Alubarna, ibukota dari Kerajaan Arabasta sedang dipenuhi oleh saudagar dan wisatawan dari kerajaan-kerajaan tetangga karena sebuah Pekan Raya yang diselenggarakan pada musim perdagangan di sana. Putri Vivi ingin menyempatkan diri mengunjungi pekan raya itu bersama pemuda yang paling disukainya. Tapi, bisakah Vivi benar-benar menikmati pekan raya itu?
Halo... ini fanfic pertamaku. Couple favoritku ini memang ngga terlalu populer tapi kuharap bisa meramaikan fanfic antara mereka berdua. Satu-satunya yang bikin aku bingung waktu menulis ini adalah gimana mendeskripsikan suara bebek. Misalnya nih, anjing menggonggong, kucing mengeong, kambing mengembik... Kalau bebek? ...menguwek gitu? Hoho..
Anyway, please enjoy persembahan terbaik bari para fans KoVi Jangan lupa Read and Review yaa
Disclaimer: One Piece, Vivi, Carue, dan Kohza adalah milik Eichiro Oda. Sisanya adalah karakter ciptaanku sendiri.
Chapter Pertama
"Di Bawah Sinar Bintang"
.
.
Dua tahun telah berlalu sejak terbongkarnya tipu daya Crocodile terhadap rakyat Arabasta. Setelah belajar dari pengalaman adu domba yang begitu pahit, kini kerajaan di negeri pasir itu sedang berkembang dengan pesat sehingga menjadi sorotan kerajaan-kerajaan lain di dunia.
Ibukota Alubarna sedang dipenuhi oleh rombongan pedagang dari negeri-negeri tetangga. Seperti biasa, setiap empat bulan sekali rombongan saudagar dari negeri tetangga datang membawa barang dagangan mereka untuk diperjualbelikan kepada penduduk Alubarna. Kain sutra, tenunan, perhiasan, dan bahan makanan yang langka menjadi komoditas yang paling diincar oleh penduduk setempat.
Momen ini dimanfaatkan oleh rombongan pengelana dari negeri Tamoa untuk menyelenggarakan pekan raya di Alubarna. Pengelana dari Tamoa dikenal gemar mengadakan pertunjukan permainan pada setiap event yang mereka selenggarakan. Alhasil menjadi ramailah Alubarna selama satu pekan ke depan.
.
Di suatu malam yang sunyi, cahaya bintang bersinar terang menerangi ibukota. Dari salah satu sudut kota, Vivi dan Carue keluar dari sebuah penginapan didampingi oleh seorang wanita bertubuh pendek dengan badan yang agak gemuk. Wanita yang menyanggul rambut coklatnya ini memakai mantel berwarna marun yang tampak hangat menyelimuti sekujur tubuhnya. Kedua pergelangan tangannya dipenuhi gelang-gelang emas besar serta tiga buah cincin emas pada setiap tangannya.
"Terima kasih sudah mengunjungi kami Putri Vivi.", ujar wanita yang lebih tua ini sambil mengulurkan kedua tangannya kepada Vivi. "Kami sangat senang atas kunjungan dan izin yang kerajaan berikan pada acara kami." Tampak matanya berbinar-binar senang.
"Kami juga sangat berterima kasih Madam Malon", ucap Vivi sambil tersenyum, "Sepertinya pekan raya yang akan Anda selenggarakan bisa membantu meningkatkan pariwisata Arabasta". Vivi menyambut uluran tangan Madam Malon lalu mereka berjabat tangan.
"Kalau begitu kami permisi dulu." Vivi pamit, diikuti dengan ucapan salam 'KWAK!' dari Carue, bebek raksasa kesayangan Vivi. Vivi pun mengenakan mantel sepinggangnya yang berwarna turqoise. Warna yang sangat cocok untuk gadis delapan belas tahun yang berambut dan bermata biru langit itu. Dia berbalik dan berjalan sambil merangkul Carue. Madam Malon melambaikan tangan dari belakang.
.
"Astaga Carue, kita kemalaman!", ujar Vivi cemas. Carue menenangkan sahabat kecilnya ini sambil mengepakkan sebelah sayapnya untuk merangkul Vivi. Vivi tertawa kegelian karena bulu-bulu Carue yang menggelitik. "Kuharap papa tidak terlalu khawatir...", gumamnya kemudian.
Malam itu memang sudah cukup larut. Vivi menyesal terlalu asyik mengobrol dengan Madam Malon dan para rombongan pengelananya. Rasa ingin tahu Vivi mengenai negeri tetangga memang suka mengusiknya sehingga ia bisa mengobrol berjam-jam dengan pendatang dari luar negeri hingga lupa waktu. Kali ini dia kena getahnya karena jalanan yang dia lalui adalah jalan di tepi Alubarna. Jalanan ini minim lampu penerangan. Karena penginapan rombongan pengelana Tamoa ada di daerah yang tarifnya cukup murah inilah maka Vivi jadi terpaksa pulang melalui satu-satunya rute tersingkat yang gelap itu untuk menuju istana.
.
Vivi dan Carue melewati satu-satunya bangunan yang ada di jalan yang mereka lalui. Bangunan itu adalah kedai kuno yang tidak terlalu besar. Kira-kira cukup menampung belasan pengunjung. Di dalamnya masih terdapat beberapa pemuda dan bapak-bapak yang sedang bercengkerama atau sekedar menikmati minuman hangat di malam yang dingin itu. Salah seorang pengunjung yang duduk paling dekat dengan pintu keluar mengenali Vivi dan Carue. Bapak tua berkumis ini mengangkat tangannya seraya memanggil Vivi.
"Selamat malam, Tuan Putri! Hati-hati berjalan sendirian malam-malam begini!", teriaknya. Semua kepala yang ada di kedai itu langsung menoleh ke arah yang dimaksud.
Vivi menoleh, "... Selamat malam Pak Bubun", sahutnya sambil tersenyum malu. "Terima kasih, tenang saja ada Carue bersamaku". "KWAK!", sambung Carue. Setelah menganggukkan kepala kepada bapak tua itu Vivi melanjutkan perjalanannya bersama Carue.
.
Di dalam kedai, si bapak tua di kedai mendesah. "Hhh... Malam sekali putri kita itu jalan-jalannya", ujarnya pada dua orang pemuda di sebelahnya. Salah satu pemuda di samping bapak itu bertubuh kurus, berambut gondrong sepunggung, berhidung bengkok dengan kedua bola mata yang menonjol seperti sudah berhari-hari tidak tidur. Pemuda kurus berkulit coklat gelap ini mengenakan rompi kulit di atas baju hitam berlengan panjangnya. Pemuda yang lain memiliki model rambut yang tidak jauh berbeda tetapi lebih rapi karena dia menguncir rambut hitam legamnya. Dia memiliki bekas luka di pipi kanan bawah. Sedangkan gaya pakaiannya tidak jauh berbeda dengan temannya. Tampaknya mereka berasal dari daerah yang sama.
Sambil duduk tegak dan melipat kedua tangannya, pemuda berambut kuncir itu bertanya, "Dia putri Nefertari Vivi? Kenapa tidak ada pengawal bersamanya?".
"Oh, hohoho...", tawa si bapak tua. "Begitulah putri kami, orangnya sangat ramah dan pandai bergaul. Baginya pengawal itu hanya akan membatasi ruang geraknya. Jadi dia suka berkeliling kota tanpa pengawal. Tapi para penduduk mengenalnya, jadi kota ini selalu aman baginya". Si bapak tua meneguk sisa minumannya sampai habis lalu berdiri. "Baiklah, sudah saatnya aku pulang. Kalian berdua selamat menikmati Alubarna!", ujarnya riang pada kedua pemuda yang ternyata berasal dari negeri lain itu.
Setelah si bapak tua berdiri meninggalkan bangkunya, pemuda berambut coklat menoleh dan berbisik-bisik pada temannya. Mereka berdua lalu menatap tajam ke arah Vivi yang belum berjalan terlalu jauh. Tak jauh dari tempat mereka duduk, ada seorang pemuda yang bersandar di dinding sambil mengamati kedua pemuda asing ini dari tadi. Pemuda ini berdiri dari kursinya, mengenakan mantel panjang berwarna coklat pasir yang sewarna dengan warna rambutnya, lalu mengalungkan syal hitam panjang di sekeliling lehernya. Dia melewati kedua pemuda asing yang kini sudah berdiri dan hendak meninggalkan meja mereka. Pemuda berambut coklat pasir itu membayar minumannya lalu berjalan meninggalkan kedai sambil menatap sekilas kedua pemuda asing tadi.
.
Di luar, Vivi mempercepat langkahnya. "Carue, kurasa sebaiknya kita jangan sampai terlalu menyolok... Aku jarang melewati daerah ini malam-malam begini". Vivi kemudian melihat jalan tanah tidak jauh di depannya. "Kita pulang lewat jalan pintas saja ya?". Carue menyahut dengan suara bebeknya. Mereka lalu berbelok ke jalan tanah yang cukup gelap itu.
Jalan pintas yang dilalui Vivi itu sangat sunyi. Vivi hingga bisa merasakan detak jantungnya sendiri. Di siang hari jalanan ini banyak dilalui oleh para pejalan kaki, tetapi karena tidak ada penerangan kecuali dari bulan dan bintang, di malam hari jalan ini dihindari oleh pejalan kaki. Vivi meringis menoleh ke arah Carue. "Untung matamu besar, Carue, jadi ada pantulan cahaya dari sana", ucapnya geli. Gadis itu kembali melihat ke jalan di hadapannya. Di dalam hati dia berharap bisa segera sampai ke ujung jalan dan segera tiba di istana.
Belum jauh langkah-langkah kaki Vivi can Carue menapaki jalan pintas itu, terdengar suara seseorang yang sangat familiar dari arah belakang mereka.
"Berani sekali kau jalan tanpa pengawal semalam ini?"
Vivi menoleh ke belakang, dan tersenyum lega,"Kohza!". Carue menyapa Kohza dengan suara khasnya sambil mengepakkan kedua sayapnya dengan riang seolah bertemu dengan seorang sahabat lama.
Pemuda berambut coklat pasir ini berjalan mendekat dan berhenti tepat di hadapan Vivi dan Carue. Sahabat lama Vivi ini kini sudah bertambah tinggi dan gagah. Rambut coklat pasirnya dibiarkan tumbuh lebih panjang hingga mencapai tengkuknya. Sejak dia menjabat sebagai Menteri Lingkungan Arabasta, dia lebih sering menghabiskan waktunya di Alubarna-yang mana membuat Vivi begitu senang karena dia bisa lebih sering berjumpa dengan pemuda yang diam-diam disukainya itu.
Setelah tersenyum pada Carue, dia menoleh dan menatap Vivi. "Dari mana kau? Mau apa jam segini?"
Vivi tersentak dari lamunannya yang mengagumi betapa tampannya Kohza saat ini. "Ah-oh.. Emm... Kami baru saja mengunjungi Madam Malon penyelenggara pekan raya di penginapan di dekat sini. Sekarang kami mau segera pulang", Vivi meringis. "Kau dari mana?"
Kohza mengangkat salah satu tangan untuk menunjuk kedai di balik punggungnya dengan ibu jarinya, "Kedai", sambil tetap menatap Vivi. "Kau menjadi pusat perhatian tadi."
"Ah... ", Vivi mendesah malu. "Iya, aku tahu, makanya sekarang aku dan Carue mau pulang melalui jalan pintas ini saja...", tunjuknya ke jalan yang mereka lalui itu.
Kohza menatap jalanan tanah gelap yang ada di hadapannya. Untuk sampai ke jalan besar di depan istana kira-kira butuh perjalanan kurang lebih 10 menit lagi, tetapi tetap saja jalan itu sangat tidak aman bagi seorang gadis yang hanya ditemani bebek piaraannya. Kohza mendesah, "Kau memang suka sekali ya membuat orang khawatir...", gumamnya pelan.
Vivi memiringkan kepalanya sambil berkernyit, "Apa?". Kohza berjalan ke depan melewati Vivi dan Carue, "Kau bilang apa tadi?"
"Aku bilang ayo jalan, aku juga mau ke arah yang sama", jawab Kohza tanpa membalikkan badannya dan tetap menatap jalanan gelap di hadapannya.
"Benarkah?", mata Vivi membulat tidak percaya akan keberuntungannya di malam itu. "KWAK!", Carue ikut bersuara kaget. "Memangnya kau mau ada keperluan apa di istana, Kohza?", tanyanya sambil tetap diam di tempat.
Kohza sedikit menoleh ke samping melihat Vivi dari balik bahunya, "Kau mau ikut atau tidak?", sahutnya dengan gaya setengah kesal khas dirinya. "Aku tinggalkan saja, nih". Pemuda berusia 20 tahun itu lalu berjalan meninggalkan Vivi.
Tawa Vivi pecah. Dia berlari mengejar Kohza, "Bilang saja kau mau menemaniku jalan, 'kaan?", dia mengepalkan kedua tangannya lalu memukul bahu Kohza sambil tertawa geli dan menutup mulutnya dengan tangannya yang lain. "Kenapa tidak bilang dengan jelas saja siih?"
Kohza hanya mendengus sambil mengangkat kedua bahunya dan tetap berjalan. Vivi berjalan mengiringi Kohza. Sambil tersenyum-senyum, ia merasakan pipinya mulai menghangat karena pemuda di sampingnya itu. Perlahan-lahan ia mengangkat tangan kanannya lalu menggenggam lengan baju Kohza yang terayun-ayun di sebelahnya. Kohza tidak mengelak, dia membiarkan saja tangan Vivi berpegangan di sana. Di belakang, Carue pun berjalan mengikuti mereka berdua.
Sekian Chapter Pertama, semoga Vivi dan Kohza ngga out of character. Sekarang, silakan beri review-nya dengan menekan tombol Review di bawah yaa... Terima kasiih :)
