Some Secrets
Summary
Do Kyungsoo. Seseorang yang paling bahagia hidupnya, sebelum ia kehilangan noona tersayangnya. New York, mempertemukan ia pada seseorang yang mampu menyembuhkan keterpurukannya. Tapi, siapakah Kim Jongin?
Rate : T - M
Cast : KAISOO
Genre : Romance, Hurt
YAOI, Boys Love
Don't Like, Don't Read
Happy Reading
Sesuatu yang sudah Tuhan ambil, sesuatu yang tidak bisa kamu miliki lagi.
Sadar. Tuhan hanya menitipkan. Bukan memberikan sepenuhnya.
Aku selalu berbakti kepada Tuhan. Melakukan apa yang Tuhan minta, menjauhi apa yang Tuhan larang.
Mengasihi sesama, berkorban dan ikhlas, menyayangi sepenuh hati.
Tapi Tuhan merenggut kebahagiaanku.
Apa yang kurang? Aku tidak tahu hidup se-tidak-adil ini.
Memang, Tuhan sudah memberikan segalanya kemarin, tapi…
Bukankah aku juga membalas hal yang sama pada Tuhan?
Jika Tuhan kini merenggut kebahagiaanku, lantas, haruskah aku masih harus berbuat baik untuk Tuhan?
Some Secrets.
Akan menjadi hari yang cukup sulit, pikirku. Meninggalkan negara tercinta untuk melanjutkan studiku beberapa tahun kedepan. Sendirian.
"Kita masih harus menunggu appa menjemput Taeyeon noona, kan?" Ucapku santai sambil memegang handphoneku untuk segera berselfie-ria bersama eomma.
"Eomma~~~ lihat ke kameraaa, hana dul seeee!" Ckrek! Aku dan eomma tersenyum melihat hasil foto selfie kami.
"Ah! Lebih baik kita menunggu appa dan noona supaya fotonya semakin perfect! Eheheheh" eomma hanya tersenyum melihatku.
Eomma. Seseorang yang tidak pernah memarahiku, tapi anehnya, justru aku lebih dekat dengan appa. Appa tegas, sangat tegas, iya, mungkin karena dia ketua kepolisian di Seoul. Sejak kecil, appa selalu mengajariku untuk menjadi lelaki yang tangguh, tapi entahlah, aku tidak mempunyai bakat itu. Aku lebih suka memasak dengan eomma atau membuat sweater, membuat pernak pernik lucu, segalanya yang feminine, aku menekuninya. Appa tidak marah, karena yang terpenting, aku selalu menjadi juara kelas disekolah. Meskipun sesekali appa mengejekku yang kurang manly ini,tapi ia selalu saja tersenyum dengan hasil masakanku. Appa tidak pernah memaksaku menjadi seperti dia, atau seperti yang dia inginkan, yang dia tau, aku tidak boleh menjadi pria lemah. Aku tidak pernah menangis, walaupun aku terlihat seperti wanita. Tapi appa, membesarkanku seperti itu, tanpa air mata. Appa bilang, jangan pernah menangis, jangan tunjukkan airmatamu, jangan lemah, dan jangan pernah putus asa. Prinsip appa itulah yang mendidikku, menjadi pria tangguh.
Handphone eomma berbunyi.
"Yeoboseyo?" Eomma mengangkat teleponnya.
Dalam waktu beberapa detik saja, eomma tersungkur ke lantai dan menjatuhkan handphonenya.
"EOMMA! GWAENCHANA?" Aku yang terkejut langsung menghampiri eomma yang tersungkur sambil menangis lemah, segera ku ambil handphone eomma dan mencoba berbicara.
"Yeoboseyo?" ucapku terbata-bata.
"Ibu ketua, apa kau masih disana?" Aku mengenali suara itu, ya, jelas sekali, itu suara sekretaris Kim.
"Ne ahjussi? Ini Kyungsoo. Waeyoo ahjussi?" ucapku dengan panik.
"Kyungsoo-yaa?..."
"WAEYOOOOO? PALLI MALHAEBWA! KATAKAN ADA APA!"
.
.
.
.
.
Aku membangkitkan eomma untuk segera pergi, tapi ia tidak sanggup.
"Eomma, naik ke punggungku"
Aku sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa. Aku berlari keluar airport dengan eomma terkulai lemas dipunggungku. Tanpa kusadari, air mataku telah menumpuk di pelupuk mataku.
Ayah, mianhae. Hari ini, aku bukan pria tangguh, ayah.
.
.
.
.
Ramai.
Pikirku suasana itu adalah suasana yang paling ku benci sejak kecil. Aku benci keramaian, sesuatu yang berisik. Sungguh mengusik. Seperti hari ini. Ramai, tapi hening.
Ku buka pintu mobil taxi yang ku tumpangi. Membopong eomma yang terseok seok, tak mampu berjalan tapi masih tetap ingin berjalan. Menelusup masuk keramaian, mencari – cari sosok appa, didepan pintu gerbang No. 28. Ku langkahkan kakiku memasuki gerbangnya, melihat sosok appa yang tengah berdiri didepan pintu sebuah rumah kontrakan yang cukup sederhana, appa berdiri tegap, tapi bahunya bergetar, matanya berpura-pura tegar menahan airnya jatuh dari kelopaknya. Aku menghampirinya sambil membopong eomma. Belum sempat aku memanggil appa,beberapa petugas membawa tandu keluar dari pintu rumah. Seseorang terkulai diatas tandu, tertutup sesuatu berwarna orange, menutupi seluruh tubuhnya, hingga tak terlihat wajahnya. Appa menunduk sekilas ketika para petugas pembopong tandu menghampirinya. Appa membalikan badannya mengikuti arah tandu. Saat itu juga ia melihatku dan eomma berdiri dibelakangnya.
"BERHENTI!"
Aku menghalangi para petugas yang kini akan melewatiku. Ku hampiri tandu itu dengan langkah yang tegas. Meninggalkan eomma yang sudah terkulai lemas disamping sekretaris Kim.
Ku buka perlahan sesuatu yang menutupi tubuh itu, hanya ingin melihat wajahnya saja itu sudah cukup bagiku. Dan iya, benar saja. Wajah lugu dan manis itu, sungguh menenangkanku, walau rasanya ia menahan kesakitan, tapi kulit pucat itu, membuatku ingin terus memandangnya. Aku berdiri tegap seperti appa, menahan airmataku, dan lengkungan bibirku. Membiarkan para petugas membawa mayat itu pergi.
.
.
.
.
.
.
.
Bau aroma khas yang paling ku benci,. Aku pernah menghirup bau ini sebelumnya selama sebulan. Dan aku berharap tidak akan pernah lagi mencium bau ini. Bau yang mengingatkanku pada jarum suntik, infus, makanan yang bagiku tidak pernah ada rasanya, huh, rasanya aku ingin mengajari mereka caranya memasak.
"Cari semua penyebabnya. Terutama pelakunya" Suaranya pelan, sangat pelan. Tapi aku bisa mendengarnya.
Appa menutup teleponnya, kemudian menghampiriku dan eomma.
"Kyungsoo, kau bawa saja eomma kerumah" ucap appa masih dengan suara tegasnya.
Eomma memang sedang menangis dikursi ruang tunggu. Matanya bengkak, bibirnya terus bergetar dan badannya menggigil. Aku benar – benar sudah tidak sanggup lagi melihatnya. Memang, aku juga tidak pernah membantah perintah appa, maka apa yang appa katakan, pasti aku bergegas melakukannya.
.
.
.
Eomma pingsan saat akan pulang dari rumah sakit tadi, ia sadar setelah beberapa kali ku dekatkan minyak angin dihidungnya dan kuoleskan disekitar keningnya. Kini eomma tertidur setelah ku suapkan semangkuk bubur dan minum obat penenang.
KEESOKAN PAGINYA
"Sekretaris Kim sudah mengurus masa ospek kuliahmu yang tertinggal di NewYork, kau berangkatlah lusa, Kyungsoo. Kau bisa mulai masuk kuliah minggu depan" appa berkata dengan tegas seperti biasanya.
"Appa?" ucapku lirih sambil memotong roti bakarku diatas meja makan. Appa hanya menengok ke arahku tanpa menjawab.
"Apakah kita tidak sedang berduka?" Appa hanya diam.
"Hanya tiga hari setelah noona pergi, apa aku harus segera mengurus studiku? Appa~ Aku bahkan tidak menangis seperti yang appa ajarkan walaupun aku ingin. Melihat mayat noona, appa hanya menduduk. Hanya bahu appa yang bergetar, mata appa pun berpura-pura tegar. Aku belajar semua itu dari appa. Tapi, apa memang sepantasnya kita bersikap seolah – olah tidak ada yang terjadi? Apakah ini adil bagi noona? Ketika dia pergi, hanya ibu saja yang menangisi kepergiannya? Bahkan appa secara tidak langsung memintaku melupakan kejadian kemarin" ucapku kesal kepada appa yang tiba-tiba saja membahas studiku.
"Kemarin sudah berlalu, dan hidup harus tetap berjalan. Mau kau apakan beasiswa mu itu? Kau pikir universitasmu itu dengan senang hati menunggumu sampai kau berhenti merasakan duka? Appa sudah mengurusnya Kyungsoo. Tidak perlu ada yang ditangisi, biarkan noonamu pergi dengan tenang, kita hanya perlu mengusut siapa pelakunya dan apa penyebabnya" jelas appa dengan tegas.
"Lalu, apa yang sudah appa dapat sekarang? Hasil otopsi kemarin? Bagaimana hasilnya?"
Appa terdiam, cukup lama. Seperti ada yang ingin ia katakan , tapi ia tak mau mengungkapkannya.
"Appa masih harus menyelidiki lagi" Ayah bangkit dari kursi makannya dan pergi bersama sekretaris Kim.
.
.
.
.
Selama dua hari ini, appa setiap malam selalu termenung di sofa ruang tamu. Entah apa itu alasannya. Appa tidak bercerita, dan aku tidak berani menanyakannya.
"Appa, gwaenchana?" Aku menghampiri appa di ruang tamu yang sangat gelap.
Appa diam. Tidak menjawab sedikitpun pertanyaanku. Ia menggenggam sebuah amplop ditangan kirinya dan handphone di tangan kanannya. Matanya memerah, tapi ia tetap menahan airmatanya. Aku semakin takut untuk bertanya.
Tapi, tiba – tiba saja appa memegang dadanya. Napasnya tersengal – sengal, susah payah menghirup udara. Tubuhnya tersandar pada sofa dan menjatuhkan semua yang sedang ia genggam. Aku mengguncang pelan tubuh appa dan langsung menelepon dokter pribadinya. Aku berteriak memanggil manggil eomma dan sekretaris appa.
.
.
.
.
Appa terbaring lemah di kasur kamarnya. Syukurnya, hanya serangan jantung biasa, dan appa tidak mau dirawat dirumah sakit.
Tapi pagi ini, ada yang berubah dengan appa, entahlah.
Appa seperti orang bisu. Dan tatapan matanya kosong. Dokter bilang karena appa shock.
Appa shock? Kematian noona sudah berlalu dua hari yang lalu. Dan appa benar-benar sangat tegar kemarin. Bagaimana bisa sekarang appa shock?
Aku bergegas mencari dokumen yang semalam appa genggam, dan mencari tau apa yang sebenarnya terjadi, tapi pasti ada yang lebih tau mengenai apa yang appa rahasiakan.
Iya, Sekretaris Kim.
.
.
.
"Ahjussi" lirihku pelan. " Bisakah kita berbicara sebentar?" Aku meminta sekretaris Kim keluar kamar appa, kali ini aku benar benar harus tau semuanya. Sebelum aku pergi.
"Waeyo Kyungsoo-yaa?"
"Ahjussi. Tolong berhenti menutupi rahasia. Untuk kali ini aku mencari tau sesuatu dengan sungguh – sungguh. Tolong beritahukan padaku, ahjussi" jelasku dengan nada memohon. Bisa ku lihat sekretaris Kim mulai gelagapan.
"Sesuatu apa?"
"Tolong jawab yang jujur. Semalam, sebelum appa terkena serangan jantung, appa terdiam diruang tamu tanpa menjawab perkataanku. Ku pikir appa sedang serius, tapi ku lihat tatapan matanya kosong. Appa menggengam handphone ditangan kanannya dan sebuah dokumen ditangan kirinya. Aku yakin bahwa pasti ada sesuatu dibalik dokumen itu." Jelasku masih dengan nada memohon.
"Kyungsoo-yaaa" Sekretaris Kim mencoba menghentikanku.
"Ku mohon ahjussi, aku sudah dewasa sekarang. Akulah satu-satunya putra appa. Apakah salah aku mengetahui apa yang menjadi beban appa? Sekarang semuanya menjadi tanggung jawabku juga. Ahjussi, kumohon beritahu aku. Besok aku sudah harus pergi ke New York, kau membiarkan aku memikirkan ini bertahun-tahun dinegeri lain?"
.
.
.
.
.
.
Aku semakin merasa tidak punya pilihan.
Lee Hyuk Jae. Komisaris Jenderal Kepolisian.
Appa berada dibawah genggamannya. Iya, appa hanya bawahannya.
Aku dan eomma mengenal baik dia karena dia adalah teman baik appa. Keluarga kami sering berlibur bersama sejak kecil.
Ia mempunyai satu putra,ani ani, rumornya dia mempunya dua putra, yang pertama bernama Lee Hee nim, tapi entahlah, setiap keluarga kami berkumpul bersama, aku tak pernah melihat putra keduanya, keluarganya pun tidak pernah membahasnya. Ku pikir, memang benar hanya rumor, entahlah aku tidak mengerti dan benar benar tidak mau tahu juga.
Bedanya dengan noona, noona malah menjalani hubungan dengan putra pertamanya, Lee heenim. Mereka berpacaran sejak mereka dipekerjakan diperusahaan yang sama.
Aku mengenal heenim hyung dengan baik, dia orang yang penyayang. Tapi yang aku tidak suka, dia over protective. Really over protective~
Terkadang aku melihat noona tidak bisa pergi bersama teman-temannya, bahkan untuk menemui aku, eomma dan appa pun menjadi jarang. Ayah sangat mempercayakan noona kepada heenim hyung, makanya terkadang tidak masalah jika noona terus bersama hyung.
Noona pernah sekali main kerumah sendirian tanpa diantar heenim hyung, dan keesokan paginya, aku melihat lebam diwajahnya. Ia bilang karena tertabrak benda yang keras, tapi aku pikir aku tau penyebabnya.
Ya. Sakit sekali rasanya membahas ini.
Apakah itu cinta? Heenim hyung mencintai taeyeon noona?
Hatiku tersayat mengetahui kenyataan bahwa heenim hyunglah yang membunuh noona. Terlebih menyakitkan lagi, ia sempat memperkosanya. Dan apa yang terjadi pada appa? Lee Hyuk Jae mencabut jabatan appa jika appa ingin meneruskan kasusnya, hebatnya appa, appa tetap teguh untuk terus menyelidiki kebenaran. Dan… appa dipecat. Terlebih parah lagi, aku mungkin adalah incaran Lee Hyuk Jae jika appa benar – benar melanjutkan misinya.
Kasus kematian Taeyeon noona ditutup begitu saja, dan kemungkinan lagi, appa jatuh sakit karena ulah mereka.
Pikir kalian aku tidak marah? Yang benar saja. Kaca kamarku sudah pecah berkeping-keping dan telapak tanganku sudah berbalut perban sekarang. Tapi sekarang aku bisa apa? Besok aku harus segera ke New York dan fokus pada studiku. Sungguh. Semua ini pilihan yang sulit. Meninggalkan kedua orang tua yang tak berdaya, melepaskan si iblis berkeliaran tanpa menerima balasan, berusaha keras menekuni studi yang kenyataannya pikiran dan jiwaku entah kemana. INI SULIT, TUHAN APALAGI INI!
.
.
.
.
.
.
.
Syukurnya hari ini, keadaan eomma sudah terlihat membaik, walaupun sesekali menangis menatap foto noona.
"Eomma. Kyungsoo besok sudah harus berangkat ke New York" ucapku pelan. Eomma menatapku dengan tatap haru sambil mengaduk bubru ayah di kursi ruang makan. Aku duduk disebelah eomma dan menggenggam tangannya.
"Ne. Anak eomma harus segera menggapai cita-citanya." Eomma berkata dengan lembut sambil mengusap rambutku.
"Appa mendidikmu dan noona dengan sangat baik, eomma sangat bangga. Tidak hanya mengajarkan kalian, eomma juga belajar banyak dari appa, walaupun eomma lemah, tapi eomma belajar tegar dari appa. Melihat appa yang masih berdiri dengan tegap didepan mayat noona mu, eomma merasa harus melakukan hal yang sama. Appa benar, kehidupan harus tetap berjalan, dan mungkin akan sangat sulit untukmu, Kyungsoo. Menjalaninya semua sendirian dan jauh dari eomma dan appa"
"Eomma. Gwaenchana! Jika eomma mau menangis, menangis saja eomma. Hati wanita lebih lembut dan peka, eomma tidak perlu berpura – pura tegar"
"Anii! Gwaenchana~ Apa kau meragukan eomma, Kyungsoo-yaa? Eomma ini lebih kuat darimu asal kau tau" ucap eomma mengejek.
"Aish wanita ini benar – benar! baiklah kalau begitu aku saja yang menangis"
"NEEE! Menangislah didepan eomma, eomma belum pernah melihat tangisanmu." Eomma tertawa mengejek kemudian memeluk tubuhku.
"Hanya dirimu yang tersisa, hanya dirimu yang eomma dan appa punya. Lakukanlah yang terbaik, noona juga pasti senang melihat uri Kyungsoo bahagia" ucap eomma menenangkan.
Ya, tidak hanya ucapannya yang menenangkan. Pelukan eommapun meluruhkan rasa pedih hari ini dan rasa takut hari esok. Aku berjanji noona, untuk membahagiakan eomma dan appa. Noona, neomu bogoshippeo.
.
.
.
.
.
.
Jika air melanjutkan perjalanannya mengikuti arus yang mengalir, lantas anganku? Mengapa harus terhenti walau waktu terus berjalan mengiringi?
Setelan jeans dan kaos hitam polos favoritku. Hanya perlu melingkarkan syal saja dileherku, dan… ITS PERFECT! 'Aku cukup tampan di kalangan wanita', gumamku sambil berkaca.
Ku gendong tas ranselku dan ku tarik koper berwarna abu – abu. Eomma duduk disamping appa yang sedang menatap kosong kedepan. Aku heran, mereka berpakaian rapi sekali.
"Oh? Kyungsoo? Kau sudah siap? Ayo kita berangkat." Eomma bergegas mengambil tasnya dan mulai mendorong kursi roda appa. Iya… appa sungguh menyedihkan sekarang. Raganya terlihat, tapi jiwanya mati.
"Eomma" Aku memanggil eomma sambil tetap berdiam diri dibelakang mereka.
"Waeyo? Kenapa malah diam?" tanya eomma heran.
"Eomma tidak perlu mengantarku. Keadaan appa…. Terlihat buruk sekali. Aku takut appa kelelahan, begitu juga eomma. Lagipula, aku sudah besar dan bisa menjaga diri sendiri. Gwaenchana eomma."
"Kyungsoo-yaa? Kau tega kepada kami?"
"Ani. Aku sudah bilang sejak kemarin untuk tidak mengantarku. Aku tidak mau keadaan kalian semakin memburuk melihat kepergianku"
Eomma terdiam sejenak menatapku.
"Paliwa! Nanti kau terlambat" Eomma berjalan kedepan meninggalkanku sambil terus mendorong kursi roda ayah.
.
.
.
.
.
Eomma tersenyum bahagia sambil melambaikan tangannya dibalik kaca airport. Berpura- pura tegar, tapi kulihat tatapannya nanar. Appa seperti tidak melihatku, tatapannya masih kosong, benar-benar kosong. Itulah mengapa aku tak mau mereka mengantarku, aku tak sanggup melihat mereka, terutama appa yang sekarang terduduk lemah seperti tak bernyawa. Dan eomma yang pura - pura bahagia, padahal airmatanya bergumul di pelupuk matanya.
New York
August 18, 2017
Ini bukan kali pertama aku mengunjungi New York, jadi tidak perlu lagi mengungkapkan kekagumanku tentang kota metropolitan ini. Aku tidak terkejut lagi dengan budaya westernnya yang terlalu kental, atau terkadang melihat wanita berjalan tanpa atasan. Ah! Aku sungguh tidak tertarik.
New York, kota yang ramai. Yah… aku benci keramaian. Aku harap untuk tetap tinggal beberapa tahun ke depan, aku bisa beradaptasi untuk hal itu.
Aku menuliskan berbagai impian dilembar hidupku, dan semuanya terasa jauh. Dan kejauhan itu hanya akan ditempuh jika aku terus berjalan dan berlari ke depan. Impian tentang hidup, cinta, persahabatan, kepercayaan dan keluarga.
Mungkin ini awal untuk meninggalkan luka. Tapi tidak untuk dendamku.
Aku berjanji pada diriku sendiri untuk membalas semua yang terjadi pada noona.
Ku langkahkan kaki ku menuju sebuah rumah sederhana, tepatnya di Williamsbridge. Cukup luas untuk ku tinggali sendirian, maka dari itu, hari ini ku sibukkan diriku merapikan rumah, dan menata barang – barangku.
Tok.. tok.. tok..
Seseorang mengetuk pintu rumahku. Aku berjalan menuju pintu dan sesekali merapikan kaos hitam polosku.
"Annyeongggg uri Kyungsooooo"
Sosok yang sangat ku rindukan. Seorang laki - laki tua, cukup tua maksudku, dengan rambut yang sedikit beruban, celana jeans panjang lengkap dengan sweater dan syal abu - abu dilehernya. Dia bagaikan appa kedua ku sejak kecil. Ya, dulu aku dan keluargaku tinggal di New York saat appa bertugas disini. Dan ahjussi ini, sudah seperti keluarga kami sendiri.
"Woa? Ahjussiiii!" Aku menghamburkan tubuhku dalam pelukannya.
"Kyungsoo kau kapan datang?"
"Tadi pagi. Ayo masuk dulu, biar aku buatkan teh, atau ahjussi mau kopi?"
Namanya Kim Soo Hyun.
Aku banyak bercerita pada paman Kim, tapi tidak tentang kematian noona dan semua kepahitan yang aku alami sekarang. Belum tepat waktunya, pikirku.
"Mianhae, mungkin ahjussi akan jarang menemuimu Kyungsoo, kerjaan ahjussi akhir – akhir ini sungguh padat sekali."
"Ne, gwaenchana. Sebaiknya ahjussi perhatikan kesehatan ahjussi saja, jangan terlalu sibuk dan lupa untuk makan. Jika ahjussi lapar, datanglah kerumah, pasti akan aku hidangkan masakanku yang super daebak. Kau tahu kan kemampuan memasakku?"
"NEEE! Baiklah, ahjussi harus segera pulang, takut mengganggumu yang sedang sibuk" Ia mengacak rambutku sambil tertawa mengejek.
.
.
.
Kring Kring Kring
Bunyi alarm yang paling klasik, tapi selalu ampuh membangunkanku.
Hari pertama ku memulai kuliah, dan hari pertama juga bertemu teman- teman baru. Huh! Kupikir tidak ada yang menarik, karena aku mungkin lebih memilih membaca buku dijam istirahat.
Aku memasuki ruang kelas yang… oh my God! Is there one Korean? Semuanya bergaya western. Hanya aku yang berwajah asia dengan setelan kemeja coklat kotak kotak dan celana bahan berwarna coklat yang… hm, cukup membentuk bootyku…. Tidak lupa kacamata hitam yang selalu menemaniku belajar.
"Are you korean?"
Oh wait, sebuah suara membuyarkan kegugupanku. Aku menoleh ke arahnya yang sedang menghampiri mejaku.
"Ne" ucapku sambil berpura – pura membenarkan kacamata ku.
"Gotcha! I know and feel it since you come to this room. Me too!"
"Ne arraseo"
"Bagaimana kau tahu?"
"aku tau seperti caramu mengetahuiku bahwa aku adalah orang korea"
"Tapi sepertinya aku tidak melihatmu pada ospek kemarin. Ah tidak peduli! Jadi… Bisakah kita berteman? Rasanya menyenangkan sekali punya teman sebangsa dan setanah air dikelas ini" Ia seperti bergumam sendiri, kemudia mengulurkan tangannya padaku.
Oh shit! Ku pikir juga begitu. Tapi aku benci kebisingan, dan pria ini? Dia sumber kebisinganku hari ini.
"Ne, tentu, semua disini bisa menjadi teman. Bisakah kau kembali ketempat dudukmu sekarang?" ucapku dengan sabar.
Pria itu mengangkat tangannya setelah uluran tangannya tak ku tanggapi, ia berjalan mundur menuju mejanya dibelakangku. Mianhae, hanya saja aku merasa tak cocok denganmu, batinku.
Jam terakhir pun berlalu, aku buru – buru merapikan buku dan memasukkannya kedalam tas. Aku bergegas pergi dari kampus dan segera mencari lowongan kerja part time sebelum pulang.
.
.
.
Kudapati dua toko pertama yang cukup dekat dengan kampus, toko roti… atau coffee? Ah! Yang terdapat lowongan hanya café coffee saja rupanya, aku tidak menyia – nyiakan kesempatan ini. Aku memasuki café tersebut dan langsung menawarkan diriku untuk menjadi pekerja disana. Sepertinya awal yang baik, dewi fortuna sedang berada dipihakku. Tidak hanya hari pertama ku kuliah, tapi hari ini adalah hari pertama ku bekerja.
.
.
Aku menyukai pekerjaanku. Meracik kopi? Seru juga. Ditambah lagi suasana café yang cozy dan tidak lupa dengan kekentalan gaya westernnya, sepertinya aku akan berubah jadi orang barat sekarang.
Ku raih ranselku dan segera ku kenakan jaketku. Malam yang cukup dingin untuk ku lewati sambil berjalan kaki. Bus sudah tidak ada lewat sini, ku pikir aku harus berjalan ke depan jalan untuk mencari bus yang lain. Aku mengikat tali sepatuku dan merapikan kacamata ku. Suara alunan lagu tell me what is love membuayarkanku, ah… eomma meneleponku rupanya.
"Ne eomma?"
"Bagaimana kuliahmu hari ini? Apakah menyenangkan?"
"Tentu eomma. Tidak perlu ada yang dikhawatirkan nee, hmm, eomma apakah sudah makan? Aku ngantuk sekali eomma karena baru selesai belajar. Nanti aku telepon lagi, ne?"
Aku menutup teleponku untuk segera bergegas berjalan menuju bus yang datang. Terpaksa aku membohongi eomma, sungguh, aku merindukan suara eomma dan appa.
Hari yang baik, awal yang baik. Tidak apa apa membohongi eomma dan appa, pikirku. Aku takkan pernah mengizinkan mereka mengetahui bahwa anaknya setengah mati hidup di negeri lain, prinsip penting sebagai seorang anak, 'sesusah apapun kamu, jangan biarkan orang tuamu tahu itu'
.
.
.
.
.
.
"ANDWAAEEEEEE! AKU KESIANGAAAANNNNN!"
Aku bergegas mandi walau hanya sebentar, sungguh, itu bukan gayaku, aku mandi bisa sampai setengah jam, sekarang bagaimana bisa aku mandi hanya 5 menit, ani ani, 3 menit. Aku buru – buru memakai baju yang sudah kusiapkan semalam (itulah gunanya jadi orang disiplin sepertiku, haha), aku berlari keluar rumah berharap belum tertinggal bis yang lewat didepan gang.
Damn! Baru sehari Dewi Fortuna memihakku, hari ini dia sudah pindah haluan lagi. Bisnya sudah lewat, dan akan datang bis baru lagi dalam 15 menit. Oh yang benar saja! Aku bisa tertinggal mata kuliah pertama.
Brum… brum…
Seseorang menghentikan motornya didepanku dan memintaku untuk naik dibelakangnya, tentu saja aku tidak mau. Aku tidak tau siapa dia.
Dia membuka helmnya, dan dapat kukenali, si pria korea yang bising itu? Baiklah, aku tidak ada pilihan lagi. Aku menaiki motornya dan dia pun langsung melesatkan motornya dengan cepat.
"Peluk aku" ucapnya setelah membuka kaca helmnya.
"Michyeoseo?" Yang benar saja, apakah semudah itu dia mendapatkan pelukanku?
"Lakukan saja! Atau kau akan terhempas dari motor ini." Pria itu menaikkan speed motornya, dan benar saja, aku hampir terbawa angin. Aku langsung mengeratkan pelukanku pada mr. anonymous itu, sungguh, aku tidak tahu namanya.
Aku merasakan seperti melayang. Iya, sepertinya aku tertidur dipelukkannya, sampai aku merasa motornya berhenti tak berjalan lagi.
"sudah bangun?"
Aku merasakan tangan kanannya menahan tubuhku, aku langsung menjauhkan kepalaku dari punggungnya.
"Ah mianhae, aku tertidur."
"Aku merasakan sesuatu basah dipunggungku, apa itu air liurmu?"
Aku terdiam dan langsung turun dari motornya. Aku berdiri didepannya sekarang.
"Mianhae.. heheh. Gamsahamnida!" Setelah menyengir ria, aku kabur dari hadapannya dan berlari menuju ke kelas.
Sosoknya baru terlihat sekitar 15 menit setelah aku duduk dikursi ku. Tapi ia berbeda. Dia terlihat lebih dingin. Perasaan baru sehari, tapi mengapa secepat itu dia berubah. Apa mungkin karena ulahku yang menumpahkan air liur ku pada punggung jaketnya? Hm entahlah, aku sebenarnya tidak peduli, tapi aku merasa tidak enak saja padanya, dia jadi penyelamatku pagi ini.
.
.
.
.
.
Aku memberanikan diri menghampirinya sebelum dia beranjak dari kursinya. Timing yang tepat, sesuai rencana, dia memang belum bergegas pulang bahkan sampai semua mahasiswa keluar kelas. Hanya ada aku, dan Mr. Anonymous, ani ani, Kim Jongin. Namanya Kim Jongin, tadi dosen memanggilnya.
"Jongin-ssi"
Dia tidak menjawab pertanyaanku. Hanya menengadahkan kepalanya menoleh kearahku.
"Apa kau….marah denganku?"
"Ani."
"Terus, kenapa kau mendiamkanku?"
"Apa kemarin kita banyak berbincang?"
Aku hanya menggeleng.
"Kau terlalu cepat menilai ku kemarin. Mungkin kemarin aku terlalu cerewet, tapi inilah aku. Aku memang sangat dingin. Kemarin aku hanya excited saja bertemu orang Korea. Lagipula, untuk apa aku marah denganmu?"
"Ah ne, mianhae. Hm… mungkin karena… air liurku dijaketmu?" ucapku terbata – bata.
"Ah! Untungnya kau tahu diri. Baiklah, cucikan jaketku." Jongin menyodorkan jaketnya ke arahku.
"YA!" Aku kesal dan sempat meneriakinya, tapi saat itu juga aku langsung menyadarinya kalau memang sudah seharusnya aku melakukannya.
"Ne araseo! Aku akan mencucikannya." Aku langsung mengambil jaketnya dan memasukkannya ke dalam tasku. "dan… terimakasih untuk tadi pagi jongin-ssi"
"Hm, aku tidak butuh ucapan terimakasih. "
"Aish pria ini benar – benar, banyak sekali maunya. Kau butuh apa? Aku tidak ingin berhutang budi"
"Berangkat dan pulang kuliahlah bersamaku selama seminggu" Jongin mengatakannya sambil menunduk memutar mutar handphonenya.
Aku terdiam sejenak. Aku tidak ingin bergantung pada orang lain, tapi dipikir – pikir, aku bisa menghemat uangku walau hanya seminggu. Ayolah Kyungsoo, kau hidup sendiri sekarang, pintar – pintar lah me-manage uang sekarang.
"Baiklah! Kajja~" Aku membalikkan badanku dan berjalan duluan meninggalkan Jongin. Sesekali menengok kebelakang memastikan jongin berjalan dibelakang.
Jongin memberikan helmnya kepadaku.
"Jongin, sebenarnya kau hanya perlu mengantarkanku sampa café coffe didekat kampus"
"Arra~"
"Arra? Apa kau tahu aku bekerja part time disana?"
"Aku bekerja part time di toko roti sebelah tempatmu bekerja"
"Jinjja?" Aku sedikit berteriak karena terkejut dan mengeluarkan mata bulatku.
"Aish!" Jongin mengusap usap telinganya "Kau bilang kau benci kebisingan, tapi mengapa kau berisik sekali, sih" keluh jongin padaku.
"ugh, mianhae."
Aku terdiam membisu. Akupun heran sendiri, mengapa jadi aku yang cerewet sekali.
.
.
.
.
.
Pukul 9 malam. Sudah watunya aku dan Jongin untuk pulang. Tapi sepertinya Jongin sudah selesai daritadi, kulihat dia sudah duduk menungguku didepan toko roti tempat dia bekerja. Aku mengikat tali sepatuku, dan kudapati eomma memintaku untuk melakukan video call dengannya dan appa.
"Ne eomma annyeong" Aku melambai lambaikan tanganku didepan kamera handphone.
"Annyeong Kyungsoo-aah. Jam segini kau kemana Kyungsoo-aah? Mengapa ada diluar rumah?"
Ah! Aku lupa kalau aku sedang tidak dirumah.
"Ani, aku hanya membeli alat tulis eomma. Eomma, nanti aku telepon lagi kalau Kyungsoo sudah dirumah ya eomma. Appa mana?" tanyaku penasaran, aku sungguh merindukan appa.
Eomma mengarahkan kameranya pada wajah appa.
Menyedihkan. Sungguh menyedihkan. Hatiku sungguh sakit melihat keadaan appa, dendam ku meluap dan memori tentang noona kembali teringat. Aku menahan airmata di pelupuk mataku.
"Eomma, nanti ku hubungi lagi. Annyeong!" Dengan segera ku matikan teleponnya dan pelupuk mataku tak sanggup lagi menahannya. Aku menunduk, dan sedikit terisak.
"Gwaenchana? Apakah kau menangis?"
Aku masih menundukkan kepalaku dan mengusap air mataku sebelum menampakkan wajahku kehadapan Jongin.
"Ani. Kajja~"
"Kau menangis. Jangan membohongiku" Jongin mengelus pundakku.
Aku tidak tau ini perasaan apa, tapi saat Jongin menatap ku sambil mengelus pundakku, aku langsung ingin menangis sekencang – kencangnya.
Jongin menarik tubuhku ke dalam pelukkannya. Erat, sangat erat. Aku menangis membasahi dadanya.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menangis.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To be continued~
Annyeong chingudeul~~~
Akhirnya aku berani juga posting ini. Ini baru chapter pertama, sih. Tapi aku bakalan publish chapter - chapter selanjutnya asap.
Need your review and comment, gomawo^^
