Karena aku tidak ingin melupakannya. Melodi lembut yang mengaung ke seluruh penjuru aula. Panggung menjadi miliknya dan lampu-lampu menyoroti setiap gerakan tubuhnya.

Karena aku tidak ingin melupakannya. Saat matanya menatap pilu lantai kayu yang licin, saat bibirnya tersenyum seakan sedang menghibur dirinya sendiri.

Karenanya, aku yang tidak sengaja masuk kedalam aula yang kosong, hanya dapat berdiri memaku selagi irisku meneliti rupa itu. Hingga akhirnya aku menyadari bahwa tetes air jatuh ke atas lantai kayu. Gadis itu—

dia menangis.

Jika—ya, jika dan hanya jika saja aku tidak ada disana. Jika saja rasa penasaranku akan aula itu tidak ada. Dan, jika saja gadis itu tidak ada disana. Maka aku tidak perlu mengulang-ngulang kejadian itu dalam pikiranku yang sempit. Rupa dan elok itu tidak perlu mengiang-ngiang dalam setiap lamunanku.

-aku harus apa?

"Kaoru!" Sebuah suara menyadarkan anak laki-laki itu dan membuat matanya terbuka. "Gosh! Apakah itu yang kamu sebut permainan biola?" Pria berwajah tua itu memijat-mijat keningnya."Hentikan kebiasan melamunmu dan cobalah berkonsentrasi. Kompetisi akan dimulai dua bulan lagi dan—"

"Alright, alright Sir!" Kaoru mencoba memotong pembicaraan. Tanpa diberitahupun ia tahu bagaimana permainannya hari ini. Buruk. Perlahan biola ddiangkat dari bahunya dan tangannya memijat-mijat bahu yang terasa keram. Sebagian atensinya masih mengawang-awang entah dimana. Seakan terus tertinggal di ruang aula sana dan masih melihat wajah gadis misterius itu.

"Well." Pria itu kembali berbicara. Sebelah alisnya diangkat ke atas. "Feelling in love, eh?"

"What?No!" Refleks ia menggeleng-gelengkan kepala. "Sudah waktunya pulang. Thanks Sensei!" Kaoru ingin mencari pembelaan tapi kelihatannya percuma. Karenanya, ia memilih untuk mengemas biolanya dan berjalan pergi. "See you later, lover boy!" Terdengar suara kekehan samar dari balik punggung.

Gadis itu—baiklah Kaoru mulai memikirkannya lagi. Dia—well, Kaoru masih mengingat warna rambutnya yang hitam digelung berantakan, bola matanya sayu memandang jauh sekali. Wajahnya tidak cantik tapi manis dan entah mengapa garis wajahnya terlukis sangat halus seakan terbentuk oleh sepoian angin malam yang lembut. Gadis itu terbilang kurus dan mungil seperti gadis yang berjalan didepannya saat ini—what!

Bola matanya langsung memaku pada sosok seorang gadis yang berjalan menuju dirinya. Tanpa sadar kakinya ikut melangkah dan saat jarak semakin menipis, Kaoru bisa segera mengetahui kalau gadis itu adalah gadis yang ditemuinya tempo lalu

"Kaoru!"

Refleks Kaoru menoleh dan mendapati seorang bocah melambai sambil berlari kearahnya. "Tsukimori." Kaoru tersenyum sopan. "Kebetulan sekali. Aku ingin bertanya soal partitur kemarin. Kamu mau meminjamnya kan?"

"Well," Dua bola matanya mengikuti pergerakan gadis itu yang—sayangnya menjauh begitu saja. Saat ini anak laki-laki itu ingin menendang jauh bocah Tsukimori dan berlari menyapa gadis itu.

"Siapa yang kamu lihat? Ooh.." Tsukimori mengikuti arah pandang bocah Kaoru dan segera menyadari siapa yang menjadi objek sepasang mata Kaoru. "Aku tahu gadis itu," celutuk bocah itu ringan.

"Kamu tahu?" Bola matanya melebar karena kaget. "Siapa? Siapa namanya?" Kaoru memaksa.

"Woaah. Easy boy. Dia cantik bukan?" Tsukimori terkekeh.

"Itu tidak penting." Karena bukan itu daya tarik gadis itu sesungguhnya.

"Kuberitahu tapi—"