LuCiel : Chiliarch-Dreadlord, Royal Guard ( Luciella Sourcream-Marciel Adrean, Roy Guartismo )
Raven
: Blade Master
Elesis
: Blazing Heart

Warning(s) : BoyxBoy DLxBM, typos, OOC, hasil delusi fujomblo semata, alur terlalu cepat.

Disclaimer tentu KoG serta pihak lainnya yang telah merilis game Elsword.


Jam raksasa di alun-alun berdentang 7 kali begitu mentari memaparkan kemilaunya. Corak jingga kekuningan mencerahkan langit dari arah timur. Semilir hangat musim panas turut menemani para penduduk yang perlahan mulai berlalu lalang; demi melaksanakan rutinitas pagi masing-masing.

Pepohonan hijau tumbuh kokoh mengelilingi jam kota, gemerisik lembut saat daun berdansa mengikuti alur tiupan angin memberikan efek menenangkan walaupun pikiran sedang kacau menghadapi desakan hiruk pikuk keramaian dari sisi kiri dan kanan. Meski bukan berada di jantung kota, tetap saja, adanya stasiun kereta tidak jauh dari situ mungkin penyebab mengapa daerah ini selalu sibuk.

Tepat di bawah salah satu pohon rindang dekat tepi jalan, seorang pemuda memetik anggun senar biola yang tengah ia mainkan. Melodi penyemangat dilantunkan kepada para pengamat; entah untuk pekerja maupun para pelajar, sebelum memulai hari. Lagu tersebut merupakan sebuah bentuk hasil jerih payahnya setelah latihan berhari-hari.

Ide, perasaan, serta kreativitas nya tertuang sepenuh hati, dan sekarang waktunya ia unjuk gigi. Kekuatan, disusul oleh kemantapan batin, menyebabkan setiap gesekan senar kian cepat nan bertenaga dari sebelumnya; membangkitkan percikan api kompetitif setiap pejalan kaki agar mampu melalui segala macam tantangan. Tidak hanya tangan, manik madu serta senyumnya mendapat pujian. Wajah tampannya terbingkai oleh surai legam yang mulai terbasuh oleh keringat.

Kekaguman tersebut sayangnya berhenti, setelah mengamati lebih lanjut tubuh sang pemain.

Kursi roda ialah penyokong badan si rambut hitam. Hembusan dari alam menerpa lembut bagian bawah celana hitam yang dikenakan sosok rupawan tersebut. Kakinya yang tiada umpama pengingat untuk tidak pernah menatap ke bawah layaknya pecundang; kepala tetap menggadah bersiap menghadapi hari baru. Kekurangannya ia jadikan kekuatan agar tidak menyerah, jadi masa bodo dengan umpatan serta ejekan yang merendahkan kondisi fisiknya.

Di seberang jalan; tepatnya di sudut perempatan gedung yang berderet, tersebutlah sebuah kafe merangkap toko kue bernama El-Star. Baru saja didirikan selama 2 tahun dan telah menjadi salah satu tempat favorit para penduduk bahkan wisatawan. Pemandangannya yang menghadap tepi alun-alun, lalu para pekerja nya— Ah, para pekerja nya! Pantas 76% pelanggan setia kafe ini wanita semua.

Daya tarik utama El-Star yaitu adanya sebuah jendela raksasa mengarah tepat ke arah para pejalan kaki melintas. Ada 2 hal yang bisa diamati; suasana di ruang kafe, dan adanya sebuah jendela raksasa menampilkan aksi memanggang maupun kekacauan dapur. Pada awalnya, para pekerja mendapatkan ide ini sebagai pembuktian serta meyakinkan pembeli kalau semua roti yang dihasilkan kafe ini '100% freshly made from the oven', plus, tanpa bahan pengawet. Namun, seiring waktu, hasilnya justru lebih banyak pengunjung menikmati proses pembuatan adonan daripada hasil adonan tersebut yang pastinya bakal disajikan di piring.

Suasana panas dapur tak sepanas gairah para 6 staf pembuat kue dari balik jendela. H-hei, bukan gairah yang 'itu', ya! Tapi gairah memasak, loh! Berpusing ria di musim panas bukanlah pilihan bagi mereka, apalagi untuk si anak baru, Ciel. Sebenarnya, masih ada banyak pelayan maupun tukang roti yang bisa dikatakan... cukup 'menyegarkan mata', namun persona si rambut putih selalu merangkap mata dan hati para kaum hawa. Mungkin ada pula yang laki-laki— Hanya Tuhan yang tahu.

Marciel Adrean, 27 tahun. Pria tinggi ini merupakan lulusan salah satu kampus bergengsi pencetak puluhan koki berkualitas. Banyak alumni yang bahkan berhasil menjadi sampul beberapa majalah terkenal bertaraf internasional. Kemampuan berpredikat bintang 5, maka tak ayal ekspektasi rekan-rekan Ciel sangatlah besar. Itu berita baiknya. Buruknya, ada beberapa yang iri, lalu bertanya-tanya;

'Mengapa dia disini?'

'Ada tempat yang lebih bagus daripada disini, tapi kenapa...?'

'Ingin mencari muka dan menganggap remeh kita, ya?'

Iya, awalnya Ciel sedikit gugup, dan iya, sempat dirinya di jauhi, tapi hei. Itu semua sudah masa lalu. Berkat kegigihan dan kebaikan hatinya, akhirnya semua membuka hati padanya. Apalagi wajah rupawannya disebut-sebut sebagai mahakarya terbaik Tuhan. Humoris, belum lagi pandai bermain gitar. Iris biru bersinar sejernih air— ah bukan, lebih cocok dibilang seindah safir. Wah, pantas saja banyak yang mau dengannya.

. . . . .

Naas, walaupun matahari belum menyentuh ufuk barat, langit mendadak berubah kelam. Kumpulan awan tak tampak indah; mengintimidasi, menyeramkan. Petir menyambar tanah, gemuruh menyahut. Udara dingin melahap habis kehangatan. Alam tidak mampu menahan; menangis kencang membasuh kota. Ciel tidak merasa sehat sore itu; semenjak dirinya mengawali pagi malah. Ia kira dengan minum pil penambah stamina dan vitamin akan membantu, namun efek yang diberikan justru membuat tubuh Ciel memburuk. Kepalanya sakit; mulai berdelusi sedetik sebelum kaki lemasnya mencium lantai. Elesis, selaku manajer kafe, sudah memberi tanda hijau bagi Ciel untuk beristirahat.

"Mencegah lebih baik. Matamu juga terlihat sembap. Banyak tidur ketika sampai rumah, ya?" Elesis berupaya menyemangati karyawan terbaiknya tersebut sebelum Ciel menginjakkan kaki di tanah aspal yang basah berkat air hujan. Kebaikan semua orang disini membuka pintu hati Ciel. Sedari dulu dirinya tidak mendapatkan afeksi; terlebih setelah Ibunda tercinta wafat saat persalinan adiknya.

Ciel mengangguk pasrah. Toh, kalaupun dia meminta bantuan pada seorang rekan seperjuangan di dapur, mereka pasti bakal terusik karena terlanjur tenggelam dalam pekerjaan masing-masing hingga tutup nanti. "Setidaknya aku sudah minum obat dari Prauss," bibir si rambut putih membentuk sebuah senyuman kecil. Dipakailah jaket kulit hitam miliknya sebelum langkah lunglainya bergerak ke luar; rintik hujan terpantul keras di payung, "Baik, aku pergi! Sampai bertemu besok."

Bagi beberapa orang, hujan merupakan salah satu anugerah, terutama pengiring alam bawah sadar ketika tertidur.

Itu yang awalnya Raven pikirkan.

Sekarang sang gagak menganggapnya kutukan. Selama hampir 1 jam dirinya terjebak di bawah atap hanya dengan bermodalkan kaos putih tipis serta celana panjang hitam. Ugh, Raven saking kesalnya merutuk apapun yang ia lihat.

Termasuk sosok tinggi yang berusaha menyapanya.

"Mau apa?" Raven menyalak. Kesabaran sang gagak nampaknya ikut terhanyut oleh derasnya air.

"K-kamu sepertinya telah lama berteduh disini." Figur asing tersebut nyaris berteriak; agar hujan tidak menelan suara paraunya. Dia tidak ragu menutupi bagian atas Raven menggunakan payung yang dipegangnya, "Aku Ciel. Aku bekerja di Kafe El-Star, jadinya aku sering melihatmu." Beban di kepala Ciel kian memberat seiring waktu berjalan. Niatnya ingin terlihat keren, naas, tangan kiri malah mati-matian menahan rasa sakit; memijat pelipis sambil memikirkan betapa payah dirinya. Dia benar-benar harus pulang cepat, itupun kalau masih kuat berjalan selama 20 menit sampai tujuan.

Raven menatap penuh hati-hati. Ia periksa si rambut putih atas hingga bawah. Setelah dipikir-pikir, pernah ada kejadian dimana pemuda di sampingnya ini bermain gitar di dalam kafe; kemungkinan untuk menceriakan suasana seusai para pelajar melewati hari terakhir Ujian Nasional. Ok, mungkin terlalu ceria, sampai banyak kaum hawa menyempatkan diri menikmati pertunjukan Ciel setelah menikmati alunan biola Raven.

Entah atas dasar alasan apa, sang gagak yakin senyuman Ciel adalah murni ketulusan dari lubuk hati. Dengan segera, Raven kembali membuka mulut, sekalian ingin mencairkan atmosfir canggung, "H-hai..." Lidahnya kelu dan masih gugup. "N-namaku—"

"Raven." Ciel tersenyum bangga, kemudian matanya berputar ke sisi, "Pekerjaanku memang di dalam ruangan, tetapi telingaku dimana-mana, loh. Di kafe, jika harus jujur, tidak ada yang tak mengenalmu."

"Ciri khasku pastilah kakiku yang telah tiada ini," Raven melirik ke bawah. Bibirnya terpaksa membentuk senyuman tipis walau ia tidak ingin mengakui dirinya lemah. "Karena itu, kamu dan lainnya bisa langsung ingat, 'kan?" Saat membahas lebih lanjut, cahaya dalam iris emas perlahan meredup; hanya menatap kosong tetesan air yang menghantam bumi.

Ciel mengerjap tidak percaya. Kepala menoleh sepenuhnya ke sumber suara, "Hah? Aku membicarakan bakatmu. Bakatmu!" Desahan meluncur sebelum dilanjutkan, "Kalau kamu memamerkan kecintaanmu pada musik setiap pagi sampai sore di alun-alun, buat apa aku kritik? Tidak banyak yang sepertimu, Raven! Percaya dirilah!" Kali ini, si rambut putih menunjukkan barisan gigi; memaksimalkan senyumannya.

Sayangnya, pujian manis si rambut putih berganti menjadi sebuah bersin. Bukan sekali, maupun dua kali. Bahkan sampai empat kali.

Ini tidak bagus. Tapi setidaknya, sedikit demi sedikit, hujan mulai mereda.

"O-oh, astaga," Suara Raven melembut. "U-um... T-tempat tinggalku jaraknya hanya sekitar 8 menit dari sini," Sang gagak segera meraih payung si rambut putih, "A-atau kamu lebih memilih membeli obat di apotek dekat sini—"

"Tidak, tidak," Ciel menggeleng sembari menahan kepala. Niatnya sih, mau sekalian ditawari tempat beristirahat. Tetapi Ciel ingat batas. Ini percakapan pertama mereka; beruntung belum kelepasan bicara.

"Jangan bercanda! Berteduhlah di rumahku. Kesehatanmu lebih penting!"

.

.

.

Di bawah pantulan serta percikan hujan yang dingin, lengan kanan Raven yang menggenggam payung diangkat cukup tinggi agar keduanya bisa terlindungi. Dalam perjalanan, sesekali, Ciel melontarkan gurauan, kemudian si rambut hitam ikut membalas. Kedua pemuda ini cukup hanyut dalam pertukaran informasi pribadi masing-masing; tanggal ulang tahun, kota kelahiran, makanan favorit, penyanyi atau band kesukaan. Pokoknya segala macam pertanyaan yang seringkali kau tanyakan pada orang baru. Belum berselang lama, telunjuk kiri Raven menunjuk sebuah gedung apartemen sederhana bertingkat 3 yang berada di kejauhan.

Lorong cokelat cream kusam beserta deretan lampu remang, menyambut mereka. Lift tua beralaskan karpet keabu-abuan menjadi pijakan. "Tempat ini sepertinya sudah lama sekali berdiri," Ciel memutar-mutar kepalanya begitu melangkah keluar; mengamati pintu-pintu apartemen tempat tinggal Raven mulai termakan usia. Mulai kapuk, kotor, hingga catnya terkelupas.

"Namun setidaknya harga perbulannya masih cukup murah dan sepadan," Raven menoleh ke sumber suara. "Lagipula, aku sudah mengenal betul semua tetanggaku. Selama 4 tahun malah." Iris madu saling berganti arah pandang; mencari suatu hal. Akhirnya, Raven memberi gestur meminta untuk berhenti.

Kamar 308.

Ketika memasuki ruangan Raven, Ciel bekerja penuh berusaha mengingat segala hal baru di sekitarnya. Sebuah apartemen kecil berdinding putih. Tidak ada meja, mengingat betapa besarnya ukuran kursi roda Raven. Sofa hijau panjang berada di sebelah kanan pintu masuk; mengarah ke TV. Dapur di sebelah kiri, pintu kamar utama tepat di depan, lalu pintu kamar mandi berada di samping ruang tidur.

Secepat mungkin, Raven menggerakan kursi roda menuju kamar; ke laci di samping kasur untuk mengambil keperluan tamunya. Setelah itu, si pemilik ruangan menawarkan teh hangat tepat saat Ciel sedang meminum obat. Tetapi Ciel memutuskan ikut membantu di dapur sehabis tegukan ketiga.

Ketika berjalan, Ciel menemukan sebuah foto ganjil tertempel di pintu kulkas; menggambarkan seorang wanita pirang terduduk di sebuah kursi berkayu bersama sesosok pria berambut legam, yang berdiri tegap berpakaian kemeja putih berlengan pendek dengan celana hitam panjang melapisi kaki jenjangnya. "Apa ini istrimu?"

Raven menoleh menghadap pria di samping; menghentikan segala aktivitas. Sekali lirikan ke foto kusam yang dimaksud membawa sang gagak menyelami memori nostalgia usangnya. Sudah hampir setahun seseorang menanyakan wanita yang sungguh dirindukannya. "Namanya Seris," Raven mengambil nafas sejenak; sekaligus meneliti kembali pikirannya, "Kami bertemu sekitar 3 tahun yang lalu saat Festival Kelahiran Kota Velder diadakan. Dia terlihat begitu cantik malam itu. Rangkaian bunga aster menghiasi kepalanya bak mahkota, kakinya bergerak lincah mengikuti irama musik; gaun merah mudanya melambai. Wajahnya berseri-seri di bawah rembulan."

"Kau beruntung memilikinya. Ah! Dia pasti bekerja di luar kota, ya; jadinya tidak ada disini?"

Sang gagak tidak lagi berkicau.

Iris emas tak lagi berkilau. Kelopaknya sayu. Raven ingin melupakannya, tetapi alam sadarnya tak memperbolehkan. "8 bulan yang lalu, Seris mengeluh akan perutnya yang terus menerus sakit. Ia sudah mencoba berbagai obat tetapi masih tidak berhasil. Lalu ketika kami ke dokter kandungan, ternyata dia positif hamil." Raven sekali lagi memberanikan diri menatap foto itu kembali, "Kami benar-benar bahagia. Kami bahkan sudah mencatat barang-barang yang harus kami beli untuk bayi kami. Tanpa sadar, itu sudah larut.

"Terlalu larut sampai-sampai supir truk dari arah kiri mobil kami tak melihat lampu merah."

Akhir dari ceritanya sudah jelas. Ciel tidak ingin melanjutkan; pasti sangat menyakitkan. "Kakimu... kecelakaan itu..."

Kali ini, manik madu Raven bertukar pandang dengan kedua iris biru Ciel, "Aku berhenti bekerja dari pabrik mesin. Rekan-rekanku merasa tidak keberatan dengan kondisiku, tapi akulah yang merasa malu. Kurasa itu langkah yang cukup tepat."

Apa ada manusia sebaik nan agung macam Raven? Memiliki kesabaran serta kelapangan dada yang begitu luas? Belum lagi menahan murka dan kepedihan, demi membahagiakan semua orang? Ciel meneguk ludah. Ia sendiri yang jauh lebih mampu, merasa kalah telak jika disetarakan bersama Raven. Iris safir berhadapan dengan kemilau emas yang bisa-bisanya mampu bersinar di tengah kehidupan pahit yang dijalani si pemilik mata. "Apa ada cara, bagiku... untuk membalas kebaikanmu? T-terima kasih telah memperbolehkanku beristirahat di sini."

Raven menatap bingung, "Kamu telah mengantarku kesini, 'kan? Kurasa, kita impas."

"Tapi aku masih merasa kurang..." Ciel berterus terang. Perkataan selanjutnya sangatlah tak terduga. Dia melanjutkan dengan kebanggaan tersendiri.

"Izinkan… aku menjagamu."

Kedip.

Kedip kedip.

Mata Raven mengerjap tidak percaya. "Kau bercanda, 'kan?"

"Buat apa aku berbohong padamu? Mumpung aku sedang berbaik hati."

"T-tapi—"

"Apa salahnya mengantarmu pulang setiap sore?" Ciel segera menambahkan. Senyum tertoreh sebelum badannya membungkuk; mempersempit jarak mendekati si rambut hitam. "Siapa yang mengatakan kamu beban pastilah orang tak bermoral. Seseorang yang berpikiran sempit. Yang paling penting adalah, kau masih hidup dan..." Ia menjeda. Pikirannya kalang kabut memikirkan kata-kata yang tepat; telunjuk kiri menggaruk belakang kepala yang Raven tahu betul tidak gatal.

Akhirnya, Ciel melanjutkan, "—Kuat. Ya! Kamu kuat menghadapi berbagai persoalan kehidupan walaupun kondisimu dianggap tidak menguntungkan. Setiap manusia pasti memiliki alasan untuk hidup, 'kan? Diberi kesempatan oleh Tuhan agar, yah, entah melakukan suatu revolusi besar-besar yang dapat mengubah sejarah, atau hanya sekedar memberikan dukungan emosional bagi mereka yang membutuhkan." Pujian meluncur tiada henti dari Ciel. Lebih tepatnya, tak ingin berhenti.

"Aku tak mau kamu berendah hati pada kondisi seperti ini. Kamu memerlukan bantuan lebih dari yang kau kira. Dan aku bersedia memberikannya. Apa yang kamu takuti? Bahwa aku akan terbebani? Asal kau tahu, aku sudah memikirkan ide absurd semacam ini sejak lama. Pada awal aku menemuimu, batinku meringis sambil membisikan doa kepadamu. Sekarang, aku ingin menawarkan—ah bukan, memaksa. Aku mengharapkan kau menerima kebaikan hatiku ini, Raven."

Mendengar pernyataan barusan, Raven hanya terdiam. Maniknya melebar sempurna begitu Ciel selesai. Semua itu terdengar puitis, terdengar tulus. Sang gagak gagal menemukan niat jahat dibalik rangkaian ucapan bernada rendah lawan bicaranya. Entah kenapa, Raven memilih mengikuti arus. Dia sudah terlanjur luluh oleh penawaran pria keras kepala ini.

Perlahan, Raven mengangguk, dilanjuti oleh gumaman kecil yang beruntung masih bisa terdengar, "B-baiklah."

.

.

.

Sudah 1 bulan berlalu, dan tradisi 'mengantar Raven' menjadi lumrah setiap kali Ciel mengakhiri pekerjaan. Setiap kali Raven selesai, dia selalu mengunjungi kafe untuk menunggu temannya itu, hingga jam 8 malam. Memang membakar emosi terkadang; Raven biasanya pulang pukul 5-6 sore, tetapi demi membalas apa yang telah diberikan Ciel, dia rela menunggu lama.

Di dalam kafe, ia sering bertemu beragam wajah familiar para pejalan kaki yang biasanya menonton permainan Raven. Bukannya canggung, malah rasanya nyaman dan tentu saja, baik para pengunjung serta Raven sendiri membicarakan banyak hal yang sekiranya si rambut hitam ketahui dan pahami.

Keberadaan Raven yang mencolok pada akhirnya menarik perhatian Elesis. Sang manajer juga mulai melihat perubahan signifikan dari pegawai terbaiknya itu semenjak dekat dengan Raven. Menyadari kedekatan keduanya, Elesis kemudian menjadi yakin dan percaya pada sosok berkursi roda tersebut. Seorang teman dari sosok yang kita percayai pastilah orang baik, 'kan?

Suatu ketika, kemungkinan akibat kurangnya pengunjung sore itu sampai Elesis bosan karenanya, si rambut merah memutuskan agar sedikit terbuka pada Raven; yang kebetulan masih menikmati muffin cokelat ditemani segelas cappuccino dingin.

Kedatangan Elesis sontak membuat kaget Raven, namun masih melayani permintaan si pendatang. Sebagai permulaan, diawali oleh pengenalan nama. Seiring waktu berjalan, percakapan keduanya diselingi beragam kelakar dan humoria, kemudian disambung oleh peristiwa sejarah sampai berita terhangat. Dari sudut pandang Raven, benaknya mengatakan bahwa Elesis adalah gadis terpelajar yang berwawasan luas, mandiri, serius, menyenangkan.

"Lalu, bagaimana menurutmu tentang Ciel?" Elesis tiba-tiba bertanya. Tangannya bertopang dagu menghadap lurus pria di depannya.

"Hmm..." Raven mengusap lembut dagunya, "Dia... hebat. Seorang petarung yang tak takut kalah. Sekalinya mengucapkan janji, dia takkan mengingkar. Dia berhak mendapatkan kebahagiaan yang setimpal dengan jasa-jasanya. Kalau kamu?"

Elesis tertawa kecil, "Sepertinya kita sepikiran, ya." Dia kemudian mengalihkan pandangan menuju alun-alun; menyibukan ingatan mengenai kedatangan si rambut putih, mengingat-ingat seluruh detail yang diyakininya sebagai alasan mengapa Elesis berpendapat sedemikian rupa dengan Raven, "Ciel datang melamar pekerjaan sekitar 1 tahun yang lalu di sini. Pertama kali melihat, aku sempat ragu akan penampilannya. Dia lebih pantas bekerja sebagai aktor atau model, haha."

Raven mendadak menyadari ada yang hilang; kemilau rubi Elesis tidak lagi berapi-api. Diterkam suatu hal ketika kisahnya dimulai, "Saat memeriksa berkasnya, barulah aku sadar bahwa dia adalah anak pemilik sebuah restoran bintang 4 ternama Lanox, yaitu Roy Guartismo. Reputasinya... tidak diragukan di dunia memasak. Puluhan penghargaan telah dimenangkan serta titel disandang selama bertahun-tahun. Profesionalisme yang sempurna. Sosok besar yang terhormat.

"Namun, aku kemudian menyadari dampak dari reputasi tuan Guartismo. Ciel... bercerita padaku, tiada henti-hentinya ayahnya mengajarkan semua yang beliau ketahui. Dan itu demi memajukan bisnis yang ia kelola. Kukira itu hal bagus, tetapi Ciel menyalak kasar menyatakan hidup di bawah bayangan ayahnya adalah hal terpahit semasa hidupnya. Seolah memasak adalah satu-satunya tujuan dia hidup, setiap hari dia terus memasak. Dia dilarang bergaul di luar jam sekolah.

"Jika cita-citanya tidak berhubungan dengan kuliner, Roy bakal mengamuk sampai melukai fisik Ciel. Fanatisme Roy Guartismo dilakukan supaya anaknya mampu melanjutkan bisnis."

Elesis memposisikan kembali badannya. Jemari kanan meraba belakang kepala, "Mengapa beliau berusaha membatasi lingkup sosial Ciel kalaupun anaknya sendiri berminat lain? Atas alasan tersebut, Ciel selalu muram setiap kali nama ayahnya disebut. Atas alasan itulah, sepertinya, dia bekerja di tempat kecil ini, agar terhindar dari tuan Guartismo.

"Meskipun dia sering membuat orang-orang tertawa, nyatanya, dialah yang paling membutuhkan penghiburan. Ciel... Tiada pria sehebat dirinya. Tak kehilangan arah serta kewarasan. Aku tidak bisa membayangkan kebrutalan yang pernah ia terima. Raven, sebagai teman dekatnya, bolehkah aku berkata sesuatu; sebuah permohonan?" Elesis mempinta.

"P-permintaan apa?"

Manik Elesis menatap lembut Raven, "Tolong... jaga dia, ya."

.

.

.

Selang 5 minggu mengenal Raven, Ciel kembali mengemukakan pemikirannya yang jauh lebih absurd dari sebelumnya. Suatu ide yang ditentang keras oleh Raven, namun sekali lagi, sang gagak takluk kembali oleh karisma Ciel.

Mau tidak mau, permintaan Ciel; yaitu tinggal bersama, dikabulkan dengan berat hati.

Berhubung Ciel sering mengunjungi, beradaptasi bukanlah masalah besar. Demi kenyamanan si pemilik kamar pula, Ciel merelakan tubuhnya direbahkan di sofa saja. Padahal Raven telah berkali-kali mengizinkan— ah, memaksa, agar tidur di kasur empuk bersama-sama. Ciel selalu saja membantah dan menolak, menggunakan alasan klise, 'kamu adalah prioritas utama di sini, Raven'. Senang 'sih ada yang peduli, tapi tidak seperti ini juga!

Semua pengalaman ini membuka hati si rambut hitam; lebih aktif berekspresi, dan tidak tanggung-tanggung membuka bermacam rahasia mengenai masa lalu maupun kejadian lucu lainnya. Begitu pula dengan Ciel.

Keduanya memiliki rutinitas tersendiri begitu sampai di apartemen. Terutama bagi Ciel yang bertugas menyiapkan makan malam setiap harinya.

Namun, malam ini takkan sama seperti sebelumnya.

"Aku taruh biolaku dulu di kamar, ya."

Tidak lama kemudian, sebuah ketukan di pintu tiba-tiba mengacaukan kenyamanan Ciel. Berhubung Raven sedang berada di kamar, Ciel terpaksa berdiri dari sofa. Didiamkan lebih lama malah ketukannya semakin keras. 'Wow. Tempramental sekali orang ini,' Ciel terheran-heran. Ia mengintip; sesosok gadis kecil menyilangkan kedua tangan di depan dada. Ada sebuah koper biru di sisi. Tak lama, figur tersebut mengacak pelan surai bergelombangnya.

Ciel tahu siapa anak itu.

Ragu-ragu, Ciel memutar kunci dan secepat kilat, gadis di depannya menyambar masuk lalu segera memeluk si rambut putih. Jemari si gadis manis terpaut erat di pinggul Ciel, tahu-tahu wajah pucatnya cemberut.

Ciel memijat pelipis, "Lu, apa yang kau lakukan disini?" Sebuah desahan meluncur, "Sendirian pula—"

"Kakak kenapa tidak bilang kalau pindah?!" Lu memotong seenaknya; alis berkedut menatap Ciel, "Setidaknya kirim chat atau apalah agar aku tahu! Untung pemilik apartemen kakak yang lama tahu kakak pindah ke sini."

Ciel spontan membela diri, "Salahmu sendiri tidak beri kabar kalau kamu mau datang. Kupikir kamu tidak ingin menjenguk setelah 7 bulan lamanya, jadi buat apa aku beritahu?"

Mendengar kegaduhan, Raven menunjukkan rupa. Ia tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Pakaian si rambut gulali persis seperti salah satu pelanggan di kafe tadi! Jaket biru bertudung serta bercelana hitam pendek. "A-aku melihatmu tadi di kafe—"

Si adik meninggikan suara, "Ih! Tempat ini kecil sekali dibandingkan apartemenmu, kak!" Lu mengkritik. Hidungnya mendengus kesal, "Dan kenapa kakak mau tinggal dengan orang macam... dia?" Terbutakan oleh beragam emosi, Lu menunjuk si rambut hitam.

Alangkah terkejutnya Raven; manik sedikit membulat. Apa dewasa sekarang, banyak remaja menjadi se-berandal gadis manis di depannya? Lupa akan sopan santun? Drama banget. Ada kemungkinan bisa memenangkan piala Oscar. Andaikan Lu bukan adik temannya... Namun, Raven memilih diam.

"Lebih baik kita kembali ke—" Ucapan pedas Lu terhenti saat matanya melirik sebuah rak buku di samping sofa. Dirinya meneliti baik-baik; sepertinya dia mulai tertarik. Pandangan Lu masih fokus ke objek pengamatan selagi kaki kecilnya melangkah pelan melintasi lantai putih. Siapa sangka di dunia ini masih ada orang yang tertarik dengan sastra klasik? "Kamu... punya ini...?"

"Zaman sekarang, agak susah menemukan seseorang dengan minat yang sama akan sastra lama," sang pemilik buku perlahan mendekat. Kursi rodanya berhenti tepat di samping, "Tak hanya itu, manusia nampaknya tidak bisa terlepas dari perangkat teknologi. Tak ayal rata-rata orang yang kutemui lebih memilih menghabiskan waktunya bermain handphone daripada membaca buku," Raven masih mempertahankan senyumannya; lembut nan hangat, "Bagiku, mengenal seseorang yang memiliki gairah akan buku-buku lama sungguh sangat luar biasa."

Tangan mungil Lu berkeinginan menginvasi rak buku Raven. Satu demi satu judul ia baca baik-baik sampai maniknya terpaku oleh buku bertuliskan 'Oliver Twist'. Raven menyadari tatapan si gadis manis; seakan mengamati anak kecil dalam toko permen. "Asal kau bisa mengembalikannya, aku tidak keberatan kalau kamu mau meminjam 'Oliver Twist'."

"B-bolehkah— B-benarkah?" Karena telah diberi persetujuan, Lu meraih buku incarannya. Si gadis manis menutupi wajahnya malu-malu. Ia sangat dimanjakan oleh deretan buku bacaan sang gagak; ia menyesal telah membentak Raven, "M-maaf karena tadi aku mengejek tempat tinggalmu. J-jika kau tidak berkenan, a-aku akan taruh buku ini dan segera pergi—"

"Siapa yang mengatakan aku marah?" Sebuah tawa kecil meluncur dari bibir Raven. Jemari kanannya mengusap puncak kepala Lu, "Sudah kukatakan, bukan? Menemui seseorang dengan minat yang sama merupakan pengalaman hebat. Kau masih muda pula," Raven melanjutkan pujiannya.

Mengejutkannya, Lu ikut tertawa di balik buku yang dipegangnya, "... Sebenarnya, aku sudah lama suka dengan Oscar Wilde daripada Dickens. Tapi yah, susah menemukan..." Sekalinya berbicara mengenai kesukaannya, Lu dijamin akan terus berbicara sampai lelah. Manik berseri-seri, wajah kini lebih ekspresif dari sebelumnya. 'Derita' macam mencari buku dambaan, sulitnya menemukan setidaknya satu orang berminat sama... Tiada satupun kata luput dari pendengaran Raven. Keduanya tertawa akan kelakar yang, bagi Ciel, hanya mereka dan Tuhan yang tahu.

Yakin Lu merasa nyaman, setelah mengunci pintu, Ciel mengajukan diri untuk memasak makan malam. Tapi 'toh ucapannya bagaikan angin, dibandingkan dengan kemeriahan yang dialami kedua lawan bicaranya.

. . . . .

Lu dan Raven; saking semangatnya, harus Ciel tarik ke depan wajan berisi tumisan kangkung serta semangkuk cumi goreng tepung. Dia harus memaksa keduanya untuk berhenti mengobrol setidaknya 15 menit agar bisa makan, walau Lu mengembungkan kedua pipi sementara si pemilik apartemen mendesah kecewa. Apapun yang menyangkut soal makanan, percayalah, si rambut putih bisa menjerit sekencang teriakan Godzilla.

"Kalau begitu..." Lu berdiri dari sofa. Perut diusapnya; dia sudah kenyang dan puas oleh lauk lezat buatan kakak tercinta. "Mumpung sebentar lagi jam setengah sepuluh, aku sebaiknya mencari hotel dekat sini—"

"Tidak," Raven mencengkram lengan kiri Lu. Baik sang adik dan kakak memutar kepala mereka menghadap sumber suara, "Sudah terlalu larut dan, belakangan, kawasan ini sering dijadikan daerah mengintai para penculik. Kasurku cukup untuk dua orang, 'kok. Sebaiknya kalian tidur di situ, sementara aku akan beristirahat di sofa."

Kali ini, Ciel-lah yang keberatan. "Apa kau bercanda? Justru kamu dibaringkan di kamar agar kamu tidak jatuh saat tidur!" Terlihat dari pancaran matanya bahwa Ciel khawatir, "Bagaimana kalau aku mengantar Lu hingga pintu kamar hotel? Dengan begitu, dia akan aman, 'kan?" Sang adik ikut mengangguk setuju.

Raven kembali mengutarakan pendapatnya, "Walaupun Lu sempat bersamamu, siapa yang tahu nasibnya akan seperti apa setelah kamu meninggalkannya sendirian. Ini kota asing baginya, kecuali jika dirimu ikut menginap bersamanya, barulah aku bisa bernafas lega. Terlebih, Lu seorang model yang sedang naik daun, 'kan? Banyak 'pemangsa' di luar sana yang mana mungkin melewatkan kesempatan seperti ini…"

Perdebatan keduanya berhenti. Ujung-ujungnya, semuanya sepakat membiarkan Lu menetap hingga esok. Jujur saja, Ciel masih setengah hati menyetujui alasan Raven. Dia mengenal Lu lebih dari siapapun; bukan Raven, bahkan bukan ayah kandungnya sendiri. Lu kuat, kok. Ada alasannya mengapa si adik manis dipaksa belajar Karate ketika di bangku SMP, yaitu ya... jika situasi seperti ini terjadi. Sudah sabuk cokelat malah.

Raven kemudian berkata bahwa dirinya ingin mandi; meninggalkan duo kakak-adik di sofa.

. . . . .

Sembari menghangatkan diri sekalian menunggu si pemilik kamar selesai, Ciel membuat teh, sementara Lu meminta cokelat. "Kak, mengapa kakak membantu orang ini? Ada maksud terselubung, ya?" Lu gatal bertanya. Dia sangat peka mengenai gerak-gerik mencurigakan si rambut putih sejak kecil. Pasalnya, Ciel termasuk individu yang tertutup, diakibatkan... well, beberapa faktor. Jadi, bagi Lu, hal sederhana seperti membantu sampai, ekstrimnya, menginap di tempat seseorang demi memberi pertolongan tentu adalah hal besar. Sangat teramat besar.

"Situasinya berbeda, Lu. Kamu punya dua kaki untuk bergerak, tapi tidak dengannya. Dia tinggal sendirian, dan... orang sebaik Raven harus setidaknya diberi dorongan agar masih kuat bertahan hidup," Ciel mulai menyisip minumannya.

Lu agak... kecewa mendengar jawaban tadi? "Ah..." Dia menaruh gelasnya sebelum melanjutkan, "Kukira kakak suka dengan kak Raven."

Sontak, si rambut putih tersedak tehnya sendiri. Wajahnya menghadap Lu, "Darimana ide itu—!"

"Habisnya kakak senyum terus disisinya. Sama sahabat sendiri saja tidak sesenang dibandingkan bersama kak Raven. Berarti kak Raven jauh lebih spesial daripada kak Lento, 'kan?"

Ciel terdiam.

Wow.

Si sulung memerah padam sampai telinga. Ucapan adiknya sangat akurat! Pria tampan tersebut membuang muka sembari menahan irama jantung untuk tidak terpompa lebih aktif. Sial. "Ya meski begitu...Andai saja dia mau menganggapku lebih dari teman..." sambung Ciel malu-malu.

"Tuh kan!" Lu terlompat. Bahagia sekaligus melayangkan sebuah kepalan ke atas. Dirinya tersenyum lebar. "Kak Raven!" Mukanya yang berseri-seri menyeru tanpa malu; menghadap kamar mandi di kiri. Kedua kaki menginjak ubin dingin. Ah, sedingin ini mah kalah; dibandingkan semangat berapi-api Lu setelah mendengar pernyataan barusan! "Kakakku sebenarnya suka— Hmph!"

"Suka permainan biolamu!" Sebelum menjadi aib, Ciel sukses membungkam mulut gadis kecil di sampingnya. "Aku sangat, sangat suka permainan biolamu—Ya! Maafkan kami jika berisik!"

"Ih, malu-malu kucing," pipi Lu mengembang. "Jadi... gimana awalnya, 'kak?" Sorot safir memicing; terlihat dia menelusuri figur kakaknya yang, rupanya, payah dalam masalah percintaan.

"Musiknya memotivasi setiap pagi. Dan senyumannya. Astaga, senyuman hangatnya ikut menghangatkan hati. Baik hati, lucu, pengertian, sopan—"

"Mh-hm," Lu menatap jahil. Belum lagi menyeringai lebar, "Jadi... kapan 'nembak', kak?"

"LU—!"

. . . . .

Ada yang mengusik Raven perihal keberadaan Lu. Beribu pertanyaan menghujam benak penatnya, batin sang gagak gelisah. Agar menghindari asumsi negatif, untuk memastikan, Raven memberanikan diri bertanya langsung kepada gadis yang memenuhi pikirannya selama mandi tadi.

Sebelum Lu melangkah ke kamar tidur, Raven menepuk pelan pundak si gadis manis. Tentu Lu membalikkan tubuh kecilnya; bertatap muka dengan si rambut hitam. "Aku ingin bertanya... Dan kuharap kamu mau menjawabnya.

"Kamu datang... bukan dari perintah ayahmu, 'kan?"

Oh, andaikan Lu tidak menoleh. Lidahnya mendadak kelu.

Matanya menolak menatap balik Raven; berputar ke segala arah guna menghindar. Senyuman merekah, tetapi terlihat... hambar, seolah dipaksakan. Raut mukanya jelas-jelas tengah berusaha menutupi kejujuran, "S-sudah lama aku tidak bertemu kakak, j-jadinya aku mengunjunginya." Keberanian akhirnya terkumpul. Dirinya merasa sanggup membalas sang gagak, "M-memangnya kenapa?"

Raven menggeleng pelan. Dia yakin lawan bicaranya terintimidasi. "Tidak, tidak," bantahnya. "Hanya penasaran... Sudah, sudah. Tidurlah. Kamu harus bersiap untuk hari esok." Ia tak ingin menakuti si gadis manis, meski dirinya percaya Lu terlibat dalam 'pengantaran pesan' sang ayah.

.

.

.

Rasa kantuk Lu membebani mata dan pikiran sampai mentari muncul. Semalaman dia tak bisa berhenti mengingat secara detil apa yang Raven ucapkan. Antara intuisi si gagak memang setajam-semengerikan namanya, atau memang Lu telah ketahuan? Tidak, tidak. Lu bersumpah ia tak mengatakan sedikitpun terkait Ayah nya itu. Pagi yang cerah terlihat muram; semuram wajahnya. Pada akhirnya, Lu hanya mampu beristirahat 3-4 jam berkat pertanyaan 'laknat' si rambut hitam.

Gadis manis itu memutuskan undur diri setelah sarapan bersama, dengan bersandiwara mengenai PR di rumahnya yang belum dikerjakan, dan harus dikumpulkan Senin depan. Ugh, tadi itu akting terburuk yang pernah Lu lakukan! Beruntung keduanya percaya. Ia merapihkan barang-barangnya lalu berkemas.

"Lu, nih." Ciel menyodorkan satu plastik berisikan 8-9 tusuk sate Grilled Meat; salah satu jajanan favorit khas Velder. "Jangan banyak jajan nanti. Takutnya kamu kehabisan uang dan malah jadi gendut kalau kebanyakan makan—"

"Ciel, jaga omonganmu." Raven memukul punggung si rambut putih. Cukup keras, sampai membuat Ciel nyaris kehilangan keseimbangan. "Dia adikmu satu-satunya. Bukannya mendoakan keselamatan, justru menginginkan petaka…" Sekarang, Raven menghadap mata lebar sosok di depannya. "Hati-hati di jalan, Lu. Datanglah lagi kalau mau, sekalian mengembalikan bukuku."

Oh Tuhan, Raven bagaikan malaikat tak bersayap, Lu meneguk ludah. Kebaikan hatinya menghangatkan siapapun yang mengharapkan pertolongan. Kata-kata bijak menumbuhkan rasa percaya diri. Jiwanya lembut, memancar. Siapa yang berani menodai ketulusan Raven maka terkutuklah mereka!

Sesuatu, dalam diri Lu, terasa… aneh. Beda dari apa yang pernah ia rasakan. Afeksi dari Raven sungguh berbeda dari kasih sayang orang-orang di sekitarnya. Melebihi kakaknya, melebihi ayahnya… Lu selalu menganggap dirinya adalah kesialan. Ibunya mengorbankan nyawanya demi Lu, teman-teman sebayanya menganggapnya aneh karena Lu terlalu hiperaktif. Ada yang iri akan karirnya, tak sedikit pula yang mengancam.

Ah, mengapa jadi teringat hal-hal seperti ini?

"I-iya, kak Raven." Lu menunduk, membalikkan badan, dan langsung meninggalkan dua lelaki tersebut.

. . . . .

Sedetik setelah Lu memencet tombol lift, ponselnya berbunyi. Ia merogoh saku sweater nya.

Oh tidak.

Mengapa dia?

"H-halo—"

"Bagaimana?"

Lu meneguk ludah. "... Dia tidak goyah sedikitpun. Apalagi saat didukung oleh teman barunya." Sejujurnya, dia tidak ingin terlibat permasalahan ini lagi, namun orang ini sangatlah pemaksa, dan mampu mencium kebohongan. Jika beliau membentak, tamatlah riwayat si adik. "Namanya Raven. Raven Cronwell."

Suara di seberang terjeda. Decihan kecil tertangkap Lu sebelum telepon ditutup.

Si gadis manis terisak sunyi. Walau air mata tertahan, batinnya merengek memohon pengampunan. Suara manisnya menjadi serak; parau,

"... Ayah... Jangan ganggu... kakak... lagi..."


A/N : Doh, ngetik di HP ternyata ribet ya- Hai, I'm back yey /abaikan.

Cerita asli FFn ini sebenarnya mencapai lebih dari 7.000 words , tapi entah kenapa, Fanfiction kena blokir dari internet provider USB saya ( gak usah sebut merek ), jadi saya harus mengetik/copy paste cerita lewat handphone. Syakit, bro! /plak. Cerita ini akhirnya menjadi 2 chapter UwU.

Walhasil, kalau ada beberapa bagian terlihat aneh, saya benar-benar meminta maaf yang sebesar-besarnya /bows.