Huwaa... Setelah sekian lama ingin bikin fanfic ternyata baru kesampaian sekarang.
Semoga ceritanya gak garing. Kalau garing semoga masih bisa dinikmati ;w;
"Selamat tahun baru!"
'Bum!' dentuman dari sebuah mesin besar terdengar saat memuntahkan sebuah peluru yang mengembang di atas langit. Semua orang bersorak, berteriak, tertawa lepas sembari saling berpelukan dengan orang-orang tersayangnya. Berbagai makanan dan minuman berserakan di atas sebuah meja kayu besar. Semua orang bebas memakan apa yang mereka inginkan tanpa peduli apapun. Sementara aku hanya bisa terdiam, tersenyum menyaksikan wajah bahagia mereka bersama segelas anggur merah yang katanya paling lezat di abad ini. yang bahkan tidak bisa aku bedakan dengan sirup anggur murah di pasaran.
Sudah sewajarnya semua orang berbahagia di tahun baru ini, karena selama setahun ke belakang kami sudah mulai bisa terhindar dari mimpi seram akan mayat hidup dan moster yang perlahan menghancurkan bumi ini. Berkat kerja keras kakakku dan teman-temannya, semua kekacauan yang terjadi selama bertahun-tahun itu pun bisa mulai padam, meski memang masih belum bisa hilang sepenuhnya.
Akan tetapi, mau dikatakan seperti apapun, selama aku masih menyaksikan berita mengenai hal tersebut, hidupku tidak akan bisa membaik seperti sedia kala. Atau mungkin, memang tidak akan pernah bisa kembali normal.
"Padahal semua orang tengah bersenang-senang," sebuah suara muncul di belakangku. Hal yang sedikit membuatku tidak nyaman saat seseorang tiba-tiba mengejutkanku speerti itu. Sedikit mengingatkanku akan para mayat hidup yang selalu melakukan hal sama. "Apa pestanya kurang meriah?"
"Oh, tidak," ucapku sembari tersenyum. Aku tidak ingin mengecewakan lelaki yang kini berada di hadapanku itu. "Aku hanya sedang terpana melihat kembang api yang indah itu."
"Oya?" Dia tersenyum dan berdiri tepat di sampingku. "Wajahmu seakan berkata lain."
"Hei, pestanya meriah sekali, Tuan Fisher!" Seorang lelaki bertopi koran berteriak dari kejauhan. Neil hanya membalasnya dengan mengangkat gelas anggur dalam genggamannya. Dia kembali memfokuskan pandangan ke arahku, menanti sebuah jawaban.
"Ayolah, jangan pandangi aku seperti itu. Oke, aku mengaku. Perasaanku sedang kurang enak hari ini, maaf. Tapi... aku tidak ingin menghancurkan pestamu dengan membahasnya sekarang." Aku sedikit tertunduk, secercah perasaan bersalah menyeruak di dalam hati. Tidak seharusnya aku menjauhi keramaian dan tenggelam dalam mimpi buruk seorang diri di saat orang-orang sedang berusaha merasa bahagia.
"Tidak apa-apa, aku mengerti." Neil menaruh telapak tangannya ke belakang kepalaku dan mendorongnya agar dia bisa mencium keningku. Aku sangat senang karena dia adalah orang yang sangat mengerti tentangku, kedua setelah kakakku tentunya. "Oiya, hampir saja lupa. Aku ingin memberitahu bahwa mereka sudah datang."
"Benarkah?"
"Kau lihat saja sendiri ke dalam!"
Aku terlalu antusias mendengar sebuah kabar bahagia dari Neil. Mungkin ketidakberadaan hal ini yang sebelumnya membuat pesta meriah Neil sama sekali terasa tidak menyenangkan bagiku. Karena semua sahabat, bahkan kakakku sendiri belum bisa menyaksikan kembang api dan minum segelas anggur bersama. Tapi, kini mereka sudah datang!
Tidak terasa kakiku berjalan begitu cepat. Bahkan Neil sedikit kesulitan harus mengikutiku yang mencengkram lengannya sembari melewati kerumunan orang-orang. Rumah Neil besar sekali, hampir menyerupai kantor RPD di Raccoon City! Neil bilang aku terlalu melebih-lebihkan, padahal dia sendiri tidak pernah tahu seperti apa bangunan yang kumaksud. Tapi... sepertinya Neil memang benar.
"Chris!" teriakku sembari berhamburan memeluknya sekuat tenaga. Chris sedikit terkejut saat mendapatkan sebuah serangan pelukan dariku. Dia tertawa dan balik memeluk. "Hei, selamat tahun baru, Claire!"
Beberapa bulan ke belakang Chris pergi untuk melaksanakan tugas rutinnya. Aku sangat jarang memiliki waktu untuk bertemu dengannya. Jangankan aku, isterinya sendiri pun sering kali memintaku untuk berkunjung dan menginap di rumahnya.
"Hai, Jill." Aku melirik ke arah wanita di samping Chris, dia hanya tersenyum sembari memangku seorang gadis kecil yang tengah tertidur. "Sayang sekali Jane sudah tidur, padahal di sini banyak makanan kesukaannya."
"Ya... seharian dia terlalu asik bermain, dia bahkan tidak ingin lepas dari ayahnya."
"Padahal sudah ada Piers, tapi kamu masih saja tidak berhenti menyibukkan diri sendiri, Chris!"
"Jane senang memiliki ayah seorang pahlawan," jawab Chris sembari tertawa.
Aku mengajak mereka berjalan menuju ruang keluarga agar bisa berbincang di tempat yang lebih tenang dan sepi. Tidak ingin kusia-siakan momen yang jarang sekali terjadi ini. Terakhir kali aku dan Chris selalu bermain kembang api bersama di tiap malam tahun baru harus berakhir dua puluh tahun lalu.
"Silahkan anggap rumah sendiri. Dan, menginap saja untuk malam ini."
"Terimakasih, Neil. Tapi, maaf aku tidak bisa berlama-lama, karena masih ada misi yang menunggu besok."
"Apa?" Aku lebih merasa kesal dibandingkan terkejut. Meski sudah biasa mendengar jadwal Chris yang padat, tapi ini pertama kalinya dia pulang dalam waktu yang sangat sebentar. "Tidak bisakah kamu tinggal lebih lama? Tidakkah kamu berpikir Jane akan kecewa mendengarnya?"
"Jane bisa menunggu, tapi keadaan di luar sana tidak bisa, Claire."
"Coba bicaralah padanya, Jill!"
"Tidak apa, Claire. Chris sedang memperjuangkan sesuatu yang terbaik untuk kita semua."
"Kalian memang sama saja." Aku terdiam agar Chris tahu bahwa aku tidak menyukai kesibukkannya. Memalukan memang, mengingat umurku yang sudah tidak pantas berbuat seperti anak kecil. Tapi, berada di samping kakakku selalu membuat sifatku berubah secara tiba-tiba.
"Jangan khawatir, Leon, Ada, Sherry, dan yang lainnya pasti akan berkunjung seperti biasa. Aku janji akan lebih sering pulang setelah ini."
Aku tidak ingin Chris lebih sering pulang, aku hanya ingin dia tidak pernah kembali lagi ke medan perang. Aku ingin dia memiliki pekerjaan biasa yang tidak perlu membuat dirinya jauh dari sini. Tapi, Chris memiliki rencana dan pemikirannya sendiri yang tidak akan pernah bisa aku halangi.
