A/N
*naik panggung*
erehem, Yak, halo para senior, dan pembaca di Fandom Gintama. Ini pertama kalinya saya submit cerita di Fandom ini atau bahkan malah di situs ini, jadi saya mohon bimbingannya. Oke karena lama-lama jadi kayak pidato kampanye, saya akhiri ocehan ga jelas saya disini.
Selamat menikmati.
*turun panggung*
Warning: OOC, kalimat tidak baku
Pairing: Yorozuya family
Disclaimer: Gintama belongs to gor- Sorachi sensei
Gambar cover belongs to original creator
Note: Italic = flashback
Log: last edited 24 Dec 2012
Your Hand
"Oi Patsuan! Kakakmu mana sih? Kenapa telepon rumahmu gak ada yang jawab?" aku mengomel sambil menekan ulang nomor rumah sikacamata.
"Kakak..mungkin sedang di tempat uhuk.. kerjanya di jam-jam segini.."
"Aaah! Sudah sudah. Kau disini saja kalau begitu. Nanti baru kuhubungi si dada rata itu" Ucapku putus asa sambil membanting gagang telepon. Lalu kusiapkan futonku dan futon Kagura di ruangan tempat biasa aku tidur.
"Gin-chan.." terdengar suara Kagura memanggilku dengan lemah. Aku menoleh dan hanya bisa menjawab,"Kalian berdua tidur disini saja, memudahkanku merawat kalau kalian berdekatan."
Keduanya hanya mengangguk lemah sambil berjalan tertatih menuju futon. Ya, kalau kalian bertanya ada apa dengan dua anak ini. Mereka sakit, dan yang memperparah adalah penyakit mereka tak ada obatnya.
"Kalian istirahat saja. Jangan berfikir apa apa. Cobalah untuk tidur. Aku akan buat sesuatu untuk kalian makan."
Keduanya lagi lagi hanya mengangguk lemah. Membuat dadaku seperti teriris melihatnya. Sebelum menutup pintu geser dibelakangku, kutatap kembali anak anak itu. Muka mereka sepenuhnya memerah, membuatku sulit menemukan wajah Kagura karena wajahnya semerah rambutnya. Anak itu terlihat gelisah berguling kekiri dan kekanan sedangkan Shinpachi di sebelahnya terlihat bernafas dengan berat dan kesusahan. Kututup pintu itu dan bergegas kedapur.
Sambil menyiapkan makanan, gambaran gambaran kejadian tadi siang berkelebatan dibenakku. Gambaran bagaimana punggung Shinpachi tertebas, lengan Kagura yang tergores, dan yang paling menyakitkan adalah aku tak bisa menggapai mereka, tak bisa melindungi mereka.
"Jadi intinya, kami kekurangan orang untuk membantu evakuasi. Tenang saja karena ini perintah keshogunan, bayaran kalian bisa lebih dari biasanya."
Setelah mendengar kalimat terakhir yang diucapkan sipenelepon, dengan cepat kujawab, "Baiklah Oogushi-kun, kami segera berangkat." Crek! Kututup telepon itu dan kami segera bergegas berangkat dengan motorku dan juga Sadaharu.
Sesampainya di tempat tujuan, kami segera datangi sipenelepon aka wakil ketua iblis Shinsengumi.
"Yo Oogushi-kun, lalu apa yang perlu kami bantu?"
"Siapa itu Oogushi?!"
"Apa yang sebenarnya terjadi Hijikata-san?" Tanya si mata empat berusaha menghiraukan dua kalimat diatas.
"Ada sekelompok amanto yang baru mendarat di bumi dan mengamuk."
"Mereka berbahaya ya?"
Setelah melepaskan asap rokoknya, si pangeran mayonaisse itu menjawab,"Tidak kalau mereka tidak bisa membuat orang orang disekitarnya terkena demam dengan racun dari kukunya."
"Demam? Masa hanya demam saja bisa dianggap bahaya."
Si wakil ketua melirik Kagura dan melanjutkan, "Demam yang mereka hasilkan berbeda. Demamnya tidak menular ke orang lain, tapi tidak bisa disembuhkan dengan metode biasa, tidak dengan obat juga. Semuanya tergantung si korban. Dan ketika kubilang 'orang' berarti tidak hanya manusia, nona kecil"
Ucapannya diakhiri dengan menunjuk ke salah satu ambulans yang didalamnya terdapat amanto kecil bertelinga runcing terbaring lemah. Disebelahnya si ibu terus memangil nama anaknya sambil menangis. Paramedis sepertinya sudah menyerah dan hanya berusaha menghibur si ibu. Kulihat wajah Kagura dan Shinpachi berubah murung, dan menurutku itu tidak bagus,
"Oi, oi, kita dibayar hanya untuk menemani mayora ngobrol? Beruntung sekali kita hari ini." Kataku sambil mengorek hidung berusaha mengalihkan perhatian kedua anak itu.
"Cih, sial. Baiklah baiklah, kalian kuminta untuk membantu pasukan kami melarikan anak-anak dan para wanita yang terjebak didalam. Bawa mereka ke angkutan disebelah sana."
Seperti merasa tersindir, tiba tiba Mayora memberi instruksi sambil menunjuk deretan bus yang berbaris rapi di jalanan.
"Ng, Hijikata-san, kalau mereka memang tidak seberbahaya itu, kenapa tempat ini bisa sampai nyaris jadi puing?"
Pertanyaan Shinpachi membuatku kembali menatap Pusat perbelanjaan di depanku, dan memang benar, setengahnya hancur.
"Mereka melawan saat akan di giring ke markas. Jadi, terpaksa kami pakai kekerasan." Pertanyaan Shinpachi dijawab dengan datar, dilanjutkan dengan teriakan khasnya,"Ya sudah! Lalu kapan kalian mau mulai kerja!"
Setelah kuping kami berdengung karena teriakan si mayora, kami segera masuk ke wilayah Mall yang setengah hancur itu. Hanya lima menit berselang setelah kami masuk, aku sudah kembali keluar dengan menggendong tiga anak kecil sekaligus, mereka kutemukan nyaris rata dengan tanah, tertimbun reruntuhan. Apa sih yang para perampok pajak itu pikirkan saat menangkap para amanto ini? Apa mereka lupa kalau banyak warga sipil?
Pekerjaan hari itu kuanggap berjalan lancar saja. Kulihat Kagura menggendong seorang nenek keluar dari reruntuhan dan Shinpachi membantu seorang ibu menggendong anaknya yang menjerit-jerit. Sampai kudengar teriakan Jimmi dari kejauhan,
"Wakil ketua! Gawat!"
"Ada apa yamazaki?"
"Salah satu amanto itu kabur dari mobil tahanan!"
"APAAAAA?!"
Kulihat dari kejauhan wajah Jimmi memucat (takut disuruh seppuku mungkin?), "Ah, dia melarikan diri dengan menerobos barisan penjaga dan terakhir mereka melihat dia melarikan diri kearah sana wakil ketua."
Akhirnya dia menunjuk salah satu bagian gedung yang yang paling parah nasibnya. Si wakil ketua hanya meludah puntung rokoknya dan memberi komando, "Zaki, bawa lima orang lagi dan ikuti aku!"
Dia bergegas menuju lokasi yang ditunjuk Yamazaki diikuti para anak buahnya.
"Oi! Kalian mau kemana?" Teriakku pada kacamata dan Kagura yang mengikuti Hijikata berlari kedalam gedung.
"Membantu mereka!"
"Tunggu! Shinpachi, Kagura!"
"Gin-chan, kau jaga anak-anak itu saja, supaya tidak mendekat kesana!" Ujar Kagura sambil menunjuk anak-anak yang menggelayuti kakiku,
"Ayo main lagi kak.." Pinta seorang anak lelaki.
"Ayoo.." Sambut anak yang lain.
Tanpa ragu kutinggalkan anak anak itu dan berlari mengikuti Shinpachi dan Kagura. Jantungku terpacu, bukan karena aku berlari. Lari seperti ini hanya olahraga ringan bagiku, tapi ada perasaan aneh didadaku. Apa, perasaan apa ini? Kenapa aku cemas? Bukankah aku sudah sering melepaskan mereka bertarung sendiri? Di yoshiwara, di kapal Takasugi, bahkan aku membiarkan Shinpachi melawan si mayora di atas ring. Tapi kenapa kali ini firasatku mengatakan mereka tidak boleh pergi? Kenapa?
Aku sudah beberapa langkah dibelakang mereka saat mereka mengepung amanto yang lari itu.
"Cih, mata empat, mana si mayora?"
"Siapa yang kau panggil mata empat Kagura-chan! Hijikata-san mencari kearah berlawanan dengan kita tadi."
"Kagura, Shinpachi!" teriakku berusaha memanggil mereka.
"Ah, Gin-cha—"
BRRAAAAKKKK..
Langit langit diatas kami runtuh, memisahkan aku dan dua anak itu. Tidak, perasaanku semakin membuncah.
