah memaksa papi Grisha untuk dimasukkan ke sekolah normal.

Kesalahan besar apa yang telah diperbuatnya hingga menerima karma yaitu hukuman raja setan?

Eren menggaruk tengkuk canggung, cengar-cengir inosen, "Umm…aku tidak paham matematika. Apa ada yang mau mengajariku?"

Aji mumpung, lebih baik ia manfaatkan gadis-gadis ini. Siapa tahu salah satu diantara mereka ada yang pintar.

"Ah, kalau minta diajari, diantara kami gak ada yang bisa. Bisa lewat garis KKM saja sudah sujud syukur sampai gelar acara selametan." Jawab seorang gadis berambut merah kecoklatan dan diikat kuda. Mulutnya penuh dengan ciki kentang. Mata Eren sedikit menyipit, mungkinkah Hanji-sensei waktu mudanya seperti ini? Fisik mereka agak mirip—kecuali dadanya.

"Iya, Ren. Udah ngerasain sendiri kan sesi belajar-mengajarnya kayak apa. Apalagi waktu ujian, coba bayangin deh." Gadis mungil berparas seperti dewi membalas. Eren terpesona beberapa detik memandanginya.

"Aku bisa mengajarimu, Eren."

Kerumunan di meja Eren menoleh dramatis. Gadis berwajah oriental dan tubuh molek memandang lurus pada manik hijau terang di depannya. Gadis-gadis lain menyingkir seketika.

Mikasa Ackerman—sama seperti pamannya yang guru killer, para murid paham betul jangan main api dengannya.

Insting dari sang maha kuasa kembali memberi waham pada Eren untuk jangan dekat-dekat dengan domba berbulu serigala macam gadis yang sekarang berdiri di samping mejanya. Alasannya jelas. Warna merah muda bercampur dengan hitam pekat sempat terlintas dalam pikirannya ketika mendengar suara gadis itu.

Entah kenapa, terdengar suara batuk keras dari meja sebelah. Perhatian Eren teralihkan pada si kuda yang bermuka masam ke arah Eren.

"Nilai matematikaku bagus. Aku bisa mengajarimu sepulang sekolah, setelah kau menjalankan hukumanmu. Bagaimana?" tawar Mikasa.

Eren setengah hati menerima. Insting dikesampingkan daripada berakhir menjadi seonggok mayat. "Baiklah." Terima Eren tersenyum paksa.

"Namaku Mikasa Ackerman." Lanjut gadis itu memperkenalkan diri. Ackerman. Alasan Eren untuk menjauhi Mikasa bertambah satu lagi.

Kesempatan, gadis lain ikut memperkenalkan dirinya sendiri.

"Aku Armin Arlert. Kalau mau, aku juga bisa mengajarimu."

"Amin Alot?" Eren menatap sosok berambut pirang panjang di sebelah Mikasa bingung. Salah fokus sampai tidak mendengar suara karena terlalu sibuk memikirkan apakah sosok pirang ini jantan atau betina. "Amin—amen? Eh apa?"

Jean Kirschtein ingin berteriak 'BEGO' di muka Eren sekencang-kencangnya. Meskipun ia mengakui fakta bahwa tingkat kebodohan mereka berdua adalah sama.

Malaikat memang pada dasarnya malaikat, jadi Armin pasang senyum andalan. "Armin Arlert. A-r-m-i-n A-r-l-e-r-t."

"Oh, maaf." Cengir Eren merasa bersalah. "Baik, kalau begitu kita belajar bersama-sama. Lebih rame lebih seru, ya kan?" Eren bersorak, adanya Armin bisa sedikit membuatnya tenang. Bersama-sama dengan penyandang nama Ackerman benar-benar membuatnya tidak nyaman.

Eren tak sadar senyum simpul Mikasa menyusut beberapa mili. Atau sadar dan pura-pura tak lihat.

"Lebih rame lebih seru. Jean Kirschtein ikut."

Seperti kuda yang kadang suka menoyor pawang, Jean juga suka tiba-tiba nimbrung dalam percakapan orang. Kesampingkan harga dirinya, ini demi keselamatan jiwa.

"Jean, kau itu susah fokus dan lebih sering membuyarkan konsentrasi. Kalau mau ikut, jangan malah ganggu." Armin sang murid teladan mengajukan syarat. Pemuda pirang itu melirik pada Eren, dan sebagai sama-sama tervonis mati, maka badak akan merangkul kuda dan mengajaknya ikut serta. Eren mengangguk setuju. Satu lagi bodyguard dari penyandang nama Ackerman.

Jean terima dengan lapang dada. Kain putih dikeluarkan dari saku celana, dengan gagah diikatkan di jidat. Tangan mengepal kuat di udara. "Perang melawan Levi-sensei akan dimenangkan oleh Eren Jaeger dan Jean Kirschtein!"

Kikikan kuda membahana dalam satu ruangan. Para murid yang sedang menikmati makan siang mendadak mual.

Resmi sudah, sebuah kelompok aneh menambah daftar keanehan lain dalam kelas mereka.

.

.

.


tebese

ketikan dengan editan ala kadarnya. mohon maaf kalau ada typo yang lewat, orz. ini bukan humor...tapi entahlah, saya cuman nulis dengan gaya bahasa yang campur aduk tapi cukup ringan.

saya masih belum nentuin eren akan berakhir dengan siapa. sama pak guru levi atau sesama anak idiot jean? hohoho

coba tebak kemampuan sinesthesia apa yang dimiliki Eren. oh ya, kemampuan Eren masih ada satu lagi ;3

ini baru prolog. chap selanjutnya diusahakan akan agak lebih panjang ;3 sampai ketemu!

Salam manis,

Pon