The Innocent Firefly

xxxxxxxx

Naruto by Masashi Kishimoto

Pairing: NaruTen, SasuTen dan pairing lainnya

Rating: K+

xxxxxxxx

Tenten's POV

Aku menatap bangunan itu, terpana. Ya, sebentar lagi aku akan tinggal disini walaupun ini bukan rumahku. Aku membaca tulisan di papan yang tertempel di gedung itu. Konoha Kojiin.

"Nah, Tenten, ini tempat tinggalmu sekarang," kata pria tua yang menemaniku kesini.

"Tapi Kakek Sarutobi, aku tidak yakin bisa betah tinggal disini," batinku sambil menatap anak-anak sebayaku yang asyik bermain.

"Jangan berpikir begitu. Sudah saatnya kau mandiri sejak orangtuamu tewas dan mungkin kamu bisa beradaptasi dengan mereka," ujar Kakek Sarutobi.

Selama 5 tahun ini, beliau-lah yang merawatku sejak umurku 3 tahun. Orangtuaku tewas karena peperangan antara Konohagakure dengan Iwagakure beberapa tahun silam.

"Nah, sekarang masuklah. Suster-suster itu menunggumu. Kakek tidak bisa mengantar karena masih ada dokumen penting yang belum diselesaikan," beliau memintaku masuk ke dalam.

Aku menghela nafas pelan, rasanya sulit berpisah dengan Kakek Sarutobi yang sudah kuanggap seperti kakekku sendiri. Beliau sudah merawatku, membelaku, bahkan mengajariku karate walaupun juga menjabat sebagai walikota di Konohagakure ini.

Dengan langkah canggung, aku berjalan memasuki gedung itu. Aku menggenggam kuat-kuat tali pundak ranselku.

Lalu, aku menoleh kearahnya dan berkata, "Sayonara," aku pun berbalik dan melangkah menuju ruangan pengelola panti asuhan ini. Ketika berada di depan pintu, kumantapkan hatiku untuk mengetuk.

Tok! Tok! "Masuk," balas suara di dalam. Aku membuka pintu dan masuk ke dalam.

"Permisi, Bu," sahutku. "Jadi, kamu anak baru di panti ini, ya?" ujarnya tanpa merespon sahutanku.

"Iya. Watashi no namae wa Tenten desu," kataku sambil membungkukkan badan.

"Oh, Tenten. Ibu sudah mengetahui tentangmu dari walikota. Kamu diharapkan untuk beradaptasi dengan anak-anak disini, kecuali satu anak. Ibu tidak mau kau terjerumus karena 'satu anak' itu," kata ibu pengelola itu.

Aku menatapnya dengan tatapan bingung.

"Siapa?" tanyaku.

"Sudahlah, kamu tak perlu tahu sekarang. Oh ya, saya Bu Tsuzure," sahutnya.

Aku pun berbalik keluar setelah ia memintaku pergi ke kamar panti dengan salah satu asistennya, Kuniko-neesan.

"Nah, ini kamarmu sekarang dan ini tempat tidurmu," katanya sambil menunjuk ke sebuah tempat tidur yang terletak paling pinggir.

"Terima kasih," aku pun berjalan menuju tempat tidur itu dan menaruh ranselku diatas meja dekat tempat tidur. Tiba-tiba aku mendengar suara jeritan dari luar. Aku segera mencari sumber suara.

"Hentikan! Jangan lempari aku!" seru seseorang di dalam kerumunan. Aku segera menghampiri mereka.

"Hei, hei! Apa yang terjadi?" tanyaku sambil menyeruak ke dalam kerumunan.

"Kamu siapa?! Berani sekali kau menyeruak kami!" bentak seorang anak laki-laki di sebelahku.

"Aku Tenten dan aku anak baru di panti ini! Hei, jaga sopan santunmu ketika menyapa orang lain!" balasku tegas.

"Huh! Sok belagu kamu!" ia pun mengarahkan tinjunya padaku. Aku menahan tinjunya.

"Anak usia 8 tahun tidak boleh berkelahi seperti ini," kataku lalu menjatuhkan tinjunya ke bawah.

"Cih!" gerutunya.

Aku pun mengalihkan pandangan kepada seseorang di tengah kerumunan.

'Anak itu... sepertinya yang menjerit tadi. Kasihan sekali dia,' batinku dalam hati.

Anak itu memandang takut padaku. Aku jadi iba padanya. Tanpa ragu-ragu, aku pun mendekatinya.

"Jangan!" tiba-tiba seorang anak mencegahku.

"Kenapa?" tanyaku.

"Dia berbahaya! Kau bisa terkena sial olehnya!" bisik seorang anak perempuan.

"Kau pikir aku akan percaya? Dia kan cuma anak biasa, sama seperti kita," sahutku sambil menyerigai kecil. Lalu, aku pun mendekatinya.

"Hei. Jangan takut, aku tidak akan melemparimu kok!" sapaku ramah. Perlahan, kerumunan pun bubar, meninggalkan kami berdua dengan kesal.

"Siapa namamu?"

"Na-namaku U-Uzumaki Na-ruto," sahut anak itu gugup.

"Aku Tenten. Sepertinya tubuhmu memar-memar. Ada apa sebenarnya? Katakan padaku," ujarku.

"Mm... begini... Tadi aku asyik melempar-lempar kerikil sendirian karena tidak ada yang mengajakku bermain... Tiba-tiba..., kerikil yang kulempar mengenai kepala Toru, anak yang paling kutakuti. Dia... balas melempariku kerikil bersama anak-anak lainnya..." cerita Naruto sedih.

"Kasihan sekali kau. Kalau aku jadi kau, tentu aku akan sangat marah pada mereka. Sepertinya tadi, kamu tidak memberikan perlawanan pada mereka. Apa mereka menganggapmu lemah?" aku menatapnya dengan perasaan kasihan.

Dia mengangguk lemah.

"Sudahlah, Naruto. Aku akan jadi temanmu. Aku tidak peduli mereka bilang apa padaku. Mungkin sudah saatnya aku harus melindungimu," kataku.

Naruto tersentak kaget. Sepertinya ia tidak percaya padaku.

"D-demo... Tenten..."

"Percayalah padaku. Kamu juga harus kuat. Kamu kan laki-laki," kataku.

Perlahan dia tersenyum. "Mulai sekarang, kita adalah teman. Teman selamanya!" sahutku bersemangat.

Tiba-tiba, terdengar suara lonceng dari dalam panti.

"Sepertinya jam makan siang sudah tiba," kata Naruto. "Kalau begitu, ayo!" ajakku.

End Tenten's POV

xxxxxxxx

Ketika berada di ruang makan, anak-anak panti lainnya berdesak-desakan antre untuk mendapat makanan. Tenten berada paling belakang sebelum Naruto. Setelah mendapat makanan, ia menatap Naruto. Ia melihat suster itu hanya memberikannya setengah porsi nasi dan makanan sisa.

"Sayang sekali. Makanannya habis. Aku cuma bisa berikan kamu itu," kata suster itu, tersenyum licik. Rasanya Tenten ingin marah pada suster itu karena memberikan makanan yang tidak pantas pada temannya itu. Padahal saat Tenten yang mendapat makanan, makanan yang tersisa masih banyak. Namun kenapa suster itu bertindak pilih kasih begitu?

"Terima kasih, Suster. Ini sudah cukup," sahut Naruto tertunduk lalu duduk menyendiri di pojokan.

Tenten merasa kasihan padanya. Tanpa berpikir panjang lagi, ia pun menghampirinya.

"Hei, kenapa menyendiri?" tanya gadis bercepol itu ramah lalu duduk di sebelah Naruto.

"Eh, Tenten... aku cuma ingin saja..." kata anak laki-laki berambut pirang itu. Tenten menghela nafas. Sungguh, ia sedih sekali melihat temannya dibeda-bedakan begitu.

"Naruto," panggil Tenten.

Naruto menoleh. "Ada apa, Ten?"

Tanpa ragu-ragu, Tenten memberikan 2 potong udang goreng padanya.

"Makanlah. Makanan di tanganmu itu tidak pantas dimakan olehmu," katanya. Naruto terperangah.

"Eeh...? Inikan bagianmu. Aku rasa makanan yang kumakan ini sudah pantas untukku. Terima kasih," tolaknya halus.

"Terimalah. Aku tahu, kamu pasti ingin ini. Lagipula, aku tidak suka udang," tawar Tenten. Perlahan, anak itu pun menerimanya.

"Terima kasih, kamu baik sekali," Naruto terharu menatapnya.

"Sudah sepantasnya begitu 'kan, teman?" balas gadis bermata coklat itu senang. Ia tak sadar, banyak anak-anak termasuk suster disana, memperhatikan mereka dengan tatapan kesal.

Sejak saat itu, Tenten dan Naruto selalu bermain bersama. Bahkan, Tenten selalu membela dan melindungi Naruto dari anak-anak yang mengganggunya. Dia juga mengajari Naruto karate dan aikido. Karena iri dengan kedekatan mereka berdua, para suster beserta anak panti lainnya pun membuat rencana jahat, yaitu akan melaporkan mereka pada Bu Tsuzure.

Xxxxxxxx

Suatu hari, Tenten dan Naruto dipanggil oleh Bu Tsuzure untuk menghadap.

"Ada apa tiba-tiba Ibu memanggil saya?" tanya Tenten.

" Hh... Tenten. Kenapa kau dan dia makin akrab saja?" Bu Tsuzure melontarkan pertanyaan yang membuat gadis itu hampir emosi.

"Ha?! Kami 'kan bersahabat, Bu!" mulanya Tenten tidak mengerti dengan pertanyaan wanita itu. Tiba-tiba, di pikirannya terlintas kata-katanya, "Kamu diharapkan untuk beradaptasi dengan anak-anak disini, kecuali satu anak. Ibu tidak mau kamu terjerumus karena 'satu anak' itu,"

'Jadi, dia yang dimaksud 'satu anak' disini?' batin Tenten dalam hati.

"Kenapa, Bu?! Kenapa aku tidak boleh berteman dengannya??!" marahnya dengan mata berkaca-kaca.

"Tenten! Ini demi kebaikanmu juga! Ibu sengaja berkata begitu supaya kau tidak seperti dia nantinya! Perlu kau tahu, dia anak terkutuk! Orangtuanya tewas secara mengenaskan setelah kelahirannya!" seru Bu Tsuzure tegas.

"Tapi, apa hubungannya dengan persahabatanku dengannya?!" balas Tenten. Air matanya mulai meleleh.

"Ibu tidak punya hak untuk mendiskriminasikannya! Dia juga manusia! Sama seperti kita! Dan satu hal, aku selalu tersiksa melihatnya disakiti!" gadis itu terus menangis.

"Tenten..." Naruto menenangkannya.

"Naruto, kita keluar dari sini!" seru Tenten sambil menarik tangan Naruto lalu keluar dari ruangan tanpa peduli panggilan dari Bu Tsuzure.

Gadis itu terus menarik tangannya, mengajaknya entah kemana. Ketika sampai di halaman panti, ia pun memeluk Naruto.

"Naruto... aku tak ingin berpisah denganmu..." katanya dengan suara bergetar.

"Tenten... aku juga tidak mau. Kau sudah seperti kakakku sendiri... Terima kasih sudah membelaku tadi..." balas Naruto juga meneteskan air matanya.

"Mungkin sebentar lagi, Bu Tsuzure akan mengusirku..."

"Tidak! Tidak akan, Naruto!" seru Tenten, melepaskan pelukannya.

"Kau tidak boleh pergi! Aku... aku tidak bisa melepaskanmu! Kita akan selalu bersama!" gadis itu menatap Naruto dengan mata berkaca-kaca. Anak laki-laki pirang itu tersenyum lemah.

Tiba-tiba, ia terbatuk.

"Naruto!" seru Tenten panik. Ia semakin panik melihat darah di tangan mungil Naruto.

"Naruto, kau tidak apa-apa 'kan?!" gadis itu sangat khawatir melihat kondisinya.

"Ti-dak... ap-pa-a..-pa, Ten... -ten...," sahut Naruto sebisa mungkin sambil menahan rasa sakit di dadanya kemudian tak sadarkan diri. Tenten tak sanggup lagi menahan tangisnya.

"NARUTOOO!!!"

Hujan pun turun membasahi mereka.

Xxxxxxxx

Dap, dap, dap! Splash! Tenten berlari tanpa henti sambil menggendong Naruto di punggungnya menuju Rumah Sakit Konoha.

"Suster! Tolonglah teman saya!" mohon Tenten ketika bertemu dengan salah satu suster rumah sakit.

"Memangnya dia kenapa?" tanya suster itu, mulai memberikan pertolongan.

"Ini, dia pingsan setelah batuk darah!" jawab Tenten dengan air mata yang mengalir di pipinya yang basah.

"Apa?! Baiklah, saya akan membawanya ke ruang UGD!" lalu suster itu memanggil suster-suster yang lain untuk membawa Naruto ke ruang UGD.

xxxxxxxx

"Naruto, kuharap kau masih hidup!" gumam Tenten sedih ketika menunggu di ruang tunggu.

"Kami-sama, berikanlah Naruto hidup sekali lagi. Aku sangat ingin dia ada disisiku lagi," doanya sambil meneteskan air mata. Ia ingat ketika ia melindungi Naruto, membelanya, atau dia yang menghiburnya ketika sedih.

Pokoknya, ia sudah menganggap Naruto sebagai adiknya sendiri.

Tiba-tiba seorang dokter keluar dari ruang UGD. Tenten langsung menanyakannya. "Bagaimana dengan keadaan temanku, Dok?"

"Kondisinya kritis karena penyakitnya yang semakin parah. Mungkin penyakitnya itu sudah lama tidak diobati. Jadi, dia harus mendapat perawatan intensif disini untuk beberapa hari," kata sang dokter yang bernama Dokter Tsunade itu.

Tenten langsung lemas mendengarnya.

"Jadi, dia harus opname disini, ya?" gumamnya lesu. Dokter Tsunade mengangguk.

Dengan langkah gontai, Tenten keluar dari rumah sakit.

xxxxxxxx

Langit masih mendung dan hujan belum berhenti. Ia pun berlari tanpa memedulikan orang yang ditabraknya. Tiba-tiba ia terjatuh.

BRUK!!

"Hiks... hiks... kenapa Naruto tidak bilang kalau dia sakit? Kenapa Naruto?" tangisnya di sela-sela hujan.

"Butuh bantuan?" tiba-tiba sebuah suara mengagetkannya.

Tenten segera mendongak. Di hadapannya, ada anak sebayanya. Rambutnya hitam, senada dengan warna matanya. Kulitnya putih. Ia menggenggam tangkai payung dan memakai jas hujan berwarna biru.

"Terima kasih," sahut Tenten.

"Lain kali, kau harus hati-hati. Sekarang kan musim hujan," pesan anak laki-laki itu.

"Kuantar kau pulang, ya?" tawarnya.

"Eh, terima kasih banyak!" sahut gadis bercepol dua itu.

Anak laki-laki bermata onyx itu menyerahkan payungnya pada Tenten.

"Kita belum berkenalan. Namaku Uchiha Sasuke. Kamu?" tiba-tiba ia mengajaknya berkenalan.

"Aku Tenten. Kamu anak bangsawan Uchiha itu, ya?" ujar Tenten memulai percakapan. Sasuke mengangguk. "Iya," sahutnya.

"Lalu kenapa kau jalan-jalan sendirian tanpa penjagamu? Hujan-hujan begini," tanya gadis bermata coklat itu.

"Aku sedang bad mood. Di rumah, aku selalu disuruh les ini itu. Sebenarnya hari ini aku ada les gitar, namun aku bolos karena bosan," keluh Sasuke.

"Lalu kamu, buat apa jalan-jalan sambil hujan-hujanan juga? Sampai basah pula..."

"Aku habis mengantar temanku ke RS. Temanku itu menderita penyakit paru-paru..." desah Tenten sedih.

"Oh, begitu. Kamu tinggal dimana?" tanya anak bermata onyx itu.

"Di Konoha Kojiin," sahut Tenten.

"Jadi kau tidak punya orang tua? Lantas, apa kau senang disana?" tanya Sasuke lagi.

Tenten menggeleng.

"Tidak. Aku dan temanku tidak senang disana. Dia dipilih-kasihkan oleh para suster. Anehnya, aku tidak pernah diperlakukan begitu oleh mereka. Walaupun begitu, aku... aku selalu kasihan padanya. Mereka sering memberinya makanan yang hampir basi. Padahal, dia itu sakit-sakitan dan lemah, dan tidak ada yang peduli padanya selain aku," ceritanya sedih.

Sasuke terpana. Ia kagum pada Tenten akan kepeduliannya pada temannya.

"Ngomong-ngomong, siapa nama temanmu?" tanyanya.

"Naruto. Uzumaki Naruto tepatnya," sahut gadis bercepol itu.

"Naruto?" ulang Sasuke tak percaya.

'Bukankah anak itu yang disebut-sebut sebagai anak terkutuk di kota ini?' pikirnya.

Tenten menggangguk.

"Ya. Dia itu juga anak yang tabah. Hari-harinya selalu ia hiasi dengan senyum walau sering disakiti. Karena itu, aku berusaha melindunginya!" ujarnya.

Sasuke terdiam.

'Gadis ini... tidak membenci Naruto? Baru kali ini aku bertemu dengan anak yang sependapat denganku,' batinnya.

"Sas, pasti kau berpikir dia anak yang terkutuk? Aku juga berpikir begitu, namun aku tidak percaya. Dia kan sama seperti kita, anak-anak. Lagipula, kita tidak boleh membeda-bedakan teman," kata Tenten sambil menatap langit.

"Kau benar, Ten," gumam Sasuke.

-TSUZUKU-

Maaf, sorry, gomen yang sebesar-besarnya karena fic ini kata-katanya terlalu baku dan ancur. Apalagi pairingnya NaruTen sama SasuTen, pairing yang gak laku di Indonesia. Saia gak mengharapkan review banyak dari para readers and reviewers.

Tapi kalo memang pingin nge-review, boleh koq….