Naruto
Kishimoto Masashi

Roswell High
Melinda Metz


Desert Skies
by ceruleanday

SasuSaku fanfiction
Rate: T
. Genre: Sci-fic/Drama. AU.


"—as long as we still live under the same sky, we will meet again. Somewhere, somehow."

.

.

PROLOG

Kau akan mengataiku sebagai gadis sinting. Ya. Gadis sinting yang selalu memiliki khayalan bak bocah-bocah cilik ingusan di luar sana. Kau akan menyarankan padaku 'tuk sesegera mungkin mengunjungi psikolog ataupun psikiater, kemudian berkonsultasi hingga kewarasanku penuh kembali. Sayangnya, dengan tegas kukatakan bila kau tak perlu mempertanyakan kewarasanku itu. Aku tidak gila. Aku masihlah normal seperti kalian. Dan aku bukanlah penderita hebephrenic schizophrenia—gangguan mental yang kerap kali terjadi pada remaja-remaja muda di negeri ini.

Lalu, aku bertanya padamu...

...apakah kau percaya pada alien?

Apakah kau percaya pada keberadaan alien sebagai sutradara di balik terbentuknya lingkaran berornamen indah yang muncul dalam semalam saja di ladang-ladang gandum? Crop circle, maksudku.

Apakah kau percaya pada teknologi bak Atlantis yang dimiliki para alien dalam menyusun bebatuan Stonehenge di Britania Raya sana? Kemudian, gambaran-gambaran Flying Saucer berkecepatan cahaya yang terekam dalam kamera pribadi kita? Hingga, misteri terjatuhnya puing-puing metal dari langit di tanah Roswell, New Mexico, USA berpuluh tahun yang lalu.

Kau akan menepis segala fenomena itu dengan kelogisan kalian. Ilmu pengetahuan kita yang dangkal kukatakan dengan tegas takkan bisa menyamai ilmu pengetahuan mereka. Mereka mengendap-endap di antara komunitas kita—menjadi satu di antara banyaknya manusia yang selalu mengawasi pola tingkah kita. Di saat yang tepat, mereka kembali menunjukkan tanda-tanda di mana saja.

Ya. Sebuah tanda.

Dan... tanda itulah yang kini mengikatku dengannya.

Mereka ada. Hidup dan mengembangkan eksistensi mereka bersama kita, para manusia bumi. Kataka sekali lagi padaku akan kewarasan yang masih kau pertanyakan ini.

Tapi, jangan salahkan aku bila suatu saat nanti, mereka akan menunjukkan diri mereka. Ah, kurasa itu tidak mungkin. Mereka membenci kita. Mereka meremehkan kelemahan kita. Untuk itu, kurasa, selamanya... ia takkan bersedia melakukan itu.

Bahkan, aku meragukan bila mereka bisa merasakan emosi para manusia.

Namun, ia berbeda. Ia dan saudara-saudarinya.

Ia mampu menerjemahkan refleksi semu akan sebuah emosi yang kutunjukkan. Meski, aku selalu menghindar darinya. Aku hanya terlalu takut.

...dan aku naïf.


"I want you to keep it as a secret, Haruno."


"You've already known our existence, Sakura-chan. Please, never tell anyone."


Tepat di saat bunyi longsongan peluru dan bau mesiu tercium, aku melihat segalanya berputar terlalu cepat. Detik dalam jam dinding seakan berhenti sesaat. Kamuflase yang terlalu indah untuk bisa dinikmati. Kudengar teriakan panik mereka, tetapi aku masih berdiri di sini. Sahabatku, Ino, berada di sudut ruangan—ia terlihat menahan tangis. Wajahnya memerah, begitu pula dengan dua orang yang saling menodongkan senjata besi mereka itu. Aku tak bisa menghirup oksigen lebih banyak lagi. Segalanya tampak kabur.

Dor!

Ada denyutan aneh yang menjalar dari arah perutku. Rasanya semakin berdenyut tanpa menyisakan nyeri yang berkepanjangan. Aku membeku bak patung gips. Mata green olive-ku masih terpusat pada lingkaran aneh yang kian berputar menjadi titik hitam di langit-langit. Lalu, aku terjatuh...

Suara-suara pekikan berdengung di dalam kepalaku. Menjadi sirine yang menyatu dengan bunyi alarm weker kamarku. Aroma kopi yang tersaji berubah menjadi bau amis yang pekat. Warna merah menyala ikut terjatuh membentuk kubangan tetesan air di saat hujan. Lantai marmer menjadi lautan darah dalam sekejap.

Suara Ino yang merdu entah mengapa terdengar sangat nyaring dan begitu buruk. Bukankah ia penyanyi favorit kampus kami. Tiba-tiba saja ia berteriak seperti Peacock yang kehilangan pasangan hidupnya. Ingin rasanya membuka mata, tapi rasanya begitu sulit. Berat dan lebih baik tertidur saja. Ah, aku jadi ingat sesuatu.

Apakah ini rasanya saat mati? Segala beban akhirnya hilang dalam waktu singkat?

Aku pun memutuskan tuk menerima tebasan tombak sang malaikat.


"Don't close your eyes, Haruno. See my eyes and give your pain to me."


Ia memaksaku tuk tetap membuka mata ini. Sudah kukatakan, aku hanya ingin tetap dalam masa dorman ini. Namun, ia datang dengan seenaknya. Mengatakan bila aku harus tetap hidup.

Rasa hangat yang menenangkan muncul di saat-saat yang tak terduga. Pertanyaan terbodoh yang sering muncul di benakku, 'apakah aku sudah berada di surga? Apakah aku akan bertemu Kaa-san lagi?'. Pada akhirnya, pertanyaan-pertanyaan itu tak memiliki jawaban. Karena, aku tak mati—di saat itu.

Hanya sebuah tanda yang menjadi memori tersisa.


"You have to live, mortal..."


Aku akan terus hidup...

...dan percaya bahwa ia bukanlah manusia, sepertiku.


"Then, wh-what are you?"


Kehadirannya begitu misterius. Ia tak pernah terlihat bergabung dengan siapapun di lingkungan kampus. Ia bahkan tak pernah berbicara dengan yang lainnya. Ia menepi bila ada yang mendekatinya. Ia hanya dekat dengan satu sosok saja. Pergi ke mana saja dengan sosok itu. Sosok berambut kuning berantakan yang memiliki tiga kumis kucing di kedua pipinya. Aku mengenalnya, tetapi ia begitu sulit untuk didekati, meski loker kami saling bersebelahan. Persis dengannya.

Kedua orang itu adalah Uzumaki Naruto dan—

Uchiha Sasuke.

Mereka berdua selalu menjadi topik utama dalam headline news para gadis yang kukenal. Ada yang mengatakan bila mereka adalah penderita sebuah sindrom entah-apa-itu yang memiliki kecenderungan untuk bersikap apati dan antisosial. Jangan pertanyakan soal ketampanan mereka. Semua gadis tukang mengikik di kampus ini bersedia memberikan apa saja asalkan satu dari mereka mau berkencan dengan gadis-gadis itu. Tidakkah itu terlalu membuang-buang waktu? Maksudku, tentu banyak hal lain yang bisa dilakukan selain memikirkan masalah date, date, date, dan date, bukan?

Beberapa bulan setelah kedatangan keduanya, sebuah gosip aneh mulai terdengar dari mulut ke mulut. Aku hanya mendengar tanpa minat dari Ino akan hal itu. Beberapa gadis tukang mengikik yang tergabung dalam klub cheer leader kampus menyebutkan kalau Uzumaki dan Uchiha itu adalah pasangan err—kau tahu. Aku memang pernah membaca dari sebuah buku milik ayah Ino yang berprofesi sebagai seorang psikiater mengenai Homosexual dan melihat sampul bukunya saja membuatku merinding. Mereka yang seperti itu akan sangat posesif dengan pasangannya. Jadi, apakah hal tersebut bisa ditujukan pada Uzumaki dan Uchiha? Kurasa, tidak.

Kurikulum kampus yang menggunakan sistem moving class membuat kami jarang berada dalam satu kelas untuk waktu yang lama. Hingga pada suatu minggu di akhir musim panas, aku melihatnya duduk di salah satu bangku dalam laboratorium biomolekuler kampus. Ia terlihat begitu pasif. Wajahnya selalu statis—seperti topeng. Kuperhatikan lamat-lamat wajahnya dan kurasa ia begitu risih hingga menyipitkan matanya ke arahku.

Rasa penasaranku akan kejadian yang lalu kembali terbuka. Di antara fase mati dan hidup yang kualami, serpihan wajah seorang bocah laki-laki yang tak kukenal muncul begitu saja. Dan, memori itu kian bertambah kuat hari demi hari. Kulihat, ia tengah mengemut pensilnya sembari memerhatikan Kurenai-sensei yang sedang menjelaskan mengenai double helix DNA. Di akhir sesi kuliah interaktif, Kurenai-sensei meminta kami semua tuk mengecek sel-sel epitel tumbuhan melalui mikroskop dan darah kami dengan mesin PCR. Aku harus sekelompok dengannya bersama pula dengan Kiba. Entah mengapa, aku merasa terhindari dari jarak pandangnya.

Ia berdiri dari kursinya dan meminta izin keluar. Aku hanya terkejut dengan sikapnya yang begitu aneh itu, entah mungkin hanya perasaanku saja. Kurenai-sensei pun mengizinkannya.

Penasaran, aku hanya memerhatikan pensil yang diemutnya tadi. Tanpa sadar, aku mengambilnya dan membuat apusan dari bekas sel-sel epitel mulutnya yang mungkin tersisa di sana.

Apa yang kulihat setelahnya akan menjadi ketakutanku yang pertama...


"Th-then, what are you?"


.

.

.

.

.

.


"Human hybrid."


.

.

.

.

.

.


Setelahnya, hidupku berubah. Semua hal yang pernah hadir dalam mimpi masa kecilku menjadi nyata.

Lalu, biarkan saja kelogisan kalian yang menjawabnya.


To Be Continued


Please be nice by giving constructive critiscm. :)