AN ISLAND GIRL

Discaimer: Tite Kubo

Warning: Abal, geje, ide pasaran, jelek, OOC, dll...==v...tombol back menanti anda jika anda muak membaca ff geje ini *plakk

.

.

Urat-urat wajahku mengeras ketika kulihat kamarku yang biasanya rapi kini terlihat berantakan. Sebuah futon putih masih tergelar di lantai, buku pelajaran dan baju-baju lusuh bercecaran di atas tempat tidur, dan kenapa selimutku bisa berada di atas meja belajar?

Pasti dia yang melakukan semua ini!

Rukia! Pasti ini perbuatannya. Ya, ya, siapa lagi pelakunya kalau bukan gadis pulau itu.

"RUUKKIIAAA!"

Entah sudah berapa ratus kali ia membuatku kesal dan berteriak-teriak padanya dalam dua bulan ini.

Gadis itu bukan keluargaku. Dia juga bukan teman atau kenalanku. Dia hanyalah orang asing yang dipungut oleh Oyaji dari sebuah pulau kecil di daerah timur. Kata Oyaji, gadis itu adalah salah satu korban tsunami yang selamat beberapa waktu lalu. Gadis itu dirawat oleh neneknya sejak kcil dan sekarang neneknya sudah meninggal akibat kejadian itu, dan entah bagaimana cerita lengkapnya sehingga Oyaji menemukan dan membawanya ke sini tetapi satu hal yang kutahu, gadis ini membuat hidupku kacau!

Bagaimana tidak? Sejak kedatangannya pertama kali di rumah ini saja ia sudah membuatku repot, dimulai ketika si Baka Oyaji dengan santainya memintaku untuk berbagi kamar dengannya. Kenapa harus denganku? Kenapa tidak sekamar dengan Yuzu dan Karin saja? Atau suruh saja ia tidur di klinik. Ketika kutolak dan menyuruh Oyaji untuk menempatkannya tidur bersama Karin dan Yuzu, dia malah mengancam akan menghapus uang jajanku jika aku ! Bagaimana bisa ia membiarkan orang asing -apalagi dia perempuan- untuk sekamar dengan anak lelakinya!

Ok, itu baru awal. Kesialanku setelah itu adalah si Baka Oyaji menyekolahkan gadis itu di sekolah yang sama denganku, mungkin jika hanya satu sekolah denganku saja aku masih bisa bersabar, tetapi ini? Ia juga ditempatkan di kelas yang sama denganku!

Kenapa aku begitu kesal? Tentu saja karena ia mengacaukan arus kehidupan normalku! Aku harus sekamar dengannya dan membuat ruang gerakku tidak bebas, aku harus mengawasinya di sekolah agar ia tidak membocorkan pada orang lain kalau ia serumah denganku , aku harus mengantarkannya ke tempat yang ia mau agar ia tidak tersesat. Apalagi ditambah dengan kebodohannya dan sifat kampungan yang ia miliki.

Contohnya saja dihari pertama ia datang, ia terkagum-kagum pada televisi yang berada di ruang keluarga yang katanya jauh lebih bagus daripada televise yang berada di rumahnya dulu. Ia juga mempertanyakan berbagai pertanyaan bodoh padaku ketika ia berada di kamarku, tentang ponsel, gitar, komputer, dan lain-lain. Dan pertanyaan-pertanyaan bodohnya itu sukses membuatku tidak dapat belajar Diferensiasi untuk ulangan matematika esoknya. Shit! Sebegitu terpencilkah pulau yang dulu ia tempati sampai-sampai ia tidak tau benda-benda yang sudah mendunia itu?

Lalu di hari pertama sekolah, ia membuatku repot dengan berbagai pertanyaan konyolnya tentang sekolah barunya. Hari itu pula ia menjadi pusat perhatian cowok-cowok kelas karena kepolosannya, dan kata mereka dia imut. Aku tidak tahu mengapa mereka menyebut kebodohannya dengan kata 'polos'. Lalu dipihak lain, cewek-cewek menganggapnya kampungan. Well, aku setuju dengan mereka.

"RUUKKIIAAA" kembali kuteriakkan namanya ketika beberapa saat lamanya ia tak juga muncul.

Tak berapa lama terdengar derap kaki menaiki tangga menuju kamarku yang terletak di lantai dua. Kulihat wajahnya yang belepotan krim muncul dari balik tangga.
"Ada apa, Ichigo?" tanyanya.
Kubuka pintu kamarku lebar-lebar agar ia dapat melihat asal muasal kemarahanku.
"Kenapa kamarku berantakan seperti ini?" tanyaku kesal.

Ia melongokkan kepalanya ke dalam kamarku sesaat, lalu ia menyunggingkan senyum bodohnya padaku.

"Tadi pagi aku kesiangan, kau juga tidak membangunkanku, jadi aku lupa belum membereskan futonku. Lalu aku juga mencari buku tugas biologiku diantara buku-bukumu, tetapi ternyata buku itu sudah ada di dalam tas ku dan aku belum sempat membereskan semua itu ehehe," jawabnya santai.

Ctik.
Santai sekali jawabannya, dan lihat? Wajahnya tidak menunjukkan rasa salah SEDIKITPUN!
Urat-urat di wajahku bertambah kencang karenanya. Oh, Kami-sama! Kalau begini terus aku bisa cepat tua!

Aku menghela nafas sejenak, mencoba meredakan amarahku agar tidak semakin membesar.
"Sekarang, cepat kau bereskan semua ini," perintahku.

"Umm, nanti saja ya, Ichigo? Aku sedang menghias kue bersama Yuzu-chan untuk nanti malam kita akan merayakan ulang tahunnya dan Karin-chan," balasnya dengan sumringah.

"Lalu, apa hubungannya kau yang kusuruh membereskan kamarku dan menghias kue ulang tahun?" tanyaku dengan nada kesal.

Ia nampak tersenyum malu-malu, "ini pengalaman pertamaku menghias kue ulang tahun." Pengalaman pertama? Apakah seumur hidupnya dia belum pernah menghias ulang tahun?
Terbesit sedikit rasa kasihan di hatiku, hanya sedikit. Dan rasa itu terkalahkan oleh egoku yang ingin melihat kamarku rapi dan mengistirahatkan tubuhku di atas kasurku yang empuk.

"Aku tidak mau tahu! Kau harus membereskannya sekarang juga!"

Kini wajahnya tidak secerah tadi, bibirnya nampak mengerucut karena jengkel, "Nanti pasti kubereskan kok."

"Tidak! Aku ingin melihat kamarku rapi sekarang juga!"

Pipinya nampak menggelembung, tetapi hanya sesaat. Kemudian ia menyunggingkan senyum bodohnya dengan gerakan tiba-tiba ia berjinjit dan. .
CUP.
ia mencium pipiku kananku. Mataku kontan terbelalak kaget.
"A-apa yang kau lakukan!" tanyaku gugup, dapat kurasakan desiran darahku yang berkumpul di wajah. Semburat merah juga menghiasi pipinya.

"kata Chìzuru-san, kalau kita mencium laki-laki yang sedang marah, maka marahnya akan hilang, dan aku disuruh mencobanya padamu," katanya dengan polos.

"Jadi sekarang, kau sudah tidak marah lagi kan, Ichigo? Kalau begitu, aku ke bawah dulu ya? Kamarmu nanti pasti kubereskan kok," katanya seraya berjalan meninggalkanku.
Aku yang masih terkaget-kaget karena perlakuannya barusan hanya dapat terpaku menatap punggungnya yang menghilang di balik tangga.

XOXOXO

Hoamss. . Aku kembali menguap untuk yang ke sekian kalinya. Kulihat jam dinding di kamarku yang sudah menunjukkan pukul 10.35 malam.
Kuputuskan untuk menutup buku tugas kimia dan membereskan buku-buku pelajaran yang akan kubawa ke sekolah besok dan memasukkannya ke dalam tasku.
Setelah itu, aku pun membaringkan tubuhku di atas tempat tidur.

Cklek.
Kuarahkan pandangan mataku ke arah pintu yang baru saja terbuka. Kulihat gadis itu masuk ke kamarku lengkap dengan piyama tidur yang sudah menempel ditubuhnya.

"Apa saja yang kau lakukan di bawah? Kau telat 40menit!" ucapku sambil kembali melirik jam dinding. Ya, saat dia pertama kali menempati kamarku, kami telah membuat beberapa kesepakatan salah satunya yaitu paling telat masuk kamar pukul 10 malam.

Kesepakatan kami yang lain adalah aku tidur di atas tempat tidurku dan ia tidur di lantai dengan futonnya. Awalnya si Baka Oyaji itu sangat keberatan dengan kesepakatan kami yang ini, ia bahkan hendak menempatkan tempat tidur baru di kamarku, tapi aku menolak terang-terangan. Kamarku bisa bertambah sempit jika ditambah dengan 1 tempat tidur lagi. Dan bodohnya lagi, ia malah menyuruhku tidur 1 kasur dengan gadis itu, dan aku kembali menolak mentah-mentah usul bodohnya itu.

Ia yang sedang menggelar futonnya menoleh padaku sesaat, "aku menonton World of Chappy besama Yuzu-chan," balasnya singkat. Setelah futonnya tergelar rapi, ia duduk bersila di atasnya dan menghadap ke arahku.

"Bukannya acara itu selesai jam 9?"

Ia mengangguk mengiyakan, "tapi setelah itu ada sebuah acara tentang reproduksi binatang, dan aku menontonnya. Kau tahu ichigo? Acara itu sangat bagus! Aku bisa melihat cara-cara kelincì, ayam, sapi, ular,singa, burung dan hewan lainnya berkembang biak, dari mulai kawin, hamil dan juga melahirkan anaknya, dan juga ada kilasan cara mereka menjaga anak mereka. Kau tahu? cara mereka berkembang biak sangaatt unik dan memiliki ciri khas. Cara ular kawin juga unik, si betina katanya akan mengeluarkan aroma yang khas yang akan.. . . . . .," aku hampir saja terbawa ke alam mimpi ketika ia berceloteh panjang, tetapi sesaat kemudian suaranya terdengar memanggil namaku.

"Ichigo! Ichigo!"

"Hnn. .," aku terpaksa membuka mataku.

"Kau mengantuk?" tanyanya. Jelas-jelas baru saja aku hampir tertidur kan?

"Hnn. ,"hanya itu jawaban yang keluar dari mulutku. Kembali kupejamkan kedua mataku.

"Tunggu! Jangan tidur dulu! Aku ingin bertanya sesuatu padamu," balasnya.

Aku membuka sedikit kelopak mataku, "hnn. .apa?"

Ia nampak sedikit ragu saat akan bertanya, "Bagaimana cara manusia bereproduksi?"

Mataku terbuka seketika dan kepalaku sedikit terangkat karena terkejut akan pertanyaannya.

"A-apa?"

"Bagaimana orang-orang seperti kita berkembang biak?" ulangnya lagi.

Kutatap wajahnya lamat-lamat, tapi ekspresi yang kudapat darinya hanyalah ekspresi polos khas anak kecil ketika bertanya pada orang tuanya. Kuhembuskan nafasku sejenak. Apakah aku harus menjawab pertanyaannya?

"Bagaimana?" matanya menatapku dengan kilat-kilat rasa ingin tahu.

". . ."

"Apakah kita akan kawin seperti para binatang itu? Seperti sapi misalnya, saat mereka kawin, sapi jantan akan menunggangi sapi betina dan mereka .. . ," aku segera memotong kata-katanya ketika ia sedang menjelaskan hal itu sambil
mempraktekkannya dengan kedua tangan. Wajahnya tampak sangat serius.

"Tunggu! Tunggu! Tunggu!" selaku, lalu aku terduduk.

"Darimana kau tau semua itu?" nafasku sedikit tertahan, aku tidak menyangka ia akan mengatakan hal sejauh itu dengan wajah polos di depanku.

Ia menatapku, agak terkejut karena aku menyela kata-katanya.

"Dari acara televisi," jawabnya singkat.

"Tidak seharusnya kau menonton acara itu," kataku. Ia mengernyitkan alis.

"Kenapa? Itu kan ilmu," tanyanya dengan ekspresi serius. Sekarang akulah yang mengernyitkan alis, kata-katanya benar juga, tapi kalau mengenai hal itu... Aku menggaruk-garuk tengkukku karena bingung membalas kata-katanya. Sejujurnya aku juga tidak tahu detailnya, kalau tahu pun itu sangat memalukan utnuk dibicarakan apalagi dengan seorang gadis.

"Lalu, bagaimana cara perkembangbiakan manusia agar mereka mempunyai anak?" tanyanya. Lagi-lagi dengan wajah polos anak kecil yang membuatku salah tingkah.

Seketika kurasakan sekujur aliran darahku berkumpul di wajahku. Panas. "I-itu..."

"Ya?" kali ini wajahnya nampak memperhatikan wajahku dengan serius, sepertinya ia tak mau kehilangan satu katapun dari penjelasan yang akan kututurkan.

"Manusia akan berkambang biak jika...jika...um...Laki-laki d-dan perempuan melakukan 'i-itu'," balasku, masih dengan wajah memerah. JAngan sampai ia menanyakan bagaimana cara melakukan 'itu'. JAngan sampai!

Ia nampak menyernyitkan alis karena bingung, "melakukan 'itu'? Bagaimana?"

Oh Shit! Dia menanyakannya, wajahku terasa lebih panas sekarang, "ya, begitulah"

"Begitu bagaimana?" desaknya.

"Akh Sudahlah! Suatu saat kau pasti tahu! Aku mengantuk," balasku. Aku kehilangan kata-kata untuk membalas pertanyaan sensitifnya. Aku merebahkan tubuhku dan menutupinya dengan selimut sampai kepalaku.

"Ahhhhhhh, Ichigooo! Aku masih penasaran!" katanya dengan nada kecewa.

XOXOXO

"Ngghh. . ," aku mengerang pelan ketika kurasakan lenganku diguncang-guncang.
Sayup-sayup terdengar suara guyuran hujan di luar sana. Hawa dingin perlahan memasuki rongga pori-poriku, memaksaku untuk menarik selimut merapat ke tubuhku.

"I-ichigo. .Ichigo. .," suara itu kembali memanggil, suara gadis itu.

"Ngghh. . ," aku kembali mengerang, sangat malas untukku untuk membuka mata.

"I-Ichigo! Bangun!" aku pun dengan terpaksa membuka kedua mataku. Kukerjap-kerjapkan mataku sejenak karena tidak ada cahaya yang masuk ke retinaku, lalu sebuah cahaya berkelebet dari jendela kamarku dan dari cahaya itu aku dapat melihat sosok makhluk putih gembul di depanku.

Hantu! Kontan aku terduduk dan merapatkan diri ke dinding kamarku. Mataku terbelalak kaget, hantu apa yang ada di depanku ini?

"I-Ichigo. . Ini aku, Rukia," kata makhluk itu, dan makhluk itu pun menyingkap kulit kepalanya -?- dan muncullah Rukia.

Aku menghembuskan nafasku yang sedari tadi tertahan, ternyata makhluk itu bukan hantu, melainkan seorang gadis bodoh yg menyelimuti sekujur tubuhnya dengan selimut.

"Apa-apaan kau membangunkanku tengah malam begini, he?" bentakku kesal.

Cahaya kilat kembali menerangi ruang kamarku untuk sesaat, dan saat itu pula gadis bodoh itu kembali menutupi kepalanya dengan selimut. Tubuhnya sedikit merunduk.

"I-Ichigo. . Untuk malam ini saja, boleh aku tidur denganmu?" suaranya terdengar bergetar. Mata violetnya menatapku dengan pandangan memohon.

Alisku mengerntiy heran, "Tidak! Kesepakatannya kau tidur di futon dan aku tidur di atas tempat tidurku! Tidak ada yang namanya tidur bersama!" ucapku tegas.

Kini wajahnya nampak bertambah ketakutan sekaligus panik, "kumohon. . Kali ini saja."

"Tidak!" jawabku mantap. Kenapa sih dia ini?

Ruanganku kembalì terang sesaat. Deru suara hujan terdengar bertambah keras di luar sana.

Dan dapat kulihat ia semakin merapatkan selimutnya. Wajahnya terlihat seperti akan menangis.

"A-aku takut. . Aku takut, Ichigo! Aku tidak mau tidur sendiri! Aku takut," jawabnya dengan suara serak.

Aku mengernyitkan alis, rasa iba sedikit merasuk ke hatìku ketika kulihat wajahnya pucat karena ketakutan. Hanya sedikit. Yang kemudian tertepis oleh egoku.

"Lalu. . Apa hubungannya denganku?" tanyaku dengan sinìs.

Matanya terbelalak kaget ketika aku selesai mengucapkan kata-kataku barusan.

"Tolonglah! Aku takut. Aku tidak akan bisa tidur," balasnya dengan nada memohon.

"Apa peduliku?" jawabku, kembali dengan nada sinis.

Ruang kamarku kembali diterangi cahaya kilat. Cahayanya kini lebih terang dibanding sebelumnya. Lalu sesaat kemudian suara petir menggelegar keras.

"Kyaaaaa!" mataku terbelalak kaget ketika mendengar gadis pendek di depanku menjerit. Kulihat tubuhnya merosot ke lantai, berjongkok di sana sambil semakin menutup rapat tubuhnya dengan selimut. Isak tangis mulai terdengar dari bibirnya.

"Hiks. . A-aku takut. .Ichigo,.t-tolong. . A-aku takut. .hiks hiks," ia menangis. Gadis itu menangis! Selama ini aku tidak pernah melihatnya menanangis satu kalipun karena ulahku ataupun ketidaksukaannya pada keluargaku. Tapi sekarang, gadis itu menangis, menangis karena ketakutannya pada petir.

Kusingkirkan egoku. Kudekati gadis itu dan berjongkok dihadapannya. Tubuhnya bergetar. Perlahan aku menyingkap selimut yang menutupi kepalanya dan kulihat Iris violet itu mengeluarkan air mata.

"Kau benar-benar takut?" bisikku.

Dia memandangku sambil mengigit bibirnya, kemudian ia mengangguk.

Kuulurkan tanganku untuk menarik kepalanya ke bahuku. "Baiklah, kau boleh tidur denganku malam ini," kataku pelan sambil menepuk-nepuk pelan punggungnya.

Ia tidak membalas kata-kataku. Kurasakan tangannya melingkari tubuhku, ia memelukku, masih menangis.

"Sttt..Tidak apa-apa" kataku menenangkan.

Kubimbing ia untuk berdiri, lalu kusingkap selimut yang menutupi tubuhnya. Kulepas pelukannya, wajahnya nampak pucat dan basah oleh air mata, rona merah memenuhi ujung hidungnya.
"Sudahlah, kau bersamaku," kataku sambil menghapus air mata yang membekas di pipinya dengan kedua tanganku. Mata violetnya menatapku.

Kutuntun ia menuju tempat tidurku. Gadis bermata violet itu membaringkan tubuhnya merapat di sebelah kananku. Kedua tangan mungilnya memeluk tubuhku erat. Wajahnya ia benamkan di dadaku dan dari situ aku dapat merasakan hembusan nafasnya yang hangat.

Kilat kembali memberi cahaya, disusul suara petir yang menggelegar.

Tubuhnya kembali bergetar, dan ia memelukku semakin erat.

"Sst. . . Tidurlah," kataku menenangkan. Kutepuk-tepuk rambut ravennya pelan, mencoba memberikan penawar rasa takutnya.

Kenapa aku jadi berubah lembut padanya? Bukankah aku membencinya karena mengacaukan hidupku? Tanyaku dalam hati.
Wajah menangisnya kembali terbesit di otakku. Dari dulu aku tidak pernah suka melihat orang lain menangis, dan aku tidak mau melihatnya menangis. Mungin karena itu sikapku berubah.

Ia menggeliat pelan membenarkan letak kepalanya. Entah mengapa aku merasakan sensasi aneh pada perutku yang membuat wajahku terasa panas. Aku tidur bersama seorang gadis, dan dia adalah Rukia . Aku menggeleng pelan untuk menjauhkan pikiran-pikiran aneh yang tiba-tiba saja muncul di kepalaku. Kupejamkan mata mencoba untuk tidur.

Kenapa aku merasa nyaman saat memeluk tubuhnya? Kenapa sekarang jantungku berdetak cepat?

XOXOXO

Silau.
Itulah yang kurasakan sekarang. Tangan kiriku terangkat untuk menghalau cahaya matahari yang terasa begitu menyilaukan. Kukerjap-kerjapkan mataku untuk menetralisir cahaya yang masuk ke retina mataku.

Kugerakkan tangan kananku, tapi tak bisa, serasa ada sesuatu yang menghalangi tangan kananku untuk bergerak. Hangat. Ya, tangan kananku terasa lebih hangat dari tangan kiriku.

Kini mataku terbuka sepenuhnya. Yang kulihat pertama kali adalah sebuah wajah. Wajah seorang gadis.

Apa? Gadis?
Aku terhenyak kaget. Aku hendak terduduk, tetapi tangan kananku tak dapat kugerakkan.
Manik mataku pun kuarahkan untuk melihat tangan kananku. Dan seketika pula kurasakan seluruh aliran darahku berkumpul di wajahku. Terasa panas. Bulu kudukku meremang.

Tangan kananku digapit oleh kedua tangan gadis itu. Lenganku berada di dadanya, dan . . . A-aku dapat merasakan 'itu' dan juga detak jantungnya yang berdetak teratur. Dan yang paling parah, telapak tanganku tergapit oleh kedua pahanya.. Memang tidak menyentuh kulit secara langsung karena tertutup piyamanya tetapi tetap saja aku menjadi bergidik geli.

Jantungku tiba-tiba saja berpacu cepat. Sesuatu dalam perutku menggeliat dan darahku terasa mendidih.

Kutatap wajahnya sejenak. Ugh! Kenapa wajahnya terlihat manis sekali?. Denyut jantungku kembali berdetak cepat. Wajahku terasa lebih panas sekarang. Ini harus cepat diakhiri sebelum akal sehatku hilang! Ya, ya, harus!

"H-hey! Rukia!" panggilku.

Tidak ada jawaban. Gadis itu sama sekali tak bergeming.

"R-Rukia!" kuguncang lengannya pelan.

". . ."

"Ru-Rukia! Bangun! Kini kuguncang lengannya agak kencang. Ayo cepatlah bangun!

"Ngghh. .," ia mengerang pelan, lalu ia menggeliat. Nafasku seketika tertahan karena kurasakan lenganku bergesekan dengan sesuatu dan itu membuat wajahku semakin terasa panas dan otakku semakin tidak waras. Kupaksakan tangan kananku terlepas dari apitan tangannya sebelum aku benar-benar hilang kendali. Seketika itu pula ia membuka matanya. Ia nampak mengerjap-ngerjapkan matanya sejenak lalu terduduk.

"Ohayo, Ichigo," sapanya dengan mata yang masih setengah tertutup.

"O-ohayo," balasku sambil merapat ke tembok, menjauh darinya dan memalingkan wajahku agar tidak bertatapan. Wajahku masih terasa panas. Kami terdiam untuk sesaat, namun aku yakin ia sedang menatapku sekarang.

"Kenapa wajahmu merah? Kau sakit?" tanyanya dengan nada khawatir, sepertinya ia menangkap perubahan warna wajahku. Ia beringsut mendekatiku dan menempelkan punggung tangannya di dahiku. Seketika itu aku menoleh padanya dan saat itu pula wajahku kembali memerah karena menyadari wajahnya terlalu dekat dengan wajahku. Mata kami sempat beradu pandang selama beberapa detik namun kemudian aku berhasil menguasai diriku agar tidak terhanyut tatapan matanya. Kucengkeram kedua bahunya dan mendorong tubuhnya menjauhiku.

"A-aku baik-baik saja," balasku sambil beringsut turun dari tempat tidur. Tidak kupedulikan tatapan matanya yang masih terlihat cemas.

"Aku mandi dulu," kataku sambil meninggalkannya yang masih terpaku di atas termpat tidurku. Otakku benar-benar akan tidak waras kalau aku terus bersamanya saat ini.

XOXOXO

"Ichigo!"

Aku yang sedang meminum air putih seketika menoleh menatap seseorang yang baru saja memanggil namaku. Kulihat ia itu berjalan mendekatiku, pasti ia yang memanggilku barusan.

"Apa?" tanyaku sambil menaruh gelas air yang baru saja kuminum.

"Bagaimana cara memasukkan kaset ini kedalam DVD?" tanyanya sambil menunjukkan sebuah kaset di depan wajahku.

Segera kualihkan tangannya itu, "cih! Begitu saja tidak tahu," gerutuku sambil berjalan ke arah kulkas untuk melihat apakah ada makanan yang bisa dimakan.

"Kalau begitu, tolong nyalakan kaset ini," katanya seraya berjalan mengikutiku. Kuacuhkan ia dan membuka pintu kulkas, kucari-cari makanan yang bisa kumakan, dan mataku tertuju pada beberapa apel yang berada di rak paling atas. Kuambil sebuah apel dan memasukannya kemulutku.

"Ichigo!" panggilnya. Aku pun menoleh, kulihat di matanya sedikit kilat kesal karena kuacuhkan, namun saat kemudian dia tersenyum dan menyodorkan kaset itu kepadaku, "tolong."

Cih, mengganggu saja. Apa dia tidak tau aku sangat lapar? Sabar sedikit kenapa sih.

Segera kurebut kaset itu dari tangannya dan berjalan menuju ruang keluarga. Langkahnya yang ringan mengikutiku , segera kuhampiri televisi yang terletak di pojok ruangan. Kunyalakan televisinya dan kumasukkan kaset itu kedalam DVD.

"Ini kaset film apa?" tanyaku sambil menekan-nekan remote DVD. Dan saat kaset itu sudah terputar, gambar pertama kali yang kulihat adalah seorang laki-laki dan seorang perempuan yang sedang berciuman panas di dalam sebuah ruangan. Pakaian wanita itu terlihat sangat minim bahan. Seketika itu pula mataku terbelalak kaget, wajahku memerah.

"Film tentang bagaimana cara perkembangbiakan manusia," jawabnya.

"A-apa?" aku menoleh padanya, dan apa yang kulihat? Ia duduk bersila di lantai dengan santai dan matanya memandang lurus ke arah televisi dengan tatapan serius. DENGAN SANTAI DAN SANGAT SERIUS kuulangi. Aku saja tidak pernah melihat keset seperti itu. Oh tidak, aku mengaku, aku pernah melihat video seperti itu satu kali karena dipaksa Keigo. Film seperti itu membuat darahku mendidih . Apa yang akan terjadi jika aku menontonnya bersama Rukia? Aku kembali menatap layar televisi yang kini sedang memutar gambar sepasang sejoli tadi yang kali ini sudah berada di atas ranjang dengan posisi masih berciuman panas, bahkan pakaian wanita itu sedikit demi sedikit tersingkap dan suara desahan mulai terdengar. Segera saja aku mematikan televisi dan mengeluarkan kaset itu dari dalam DVD dengan paksa.

"I-ichigo! Kenapa dimatikan?" tanyanya dengan kesal sekaligus panik. Aku tak menanggapi perkataannya. Aku segera berdiri untuk membuang kaset itu.

"Hey! Mau kemana kau!" ia terlihat kesal, dan sudah kuduga, ia akan mengikutiku.

"Membuang kaset ini," kataku sambil memecahkan kaset itu dan membuangnya ke tempat sampah di dapur.

"Yaaaaaaahhh! Kenapa kau memecahkan kaset itu?" tanyanya dengan nada kecewa. Aku segera berbalik dan menatap gadis itu, tatapan gadis itu masih tertuju pada tempat sampah dimana kaset itu dibuang. Mata violetnya terlihat menyanyangkan sesuatu yang baru saja kuperbuat pada kaset itu.

"Dari mana kau mendapat kaset itu?" tanyaku tegas sambil menatapnya tajam.

Kini matanya menatapku, ada kilat-kilat amarah di sana dan wajahnya menunjukkan ekspresi seperti akan menangis.

"Kau jahat!" balasnya dengan suara serak karena menahan amarahnya, ia tidak menjawab pertanyaanku sama sekali. Kudua tangannya terangkat untuk menghapus air mata yang sudah merembes keluar. Aku menghela nafas, bingung apa yang harus kulakukan kalau sudah begini? Aku tidak mau melihatnya menangis lagi seperti tadi malam apalagi kali ini karena perbuatanku, tetapi aku juga tidak mau ia menonton kaset itu.

"Aku tidak jahat!"

"Kau jahat! Aku sangat ingin menonton kaset itu tapi kau malah memecahkan dan membuangnya!" katanya,masih dengan suara serak, kali ini ditambah dengan sedikit sesenggukan.

Aku kembali menghela nafas, "karena kau belum pantas menontonnya!"

"Sudahlah jangan menangis!" lanjutku dengan emosi yang sedikit meluap karena melihat air matanya yang sudah mulai turun ke pipi. Pikiranku mulai terasa kacau, apalagi ditambah dengan perutku yang menggerutu minta diisi.

Ia menurut. Punggung tangannya kembali berusaha menghapus air matanya sampai benar-benar kering. Kini, ia menatapku. Mata violetnya tampak menahan berbagai macam emosi.

"Bagus. Sekarang, darimana kau mendapatkan kaset itu?" ulangku sambil melipat kedua tanganku di depan dada.

Dia terdiam sejenak, mungkin menimang-nimang akan memberitahukannya padaku atau tidak, namun sesaat kemudian ia membuka suara, "d-dari Asano Keigo."

"Benar?" tanyaku memastikan. Ia hanya mengangguk.

"Jadi kau bertanya padanya bagaimana cara perkembangbiakan manusia?" tanyaku.

Ia kembali mengangguk, "habis, kau tidak mau memberitahukan padaku tentang itu," balasnya sambil mengerucutkan bibirnya.

"Lalu,ia memberikan kaset itu padamu?"

"Iya. Keigo-san juga menyuruhku untuk menontonnya bersamamu," katanya tanpa rasa bersalah sama sekali.

Akh. Aku menepuk jidatku dengan tangan kanan. Kesal karena kebodohannya yang sudah melewati batas. Kenapa ia masih memikirkan hal itu sih? Lalu, kenapa juga ia bertanya pada si Mesum Keigo? Aku menurunkan tanganku lalu kembali menghela nafas untuk kesekian kalinya.

"Jangan sekali-kali bertanya hal itu kepadanya, oke?" kataku sambil menatapnya tajam. Ia nampak mengernyitkan alis, dari raut wajahnya sepertinya ia menolak usulku barusan.

"Kenapa? Aku sangat penasaran tentang hal itu, dan Keigo-san mau menjawab pertanyaanku, dia malah memberiku kaset itu untuk memperlihatkan caranya padaku. Dia-dia sangat baik," protesnya dengan ekspresi serius.

Aku mengeram kesal. Kenapa ia jadi membela Keigo Mesum itu sih? Aku menenangkan diriku yang mulai kembali terbawa emosi, aku sedang tidak mood untuk marah-marah padanya sekarang.

"Pokoknya kau belum cukup umur untuk menonton kaset itu."

Kulihat mulutnya terbuka untuk membalas ucapanku, tapi aku buru-buru memotongnya, "sudahlah, aku lapar,"kataku mengkahiri pembicaraan dan hendak berjalan melewatinya. Aku tidak ingin pembicaraan konyol ini beranjut, karena pasti tidak ada ujungnya jika kami sama-sama keras kepala. Aku mengacak rambutnya ketika berjalan melewatinya, "kau akan tahu pada saatnya."

Dan setelah itu aku pun berlalu.

XOXOXO

"Ichigo, apakah kau ada acara sabtu malam besok?" tanya seorang gadis berambut hijau toska panjang di depanku. Matanya menatapku dengan pandangan berseri-seri.

Aku menggaruk-garuk tengkukku karena salah tingkah, baru saja Sena mengajakku pergi pada sabtu malam dan sekarang Nel? Aku menatap kedua gadis yang berdiri di hadapanku dengan tatapan bingung. Yah, akhir-akhir ini entah kenapa banyak gadis yang menanyakan hal-hal tidak penting kepadaku seperti waktuku luang,sudah makan siang atau belum, ajakan pulang bersama dan sebagainya, dan sampai sekarang aku selalu menyangkal ataupun menolak ajakan-ajakan tersebut.

"E-eh... Ada. Aku harus menemani ayahku ke Kyoto sabtu besok," ucapku berbohong. Sejujurnya aku tidak ada acara apapun sabtu malam hanya saja aku sedang malas keluar rumah hanya sekedar untuk memenuhi ajakan-ajakan mereka.

"Yaaahhh~!" dapat kudengar keluhan kecewa dari mulut Sena dan Nel secara bersamaan.

"Kalau begitu,bagaimana kalau kita pulang bersama hari ini?" usul Sena, wajahnya yang tadi terlihat kecewa kini menampakkan secarcah semangat. Dan ucapan Sena barusan juga ikut merubah raut wajah Nel, matanya kembali nampak berseri-seri.

"Kumohon,jangan menolak untuk kali ini," pinta Nel.

Aku mengernyitkan alis untuk menimang-nimang ajakan mereka. Kedua gadis itu sudah sering mengajakku, entah kencan ataupun pulang bersama, dan sering kali pula aku menolak, mungkin sekali-kali aku harus memenuhi ajakan mereka?

Mulutku terbuka hendak mengiyakan ajakan mereka, namun sesaat sebelum suaraku keluar, kurasakan tangan kananku ditarik dari belakang. Aku pun menoleh ke arah orang yang menarik-narik tanganku, dan lagi-lagi aku melihat gadis pulau itu. Ia benar-benar sangat mengganggu, tapi entah bagaimana aku sudah mulai terbiasa dengan semua gangguan darinya .

"Ada apa?" tanyaku sengit.

Nafasnya nampak sedikit terengah, "Karin..."

Aku mengernyitkan alis, "ada apa dengan Karin?"

"Karin...Tulang kaki kanannya patah sewaktu bermain bola," katanya masih dengan nafas terengah.

Sekarang aku hanya dapat mengangkat alis dan menatapnya heran, "Kau tahu darimana?"

"Asano-san tadi melihat-lihat ponselmu, dan ia membuka pesan dari Yuzu."

"Untuk apa dia melihat-lihat ponselku?" tanyaku curiga.

"Katanya untuk…Ah! Itu tidak penting! Ayo kita segera pulang!" ajaknya.

"Kenapa harus pulang?" tanyaku heran. Pemandangan Karin patah tulang, keseleo, terluka dan masuk rumah sakit sudah menjadi hal biasa bagiku. Wajar saja, kelakuannya saja seperti anak laki-laki. Bukan seperti Yuzu yang lebih memilih mengerjakan tugas di rumah dengan tenang, Karin lebih suka bermain di luar dengan gerombolan teman laki-lakinya, entah bermain sepak bola, memanjat pohon, ataupun melakukan hal-hal yang biasa dilakukan anak laki-laki lainnya. Tak heran jika ia sering luka-luka karenanya.

Gadis pendek itu nampak mengernyitkan alis, "kau tidak khawatir padanya?"

"Itu hal biasa," ucapku santai, pada awalnya aku memang sangat mengkhawatirkan kelakuannya itu, tapi lama kelamaan aku menjadi terbiasa dengan hal-hal seperti itu.

"Tapi dia adikmu! Harusnya kau khawatir!" omelnya dengan wajah serius.

"Sudah kub..." omonganku terpotong karena tiba-tiba saja kurasakan tangannya menarik tanganku dengan kuat.

"Ap-apa yang..."

"Kita harus cepat pulang!"

Aku mencoba menahan laju kakiku agar tidak tertarik olehnya, dan seketika itu ia menatapku dengan tatapan tajam karena kesal, "kenapa berhenti?"

"Aku akan pulang bersama mereka," balasku sambil menatap Nel dan Sena yang sedari tadi berdiri mematung mendengar percakapan kami. Mata violetnya pun menatap ke arah dua gadis itu, dan sedetik kemudian mata itu kembali menatapku.

"Akh! Lain kali saja! Sekarang Karin lebih penting!" ucapnya sambil kembali menyeretku, dan aku pun akhirnya hanya dapat pasrah dengan kelakuannya. Kulirik Nel dan Sena sambil mengatakan kata maaf dalam bahasa bisu, dan saat itu pula kulihat mereka memasang tampang kesal sambil menggerutu tak jelas.

XOXOXO

Sabtu malam, ya, sekarang sabtu malam, malam paling santai diantara malam-malam yang lain, apalagi jika kita sudah mempunyai pacar, mungkin malam itu akan menjadi malam yang panjang dan terasa indah.
Oke. Itu bagi mereka yang sudah mempunyai pacar. Sedangkan aku? Apa yang kulakukan malam ini? Berjalan-jalan tidak tentu arah hanya untuk mencari seorang gadis bodoh yang sudah beberapa bulan ini tinggal di rumahku.

Sudah sekitar 10menit aku bersepeda di sekitar rumahku, tapi aku tidak kunjung menemukan sosoknya. Angin malam menampar-nampar tubuhku, terasa begitu dingin. Kalau saja Yuzu tidak menyuruhku untuk mencari gadis itu, mungkin saja sekarang aku sedang meringkuk dengan nyaman di balik selimutku yang hangat.

'Ck. Kemana sih gadis pendek itu?' gerutuku dalam hati. Kukayuh sepedaku lebih cepat, berharap dapat segera menemukannya dan segera pulang kerumah. Tadi sore ia mengatakan akan pergi dengan Nel dan Sena, dan itu merupakan hal aneh bagiku, karena selama ini Nel dan Sena tidak akrab dengan si Midget.

Di tambah lagi gadis bodoh itu tidak pernah membawa ponsel karena tidak bisa menggunakannya, cih, benar-benar merepotkan.

Tiba-tiba saja alisku mengernyit karena teringat sesuatu.
Bodoh! Kenapa aku tidak menelfon Nel atau Sena saja? Bukankah gadis pendek itu bersama mereka?

Aku pun menghentikan laju sepedaku, lalu merogoh saku jaket untuk mengambil ponselku. Kucari nama Nel di dalam phonebook dan segera menelfonnya.

"Hallo, Nel?" sapaku ketika nada tunggu di seberang tergantikan oleh kebisingan.
"Ya, Ichigo?" balasnya dengan suara riang, kebisingan di belakangnya semakin berkurang.

"Kau masih bersama Rukia?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Oh. .ya, dia masih bersamaku, tapi mungkin setelah ini ia akan kencan dengan Kaien," balasnya, masih dengan nada riang.

Deg.

"K-Kaien? Siapa dia?" aku mengerutkan alis karena merasa asing dengan nama itu dan tiba-tiba saja jantungku berdenyut menyakitkan.

"Dia murid Soul Society High School, kami juga baru mengenalnya tadi. Dia tampan lho, sepertinya Kuchiki menyukainya."

"T-tunggu! Kalian baru mengenalnya tadi?"

"Ya. Kami berkenalan dalam gokon tadi, sayang kau tidak ikut, Ichigo," balasnya dengan nada kecewa.

Sesuatu dalam dadaku berdesir, panas sekaligus perih. Bagaimana bisa gadis bodoh itu mau berkencan dengan orang yang baru dikenalnya? Bagaimana kalau terjadi apa-apa padanya? Bagaimana kalau ia di . . . .
Aku mengatupkan mulutku menahan amarah.

"Dimana kalian sekarang?" tanyaku galak.

Lama tak ada jawaban di seberang, mungkin Nel terkejut dengan perubahan nada suaraku.
"Kami ada di tempat karaoke Lalala di kamar nomor 7"

"Aku akan segera kesana," balasku tegas, kumatikan sambungan telefon dan segera kukayuh sepedaku dengan kencang ke tempat yang telah ditunjuk Nel.

XOXOXO

Kuletakkan sepedaku begitu saja ketika aku telah sampai di depan karaoke Lalala, tidak kupedulikan tatapan aneh pengunjung lain karena kelakuan kasarku pada sepedaku barusan. Aku memasuki tempat karaoke itu dan segera mencari kamar nomor 7. Setelah kira-kira tiga menit mencari, aku pun menemukan kamar itu. Aku membuka pintunya dengan kasar lalu segera memasukinya. Kupandangi seluruh orang yang berada di ruangan itu satu persatu, mulai dari Nel, Sena, lalu dua orang temannya dan juga lima orang pemuda asing yang baru kali ini kulihat wajahnya. Mata mereka seketika tertuju padaku. Aku mengacuhkan tatapan heran mereka dan kembali mencari sosok gadis yang sedari tadi kucari. Lalu Manik mataku tertuju pada sosok gadis berambut raven yang duduk di dekat televisi dan sedang tertawa riang dengan seorang laki-laki berambut hitam jabrik yang duduk di sebelahnya. Sesuatu yang panas dan perih kembali berdesir di dadaku. Dapat kurasakan aliran darahu mengalir ke kepalaku karena menahan kesal. Bagaimana tidak? Seisi rumah sedang mengkhawatirkannya karena ia tidak kunjung pulang, tetapi ia malah tertawa-tawa dengan laki-laki asing yang baru dikenalnya.

Mata violet gadis itu kini tertuju ke arahku, "I-ichigo?" ia menyebut namaku dengan ekspresi terkejut.

Aku mengangkat salah satu ujung bibirku,tersenyum menyindir. Segera kuhampiri dia, menyambar lengan kanannya dengan kasar lalu menyeretnya keluar dari tempat karaoke itu. Aku tidak peduli lagi dengan tatapan aneh orang-orang yang menatapku dengan aneh. Aku kesal. Ya, aku kesal, tetapi aku tidak mau memarahinya di sini, akan kubawa pulang ia dengan segera dan memarahinya sepuasku di rumah. Aku tidak mau dianggap gila karena memarahinya di sini.

"I-ichigo... " entah karena ia memanggil namaku seperti merintih, tapi aku tidak memerdulikannya. Bisa jadi ia hanya pura-pura merintih kesakitan untuk menghentikan langkahku, dan setelah kuhentikan langkahku pasti ia akan kabur dan kembali bersama orang-orang asing itu. Cih, Itu tidak akan terjadi!

Kupercepat langkahku ke arah sepedaku yang tergeletak di halaman tempat karaoke. Aku segera menaikinya dan setelah itu kusambar lengannya agar ia segera naik di belakangku. Aku tidak melihat ekspresi yang tersirat di wajahnya saat itu, yang aku pikirkan hanyalah segera membawanya pulang dan memarahinya di rumah.

Langsung saja kukayuh sepedaku dengan cepat, membuatnya sedikit tersentak karena ulahku, namun sesaat kemudian kurasakan kedua tangannya meremas jaket di punggungku dengan erat. Dan sudut bibirku kembali mencuat ke atas, puas karena sudah membuatnya takut.

"I-Ichigo... J-jangan terlalu kencang," ucapnya terbata.

Alih-alih memelankan laju sepeda, aku malah semakin mengayuh laju sepedaku lebih kencang, dan seketika itu genggaman tangannya terasa lebih kencang. Tubuhnya lebih merapat ke punggungku, dan dapat kurasakan kehangatan tubuhnya dari sana.

"J-jangan t-terlalu kencang!" ulangnya dengan nada frustasi.

"Kau takut, he?" sindirku, masih tidak mau memelankan laju sepedaku. Ia hanya menanggapinya dengan sebuah anggukan.

"Kenapa harus takut, he? Pergi dengan laki-laki asing saja kau tidak takut, kenapa kau malah takut naik sepeda?" sindirku.

Dia tidak menjawab. Kini kurasakan tangannya yang sedikit bergetar di punggungku, ntah karena ketakutan, menahan tangis ataupun kedinginan.

"M-mereka bu-bukan laki-laki asing," katanya dengan suara berat dan bergetar. "M-mereka baik."

Oh, jadi ia lebih membela mereka, laki-laki asing yang baru dikenalnya dibandingkan aku yang mengkhawatirkannnya sampai rela keluar di malam yang dingin ini hanya untuk mencarinya? Aku mengatupkan bibirku karena tidak sanggup lagi menahan amarahku yang sedari tadi tertahan. Aku mengerem sepedaku dengan tiba-tiba sampai-sampai ban sepedaku berdecit keras karenanya. Aku menarik tangannya dengan kasar agar segera turun dari sepeda, lalu aku pun turun dari sepeda dan menjatuhkan kendaraan itu begitu saja sampai-sampai terdengar bunyi dentuman keras.

Kutatap matanya dengan tatapan yang penuh amarah.

"Kau itu sadar atau tidak, he?!" bentakku.

"Kami mengkhawatirkanmu! Aku, Yuzu, Karin dan ayah mengkhawatirkanmu yang tidak kunjung pulang sampai selarut ini! Dan apa yang kutemukan saat aku mencarimu? Kau malah sedang asyik tertawa-tawa dengan laki-laki asing! Kau sadar itu?"

Dia tidak menjawab, ia memandangku dengan kilat-kilat penuh penyesalan, "ma-maaf. A-aku.."

"Harusnya kau itu sadar! Kau itu hanyalah gadis pulau yang tidak jelas asal-usulnya sampai ayahku menemukanmu dan mengadopsimu. Kau itu hanya MENUMPANG di rumahku! Harusnya kau menurut padaku, mematuhiku, dan tidak menuntut macam-macam. Tapi apa yang kudapat? Kau hanya membuatku selalu repot karena kalakuan-kelakuan tololmu itu! " bentakku. Aku tidak memperdulikan lagi tentang perasaannya, aku tidak peduli ia akan menangis ataupun kabur dariku saat itu juga, yang kupedulikan saat ini hanyalah mengeluarkan amarahku yang selama ini tertahan.

Aku tahu perkataanku barusan sangat keterlaluan, tetapi aku tidak peduli. Dia sudah membuat amarahku meledak, dan aku ingin melampiaskannya. Kulihat bahunya mulai bergetar, entah karena kedinginan atau menahan tangis. Aku baru menyadari ia hanya mengenakan gaun setali sepanjang selutut berwarna merah yang memperlihatkan kulit bahunya yang putih pucat. Sisi lain hatiku mengatakan ia nampak sangat cantik dan menggoda, dan aku membenarkan hal itu. Tapi aku tidak mau terbuai akan kecantikannya kali ini. Diriku sudah dikuasai amarah sepenuhnya.

"Maaf...Maaf...Maafkan aku, I-chi...," suaranya terdengar serak, mata violetnya tampak mulai basah, dan wajahnya menyuratkan penyesalan yang teramat sangat.

"Cih! Apakah dengan kau meminta maaf dapat mengembalikan kehidupan normalku tanpamu, he?" sindirku lagi.

Bahunya kini bergetar hebat, dan isak tangis mulai terdengar, "ma-maaf...hiks...maafkan aku," katanya sambil mengusap air matanya yang telah terjatuh ke pipi.

Aku memalingkan muka, aku tidak mau terbuai air matanya dan memaafkannya begitu saja. Tnpa pikir panjang aku segera mengambil sepedaku yang tergeletak begitu saja di depanku. Aku segera menaikinya, "cih! Aku tidak akan termakan air matamu. Kembali saja pada laki-laki asing yang baru saja kau kenal itu, dan minta ia agar menampungmu, atau kau bisa pulang ke rumahku kalau kau masih tidak punya malu," kataku seraya mengayuh sepedaku menjauh darinya.

"I-Ichigo..." ia memanggil namaku pelan, tetapi aku tidak memperdulikannya. Aku tetap mengayuh sepedaku menjauhinya. DAn yang terakhir kudengar darinya hanyalah suara isak tangisnya. Rasa kasihan dan sesal mulai tumbuh di hati kecilku mendengar isak tangisnya yang terdengar begitu menyayat, tetapi aku mengabaikannya.