Rated: M
Disclaimer: Masashi Kishimoto
Warning: OOC, super crack pairing, Typos etc
NejiTen
slight
NejiKarin
Couple Words From Minato:
Hai Minna-san :):) ya Minato kembali dengan fic yang ber genre baru, ber pairing baru dan ber rated baru. WHAATT? rated M? huhuhu. Ya, sebenarnya rated M nya lebih ke arah alur cerita dan ada beberapa kata umpatan gitu sih. Tapi, gamenutup kemungkinan ada adegan 18+ di chappy selanjut-lanjutnya .-. HeHeHe. ya, lagi-lagi Minato keluar dari zona aman Minato, tenang saja Minato akan berusaha supaya ceritanya jadi jelas (kapok sm fic yg sebelumnya) huhuhu. Karena Minato masih kurang pengalaman dalam genre selain romance, Minato mohon bantuan dari senpai-senpai yang mungkin baca fic ini hehehe. Dan soal crack pairingnya... well, lebih baik dibaca dulu sebelum berspekulasi yg aneh-aneh hohoho. Nanti akan Minato kasih tau alasannya kenapa Minato milih Karin dibanding kunoichi yang lainnya :):) okay langsung saja chappy 1~~
Embrouille
Chapter 1 (Prologue)
Ironisnya, hari itu cuaca baik sekali untuk terbang. Langit di bulan Januari tak berawan dan sangat biru hingga menyilaukan jika dipandang. Tak ada segumpal awan pun yang nampak, angin sejuk berembus lembut di utara. Lalu lintas lapangan udara lumayan padat, tapi para petuggas lapangan yang efisien mengatur jadwal dengan baik. Tak ada pesawat yang berputar-putar menunggu izin untuk mendarat, dan hanya ada beberapa pesawat yang menunggu giliran untuk tinggal landas.
Hari itu adalah hari jumat pagi yang biasa saja di Bandara Narita Tokyo, satu-satunya gangguan bagi para penumpang pesawat AireJapan Penerbangan 398 adalah waktu mereka memasuki bandara itu sendiri. Adanya pembangunan jalan diarea bandara telah menyebabkan kemacetan lalu lintas sepanjang satu kilometer. Meski begitu, sembilan puluh tujuh penumpang telah masuk kedalam pesawat tepat pada waktunya. Ada yang meletakkan barang-barangnya ditempatnya diatas tempat duduk, ada yang memasang sabuk penyelamat, ada pula yang duduk ditempat duduknya dengan buku, majalah, atau Koran.
Para awak pesawat mengadakan pengecekan rutin menjelang penerbangan. Para pramugari bersenda gurau sambil mengisi kereta-kereta pembawa minuman dan menyeduh kopi yang tidak akan pernah mereka tuangkan, penghitungan akhir dilakukan dan para penumpang cadangan yang penuh harap diperbolehkan naik. Penghalang diangkat. Pesawat dibawa ke ujung landas pacu. Terdengar suara kapten yang ramah lewat pengeras suara, memberitahu bahwa pesawat mereka berada dalam urutan kedua dilandas pacu. Setelah dilaporkannya bahwa cuaca dikota tujuan mereka, Hokaido, baik sekali. diinstruksikannya para kru untuk segera tinggal landas.
Baik dia maupun semua orang yang berada didalam pesawat itu tidak mengira bahwa mereka hanya akan berada diudara selama tiga puluh detik.
xXx
"Jiraya!
"Hn?"
"Ada pesawat terbang yang baru saja jatuh di bandara." Kepala Jiraya terangkat dengan tiba-tiba. "Meledak?"
"Dan terbakar. Apinya besar sekali dujung landas pacu." Direktur berita itu menjatuhkan mesin hitung Nielsen keluaran terbaru begitu saja diatas meja kerjanya yang berantakan. Meskipun ia sudah tua dan keadaan fisiknya tidak terpelihara, ia bergerak dengan lincah sekali. Jiraya mengitari sudut meja kerjanya dan masuk menyerbu ke luar ruangan melalui pintu kantornya yang terbuat dari kaca. Ia hampir saja menabrak reporter yang membawakannya berita itu.
"Sedang tinggal landas atau mendarat?" Tanyanya lewat pundak lebarnya.
"Tak diberitakan."
"Ada yang selamat?"
"Tak diberitakan."
"Milik sebuah perusahaan penerbangan atau milik pribadi?"
"Tak diberitakan."
"Hei! Apakah kau yakin memang ada pesawat yang meledak?" Sekelompok reporter, juru foto dan sekretaris yang murung telah berkumpul ditempat radio polisi. Jiraya menyikut mereka dan meraih tombol suara pesawat radio itu.
"… tempat landas pacu. Pada saat ini belum tampak yang selamat. Bagian pemadam kebakaran bandara sedang menuju ketempat kejadian. Asap dan nyala api jelas terlihat. Helicopter-helikopter sedang mengudara. Ambulans sedang-"
Jiraya mulai meneriakkan perintah-perintah dengan suara yang lebih nyaring daripada radio itu. "Kau," Katanya sambil menunjuk reporter pria yang baru saja masuk kekantor beberapa detik yang lalu, "ambil peralatan pengambilan gambar dari jauh secara langsung dan pergi kesana secepat mungkin." Sang reporter dan seorang juru kamera berlari ke luar meninggalkan kelompok itu.
"Siapa yang menyampaikan berita ini?" Tanya Jiraya.
"Shikamaru, dia sedang dalam perjalanan menuju tempat kerjanya dan terjebak kemacetan didekat bandara."
"Apakah dia masih disana?"
"Ya, sedang berbicara lewat telepon di mobilnya."
"Suruh dia mendatangi tempat kecelakaan sedekat mungkin dan merekam sebanyak mungkin sementara menunggu perlengkapan datang. Udarakan pula helicopter kita. Telepon pilotnya, suruh berangkat secepatnya. Temui ia di lapangan helicopter." Ia melihat ke wajah-wajah orang itu, mencari seseorang.
"Ayame masih ada?" ia menanyakan si pembawa berita.
"Sedang kekamar kecil, kau tahulah wanita."
"Panggil dia. Suruh kestudio. Kita akan menayangkan berita penyela, aku akan minta pernyataan dari seseorang di menara, dari para petugas bandara, perusahaan penerbangannya, polisi, pokoknya sesuatu untuk diberitakan sebelum mulut semua orang tertutup." Jiraya mendengus lalu berputar dan menunjuk seseorang. "Kau! Telpon Tenten di rumahnya, katakan padanya-"
"Tak bisa, ingat? Dia pergi ke Hokaido hari ini."
"Sialan! Aku lupa. Tidak, tunggu!" Kata Jiraya sambil menjentikan jarinya dengan pandangan penuh harapan. "Mungkin ia masih ada dibandara. Kalau begitu, ia akan berada di lokasi kejadian, lebih dulu dari semua orang. Bila ia berada diterminal AireJapan, ia bisa mencari berita dari segi kemanusiaannya. Kalau Tenten menelpon, bertahu aku segera."
Karena ingin tahu perkembangannya, Jiraya berbalik lagi ketempat radio. Hatinya berdebar. Ini berarti ia tidak akan bisa berakhir pekan. Ini berarti ia harus bekerja lembur dan pusing kepala, makan makanan dingin dan bir kaleng murahan serta kopi basi. Tetapi, Jiraya sedang semangat. Tak ada yang lebih penting selain memberitakan pesawat terbang yang meledak dalam berita mingguan.
xXx
Hyuuga Neji menghentikan mobilnya didepan kediaman clan Hyuuga, ia melambai pada mandor perkebunan yang hendak keluar dari mobil pick-up nya. Seekor anjing collie berlari mendatanginya dan melompat-lompat mengelilingi lututnya.
"Hei, Chimaru." Neji membungkuk dan menepuk-nepuk kepala anjing berbulu tebal itu. anjing itu mendongak padanya dengan pandangan memuja. Berpuluh-puluh ribu orang memandang Hyuuga Neji dengan rasa hormat dan memuja seperti itu. banyak hal pada pria itu yang patut dikagumi. Mulai dari rambut coklat pucatnya yang panjang dan selalu diikat longgar sampai ujung sepatunya yang sudah tua. Ia idola kaum wanita dan panutan bagi kaum pria.
Tetapi, begitu banyak pengagumnya, begitu pula musuhnya. Setelah memerintahkan Chimaru agar tetap diluar, ia memasuki ruang depan rumah yang luas dan membuka kacamatanya. Tumit sepatunya menimbulkan gema pada lantai saat ia berjalan menuju dapur. Bau kopi yang sudah diseduh tercium olehnya. Perutnya jadi keroncongan, mengingatkannya bahwa dia belum makan apa-apa dari pagi.
Orangtuanya ada didapur sedang duduk meghadap meja bundar dari kayu ek, yang sudah berada disitu sepanjang ingatan Neji. Waktu ia masuk, ibunya memalingkan wajah dengan tegang. Wajahnya pucat sekali. ayahnya Hyuuga Hiashi, segera bangkit dan berjalan kearahnya dengan lengan terkembang.
"Neji."
"Ada apa?" Tanyanya heran. "Melihat wajah kalian berdua, orang akan mengira akan ada seseorang yang meninggal." Hiashi mengernyitkan hidungnya.
"Apa kau tidak mendengar radio di mobilmu?"
"Tidak. Aku mendengarkan DVD playerku, mengapa?" Barulah timbul rasa panik dalam hatinya. "Ada apa?" Matanya tertuju pada televise flat 29 inch yang terletak diatas meja kayu penuh ukiran. Ke situlah perhatian orangtuanya ketika tadi ia masuk. "Neji." Kata Hiashi dengan suara penuh emosi. "Baru saja saluran tiga mengumunkan berita penting. Ada sebuah pesawat terbang yang meledak pada waktu tinggal landas, beberapa menit yang lalu di Narita." Dada Neji naik turun dengan cepat, mendengus tanpa bersuara.
"Belum diberitakan dengan pasti nomor penerbangan yang mana, tapi mereka menduga-" Hiashi berhenti bicara dan menggeleng dengan sedih. Di meja, Aya, istrinya meremas selembar tissue yang lembab ke mulutnya yang tertutup rapat.
"Pesawat Karin?" Tanya Neji dengan serak. Hiashi mengangguk.
xXx
"Nyonya Hyuuga? Bisakah anda mendengar saya?"
Tanpa disadarinya ia memberikan tanggapan, dan keluarlah erangan halus dari dadanya yang sakit. Ia mencoba membuka kelopak matanya, tetapi tidak bisa. Salah satu diantaranya dipaksa membuka dan seberkas cahaya menembus tengkorak kepalanya, menimbulkan rasa sakit yang memusingkan. Akhirnya cahaya itu dipadamkan.
"Ia sudah sadar, segera beritahu suaminya!" kata suara yang tak tampak pemiliknya itu. ia mencoba memalingkan kepalanya ke arah suara itu, tetapi ternyata kepalanya tak bisa digerakan. "Apakah kau menyimpan nomor hotel mereka?"
"Ada Dokter, tuan Hyuuga telah memberikannya pada kami, bila sewaktu-waktu istrinya sadar dan ia tidak berada disini,." Serat-serat kabut kelabu yang masih tertinggal menguap, kata-kata yang semula tak dipahaminya kini berkaitan dan membentuk pengertian dalam benaknya. Dia mengerti kata-kata itu tapi tak paham maksudnya.
"Saya tahu anda telah mengalami sakit yang luar biasa, nyonya Hyuuga. Kami sedang melakukan segala cara untuk menghilangkan rasa sakit itu. anda tidak akan bisa berbicara, jadi tak usah mencoba. Tenang saja, keluarga anda akan datang sebentar lagi," denyut nadinya yang cepat merambat kekepalanya. Ia ingin bernapas, tetapi tak bisa. Sebuah mesin yang bernapas untuknya. Lewat sebuah selang di dalam mulutnya, yang memompakan udara langsung kedalam paru-parunya.
Ia mencoba membuka matanya lagi, satu matanya bisa terbuka sebagian. Lewat celahnya, ia melihat cahaya yang membingungkan. Matanya terasa sakit kalau harus focus kesatu benda. Tapi ia berusaha melakukannya, hingga bentuk-bentuk yang tadinya tak jelas, kini mulai tampak. Ya ia berada dirumah sakit. Itu sudah diketahuinya.
Tapi bagaimana? Mengapa? Itu ada hubungannya dengan mimpi buruk yang telah ditinggalkannya dalam kabut, ia tidak mau lagi mengingatnya. Ia tidak dapat bergerak. Kaki dan tangannya tak mau bergerak, tak peduli seberapa kerasnya ia mencoba. Kepalanya pun tak bisa digerakkan, ia merasa seperti terjebak di adonan semen sejak lama dan kini telah mengeras, kaku, tak bisa bergerak. Hal ini membuatnya takut. Apakah ia lumpuh? Apakah hal ini akan terjadi selamanya? Jantungnya berdebar kuat. Sesuatu langsung mendatangi sisinya.
"Nyonya Hyuuga, anda tidak perlu takut. Anda akan sembuh."
"Denyut jantungnya terlalu tinggi." Kata sosok kedua dari sisi tempat tidurnya. "Kurasa ia hanya ketakutan." Ia mengenalinya sebagai suara pertama.
"Ia tidak tahu dimana ia berada, tak mengerti apa yang sedang terjadi." Suatu sosok yang berpakaian putih membungkuk diatasnya.
"Semuanya akan beres. Kami sudah menelpon tuan Hyuuga dan ia sedang dalam perjalanan. Anda akan sangat senang bertemu dengannya bukan? Ia lega sekali anda sudah sadar kembali."
"Kasihan, bayangkan. Terbangun dan harus menghadapi ini semua."
"Kehilangan janin yang dikandung."
"Yah, dan mengalami kecelakaan pesawat yang sangat mengerikan. Mungkin aku akan memohon kepada Kamisama agar nyawaku di cabut." Suatu jeritan tanpa sosok bergema dengan nyaring dibenaknya. Ia ingat.
Logam yang berbenturan. Orang-orang yang menjerit. Asap, kabut dan kegelapan. Lalu nyala api, dan rasa takut yang hebat. Secara otomatis ia menjalankan instruksi-instruksi keadaan darurat yang telah diperagakan oleh beratus-ratus petugas penerbangan pada beratus-ratus penerbangan yang telah dijalaninya. Begitu berhasil keluar dari badan pesawat yang sedang terbakar itu, ia mulai berlari dengan membabi buta melalui suatu dunia yang bermandikan darah dan asap. Meskipun terasa tersiksa, ia terus saja berlari sambil mencengkram…
Mencengkram apa? Ia ingat bahwa itu adalah sesuatu yang berharga, sesuatu yang harus dibawanya keluar dengan selamat. Ia ingat bahwa ia jatuh. Ia bahkan tak merasakan sakit saat tubuhnya terbentur ketanah. Waktu itu ia sudah diselubungi keadaan tak sadar, yang hingga saat ini telah melindunginya dari rasa tersiksa bila teringat.
"Dokter!"
"Ada apa?"
"Denyut jantungnya meningkat hebat!"
"Baiklah, kita tenangkan dia sedikit. Nyonya Hyuuga." Kata dokter dengan tekanan "tenanglah, semuanya akan beres. Tak ada yang perlu dirisaukan."
"Dokter! Tuan Hyuuga telah tiba."
"Tahan dia diluar, sampai kita bisa menenangkan istrinya."
"Ada apa?" Suara yang baru itu sepertinya datang dari jauh sekali, namun mengandung kewibawaan.
"Tuan Hyuuga, beri kami waktu-"
"Karin?"
Tiba-tiba ia menyadari kehadirannya, orang itu merunduk dekat sekali pada dirinya, berbicara padanya dengan suara halus yang meyakinkan.
"Kau akan sembuh. Aku tahu kau ketakutan dan panik, tapi kau akan sembuh. Demikian pula Naomi, Kami-sama. Ada beberapa tulangnya yang patah, dan beberapa bagian lengannya yang terbakar. Kaa-san tinggal dirumah sakit untuk menemaninya, dia akan sembuh juga. Kau dengar aku, Karin? Kau dan Naomi selamat, itulah yang paling penting sekarang." Dibelakang kepala orang itu, ada cahaya pijar yang menyilaukan, membuat raut mukanya tidak jelas. Namun ia bisa mendapatkan gambaran kuat yang membentuk kesan yang samar mengenai rupa orang itu. ia berpegang kuat pada setiap kata menenangkan yang diucapkan laki-laki bersuara baritone itu. Dan karena orang itu mengucapkannya dengan penuh keyakinan, maka ia mempercayainya. Ia ingin meraih tangan orang itu, atau lebih tepatnya, mencoba meraihnya. Sepertinya orang itu merasakan keinginannya, karena orang itu meletakkan tangannya dengan halus dipundaknya. Rasa paniknya mulai berkurang ketika merasakan sentuhan orang tersebut, atau mungkin ini semua karena pengaruh obat penenang yang telah disuntikan pada selang infusnya tadi. Ia membiarkan dirinya terhanyut, dan merasa lebih aman karena ada orang asing bersuara baritone penuh kelembutan itu disisinya, dekat sekali.
"Ia mulai tak sadar. Sebaiknya anda tinggalkan dia, Tuan Hyuuga."
"Saya akan tetap disini." Ia memejamkan matanya, dan gambaran samar tentang orang itu lenyap secara perlahan. obat itu menenangkan, ia merasa terayun-ayun dalam sebuah kanal. Ia ingin tahu siapa Naomi itu?
Ia harus tau siapa laki-laki yang menyebutnya Karin itu. Lalu, mengapa semua orang mengira ia menikah dengan lelaki itu? mereka tentu salah.
Ia tak kenal dengan pria bersuara baritone itu.
Yaa, sebelum minna-san puyeng, Minato akan menjelaskan beberapa hal. Di fic ini, Jepang Minato buat jadi negara serikat seperti US. nah, Tokyo itu seperti washington nya Jepang, Tokyo punya negara-negara kecil yaitu Konoha, Suna, Kiri, Komu sama Oto. Simple kann? Hehehe. dan disini Senator itu adalah org yang mewakili setiap perserikatan negara. Tokyo harus punya satu Senat, Hokaido juga dan beberapa provinsi jepang lainnya. misalnya Hokaido, dia juga punya serikat negara kecil kaya Tokyo. pahamkann? Semoga penjelasan Minato jelas yaa :') Sebelum Minato merasa bersalah, Minato minta pendapat para readers, Delete? or Lanjut? Dan kalo ada yang kurang jelas tanyaa aja yaa :) Hihihi. okay segini dulu, cya on the next chap! xoxo
