Naruto belongs to Kishimoto Masashi
いま、会いにゆきます / Ima, Ai ni Yukimasu / Be With You / I'm Coming To See You Now (drama) based on novel by Ichikawa Takuji; screenwriter: Iino Yoko, Shinozaki Eriko; producer: Iyota Hidenori; director: Hirano Shunichi, Yamamuro Daisuke, Ooka Susumu; music: Senoo Takeshi
Alternate Universe, Original Character, Out of Character
.
.
.
If you had one wish, what would you … wish for?
… Make your wish….
—Don't forget the things you cherish the most.
.
いま、会いにゆきます
Ima, Ai ni Yukimasu
Now, I'm Coming To Be With You
.
~* To Be With You *~
[01-1]
6 Shuukan no Kiseki / 6 Week Miracle
.
.
.
Kiseki … Mama membuat buku cerita bergambar ini, khusus untukmu.
Planet Akaibu adalah tempat tinggal orang-orang dari Bumi yang telah meninggal dunia, dan juga merupakan planet kenangan.
Kiseki … suatu hari, Mama akan melakukan perjalanan ke Planet Akaibu.
Tapi, jangan menangis. Ketika musim hujan tiba, untukmu Kiseki, Mama akan kembali.
.
Hari ini diadakan peringatan satu tahun kematian Hinata, meskipun tiga belas Juni masih dua hari lagi. Hinata meninggal di usianya yang terbilang muda, dua puluh enam tahun. Jika sekarang ia masih hidup, ia sudah berusia dua puluh tujuh tahun.
Kiseki—putra Naruto dan Hinata—lebih memilih menduduki pagar rendah berbahan beton dan membelakangi para peziarah yang mengelilingi makam ibunya. Kebanyakan dari mereka adalah kerabatnya, yang merupakan keluarga besar dari pihak ibunya, yaitu para Hyuuga yang memiliki mata pucat seperti dirinya. Ia tampak sangat sedih. Dua hari lagi ia tepat berusia tujuh tahun, tetapi ibunya tidak berada di sisinya. Namun, sekarang ia sudah tidak menangis lagi, tidak seperti tahun lalu di mana ibunya meninggal tepat di hari ulang tahunnya yang ke enam.
"… Kematian bukanlah sebuah akhir, tapi sebuah awal. Kematian bukanlah perpisahan, melainkan sebuah pertemuan…."
Di tengah kekhidmatan jalannya upacara, terdengar kasak-kusuk beberapa orang yang kurang enak didengar.
"Pasti ini adalah kutukan, eh? Hari ulang tahun putra mereka juga menjadi hari meninggalnya Hinata-san."
Suara berat seorang pria menimpali bisikan si wanita, "Kabarnya, mereka mengadakan peringatan kematian Hinata-san dua hari lebih awal karena khawatir dengan bocah itu."
"Sepertinya sudah tidak mungkin untuk merayakan ulang tahunnya lagi," sahut wanita lainnya.
Beruntung Naruto lebih memusatkan perhatian pada ceramah pastur, sehingga ia tidak perlu sakit hati ketika mendengarnya. Namun, ayah muda itu tetap tidak mampu untuk menyembunyikan dukanya, walaupun tidak sampai berurai air mata seperti tahun sebelumnya.
"… Jadi, karena melahirkan putranya, hidup Hinata-san menjadi lebih pendek."
"Jadi, seperti itu?" Pria sebelumnya kembali menyahut dengan antusias, "Aku dengar kematiannya sangat tidak wajar."
Naruto berjongkok ketika meletakkan setangkai bunga lily putih di batu nisan Hinata. Seorang wanita berambut pirang panjang melakukan hal yang sama, dan sejenak menarik perhatian Naruto. Wanita itu adalah teman baik Hinata sejak mereka bertiga duduk di bangku sekolah menengah pertama.
"Jika Hinata-san tidak melahirkan di usianya yang terbilang masih dini, mungkin dia tidak akan meninggal dunia dengan cara seperti itu."
"Itu benar…."
Para peziarah—termasuk kedua orang tua Hinata—mulai meninggalkan area pemakaman, meninggalkan Naruto yang masih bertahan di depan batu nisan dengan ukiran; Uzumaki Hinata. Dan wanita berambut pirang panjang itu juga masih setia berdiri di samping Naruto.
.
Sepulang dari pemakaman, Naruto dan Kiseki yang masih mengenakan pakaian berkabung lebih memilih untuk bersinggah di suatu bangunan setengah jadi di dalam hutan. Bangunan tua yang sebagian besar temboknya telah rubuh, dan memiliki jendela lebar tanpa kaca yang memungkinkan cahaya matahari menerobos masuk tanpa halangan.
Naruto duduk di bagian lantai berbahan beton yang lebih tinggi dibandingkan permukaan tanah. Ia duduk berdampingan dengan putranya yang berambut pirang sepertinya, dan mewarisi mata serta warna kulit dari istrinya. Kaki mereka menggantung di udara, sebab yang sekarang mereka duduki menyerupai panggung yang permukaannya terbuat dari beton. Dengan kedua tangannya, Naruto memegang buku cerita bergambar bersampul kuning yang Hinata buat khusus untuk Kiseki.
"… Setelah satu tahun berlalu, Mama akan memenuhi janji dan kembali selama musim hujan."
Seusai membacakan kisah di dalamnya, suatu kenangan bersama Hinata kembali terbayang di benak Naruto.
Saat itu, mereka bertiga juga berada di tempat yang sering mereka kunjungi ini; di mana mereka bercanda dan tertawa bersama. Ia ingat waktu itu Hinata juga membawa peralatan gambarnya. Ketika Hinata dan Kiseki main kejar-kejaran karena keisengan bocah berambut pirang itu, Naruto menemukan gambar kue ulang tahun di kertas sketsa sang istri. Ia tersenyum, Hinata begitu gemar menggambar, bahkan ia sudah mengetahuinya sejak mereka sama-sama duduk di bangku sekolah menengah pertama. Senyum Naruto berganti tawa tatkala istri dan putranya berlarian mengelilinya, sekaligus melibatkannya dalam permainan mereka.
"Tokkun…," lirih Kiseki. "Benarkah Mama akan kembali dari Planet Akabui?" Kedua manik keunguan itu memandang Naruto dengan penuh harap. "Mama akan kembali, 'kan? Mama masih hidup di Planet Akabui, 'kan?"
Senyum tipis tampak di wajah sendu Naruto. "Selama kita tidak melupakannya, Mama akan tetap hidup," tuturnya lembut.
"Eh? Benarkah?" Kiseki sumringah.
"Aa."
"Kalau begitu, aku tidak akan melupakan Mama," ujar Kiseki dengan semangat.
Naruto tersenyum simpul, "Bagus."
"Aku tidak akan pernah lupa."
Naruto menunjukkan senyum lainnya. Ia harus terlihat tegar di hadapan semua orang, terlebih di depan putranya. Lengannya bergerak meraih kepala Kiseki dan disandarkannya di dada bidangnya. Ia membelai Kiseki dengan lembut dan penuh kasih sayang. Mulai saat ini pun, ia dan Kiseki akan terus berjuang serta menjalani hidup berdua saja di rumah mungil mereka yang penuh kenangan bersama Hinata.
.
.
.
Pagi yang cerah. Langit tampak biru dengan awan putih yang menggantung tipis. Terlihat rumah sederhana yang berlatarkan pepohonan rimbun. Rumput hijau menghiasi tanah di sekitar jalan setapak yang menghubungkan rumah dengan jalan yang lebih lebar. Tidak jauh dari rumah bergaya tradisional itu, terlihat tali jemuran yang masing-masing ujungnya ditalikan di pohon yang tidak terlalu tinggi dan berbatang kecil. Tampak pakaian-pakaian basah di tali jemuran tersebut, yang beberapa saat lalu disampirkan oleh Naruto. Di salah satu pohon rendah yang tumbuh di sisi kanan rumah, terdapat kotak surat yang terbuat dari papan kayu dan berbentuk rumah yang atapnya bercat merah. Di bagian depan kotak surat itu, tertulis; Uzumaki Naruto, Hinata, Kiseki.
"Itu salah, Tokkun," seru Kiseki.
"Eh?" Naruto hampir menggantung boneka penangkal hujan yang dibuatnya, tapi ia malah bingung akibat seruan putranya. Padahal ia merasa tidak ada yang salah dengan yang hendak dilakukannya. Bukankah Kiseki yang memintanya untuk membuatkan teruterubouzu sekaligus menyuruhnya untuk menggantung boneka berbahan kain perca putih itu di depan pintu kaca menuju halaman samping rumah?
"Aku maunya teruterubouzu yang digantung terbalik," pinta Kiseki yang tengah berdiri di atas kursi kayu berkaki rendah dan tanpa sandaran. Meskipun begitu, tinggi badannya belum bisa menyamai Naruto.
"Seperti ini?" Naruto segera membalik boneka itu dengan posisi kepala di bawah. Ia menggunakan jepit jemuran untuk membuat teruterubouzu itu menggantung terbalik di tali yang menghubungkannya dengan atap teras samping rumah.
"Ya, ya, betul, seperti itu," kata Kiseki riang.
"Kenapa digantung terbalik?" tanya Naruto penasaran.
"Karena keberuntungan baiknya akan membuat musim hujan cepat datang."
"Eh?"
"Mama sudah menulis akan kembali, 'kan? Selama musim hujan, Mama akan kembali dari Planet Akabui. Jadi, kita harus menggantung teruterubouzou dengan posisi terbalik."
"Souka," gumam Naruto yang akhirnya mengerti akan maksud dari putranya yang hampir berusia tujuh tahun tersebut.
"Ayo, Tokkun juga," ajak Kiseki sambil menangkupkan kedua telapak tangannya.
"Oke." Naruto turut melakukan apa yang dilakukan oleh Kiseki.
"Semoga hujan turun secepatnya, supaya Mama bisa kembali pada kita." Kiseki berdoa dengan memejamkan mata serta meletakkan tangkupan kedua tangan di depan wajahnya.
Naruto melirik Kiseki sembari tersenyum sebelum ikut memejamkan mata, "Aamiin."
"Yosh!" ucap Kiseki yang sudah menyelesaikan permohonannya.
Naruto menurunkan Kiseki dari kursi tanpa memudarkan senyumnya, "Yosh! Ayo bersiap ke sekolah."
Kiseki berlari ke kamarnya, sementara Naruto menyiapkan sarapan di dapur sempitnya yang hanya dibatasi sekat setinggi perut orang dewasa sebagai pembatas dari ruang tengah.
"Kiseki!" Naruto memanggil putranya dengan suara lantang setelah melihat catatan yang tertempel di pintu lemari es. "Apa yang ingin kamu lakukan besok?"
"Apakah tentang ulang tahunku?" sahut Kiseki yang berlari ke dapur sambil membawa buku cerita bergambarnya. Ia belum mengganti piyamanya dengan pakaian yang akan dikenakannya untuk ke sekolah. Kiseki tergolong anak yang aktif, sembari berlari ia melompati kursi kayu rendah yang berada di dekat dapur.
"Obaachan ingin mengadakan pesta untukmu," kata Naruto yang tengah menyiapkan penggorengan di atas kompor.
"Kalau begitu, makan malam di rumah Obaachan saja," ujar Kiseki yang mendudukkan diri di lantai dan bersandar pada sekat dapur, "Tapi, aku tidak butuh kue ulang tahun." Kemudian Kiseki membuka buku cerita bergambar yang dibuatkan oleh Hinata.
Naruto menghentikan kegiatannya dan berjongkok di depan Kiseki. "Doushite?" tanyanya sendu.
"Karena kita akan mengadakan pesta setelah Mama kembali." Kiseki menjawab tanpa mengalihkan perhatian dari buku ceritanya.
"Souka," sahut Naruto dengan suara lirih.
Kiseki terpaku pada salah satu halaman di bukunya yang menampakkan gambar pria dan anak kecil yang menyambut kedatangan seorang wanita yang masuk dari sebuah pintu. Di gambar tersebut, si bocah merentangkan kedua lengannya dan pria di sampingnya tampak terkejut melihat siapa yang berjalan mendekat. Di sana juga tertulis; Mama akan memenuhi janji dan kembali selama musim hujan.
Naruto tersenyum melihat apa yang menjadi pusat perhatian Kiseki. Ia beringsut menduduki tempat di sebelah Kiseki.
"Ah!"
Pekikan Kiseki cukup mengejutkan Naruto. Tidak lama setelah itu, Naruto sudah harus berkutat dengan setrika dan seragam olah raga Kiseki. Sedangkan Kiseki menyantap sarapannya di meja makan, membelakangi Naruto yang tengah menyetrika di meja berkaki rendah.
"Kenapa kamu menunggu sampai pagi untuk memberitahuku tentang ini?" gerutu Naruto. Sesekali meja yang digunakannya untuk menyetrika tampak terjungkit karena ia melakukannya dengan terburu-buru. Ia juga harus segera mempersiapkan dirinya untuk pergi bekerja.
"Gomen ne … padahal aku ingin mengatakannya kemarin…," ucap Kiseki yang sedang meratakan saus tomat di atas telur gorengnya. "Telur ini keras. Tapi aku tidak keberatan memakannya."
Naruto masih disibukkan dengan sablon yang harus ditempelkannya pada bagian depan kaus olahraga Kiseki dengan bantuan setrika. Televisi kecil di rumah mereka menampilkan berita tentang ramalan cuaca, yang memberitahukan bahwa hari ini hujan belum akan mengguyur Jepang.
"Ah!" Kiseki memekik lagi, "Aku melupakan sesuatu yang lain!"
Apa lagi? Naruto menghentikan kegiatannya sejenak dan menoleh ke belakang.
"Hari ini giliranku memberi makan ikan mas di kelas!" Kiseki mengerang sejenak dan melanjutkan sarapannya dengan cepat.
Naruto hanya menggelengkan kepala dan bergegas menyelesaikan pekerjaannya. "Yosh! Kaus olahragamu sudah selesai." Ia lalu bangkit dan meletakkan kaus putih Kiseki di meja makan. Buru-buru ia beranjak ke dapur untuk mengangkat roti bakarnya.
Tiba-tiba Kiseki turun dari tempat duduknya setelah melihat hasil pekerjaan Naruto pada kaus olahraganya. Ia mendekat pada Naruto dan membentangkan kaus putihnya yang pada bagian depan sudah bersablon rangkaian huruf hiragana berwarna hitam.
"Tokkun … apa ini?"
Di sana tertulis; Uzumaki Kiseki—dengan posisi terbalik.
Naruto hanya nyengir.
.
.
.
Sejak Hinata meninggal, Naruto menggantikannya untuk memberikan pelukan erat kepada Kiseki sebelum berangkat ke sekolah. Sekarang mereka berdua sudah berada di depan rumah. Seperti biasa, tidak lupa dilakukan ritual tersebut sebelum keduanya melakukan aktivitas masing-masing; Naruto bekerja dan Kiseki sekolah.
"Pelukan hangat. Sekali lagi, pelukan hangat. Dan lagi, pelukan hangat." Naruto memberikan tiga pelukan erat, sebelum pelukan terakhir yang paling erat. "Pelukan hangat sudah lengkap."
Naruto melepaskan pelukannya dan berdiri dengan tegak. "Yak, sudah cukup untuk pelukan hangatnya," katanya sambil menyampirkan tas sampingnya ke salah satu bahunya.
"Yang terakhir terasa lebih erat dari biasanya," komentar Kiseki.
Naruto tersenyum singkat. "Besok, saat kamu sudah tujuh tahun, Papa akan memberikan sesuatu yang istimewa untukmu," candanya sambil mengacak rambut pirang Kiseki.
Kiseki mendorong Naruto agar rambut pirangnya tidak semakin berantakan. "Tidak perlu," ujarnya dengan senyum, "Hanya ulang tahun, 'kan…."
Naruto menumpukan kedua tangannya pada lutut agar bisa menatap sepasang mata Kiseki yang selalu mengingatkannya pada Hinata.
"Kiseki—"
"Jaa…," potong Kiseki yang terlihat ingin segera berangkat ke sekolah, "… Maria, Bob, dan Wendy sedang menungguku." Ia segera berbalik dan berlari dengan riang. Tas ransel menyampir di kedua bahunya, dan tas kain berisi pakaian olahraga dijinjingnya dengan sebelah tangan.
"Maaf karena terbalik menyablon namamu di kaus olahraga!" teriak Naruto saat Kiseki sudah cukup jauh dari tempatnya berdiri.
"Daijoubu!" Kiseki membalas dengan suara yang tak kalah keras sembari membalikkan badannya, "Tidak masalah!" Ia mengangkat tas kainnya yang berisi seragam olahraga untuk membalas lambaian tangan Naruto.
Senyum mengembang di wajah Naruto ketika memerhatikan buah hatinya yang tampak begitu bersemangat. Ia masih melambaikan tangannya sampai Kiseki kembali membelakanginya. Selanjutnya ia tersentak ketika melihat arloji di pergelangan tangan kirinya. Tak ingin membuang waktu, buru-buru ia meletakkan tasnya di keranjang sepedanya dan segera mengayuhnya ke tempat kerja.
.
.
.
"Musim hujan?" Inuzuka Kiba heran melihat rekan kerjanya yang berniat menyediakan banyak payung di perpustakaan tempat mereka bekerja. "Tapi, ramalan cuaca mengatakan kalau hari ini akan cerah, bukan?"
Perempuan berambut pirang itu membawa banyak payung dengan keranjang yang diangkatnya menggunakan dua tangan, hingga wajahnya tidak terlihat. "Tapi, seharusnya sekarang sudah masuk musim hujan," balasnya, "Jadi, berjaga-jaga saja."
"Mau bertaruh?" tawar Kiba yang terus mengikuti ke mana pun sang pujaan hati melangkahkan kaki.
Perempuan berambut panjang itu mengabaikan Kiba dan tetap memusatkan perhatian pada buku-buku yang ditatanya di rak-rak mobil perpustakaan keliling.
"Jangan hanya fokus pada pekerjaan," imbuh Kiba, "Lain kali ayo kencan dan bersenang-senang." Ia bergerak ke samping perempuan bermata violet tersebut, yang masih belum menghiraukannya. "Mm … mau mencoba jatuh cinta seperti di novel-novel?" candanya seraya terkekeh.
Detik berikutnya Kiba mengamati buku-buku yang tertata rapi di mobil kuning tersebut, mencari sesuatu yang ingin ditunjukkannya pada lawan bicaranya.
"Di mana, ya…?" gumamnya sembari menggerakkan jemarinya melewati deretan buku-buku. Matanya langsung berbinar saat menemukan buku yang dicarinya. "Ah, kisah yang satu ini berakhir dengan sangat bahagia," ujarnya sambil menunjuk salah satu novel.
Setelah Kiba mengambil novel cinta itu dan hendak menunjukkan pada perempuan di sebelahnya, ternyata seorang pria paruh baya yang berdiri di sana.
"Ohayou," sapa sang bos yang bernama lengkap Sarutobi Hiruzen.
Kiba hanya tersenyum kikuk dan membungkuk singkat. Melihat Naruto yang semakin dekat, ia mempunyai alasan untuk lepas dari bosnya. "Uzumaki-kun!" serunya. "Tidak biasanya kau telat."
Shion menghentikan kegiatannya yang tengah membuat daftar agenda untuk hari ini. Ia yang merupakan satu-satunya pekerja perempuan di sana, langsung terenggut perhatiannya tatkala mendengar nama yang baru saja diserukan oleh Kiba. Ia tersenyum simpul melihat ayah muda yang datang dengan mengayuh sepeda tersebut.
"Jangan terburu-buru," tambah Kiba yang melihat Naruto tampak kelelahan, "Santai saja."
.
Di sekolah, Kiseki juga datang terlambat. Ia tengah berusaha membujuk teman sekelasnya yang merajuk karena sebelum masuk ia tidak membantu memberi makan tiga ikan mas yang dipelihara di kelas mereka.
"Maaf, Rin-chan," ucapnya penuh penyesalan. "Maafkan aku, Rin-chan. Aku tidak akan telat lagi."
Temannya yang berambut merah panjang itu akhirnya mau berbicara dengannya setelah cukup lama mengabaikannya, "Cium aku. Kalau kamu menciumku, aku akan memaafkanmu."
Kiseki masih diam, tidak tahu harus melakukan apa.
"Kalau begitu, Sensei juga," sahut ibu guru mereka yang datang dari arah belakang Kiseki. Perempuan berambut pirang panjang yang bernama lengkap Yamanaka Ino itu tertawa pelan sambil menyentuhkan telunjuknya di ujung hidung Kiseki.
"Bercanda." Ino terkekeh, lalu menduduki salah satu kursi dan menggelar dua kertas gambar berukuran A3 di atas meja. "Sudah diputuskan kalau gambar kalian akan dipamerkan di kota," ujarnya. "Kalian memberikan judul apa untuk gambar kalian?"
Rin mengambil kertas bergambar tiga ikan yang mirip ikan-ikan mas yang berada di dalam akuarium. "Punyaku berjudul 'Maria, Bob, dan Wendy'," ucapnya riang.
"Oke," sahut Ino seraya tersenyum ceria, "Mereka memang ikan-ikan mas yang menggemaskan." Ia kemudian beralih kepada Kiseki, "Kalau gambar Kiseki-kun?"
"Mm … etto … 'Kue Ulang Tahun dan Tarian Uzumaki' kayaknya bagus."
"Eh? Tarian Uzumaki? Apa itu?" tanya Ino antusias, "Bolehkah Sensei melihat tarianmu?"
"Aku tidak mau kasih tahu." Kiseki berlari di antara celah-celah meja dan kursi yang sebagian diduduki oleh teman-teman sekelasnya karena tiba-tiba Ino mengambil ancang-ancang untuk mengejarnya. Ibu gurunya itu terus memaksanya untuk menunjukkan tariannya.
"Kiseki-kun, kenapa tidak ada stroberi di kue ulang tahunmu?" Bersamaan dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Rin, Kiseki tertangkap oleh Ino.
"Memang tidak ada stroberinya…," balas Kiseki yang meringis geli karena digelitiki oleh Ino.
Ino berhenti menggelitiki Kiseki, namun belum melepaskan bocah itu dari pelukannya. "Kenapa? Kamu tidak suka stroberi?" Ino penasaran, Kiseki masih bungkam, "Kalau kamu tidak mengatakan alasannya, Sensei akan menggelitikimu terus."
Kiseki kembali tertawa akibat geli yang dirasakannya, sebab Ino langsung membuktikan ucapannya.
.
.
.
Seperti biasa, mobil perpustakaan keliling melaju di depan Naruto yang mengayuh sepedanya dengan cepat. Shion menghentikan laju mobil berwarna kuning tersebut di dekat suatu taman kanak-kanak, diikuti oleh Naruto yang menyangga sepedanya tak jauh dari sana.
Setelah mereka berdua membuka perpustakaannya, Shion langsung disibukkan oleh para pengunjungnya yang semuanya adalah anak-anak yang penuh rasa ingin tahu. Sementara itu, Naruto menghentikan kegiatannya yang semula menata beberapa buku ketika seorang wanita paruh baya berpayung melewati daerah itu. Ia tersenyum sopan dan membungkuk singkat untuk membalas senyum lembut wanita berambut biru gelap panjang tersebut.
"Saya berhutang budi pada Anda untuk yang kemarin." Naruto membuka percakapan ketika keduanya sudah menduduki sebuah bangku di dekat lapangan olahraga taman kanak-kanak. Beberapa bocah berlarian dan bercanda di sana karena memang sudah memasuki jam istirahat.
"Aku pun begitu," balas wanita cantik dan anggun tersebut. Payung putihnya yang berenda masih melindunginya dari terik mentari pagi menjelang siang. "Sejujurnya, aku belum bisa merelakan kepergian Hinata sepenuhnya," gumamnya sedih.
Naruto yang tidak ingin keadaan berubah menjadi kaku, mencoba untuk mengalihkan topik pembicaraan, "Apakah hari ini Anda juga membuka kelas merangkai bunga?"
"Ya," jawab Nyonya Hyuuga seraya tersenyum. Ia menoleh dan menemukan Naruto juga tersenyum kepadanya. "Bagaimana Kiseki? Apakah sekolahnya baik-baik saja?"
Naruto tersenyum lebih lebar. "Hai'," jawabnya mantap sembari mengangguk.
"Maafkan aku," ucapnya setelah sejenak menengokkan kepalanya ke arah mobil perpustakaan, "Sebaiknya kamu cepat kembali."
"Ah, daijoubu."
Sesaat Nyonya Hyuuga terdiam sebelum menyambung percakapan, "Oh, iya, apakah kamu sudah membuat keputusan untuk tawaranku waktu itu?"
Naruto seakan tidak mampu untuk menjawab. Lebih tepatnya, ia tidak enak hati untuk mengutarakan jawabannya, "… Ano … etto…."
Nyonya Hyuuga tersenyum paksa karena Naruto tak kunjung menjawab. "Aku mengerti," ujarnya ramah dengan senyum yang selalu menghiasi wajahnya. Walaupun begitu, Naruto dapat menemukan kekecewaan di sana. "Apa boleh buat."
Naruto merasa semakin tidak enak hati. "Sumimasen," ucapnya.
Ibu mertua Naruto itu menggeleng pelan tanpa memudarkan senyum. "Berarti, kamu dan Kiseki tidak menerima tawaran itu."
"Hai'." Naruto mengangguk sopan.
Nyonya Hyuuga langsung bangkit dari duduknya. "Kalau begitu, maaf karena telah mengganggu pekerjaanmu," ucapnya kalem seraya berjalan menjauh.
"Arigatou gozaimasu," balas Naruto yang turut berdiri. Pandangannya terus tertuju pada arah kepergian ibu Hinata yang juga berpamitan pada Shion sebelum benar-benar menuju kelas merangkai bunga.
"Ah, ojamashimashita."
Dan dibalas anggukan dalam oleh perempuan berambut pirang panjang tersebut.
.
.
.
Di pemberhentian selanjutnya, Shion menghampiri Naruto dengan membawakan sebotol air mineral. Ia lalu mengambil tempat di sebelah Naruto yang sejak beberapa saat lalu duduk-duduk di bebatuan tepi sungai. Mengingat belum ada pengunjung lagi, mereka bisa bersantai untuk sejenak.
"Terima kasih untuk daftar agendanya," ucap Naruto.
"Aku membuat satu untuk diriku sendiri, dan terkadang untuk para pegawai lain. Tidak usah dipikirkan." Shion melempar senyum, kemudian menambahkan, "Uzumaki-kun, kamu tidak bisa naik mobil karena menderita klaustrophobia. Saat aku mendengar tentang itu, aku tidak bisa melakukan apapun, tapi tentu saja aku tidak keberatan untuk membantu. Jadi, hal seperti itu hanya biasa."
"Terima kasih," ucap Naruto sekali lagi disertai senyum.
Setelahnya, ia memusatkan pandangan ke arah para murid yang pulang dari sekolah. Dari seragamnya, ia bisa tahu kalau mereka bersekolah di tempat yang sama seperti dirinya dulu. Yang paling menarik perhatiannya adalah sepasang siswa-siswi yang bersepeda sambil bercanda gurau. Siswi berseragam sailor lengan pendek itu menarik lengan si pemuda agar melajukan sepedanya dengan lebih cepat.
"Terkadang, aku berpikir…," ujar Naruto tiba-tiba. Pandangannya menerawang entah ke mana. "… apakah Hinata bahagia hidup bersamaku…."
Shion menengok hanya untuk menemukan Naruto yang duduk membelakanginya.
"Kami menikah begitu mendadak, dan hidupnya juga sangat pendek…," lanjut Naruto sendu, "Selama ini, aku selalu memikirkan hal itu … karena aku tidak sempat menanyakannya."
"Uzumaki-kun—"
"Jika mungkin, aku akan melakukan apapun agar bisa mengetahuinya secara langsung dari Hinata, tentang apa yang dirasakannya selama hidup bersamaku." Ia lalu terkekeh dan membalas tatapan Shion, "Sepertinya itu hanyalah harapan yang tidak akan pernah terwujud."
Shion hanya tersenyum maklum.
.
.
.
Kiseki berlari dengan semangat menyeberangi rel kereta api setelah palang dibuka dan lampu pejalan kaki menyala hijau. Ia sudah hafal di mana pemberhentian terakhir mobil kuning perpustakaan sebelum kembali ke perpustakaan pusat.
"Jira-kun!" sapanya riang pada pedagang keliling yang menjajakkan barang dagangannya dengan mobilnya yang unik. Pria berambut putih yang berpenampilan nyentrik itu tengah beristirahat di dekat mobilnya sambil membaca suatu buku tanpa melepas kacamata hitamnya.
"Oi!" balas pria paruh baya bernama lengkap Jiraiya tersebut, "Mobil perpustakaan ada di sini!"
"Un!" sahut Kiseki tanpa memelankan larinya. "Tokkun! Shion-chan!" serunya riang ketika menghampiri dua orang dewasa yang kini sedang membuka pintu mobil serta mengeluarkan kursi-kursi lipat berbahan kayu dari dalam sana.
"Okaeri," sambut Shion dengan senyumnya.
"Aku akan membantu juga," ujar Kiseki yang kemudian membantu Shion menata kursi.
"Terima kasih," ucap Shion senang.
Naruto tersenyum melihatnya. Tepat saat ia merogoh saku apronnya dan memeriksa daftar agendanya, seruan wanita terdengar, "Naruto-kun!"
Seorang wanita berambut pirang dan memakai jas putih melambaikan tangan padanya. Wanita itu menghentikan laju sepedanya di depan satu-satunya klinik yang berada di daerah tersebut.
"Semuanya baik-baik saja?" tanyanya dengan suara lantang.
Naruto menyatukan kedua lengannya di atas kepala hingga seakan-akan membentuk sebuah lingkaran. Dokter cantik bernama Tsunade itu membalasnya dengan hal serupa sembari tersenyum.
"Datanglah sewaktu-waktu," katanya, "Jangan menunggu sakit untuk berkunjung."
"Arigatou gozaimasu!" sahut Kiseki.
Sekali lagi, dokter Tsunade tersenyum sebelum menyangga sepedanya dan memasuki kliniknya.
.
.
.
Sepulang kerja, Naruto dan Kiseki mampir ke kediaman Hyuuga atas permintaan ibu Hinata. Nyonya Hyuuga sedang berkebun ketika mereka berdua tiba di rumah besar tersebut.
Kali ini pun mereka berkumpul di ruang tengah yang menghadap langsung dengan kebun bunga di samping rumah. Di ruangan tersebut penuh dengan foto-foto yang memuat Hinata serta, yang merupakan putri tunggal pasangan Hyuuga. Di dalam foto-foto itu semuanya tersenyum dan tampak sangat bahagia. Ada pula foto Hinata yang tengah menyiram bunga dengan senyum yang merekah indah—seindah bunga berwarna-warni yang dirawatnya.
"Ini sebagai hadiah ulang tahunmu besok," kata Nyonya Hyuuga yang kini sedang bersimpuh di depan Kiseki untuk mengancingkan kemeja yang dijahitnya sendiri untuk cucu semata wayangnya tersebut, "Masih ada sisa bahan dari gaun terusan Mama yang Obaachan jahit menjadi pakaian olahraga."
"Anda melakukannya?" sahut Naruto yang takjub.
"Aku yakin, Hinata akan menyukainya." Nyonya Hyuuga tersenyum lembut.
"Jadi, Mama pernah memakai ini?" Kiseki sumringah.
"Itu benar," kata sang nenek, dan dibalas tawa riang si cucu.
"Kiseki, mau coba jangkungan yang Ojiichan buat?" celetuk Hyuuga Hiashi yang sekarang berada di kebun samping rumah.
Bocah hiperaktif itu tidak membuang waktu untuk mencoba jangkungan berbahan bambu yang sepertinya dibuat kakeknya sebagai hadiah ulang tahunnya juga.
Di ruang tengah, suasana menjadi canggung. Naruto menghampiri ibu mertuanya untuk menyinggung masalah yang mereka bicarakan sebelumnya. Ia menduduki kursi yang berhadapan dengan tempat duduk ibunya setelah dipersilahkan.
"Saya tahu bagaimana kecemasan Anda terhadap kesejahteraan kami." Kali ini Naruto tidak berbasa-basi. "Terima kasih banyak. Tapi…."
"Aku hanya ingin kamu mau bergantung pada kami untuk beberapa hal," ujar Nyonya Hyuuga sembari mengamati cucunya yang tengah dituntun sang kakek untuk berjalan menggunakan jangkungan, "Kami tidak mengatakan akan merawat Kiseki sendirian. Kami ingin kalian berdua tinggal di rumah ini. Itu yang kami tawarkan."
Naruto terlihat sungkan untuk menolak, namun ia juga tidak bersedia untuk menerima tawaran ibu mertuanya. Untuk beberapa saat ia masih diam karena memikirkan kata-kata yang tepat agar ibunya tidak merasa sakit hati atas penolakannya.
"Di rumah itu…," Naruto memulai, "penuh dengan kenangan bersama Hinata. Jadi, bagi kami rasanya tidak mungkin untuk pindah dari sana."
Nyonya Hyuuga tersenyum hambar. "Suamiku memang sudah memintaku untuk menyerah. 'Jangan ganggu Naruto-kun lagi,' katanya. Dia mengomeliku." Senyumnya yang lebih lebar membuat Naruto merasa lebih tenang. "Apa boleh buat."
"Terima kasih banyak." Naruto membungkuk hormat, dibalas anggukan sang ibu mertua.
.
"Ojiichan, Obaachan, arigatou," ucap Kiseki ketika berpamitan pulang.
"Besok, kami akan membuat menu istimewa yang lezat untuk makan malam, jadi datanglah lagi untuk makan bersama kami," pinta sang nenek.
"Oke," sahut Kiseki yang membawa serta jangkungannya.
Kakek dan neneknya melambaikan tangan dengan senyum mengembang ketika ia mulai mengikuti langkah ayahnya.
.
.
.
Di perjalanan pulang, Naruto dan Kiseki berpapasan dengan pasangan Tenzou yang tengah berdiri di depan toko kue mereka. Entah apa yang sebenarnya dilakukan oleh Tenzou Yamato dan Sakura. Mereka hanya terlihat sedang mengamati papan nama toko mereka, tidak lebih.
"Konnichiwa," sapa Naruto.
"Konnichiwa," balas Yamato dan Sakura bersamaan.
"Apa yang kalian lihat?" tanya Kiseki polos yang mengambil posisi di sebelah Yamato. Naruto turut mengambil tempat di samping Sakura dan memusatkan perhatian pada objek yang sama.
"Papan nama yang kami pesan akhirnya datang," jawab Yamato, "Saat pertama kali kami merancangnya, aku pikir orang-orang akan berpikir kalau nama 'Delicious Cake House' terlalu sederhana. Bagi istriku, nama 'Delicious Cake House' terdengar seperti bualan, dan dia mati-matian menentangnya saat aku mengusulkannya. Jadi kami menambahkan 'Rather' di depannya."
"Sepertinya aku sudah mendengar cerita ini berkali-kali," timpal Kiseki.
"Memang benar." Sakura menambahkan, "Sejak kami membuka toko ini tiga minggu lalu, kami tidak melakukan apapun selain membicarakannya."
"Sebaiknya menyerah saja, Yama-chan," kata Kiseki asal.
"Aku kira juga begitu…," gumam Yamato, diikuti anggukan lemah Sakura.
"Bukankah itu sangat bagus?" celetuk Naruto tanpa mengalihkan perhatian dari gambar daun semanggi berhelai empat di depan cetakan nama di papan berbahan kayu tersebut.
"Benarkah?" sahut Yamato yang masih memusatkan pandangan pada objek yang sama.
"Hai'."
Perhatian Yamato pada papan nama tokonya terenggut oleh jawaban Naruto, "Hontou?"
"Baka," timpal Sakura.
.
Melihat gambar daun semanggi berhelai empat di papan nama toko kue milik Tenzou Yamato dan Sakura, Naruto jadi teringat suatu video yang sekitar setahun lalu direkamnya. Video yang sekarang ia tonton sendirian, di saat Kiseki sudah terlelap dengan memeluk buku cerita bergambarnya, dan mungkin anak hiperaktif tersebut tengah bermimpi indah.
Di televisi mungilnya, tampak hamparan rumput hijau yang luas. Seperti biasa, waktu itu ia yang merekamnya. Kiseki terlihat sibuk mencari sesuatu di rerumputan, dan sesaat kemudian objek rekaman berpindah dengan cepat dan menampakkan Hinata yang menunjukkan daun semanggi berhelai empat ke arahnya.
"Ketemu." Hinata berseru riang.
Di hadapan televisi, Naruto turut tersenyum tipis, seolah membalas tawa riang dan senyuman manis sang istri.
"Lihat, Kiseki." Suara lembut Hinata mengalun kembali. Saat itu, ia terlihat sangat bahagia, senyumnya merekah indah.
"Daun semanggi berhelai empat!" seru Kiseki dengan semangat.
Daun semanggi berhelai empat merupakan bentuk langka dari daun semanggi yang biasanya berhelai tiga. Selain itu, daun semanggi berhelai empat dianggap sebagai lambang keberuntungan. Menurut legenda, setiap helai melambangkan; harapan, keyakinan, cinta, dan kebahagiaan. Kiseki mengarahkannya ke kamera setelah Hinata menyerahkannya pada bocah itu.
"Berhelai empat!"
Rekaman itu menunjukkan bahwa saat itu mereka sangat berbahagia. Bahkan Naruto bisa mendengar suara tawanya sendiri yang menemani tawa istri dan putranya.
"Ayo nyanyi!" ajak Kiseki sambil menggenggam kedua tangan Hinata.
"Lagi?" tanya ibu muda tersebut seraya tersenyum lebar.
Hinata dan Kiseki bernyanyi sambil berputar dengan kedua tangan saling menggenggam. Hinata hanya melompat kecil, sementara Kiseki berputar sembari melompat tinggi dengan semangat.
"Yatta, yatta! Kita gembira! Ra ta ra ta ra ta ra ta Uzumaki dance!"
Naruto turut menyanyikannya tanpa suara, berbeda dengan saat itu—dimana suaranya masih bisa didengar di antara suara Hinata dan Kiseki. Berikutnya, rekaman berpindah ke saat ulang tahun Kiseki yang ke lima. Masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya, mereka juga mengadakan pesta kecil-kecilan untuk Kiseki. Hanya ada mereka bertiga, namun selalu terasa hangat dan penuh suka cita. Saat itu pun, Hinata dan Kiseki kembali menampilkan "Tarian Uzumaki".
"Yatta, yatta! Kita gembira! Ra ta ra ta ra ta ra ta Uzumaki dance!" Mereka berdua mengangkat tangan tinggi-tinggi, "Yatta!" Ditambah lompatan riang dari Kiseki yang pasti berpotensi menjatuhkan topi kertas berbentuk kerucut yang dipakainya, andai tidak ada tali yang membuatnya tetap bertahan di puncak kepala.
Senyum Naruto perlahan memudar melihat rekaman yang selanjutnya. Kali ini tidak ada Kiseki, yang merupakan momen dimana ia hanya berdua dengan Hinata. Kalau tidak salah, waktu itu Kiseki sudah terbuai alam mimpi. Ia tetap sebagai pengambil video, sementara di sana tampak Hinata yang duduk-duduk di lantai kayu teras samping rumah. Istrinya yang sedang membuka kotak musik itu tertawa pelan karena ia merekamnya secara diam-diam dan tiba-tiba. Bahkan ia juga bisa mendengar suara tawanya sendiri.
Alunan musik indah yang terdengar begitu lembut sekaligus sanggup menggetarkan jiwa, menemani suara tawa keduanya.
"Jangan merekam sekarang," tolak Hinata seraya tersenyum malu-malu.
"Nande?" Suara tawa Naruto terdengar lagi setelahnya.
Naruto menghampiri meja kayu di sebelah televisi. Ia mengambil kotak musik yang sama persis dengan yang dipegang oleh Hinata di dalam rekaman. Bedanya, sekarang di dalam kotak itu berisi sepasang cincin polos berwarna perak. Video masih terus berlanjut, sedangkan perhatian Naruto sudah terenggut oleh kotak kayu di tangannya—lebih tepatnya isi kotak musik tersebut.
"Aku malu," kata Hinata yang kemudian kembali tertawa pelan, diikuti kikihan geli Naruto.
.
.
.
Suasana pagi yang tidak jauh berbeda dengan kemarin.
"Kenapa kamu selalu menunggu sampai pagi untuk memberitahuku tentang hal merepotkan seperti ini?" Naruto menggerutu sembari berusaha memasukkan ujung benang ke lubang jarum jahit.
"Gomen ne … padahal aku ingin mengatakannya kemarin…." Lagi-lagi Kiseki membalas dengan rangkaian kata serupa. Ia juga hampir terlambat, itu sebabnya ia menyantap sarapannya dengan semangat. Pagi ini, hanya ada roti bakar yang dimakan dengan selai blueberry.
Naruto melihat jam dinding dengan gelisah. "Aku hanya punya waktu sepuluh menit untuk menyelesaikan tugasmu ini," desahnya yang belum juga berhasil memasukkan benang ke lubang jarum.
"Aku selesai," ucap Kiseki yang masih menggigit potongan terakhir roti bakarnya.
Naruto masih sibuk mengacak kotak jahit karena bingung mencari jarum yang mempunyai lubang lebih lebar. Sementara Kiseki berjalan ke teras samping rumah dan menaiki bangku kayu berkaki rendah untuk membetulkan posisi teruterubouzu yang hampir terjatuh. Saat itulah rintik hujan mulai membasahi bumi. Perlahan hanya gerimis yang lama-lama menjadi semakin deras. Kiseki masih membeku untuk beberapa saat. Setelah tersadar dengan apa yang terjadi, ia melepaskan potongan roti yang digigitnya.
"Hujan…," gumamnya yang belum sepenuhnya percaya.
"Eh?" sahut Naruto yang belum beranjak dari kursi meja makan yang berada di ruangan yang sama. Ia masih berkutat dengan potongan kain dan peralatan menjahit.
"Hujan." Kiseki sedikit sebal karena respon Naruto yang lambat. Ia menoleh ke belakang dan berkata dengan suara yang lebih keras, "Tokkun, hujan sudah turun!"
Akhirnya Naruto mengalihkan perhatian ke luar rumah. Belum sempat ia berkata-kata, Kiseki sudah melompat dari kursi dan berlari ke arah pintu depan.
"Turun hujan!" seru Kiseki yang tampak sangat gembira.
"Ki—Kiseki!" Naruto menelantarkan benda-benda merepotkan yang semula dipegangnya, kemudian menyusul putranya yang mulai keluar rumah tanpa payung atau mantel. Padahal bocah itu harus segera berangkat ke sekolah, dan ia juga harus pergi bekerja.
"Hujan, hujan, hujan!" Kiseki berlari menerjang hujan sembari menyerukannya dengan riang.
"Kamu mau ke mana?" teriak Naruto di belakangnya.
"Aku mau ke hutan! Di sanalah Mama akan kembali!" balas Kiseki tanpa memelankan larinya.
Naruto bergegas menutup pintu rumahnya. "Bagaimana dengan sekolahmu, Kiseki?" Ia kembali berteriak, kali ini ia turut berlari di belakang putranya.
"Hari ini aku bolos!" sahut Kiseki yang mulai memasuki kawasan hutan.
"Kamu tidak boleh memutuskan sesuka hati!" Naruto masih mengejar Kiseki yang mampu berlari begitu cepat.
"Tapi, sekarang ada yang lebih penting daripada sekolah!" Sesekali Kiseki akan menengok ke belakang untuk melihat papanya yang tertinggal lumayan jauh darinya.
"Sebaiknya kita kembali!" Naruto masih bersikeras untuk mengajak Kiseki pulang. "Kiseki! Ayo pulang! Kembalilah! Atau aku akan meninggalkanmu sendirian!"
Walaupun berkata demikian, Naruto masih setia mengikuti Kiseki yang kini mulai memasuki terowongan gelap yang akan membawa mereka ke bangunan tua di tengah hutan. Sejatinya ia sudah kelelahan, napasnya berat dan dadanya terasa sesak. Namun, ia tidak mungkin membiarkan Kiseki memasuki hutan seorang diri. Kalau terjadi apa-apa dengan Kiseki, ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri. Saat ini, Kiseki adalah harta yang paling berharga baginya—bagaikan permata yang senantiasa ia jaga.
Kiseki mengatur napasnya setelah menghentikan langkahnya di dalam bangunan yang sering dikunjunginya bersama kedua orang tuanya. Meski hujan, di dalam bangunan itu tetap terang karena cahaya bisa masuk dari segala arah. Ia melihat sekeliling, namun tidak melihat tanda-tanda keberadaan mamanya di sana. Tidak lama kemudian, Naruto sudah bisa menyusulnya dan langsung berjongkok di sebelahnya.
"Mama tidak ada di sini, bukan?" Tidak mendapatkan balasan dari Kiseki, Naruto bangkit dan kembali mengajak putranya itu untuk pulang ke rumah, "Nah, ayo pergi ke sekolah."
"Tokkun."
Naruto sudah berbalik dan berjalan beberapa langkah ketika Kiseki memanggilnya. Ia memutuskan untuk berhenti dan kembali mendekat tatkala Kiseki menunjuk bias cahaya warna-warni yang melingkar. Itu pelangi, yang anehnya bisa terlihat di dalam bangunan tua tersebut.
"Setidaknya kita bisa melihat pelangi yang indah," kata Naruto yang telah berdiri di samping Kiseki.
Bocah tujuh tahun itu hanya menggumam dan kembali melangkahkan kakinya ke depan, seakan ingin mencari ujung dari pelangi.
"Oi, oi, Kiseki!" Naruto terpaksa berbalik lagi, padahal ia sudah mulai berjalan keluar. Ia tidak mungkin meninggalkan putra semata wayangnya di tengah hutan, karenanya ia terus mengikuti langkah kaki Kiseki.
Seketika itu waktu seolah berjalan melambat di sekitar mereka. Keduanya terpaku di tempat saat menemukan seorang wanita dari arah ujung pelangi yang sudah memudar. Wanita itu tampak seperti sedang berteduh dari hujan. Ia menempati permukaan lantai yang lebih tinggi dibandingkan mereka berdua—tempat yang biasanya diduduki oleh Hinata ketika tengah menggambar.
Kiseki terperangah melihat wanita berambut gelap itu. "Mama…," lirihnya. Ia mengerjapkan kedua matanya berkali-kali. Setelah yakin akan penglihatannya, senyumnya mengembang dan seketika itu pula ia berseru riang, "Itu Mama!" Tanpa ragu ia berlari melewati beberapa anak tangga agar bisa menghampiri wanita yang ia yakini sebagai mamanya.
Naruto terkesiap. Ia meragukan penglihatannya, tetapi ia juga berharap agar wanita itu memang nyata. Ia seakan tidak sanggup untuk beranjak dari tempatnya berdiri. Badannya menegang karena dingin dan rasa tak percaya. Sementara itu Kiseki langsung memeluk sang wanita yang masih diam.
"Mama…," panggilnya penuh kerinduan.
"Hi—Hinata?" Akhirnya Naruto mampu mengeluarkan suaranya.
Wanita dalam pelukan Kiseki itu menoleh ke arah Naruto dengan menampakkan tatapan bingung.
"Benarkah itu kamu, Hinata?" Mata Naruto tampak berkaca-kaca.
"Eh?" Suara wanita yang diyakini Naruto dan Kiseki sebagai Hinata itu terdengar sangat lirih. "Hi…?"
Naruto mengangguk. "Hinata," katanya untuk meyakinkan wanita itu. Ia mengangguk sekali lagi untuk menguatkan ucapannya, "Hinata."
"Hi…nata?"
Kiseki melepaskan pelukannya dengan sedih, "Apakah Mama tidak ingat nama Mama?"
Wanita itu tampak ragu-ragu untuk menyahut, "Nama—ku?"
"Kenapa?" Kiseki tidak terima, namun kesedihan yang lebih nampak dari raut wajahnya, "Lalu, apa Mama juga tidak ingat namaku?"
Wanita itu masih bungkam. Ia tampak sangat bingung dengan kejadian yang dialaminya saat ini.
"Mama?" panggil Kiseki lagi.
Tidak ada balasan untuk Kiseki. Wanita berambut gelap itu masih belum bersedia membuka mulutnya kembali. Mungkin karena ia tidak tahu harus berkata apa dalam keadaan seperti itu. Ia tidak dapat mengingat apapun, namun tiba-tiba saja ada yang memanggilnya "Mama", juga "Hinata". Bahkan, ia tidak bisa ingat mengapa ia berada di tempat tersebut.
"Ayo pulang dulu," Naruto memecah keheningan yang semula hanya ditemani suara tetesan air, "Kita dapat menyelesaikan masalah ini nanti."
Wanita itu membalas tatapan Naruto, namun tidak lama karena ia menunduk kembali. Ia tidak kelihatan akan menolak ajakan Naruto, namun ia juga belum beranjak dari posisinya.
"Ayo," ajak Naruto lagi sembari mengulurkan tangannya.
.
Kiseki berharap ia tidak sedang bermimpi. Seperti dulu, ia berlari dengan menggandeng tangan ayah dan ibunya, melewati terowongan gelap yang akan membawanya keluar dari hutan, menerjang hujan, dan pulang ke rumah mungil mereka yang hangat.
.
.
.
~* To Be Continued *~
.
.
.
Author's note:
Sekali lagi, Naruto dan Ima, Ai ni Yukimasu bukan milik saya, dan saya tidak mendapatkan keuntungan dalam bentuk apapun dengan menulis fic ini. Meski ada novelnya, tapi saya belum baca. Apa masih ada di toko buku? #lah?
To Be With You adalah fic saduran dari dorama Ima, Ai ni Yukimasu, dengan sedikit tambahan dan pengurangan di sana sini. Dramanya amat sangat jauh lebih indah daripada fic ini, apalagi dengan soundtrack yang sangat menyentuh. Saya menyadurnya ke dalam bentuk fic atas kecintaan saya terhadap Ima, Ai ni Yukimasu, NaruHina, genre family, dan juga tentu saja … Narimiya Hiroki-san no koto ga suki dakara~ #plak
Tapi Narimiya Hiroki sama Mimura (Mimula) di Ima, Ai ni Yukimasu—Takumi dan Mio—memang NaruHina banget, menurut saya. Mio remaja juga Hinata banget karakternya. Nari kulitnya rada tan, dan Mimura putih banget. Cocok dah sama chara NaruHina, apalagi Nari juga punya senyum lebar kayak Naruto, hoho. Tahun ini, ada drama terbaru di mana mereka jadi tunangan, dan settingnya tahun 1945-an gitu. Senangnya~ saya suka sekali pasangan ini. Semoga mereka nikah beneran~ #lah?
Kiseki = keajaiban, permata
Tokkun: Naruto-kun
Maaf karena jalan cerita fic ini persis doramanya. Untuk fic ini, akan saya update lanjutannya kalau masih ada yang suka. Tapi kalau tidak ada yang suka, ya … dibiarkan atau dihapus saja, haha.
Mind to CnC or RnR?
Go koui, arigatou gozaimashita….
Friday, May 11, 2012
