Hola~
Saya kembali membuat book non faedah :'v
Maafkeun.
Tapi saya hanya ingin memindahkan cerita ini dari FB ke fanfiction karena sering kali saya susah mencarinya di FB.
Tampol saja saya yang malas tapi suka menumpuk list fict tidak bermutu ini *nangis*
Yasudah. Silakan membaca untuk selingan selagi saya memfokuskan chakra *uhuk*, memfokuskan ide pada cerita-cerita yang lain, oke?!
Happy reading!
.
.
Taira kecil murung.
Ia lagi-lagi kehilangan orang tuanya di tengah hiruk pikuk kota Los Angeles. Kota yang masih terasa asing meski ia sudah tinggal di sini selama 2 tahun. Salahkan daya ingatannya yang kurang kuat sehingga ia tidak mungkin pulang sendiri tanpa ditemani orang dewasa maupun Tatsuya, teman pertamanya di kota terpadat ini.
"Lagi? Huh, aku harus kemana kalau begini?" Taira memilih untuk mencari tempat duduk di bawah pohon rindang yang ada di taman dekat jalan utama kota L.A.
"Aku tidak boleh pergi begitu saja dari sini. Bisa saja mereka sadar aku tertinggal dan mereka memutuskan untuk kembali, bukan?" Taira kecil mengangguk. Mengiyakan pemikirannya sendiri tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Memantapkan hati untuk menunggu kedua orang tuanya, Taira dengan sabar duduk di bawah pohon sambil memandangi suasana taman yang semakin lama semakin sepi.
Wajah tampannya ditekuk amat sangat dalam. Tak henti pula dengusan dikeluarkannya ketika ia kembali mengingat kejadian di laboratorium tadi.
"Hebat sekali mereka. Berniat mencuri ide hasil kerja kerasku? Tidak akan kubiarkan!" ditendangnya kaleng bekas kopi yang tergeletak di trotoar dengan kencang.
"OW! Siapa malam-malam menendang kaleng kearahku, huh?" pria itu berhenti sejenak setelah mendengar rintihan serta gerutuan seorang anak.
"Siapa di sana?!" serunya.
"Kau itu siapa berani-beraninya menendang kepalaku dengan kaleng kopi-eh tunggu, bahasa Jepang?" semak belukar itu tiba-tiba bergoyang diiringi suara gaduh rumput yang bergesekan dengan alas kaki.
Pria itu sedikit berjengit ngeri. Takut kalau-kalau yang ia ganggu bukanlah manusia. Oh ayolah! Tingkat kejahatan di L.A tidaklah rendah. Bisa saja orang-orang yang terbunuh itu tidak tenang dan berusaha mencari pembunuh mereka walau sudah jadi hantu, bukan?!
Kepala dengan surai merah gelap menyembul di antara semak-semak. Membuat napas pria itu terhenti sejenak sebelum akhirnya hampir jatuh terduduk begitu melihat seluruh anggota tubuh manusia utuh keluar dari sana.
"Paman orang Jepang?" tanya anak itu.
Mata shappire nya berkedip beberapa kali sebelum menjawab.
"Ya. Kenapa?"
Anak kecil itu menghela napas lega. "Syukurlah. Setidaknya aku bisa berbicara pada Paman tanpa harus menggunakan bahasa isyarat."
"Kau tidak bisa bahasa Inggris tapi tersasar sampai luar negeri?" tanyanya tidak percaya.
Anak kecil itu menggeram. "Kau pikir mudah begitu saja beradaptasi dengan bahasa asing?!"
"Tidak perlu pakai urat, Bocah."
Anak itu mendengus sebelum akhirnya mendesah lelah. Diinjaknya aspal trotoar dengan alas kaki yang terbilang lumayan mahal.
Mata shappire itu kemudian meneliti anak kecil di hadapannya yang sangat kumal meski memiliki alas kaki bermerek tanda centang itu.
"Kau kabur dari rumah, Bocah?"
Anak itu menggeleng.
"Daripada disebut kabur, aku sebenarnya tersesat."
"Tersesat? Di umurmu yang...kalau kutaksir 10 tahun?" bibir tipis itu membentuk seringai.
"Urusai! Bukan salahku juga kan aku tidak hafal jalan di sini!" bentak anak kecil itu dengan muka merah.
"Hahaha, tetap saja namanya kau tersesat." ejek pria itu.
"Argh! Apa katamu sajalah!"
"Dan sudah berapa jam kau tersesat, Bocah? Kau ini perempuan. Memang orang tuamu tidak mencarimu?" anak itu menunduk.
"Ini hari ketigaku di jalanan. Aku juga tidak tahu mengapa sampai sekarang mereka tidak kunjung kemari."
Pria itu berdecak. Untuk ukuran perempuan yang masih kecil, ia hebat sanggup bertahan hidup di jalanan.
"Bisa saja kau dibuang oleh mereka." anak itu menatap nyalang pria di hadapannya.
"Atau mereka mati dikejar penjahat seperti di film-film itu."
"Kenapa semuanya hanya kemungkinan buruk?" anak itu mencibir.
"Kau pikir baik-baik, Baka. Itu adalah alasan paling logis dari keadaanmu saat ini."
Anak itu diam.
"Ya sudah. Kalau begitu aku pergi dulu." anak itu menatap horor pria di hadapannya dan langsung menahan kedua tangannya.
"Aku mohon jangan tinggalkan aku! Tolong beri aku tempat tinggal!" alis pria itu terangkat.
"Untuk apa aku menolong orang tidak jelas sepertimu?"
"A-a...tolong kasihani aku! Beri aku tempat tinggal sementara, Paman!" anak kecil itu membungkukkan badan lalu menatapnya dengan tatapan memelas.
"Heh, buat apa aku memberimu tempat tinggal?"
"Tolong, Paman! Aku akan membersihkan rumahmu dan mencuci pakaianmu serta memasak untukmu sebagai balas jasa telah memberiku tempat tinggal sementara!"
Menarik, batin pria itu.
Ini kesempatan langka untuk mendapatkan seorang pekerja rumah tangga tanpa harus mengeluarkan biaya upah di tengah kota dengan biaya serba mahal itu.
"Memang kau bisa memasak, Bocah?"
Anak itu sedikit membusungkan dada. "Tentu saja! Aku bertaruh kau akan ketagihan dengan masakan gadis kecil ini!"
Pria itu mendengus. "Ya ya kita lihat nanti, Bocah."
"Aku bukan bocah! Namaku Kagami Taira!" anak itu memandang sebal pria yang sekarang berjalan beriringan dengannya.
"Heee, kenapa bukan Taiga? Atau Tiger? Omelanmu lebih terdengar seperti auman macan." pria itu tersenyum mengejek.
"Apa kau bilang Paman remang-remang?!"
"Siapa yang kau sebut Paman remang-remang, huh?! Kulitku ini eksotis!" anak kecil yang bernama Taira itu mendengus.
"Kulitmu lebih terlihat seperti gosong di mataku, Paman."
"Huh, kau minta kuusir?" Taira menggelengkan kepala. Lalu tangannya digerakkan di depan bibir seolah ia mengunci mulutnya kemudian membuang kuncinya jauh.
"Aku tidak akan menghinamu lagi, Paman. Meski kenyataannya demikian..." bisiknya pada kalimat terakhir.
"Bagus. Kalau begitu kau harus membantuku membeli bahan makanan untuk di rumah!" tangan berkulit cokelat itu menarik tangan mungil Taira ke dalam konbini 24 jam.
"Ngomong-ngomong, aku belum tahu nama Paman." ujar Taira.
"Ah, aku Aomine Daiki. 25 tahun. Seorang profesor."
"Eeh?! Profesor di usia muda? Kukira profesor itu semuanya memiliki kepala plontos."
'CTAK'
"Aww..iya Paman, maaf. Kan aku tidak tahu." Taira mengusap kepalanya yang dijitak cukup keras oleh Daiki.
"Sudah! Cepat kita beli bahan makanan lalu pulang. Aku lapar."
.
..
...
TBC
