MIRAT

KBBI: mi·ratn1 cermin; 2 gejala optik berupa gambar bayangan di dl udara yg berasal dr suatu benda, yg dapat tunggal atau majemuk, tegak atau terbalik, dan dapat tampak lebih besar atau lebih kecil dp yg sebenarnya

Severus Snape, Harry Potter, dan Minerva McGonagall adalah kepunyaan JK Rowling

Rate T, angst

Diikutsertakan dalam Challenge Infantrum: Sans Romance

-o0o-

Detak sepatunya tak bersuara, atau mungkin hanya sedikit lebih keras dari detak jantungnya. Selama dalam perjalanan dari ruang bawah tanah hingga mencapai Aula Besar dengan mudah ia menampakkan wajah tak berekspresi. Seperti biasa. Dari luar orang biasa akan melihat seperti itu, tak bereskpresi.

Tapi siapa yang tahu akan ekspresinya yang sebenarnya.

Severus menghela napas dalam-dalam.

Hari ini 1 September 1991. Seperti sudah berulang kali ia alami, hari ini murid-murid berdatangan, kembali ke Hogwarts. Seperti biasa juga, akan ada murid-murid kelas satu yang baru. Akan ada Seleksi. Dan pesta penyambutan, pesta awal tahun ajaran.

Tapi tahun ini ada sesuatu yang ia tunggu-tunggu.

Anak Lily.

Potter junior. Potter muda.

Sebenarnya ia tak begitu mau memperlihatkan rasa ingin tahunya. Selama ini juga ia hanya mendengar-dengar laporan yang diberikan Mrs Figg pada Dumbledore. Sejauh ini, jika ada laporan negatif—seperti bahwa: Potter muda selalu dipekerjakan, disuruh-suruh di rumah oleh Petunia, dll—Dumbledore masih bisa mentolerir. Menurutnya, selama tidak membahayakan nyawa, tidak apa-apa.

Ia percaya pada Dumbledore.

Menurut Hagrid, semua tugasnya menyampaikan undangan sekolah sudah beres dilakukan. Potter muda itu akan datang ke Hogwarts, tak akan ada halangan—

Tiba di Aula Besar, Severus membelok, masuk, langsung menuju ke Meja Tinggi. Sudah ada Filius di sana, dan tak lama kemudian guru-guru lain juga menyusul masuk. Lewat pintu besar, murid-murid tahun kedua dan kakak-kakak kelasnya juga menyusul masuk, masih agak berisik, dan duduk di meja masing-masing. Melihat Severus sudah ada di Meja Tinggi, sepertinya keberisikan itu agak berkurang.

Dan Dumbledore masuk.

Hanya Minerva yang tidak ada. Biasanya ia sedang menjemput anak-anak tahun pertama, dari perahu-perahu yang dipimpin Hagrid.

Benar saja. Minerva muncul dari pintu besar, melihat sekilas keadaan Aula, lalu menuju Dumbledore. Membisikkan beberapa kata, Dumbledore membalas juga, dan Minerva mengangguk. Kembali ke pintu besar, ia memanggil anak-anak itu.

Barisan anak-anak tahun pertama masuk, satu-satu dipimpin Minerva. Di depan, di tengah-tengah, diletakkan sebuah bangku berkaki empat. Di atasnya, seperti biasa, Topi Seleksi sudah bertengger.

Agak lama juga hingga giliran Potter muda tiba—Minerva selalu memanggil dengan urutan alfabetis.

—dan ternyata Gryffindor. Sesuai dengan perkiraannya. Tak akan jauh-jauh.

Nyaris tak terlihat, Severus menghela napas. Tak akan terlihat, karena semua perhatian tertuju pada Potter muda. Sambutan untuknya nyata jauh lebih gempita dari tepuk tangan untuk anak-anak lain.

Potter senior dan Lily juga Gryffindor. Buah takkan jatuh jauh dari pohonnya.

Severus menghela napas lagi.

Seharusnya Severus merasa lega. Tugasnya untuk melindungi bocah ini akan jauh lebih mudah, karena sifat bocah ini tentunya tidak akan jauh dari sifat ayahnya. Akan lebih mudah memperediksi ke mana ia akan bergerak. Dengan demikian, tugasnya akan lebih mudah, akan lebih ringan.

Tetapi, entahlah. Severus tiba-tiba merasa bahwa tugasnya kali ini justru akan jauh lebih rumit.

Dan, entah kenapa juga, tiba-tiba Severus merasa bahwa tugasnya kali ini tidak melulu akan melibatkan otak. Bukan hanya pikirannya yang akan lelah saat ia menunaikan tugasnya, tapi juga perasaan.

Bergegas Severus menepis rasa yang satu ini.

Aku profesor yang bertindak sesuai logika sihir, bukan dengan perasaan, dalihnya; dan ia berhasil memaksakan perhatiannya kembali pada pesta yang sedang dilaksanakan di Aula Besar, di depan wajahnya.

Matanya mencari sosok Potter muda itu. Untuk sementara, fokusnya terganggu dengan berseliwerannya tangan-tangan mengambil hidangan, menyampaikan piring hidangan pada orang di sampingnya, dan keriuhan sejenis. Lagipula koleganya Quirrell terus menerus mengajaknya berbicara. Tapi saat anak-anak mulai makan, ia bisa melihat lebih jelas.

Sosoknya persis Potter senior. Profilnya. Gerak-geriknya. Yang sangat ia benci, dari dulu bahkan hingga kini.

Severus lebih memusatkan pandangan lagi, dan menemukan satu hal yang mengejutkan.

Matanya.

Mata Lily.

Baiklah. Mungkin hal ini akan lebih meringankan tugasnya, tidak akan seratus persen dilandasi keterpaksaan. Mungkin saja. Baiklah.

Beberapa detik ke depan ia masih memandangi bocah di meja Gryffindor ini, sosoknya, gerak-geriknya, dan sorot matanya, ketika tiba-tiba Severus merasakan hal yang aneh. Sesuatu yang tidak biasa. Sesuatu yang ia kira ia kenali, entahlah, tetapi itu tidak biasa dilihatnya pada anak-anak di Hogwarts.

Sejenak ia berpikir, tapi untuk sementara ia tidak bisa mengingat, apa yang dirasa aneh ini, karena tiba-tiba saja Potter muda itu menoleh ke arah Meja Tinggi, dan untuk beberapa saat pandangan keduanya saling bertemu.

Hanya sekejap, mungkin hanya beberapa detik. Severus berharap bisa lebih lama lagi, ia benar-benar penasaran dengan apa yang ia lihat sekilas tadi, tetapi turban Quirrell menghalangi pandangan, dan ia juga terus menerus berbicara dengan kegagapannya.

Baiklah, mungkin ia bisa mencari kesempatan untuk mengidentifikasi apa yang ia lihat, Severus menghela napas lagi, dan mengalihkan pandangan ke obyek lain.

Walau ia merasa, Potter muda itu masih terus mengamatinya beberapa detik lebih lama—

-o0o-

Pesta berakhir, anak-anak menuju asrama masing-masing. Severus masih harus mengawasi bagaimana para Prefek Slytherin membimbing adik-adik kelasnya terutama tahun pertama, sesudah itu ia baru bisa kembali ke ruang bawah tanah. Rencananya ia akan membaca dulu beberapa saat sambil mengecek ramuan yang sedang direbus.

Dibukanya pintu, dinyalakannya perapian dengan satu sentuhan tongkat. Entah mengapa ia menyalakan perapian, jarang-jarang ia melakukannya, apalagi belum musim dingin. Semacam refleks.

Diperiksanya kuali untuk melihat apakah perebusannya sudah memadai. Diaduknya beberapa kali searah jarum jam, lalu ditutupnya kembali. Masih ada perebusan beberapa jam lagi hingga ramuannya selesai.

Ia berjalan ke meja kerjanya, duduk dan meraih jurnal 'Potion and Poison' terbaru yang belum sempat diselesaikannya tadi sore, membukanya pada halaman dengan pembatas buku, dan mulai membaca—

—tapi pikirannya melayang-layang. Matanya tak bisa melangkah lebih jauh lagi dari paragraf awal artikel yang sedang ia baca. Dengan helaan napas, ditutupnya jurnal.

Apakah dugaannya benar? Apakah sorot mata Potter muda tadi itu sesuai dengan prasangkanya?

Tetapi ini baru pertemuannya yang pertama. Bahkan jumlah menit ia mengawasinya saja tidak sampai menghabiskan jari sebelah tangan. Bagaimana ia bisa menarik kesimpulan?

Diraihnya kembali jurnal yang tadi disingkirkan. Dibukanya lagi. Dicobanya lagi untuk membacanya.

Tidak bisa.

Bagaimana kalau dugaannya benar?

Penanganan awal tentu akan lebih baik.

Tetapi, sekali lagi, bukankah ini kesimpulan yang terlalu dini?

Tetapi lagi, bagaimana kalau kecurigaannya benar? Bukankah akan lebih baik jika ditanganin sedari awal. Agar tidak terulang peristiwa—

Severus menghela napas lagi.

Rentetan peristiwa lama terulang, tertayang di hadapannya. Jelas, sejelas peristiwa yang baru saja sehari-dua hari berlalu.

Severus menutup matanya, mencoba mengusir bayangan demi bayangan itu.

Tak bisa.

Ia berdiri, menuju kuali ramuan yang mengelegak, mengeceknya, dan mematikan apinya dengan ketukan tongkat. Menuju pintu, ia keluar, tanpa suara. Menaiki tangga, menyusuri koridor, dan keluar dari kastil. Tak tentu arah, yang ia perlukan hanyalah pengusir waktu, hingga pagi datang dan ia bisa menyibukkan diri dengan interaksi dengan orang lain, bukan hanya pikirannya sendiri semata, yang justru semakin menyiksa—

-o0o-

Pelajaran Ramuan berlangsung di salah satu ruang bawah tanah. Gryffindor tahun pertama dan Slytherin tahun pertama menjadi kelas gabungan. Seperti biasa, Severus mengambil daftar hadir, mengabsen satu-per-satu untuk mengetahui siapa-siapa muridnya, dan berhenti sejenak di nama yang satu itu.

"Ah ya," katanya pelan. "Harry Potter. Selebriti baru kita."

Sedikit riuh bisikan di sisi murid Slytherin.

Tapi Severus mengacuhkannya. Matanya menatap Potter muda itu dan mencoba mencari keberadaan mata yang kebingungan, mata yang mencari tempat yang aman, mata yang mencari perlindungan, seperti mata yang ia lihat di Pesta Awal Tahun kemarin.

Tidak ada.

Yang ada sekarang hanyalah mata yang menantang, siap melawan, siap memberontak.

Bukan mata yang kemarin. Sebut saja Severus salah, tetapi mata yang kemarin itu jelas-jelas bukan mata bocah yang ini.

Mata individu yang lain. Severus tahu betul itu.

Perlahan diteruskan pidato awal kelasnya, yang biasa.

"Kalian berada di sini untuk mempelajari ilmu rumit dan seni membuat ramuan," katanya memulai. "Karena tak banyak kibasan tongkat yang konyol di sini, banyak di antara kalian akan susah percaya ini sihir. Aku tidak berharap kalian benar-benar menghayati keindahan isi kuali yang menggelegak lembut dengan asapnya yang menguar, kekuatan halus cairan-cairan yang merayap merasuki nadi manusia, menyihir pikiran, menjerat akal sehat..." 1)

—dan dilihatnya Potter muda itu justru sedang berusaha menulis dengan pena bulunya alih-alih mendengarkan.

Severus berjalan mendekati mejanya. Potter muda itu berhenti menulis, dan memandangnya.

Mata yang menantang, mata yang melawan, mata yang memberontak.

Pelajaran Ramuan pertama hari itu berakhir dengan detensi untuk Potter muda, berlangsung nanti malam jam delapan.

-o0o-

Pukul delapan kurang dua menit Potter muda itu sudah berdiri di depan pintu kantornya. Baguslah untuk permulaan.

"Duduk," sahut Severus singkat. Diangsurkan segulung perkamen dan sepucuk penabulu berikut botol tintanya.

"Sa-saya minta maaf—" sahutnya tanpa ditanya, "sa-saya tidak biasa memakai penabulu, di sekolah Muggle saya, biasanya memakai ballpoint—"

"Karena itu, biasakanlah," sahut Severus to the point, "tulis 'Aku akan memperhatikan guru di kelas' seribu kali, dengan penabulu itu dan tanpa sihir."

Potter muda itu meraih perkamennya, membuka gulungannya, meraih penabulunya, membuka botol tintanya, dan mencelupkan penabulunya di situ. Berhenti sejenak, sebelum akhirnya ia mulai menulis.

Tulisannya jelek sekali.

Akan tetapi Severus malah meraih buku di hadapannya dan mulai membaca, nampak bagai tak memperhatikan seperti apa kualitas tulisan bocah di hadapannya.

Jadi, Potter muda itu meneruskan detensinya, menuliskan kalimat demi kalimat. Sepertinya menggunakan penabulu memang harus dibiasakan, karena kualitas tulisannya makin lama makin lumayan.

Bocah itu tak menyadari bahwa sepasang mata hitam di hadapannya terkadang menatapnya, dari balik buku yang sedang dibacanya. Menganalisis seperti apa individu di hadapannya.

Menghela napas.

Tiga kali ia mencoba melihat tatapan bocah ini, dan tiga individu nampak di hadapannya. Sepertinya, masalah baru terpapar jelas di hadapannya

TBC

1) Harry Potter dan Batu Bertuah, hlm 171