"…Karena kau itu milikku. Hanya milikku…"

.

.

a SasuSaku fanfiction

.

.

PATH2PSYCHO
part 1

by deahikari

.

.

Disclaimer: Naruto always belongs to Masashi Kishimoto-sensei
special for SasuSaku Fan Day


Aku bertemu dengannya melalui pertemuan yang…klasik dan singkat. Pada waktu itu kami tak sengaja bertabrakan di depan perpustakaan kota. Buku-buku yang ia bawa berceceran karena insiden itu. Aku yang merasa bersalah tentu saja membantunya membereskan buku-buku yang ternyata merupakan novel-novel dari Sir Conan Arthur—sang pengarang novel serial Sherlock Holmes.

"Ah, sumimasen. Aku tadi tidak melihat. Kau tidak apa-apa?" tanyaku sambil menatapnya. Bisa kulihat, tatapan matanya sangat tajam dan…sedikit berkilat-kilat. Tampan sekali. Bak pangeran-pangeran di anime. Ia tidak menjawab pertanyaanku. Setelah ia membawa buku-bukunya kembali, ia pergi begitu saja—tanpa berterima kasih.

.

.

Siapa sangka, aku bertemu dengannya lagi di depan kafe tempatku dan teman-temanku biasa nongkrong. Ia lewat begitu saja, dengan headset yang terpasang di telinganya—menghiraukan lalu lalang orang-orang yang lewat di sekitarnya. Aku segera keluar dari kafe dan mengejarnya. Bisa kulihat teman-teman menatapku heran.

"Ano," aku tepuk pundaknya yang ternyata cukup sulit untuk kujangkau. Ia menoleh ke arahku—menatapku sambil berpikir. Sayup-sayup bisa kudengar lagu dari BABYMETAL mengalun melalui headset-nya. Volume yang cukup kencang untuk bisa didengar oleh orang normal.

"A, kau yang kemarin. Ada apa?" ia akhirnya membalas percakapan. Suaranya sangat berat—keren sekali. Aku meminta maaf lagi kepadanya soal insiden tempo hari. Aku juga menanyakan apakah ia marah kepadaku karena ia kemarin menghiraukan permintaan maafku.

Sambil terkekeh pelan, ia tersenyum tipis, "Kau lucu, ya."

Deg. Apa maksudnya ia berkata seperti itu? Tanpa sadar wajahku menjadi panas dan perutku mual. Aku merona. Aku dag-dig-dug tak karuan. Aku tahu betul ia melihat wajahku, dan ia mengalihkan pandangannya ke sudut lain. Tanpa menghiraukanku, ia pergi lagi secara perlahan sambil mengadahkan lengan kanannya,

"Lain waktu kita bertemu lagi ya, Pink."

.

.


Entah mengapa, semenjak pertemuan di jalanan dekat kafe itu, aku menjadi sering melihatnya berlalu lalang—di tempat yang sama. Kadang kalau aku sedang sendiri, aku mengejarnya dan mengajaknya ngobrol bareng. Ya, membuat teman baru tidak ada salahnya, kan?

Pertemuan-pertemuan itu berlangsung intens. Belakangan aku ketahui namanya adalah Uchiha Sasuke. Penggemar musik rock. Dapat memainkan berbagai alat musik. Jago dalam programming game, walaupun agak payah dalam olahraga. Ia juga menguasai lima bahasa asing. Dan katanya, ia berlatar belakang sebagai orang yang "punya". Keren sekali, kan?

Di balik semua ke-keren-annya, rupanya masa lalunya cukup menyedihkan. Broken home, ditinggal pacar, susah bergaul, hampir di-drop out, tinggal sendirian… Ah, aku menjadi kasian padanya. Aku menjadi simpati dan memberikannya nomor selulerku. Just in case ia ingin bercerita dan mengungkapkan keluh-kesahnya. Ya, suatu masalah menjadi sedikit ringan ketika kita berbagi dengan orang lain, kan?

"Kau lucu, kau juga baik. Aku heran mengapa kau belum memiliki pacar, Haru-chan," katanya tiba-tiba.

"Kau tahu, aku seperti bisa menceritakan semuanya padamu, Haru-chan. Kau membuatku tenang dan mudah tersenyum. Terima kasih."

Aku pun merona (lagi). Untuk apa ia tiba-tiba berbicara seperti itu? Membuatku salah tingkah saja. Maksudku, seorang cowok cakep dan keren tiba-tiba berkata seperti itu di sela-sela kita mengobrol. Aku tertawa kecil (dan garing) membalas pernyataannya. Ia lalu menatapku intens dan tajam. Mata berkilatnya seakan menghujamku sampai ke lubuk hati. Ia kembali membuka bibirnya,

"Aku serius, Haru-chan."

.

.

Gara-gara pertemuan-pertemuan kami, kami menjadi lebih dekat. Ia juga sering mengirimiku SMS dan email—karena akhir-akhir ini aku mulai sibuk dengan urusan sekolah dan aku juga mulai kerja part-time. Dan entah mengapa, pesan-pesannya benar-benar membuatku bahagia—seperti seseorang yang tengah jatuh cinta. Ah, tunggu, apakah aku ini sedang jatuh cinta, ya? Ah, entahlah.

"Sakura, matikan ponselmu. Kita sedang di kelas, lho," tegur Ino—sahabatku. Aku menatapnya kesal. Dengan berat hati, aku mengaktifkan ponselku…dalam mode getar, agar tetap mendapatkan pesan darinya.

.

.

"Seragamnya! Tidak salah lagi, Sakura-chan! Itu seragam Kirisaki Academy! Sekolah khusus cowok yang terkenal karena diisi oleh anak-anak bermasalah!" Naruto berteriak-teriak tepat di hadapanku setelah bel istirahat berbunyi. Mengapa ia begitu heboh? (Ya, walaupun biasanya juga heboh, sih. Tapi ini lebih heboh dari biasanya). Ino yang berada di sampingku juga mengangguk-angguk kecil.

"C-Chotto. Bagaimana kalian tahu kalau dia memang bermasalah? Kalian bahkan belum mengenalnya. Aku bahkan belum terlalu mengenalnya. Dan kenapa kalian begitu heboh? Aku—"

"Insting," jawab mereka bebarengan.

Aku semakin heran dan menyadari sesuatu, "C-Chotto. Bagaimana kalian tahu kalau ia dari Kirisaki? M-masaka—jangan bilang kalian memata-mataiku? Ya kan?"

Naruto terlihat panik. Dan Ino terlihat mengangkat pundaknya cuek. Aku mulai kesal karena mereka ternyata membuntutiku ketika sedang bertemu Sasuke.

"Kenapa?" tanyaku kemudian.

"Karena kau akhir-akhir ini lebih banyak menghabiskan waktu bersamanya, daripada dengan kami. Dan kau tahu, Sakura-chan, Kirisaki itu sudah memiliki image buruk. Kau tidak seharusnya—um—maksudku, tentu saja tidak apa-apa memiliki teman dari sekolah lain, tapi, Kirisaki itu—"

Brak! Aku menggebrak mejaku hingga membuat Naruto memutus kata-katanya. Tatapan matanya melebar—menatapku ketakutan. Ino—yah, walaupun ia mencoba untuk tetap tenang, ia sempat terlihat kaget walaupun cuma sebentar.

"Kalian tidak tahu apa-apa tentangnya! Ia sangat terpuruk, mengapa kalian melarangku untuk berteman dengannya hanya karena ia siswa dari Kirisaki? Hentikan omong kosong ini, Naruto, Ino. Kalian kan hanya tahu image sekolahnya, bukan dirinya!"

Ino melihatku pergi meninggalkan kelas. Sedangkan Naruto…yah, ia masih duduk terdiam di bangku tempatnya duduk, sambil menatapku nanar.

.

.

.

"Mereka melarangku untuk berteman denganmu, Sasuke-kun," kataku memulai pembicaraan. Kami sedang berbicara melalui telepon karena kami tak dapat bertemu hari ini. Bisa kudengar ia menghela nafas berkali-kali, dan jujur saja, hal itu membuatku khawatir.

"Daijoubu ka?" tanyaku.

Ia menjawab kalau ia tidak apa-apa, lalu menanggapi perkataanku sebelumnya, "Tenang saja, Haru-chan. Mereka hanya cemburu dan iri. Tapi, kau tahu siapa yang benar, kan? Maksudku, orang-orang kebanyakan memang begitu. Mereka sudah nyaman dengan kehidupannya dan tidak mau mengambil risiko untuk bergaul dengan orang lain. Mereka seperti itu karena mereka takut sendirian. Lagipula, mereka, kan, yang menyulut api duluan? Kau tidak salah kok, Haru-chan. Dan kalaupun kau nantinya akan dijauhi oleh mereka, tidak usah khawatir karena aku akan selalu berada di sampingmu—mendukungmu seperti apa yang kau lakukan selama ini padaku. Jadi tenang, ya, Haru-chan?"

Mendengar jawaban panjangnya jauh membuatku rileks. Aku benar-benar nyaman ketika mengeluarkan seluruh uneg-unegku padanya. Ia seakan mengetahuiku lebih dari sahabat-sahabatku sendiri. Padahal kami baru saling mengenal kurang dari dua bulan lalu.

"Arigatou, ne, Sasuke-kun."

.

.

Aku tidak bertegur sapa dengan Naruto maupun Ino hari ini—mengikuti saran dari Sasuke. Kata Sasuke, kalau mereka memang peduli, mereka akan menyapaku nantinya. Kalau tidak, berarti mereka tidak peduli dan hanya iri padaku. Orang-orang memang aneh.

"Ino, mengapa Sakura-chan tidak menyapa kita?" sayup-sayup aku mendengar bisikan Naruto dengan Ino. Ino tidak menjawab pertanyaan Naruto dan membalikkan badannya sejenak—menatapku tajam. Setelah itu ia berbalik lagi ke Naruto dan menjawab,

"Kita lihat saja nanti, Naruto."

.

.

Sasuke kembali meneleponku malam ini, menanyakan perkembangan yang terjadi. Dan, ya, sudah bisa kalian tebak apa yang akan ia katakan,

" Sudah jelas, kan, Haru-chan? Mereka tidak peduli padamu. Menyapa saja tidak! Aku tidak percaya orang sebaik dirimu akan mengalami kejadian yang sama denganku. Haru-chan, mulai hari ini, aku berjanji padamu kalau aku akan melindungimu dari orang-orang keji seperti mereka. Aku tak akan membiarkan kau menjadi terpuruk sepertiku, Haru-chan. Aku akan menjagamu."

Aku menangis. Entah ini perasaan apa. Aku benar-benar menangis. Semua emosi tercampur aduk bagaikan milkshake kesukaanku. Sasuke-kun terlalu baik. Aku tak menyangka bagaimana bisa orang sebaik dirinya diasumsikan buruk oleh orang lain. Mereka tidak mengenalnya seperti aku mengenal dirinya. Akulah yang paling mengerti tentangnya, dan ialah yang paling mengerti aku.

"Sasuke-kun, aku merasa seperti kita dibuat untuk satu sama lain," perkataan itu terlontar begitu saja dari bibirku. Dan walaupun aku tidak bisa melihat wajahnya, aku tahu betul ia tersenyum,

"Aku tahu, Haru-chan. Aku nyaman bersamamu, begitu pula sebaliknya. Apa lagi yang kurang? We made for each other. You're my soulmate, Haru-chan."

"Apa maksudmu?"

Bisa kudengar ia menarik nafas panjang dan menghelanya, "Maukah kau menjadi milikku, Haru-chan? Aku ingin memilikimu…selamanya."

Deg. Aku tak bisa menolaknya. Tanpa ragu, aku berkata, "Iya, aku mau, Sasuke-kun."

.

.

.


Ini sudah dua minggu aku menjadi pacar Sasuke-kun. Semuanya berjalan dengan baik—layaknya orang-orang yang memiliki pacar. Kami pergi bareng, makan bareng, cerita bareng… Ya, tidak ada yang salah darinya. Aku semakin yakin bahwa Sasuke normal seperti semuanya. Orang-orang yang tidak menyukainya mungkin iri karena Sasuke terlalu sempurna. Ya, itu dia. Terlalu sempurna.

Pagi ini, tanpa diduga, isi kepalaku sedang kacau. Entahlah, mungkin aku terlalu lelah karena kemarin begadang karena Sasuke meneleponku hingga jam empat pagi. Aku tidak mendapatkan tidur yang cukup. Entah sudah berapa kali aku menguap di sepanjang perjalananku menuju sekolah.

"Kau baik-baik saja? Kau terlihat tidak sehat," Ino tiba-tiba muncul di sampingku. Aku menggelengkan kepala tanda aku tidak apa-apa (atau mungkin tidak peduli).

"Sekarang kau hobi begadang, ya? Kantong matamu menyedihkan, Sakura," katanya lagi sambil tertawa kecil dan menepuk pundakku ringan. Mungkin ia mengajakku bercanda. Sayangnya, candaannya tidak lucu. Membuatku muak.

Ah, tahu apa dia soal kehidupanku? Memang, gadis berrambut pirang pucat ini sudah mengenalku selama bertahun-tahun, tapi entah mengapa ia mulai menggangguku. Kehadirannya mengganggu kehidupanku.

"Aku tidak apa-apa, Yamanaka bodoh!"

.

.

.


"Kau sebentar lagi liburan, kan?" tanya Sasuke di seberang. Aku mengiyakan. Ia menanyakan apakah aku memiliki rencana di liburan musim panas ini. Aku menjawab bahwa aku akan berlibur dengan keluargaku.

"Are? Liburan bersama keluarga? Pasti menyenangkan. Padahal aku ingin mengajakmu liburan ke kampung halamanku di Hokkaido," katanya lagi. Wow. Jauh sekali. Hokkaido. Sudah jelas aku tidak akan diperbolehkan orang tuaku untuk berlibur kesana, apalagi bersama seorang lelaki. Aku sendiri agak ngeri membayangkannya. Ya, maksudku, memang tidak apa-apa pergi bersamanya, toh ia adalah pacarku. Tapi, tetap saja.

Aku masih belum sepenuhnya percaya padanya.

"Jangan bilang kau akan menolak ajakanku. Aku sudah memesan tiket transport dan hotel untuk kita berdua. Aku juga sudah mempersiapkan semuanya sebelum aku menanyakan hal ini padamu. Aku sudah membelikanmu perbekalan hingga baju baru. Ah, jangan bilang kau tidak diperbolehkan orang tuamu, Haru-chan. Mengapa kau menjawabnya sambil tergagap begitu? Benar, kan, dugaanku? Sini, biarkan aku bicara dengan mereka. Ih, mengapa semua orang serasa tidak menyukai kita berdua?"

Pernyataan panjangnya cukup membuatku shock. Bukankah ia terlalu terburu-buru? Maksudku, kami baru saja menjadi pacar belum sampai sebulan, tapi dia sudah meminta ini-itu.

"I-iie, bukan begitu, Sasuke-kun. Orang tuaku memang protektif, tapi kau terlalu terburu-buru dan—"

"A~ Aku tahu. Kau masih belum sepenuhnya percaya padaku, kan? Menyedihkan. Aku sudah memberikan semuanya padamu tapi kau bahkan tidak sedikitpun percaya padaku. Sebenarnya apa sih maumu, Haru-chan? Aku sudah berusaha menjadi yang terbaik untukmu selama sebulan ini tapi kau malah berperilaku seperti ini. Kau tidak punya alasan untuk menolakku, Haru-chan. Kau ini milikku. Milikku! Hanya milikku!"

Bip. Aku matikan telepon seluler yang ada di genggamanku. Jariku gemetaran. Tanganku. Seluruh tubuhku. Apa ini? Perasaan mengerikan apa ini? Mengapa ia seakan mengintimidasiku? Aku tidak berbuat salah, kan? Lalu kenapa?

Kenapa, Sasuke-kun? Mana kamu yang dulu?

.

.


"Yappari. Kau datang juga, Sakura," suara menyenangkan-tapi-cukup-dingin khas Ino menyambutku. Tak kusangka aku akhirnya pergi kembali ke Ino. Aku benar-benar terpuruk. Aku tanpa sadar memeluk sahabat cantikku ini, dan ia balas memelukku. Memang tak ada yang lebih baik dari pelukan seorang sahabat. Setelah meminta maaf atas kejadian tempo hari, aku akhirnya menceritakan semuanya:

"Dia benar-benar mengerikan, Ino. Aku seperti diisolasi. Aku tidak bisa melakukan apapun yang aku inginkan tanpa izinnya. Aku juga tak pernah baik untuknya. Ia juga menganggap semua orang adalah orang aneh yang tidak bisa mengerti dirinya. Ia juga terus menceritakan masa lalunya yang kelam, dan terus-terusan berkata kalau hanya aku yang ia butuhkan di hidupnya, begitu pula sebaliknya. Aku takut, Ino. Aku takut…"

"Aku tahu semua ini akan terjadi, Sakura. Dari awal aku sudah menganggapnya tidak normal—maksudku—siapa yang betah mendengarkan lagu BABYMETAL yang sangat cadas dan merusak telinga dengan volume yang tidak wajar? Selain itu, apa tidak aneh kalau ia berkali-kali mondar-mandir di depan kafe tempat kita setiap hari? Semenjak kau menyapanya tempo hari, mungkin kau tidak sadar, ia mengamatimu dari seberang kafe. Pura-pura duduk menikmati bekalnya. Kau sudah menjadi targetnya, Sakura," jelas Ino.

Aku masih tidak mengerti apa maksudnya, "Aku masih tidak mengerti apa maksudmu, Ino. Maksudmu, ia sudah mengincarku dari awal? Dan untuk apa aku diincar? Dan mengapa?"

"Kau lupa pelajaran psikologi yang kita dapatkan minggu lalu, Sakura? Ia sangat agresif, protektif, dan posesif, anti-sosial, dan tingkat narsistiknya sangat tinggi. Sudah jelas…"

Pupil mataku melebar. Aku baru mendapatkan poin pembicaraan ini. Aku akhirnya menyadarinya.

"Ia seorang psikopat."

.

.

.

.

.

To be continued.

Thanks for reading. Kelanjutannya akan di upload insya Allah sekitar satu minggu ke depan :)

Ps: Terima kasih dear readers yang sudah mau meluangkan waktunya untuk membaca fanfic ini. Niatnya mau dibuat oneshot, ternyata tidak bisa ya, soalnya saya merasa nanti alurnya menjadi lebih cepat. Bagaimana menurut para readers sekalian? Ini fanfic genre mental-error pertama saya, selain itu ini juga pertama kalinya saya membuat fanfic yang bersambung. Mohon review yang membangun dari readers sekalian agar di fic lanjutannya bisa lebih baik lagi. Terima kasih dan selamat SSFD~~~! ^ ^