Disclaimer: Naruto milik Masashi Kishimoto.

Standard warning applied. AU. OOC. Rate M for Mature content. i warn ya.

so, happy reading!


"Ke ruanganku sekarang, Yamanaka-san. Bawa berkas-berkas yang baru kutandatangani tadi. Kupikir ada yang salah dengan berkasnya."

Kurasa yang yang salah itu adalah otakmu, Uchiha-san! pikir Ino yang tak habis pikir dengan kelakuan menyebalkan atasannya sendiri.

Ino langsung menutup interkomnya dengan gusar tanpa mengatakan apa pun untuk membalasnya. Dia sama sekali tidak peduli jika bosnya itu akan menganggap bahwa Ino adalah sekretaris yang tidak tahu apa itu pentingnya bersikap sopan terhadap atasan. Persetan dengan Uchiha Sasuke! Ino merasa perutnya melilit memikirkan betapa menyebalkan tingkah laku atasannya tersebut. Dari sekian banyak hal, kenapa harus dia yang kena sial.

Kenapa juga Sasuke sepertinya suka sekali mencari-cari kesalahan sekaligus alasan untuk membuat Ino menghadap ke ruangannya. Bikin jengkel saja.

Sambil mengembuskan napas kasar, Ino setengah hati bangkit dari posisi duduknya, dan membawa serta setumpuk berkas yang dimaksud oleh bosnya itu dengan perasaan menyebalkan yang tercetak jelas di wajah cantiknya. Dalam pandangan Yamanaka Ino, Uchiha Sasuke hanyalah seorang cassanova yang beruntung dan senang memanfaatkan sebuah kesempatan di depan matanya. Dia tahu siapa Uchiha Sasuke jauh sebelum dia bekerja sebagai sekretarisnya di perusahaan ini.

Tidak ada yang bilang padanya bahwa Direktur anak cabang Uchiha yang satu ini ternyata sangat menyebalkan, Ino benci akan kebodohannya yang percaya pada Haruno Sakura saat temannya itu mengatakan padanya bahwa pimpinan perusahaan tempatnya bekerja adalah seorang laki-laki pendiam dan dingin. Iya, Sasuke memang dingin, tapi tidak pendiam! Sakura jelas tidak bisa dipercaya soal penilaiannya terhadap seseorang yang salah besar.

Ayahnya—Yamanaka Inoichi—adalah orang pertama yang membuat Ino terjebak di dalam perusahaan milik Uchiha ini. Terjebak menjadi sekertaris Uchiha Sasuke. Padahal ayahnya seharusnya memberinya tempat di perusahaan keluarga Yamanaka menggantikan posisi ibunya mungkin, tapi yang ada Ino malah dipaksa bekerja di tempat orang lain. Tentu saja Ino tahu alasan di balik semua ini. Memang benar ada sebuah konspirasi terselubung di antara dua kepala keluarga yang berteman sudah sangat lama dan ingin persahabatan itu tetap terjalin dengan baik.

Dan juga siapa yang tidak tahu bahwa sebuah pernikahan bisa mempererat jalinan bisnis antar perusahaan?

Ayahku menjadikanku tumbal, pikir Ino waktu pertama kali Inoichi berusaha meyakinkannya sekaligus mengancam.

Itulah alasan mengapa antara Ino dan bosnya tidak perlu yang namanya kesopanan atau apalah itu. Dan karena alasan itu jugalah yang membuat Sasuke selalu berusaha menggodanya di setiap kesempatan tanpa tahu malu sebab merasa Ino sangat menantang untuknya. Ino berdehem mencoba menormalkan suaranya, kemudian mendorong pintu itu dan meremas map dalam pelukannya yang seperti beban. Jarak ruangannya dan Uchiha Sasuke memang tidak jauh, sebenarnya masih satu ruangan sih, hanya disekat oleh tembok yang di atas pintunya tertulis dengan huruf yang di bold—tapi entah kenapa langkahnya terasa panjang dan berat sekali.

Ketika pintu itu terbuka, sepasang bola mata berwarna hitam gelap langsung mengintimindasinya begitu dia berjalan mendekat ke arah atasannya yang sedang duduk dalam diam di kursi kerjanya dengan ekspresi ganjil yang aneh.

Ino mengernyitkan dahinya terganggu, balas menatap Sasuke dengan galak sambil berkata, "Ini berkas yang anda minta, Uchiha-san." Sasuke bergeming, hanya sebelah sudut bibirnya yang bergerak untuk menyeringai. Ino selalu merasa bulu kuduknya merinding, rasanya dia tidak suka dengan senyuman itu. "Jangan menelanjangiku dengan tatapanmu, Uchiha-san!" ujarnya geram, memperingatkan bahwa apa pun yang sedang Sasuke lakukan ini sangat amat mengganggu.

Wajah Ino mulai memerah karena kesal, dan hal itu entah kenapa malah membuat seringai di bibir Uchiha bungsu itu semakin lebar. "Wah, asal kau tahu saja. Sebenarnya aku lebih suka kau telanjang sekalian, Yamanaka." Katanya sarkastik, seringai menyebalkan itu masih terukir di bibirnya yang kissable. Ino benci mengakui bahwa Sasuke punya bibir yang nyaris sempurna.

Ino menanggapinya dengan tersenyum sinis. Berusaha mengontrol emosinya yang sebenarnya mudah meledak agar tidak benar-benar meledak. Dia harus punya pengendalian diri yang bagus agar Sasuke tidak merasa di atas angin karena pria itu tahu bahwa dirinya berhasil mengganggu. Memang selalu seperti ini, Uchiha Sasuke akan selalu menggodanya dengan perkataan yang kelewat vulgar yang membuat Ino harus menyiapkan selusin stok kesabaran dalam hatinya. Apa laki-laki seperti ini yang ayahnya inginkan untuk menjadi suaminya? Laki-laki yang terang-terangan mengajakku naik ke atas ranjangnya?

Persetan dengan pesonanya yang harus Ino akui memang memikat. Atau karirnya sebagai CEO yang terbilang cemerlang dan diakui dalam berbagai majalah bisnis. Karena sekali lagi, untuk Ino, Sasuke hanyalah laki-laki hidung belang yang kelihatannya suka mematahkan hati perempuan yang memujanya.

Jangan kira selama menjabat sebagai sekretarisnya selama sebulan lebih ini Ino tidak tahu tentang skandal-skandal yang dilakukan pria itu dalam ruangannya. Beberapa orang wanita datang tanpa membuat janji atau punya kepentingan pribadi dengan Direkturnya selama beberapa kali dalam sebulan ini. Ino tidak tahu siapa wanita-wanita itu, dan tidak penting juga untuk tahu siapa mereka. Urusan pribadi itu biasanya terjadi selama beberapa jam di ruangan bosnya pada saat jam kerja. Dan Sasuke selalu berpesan sebelumnya padanya bahwa lelaki itu tidak ingin ada seseorang masuk dalam ruangannya atau dalam bahasa lainnya adalah tidak ingin diganggu.

Sungguh, tidak perlu menjadi jenius untuk tahu kegiatan sampingan seperti apa yang dilakukan pimpinannya itu, melihat dari cara wanita-wanita itu mengedipkan matanya atau bahkan mencium pipi Sasuke secara terang-terangan di depan pintu di tempat di mana bisa melihat. Mungkin para dewan harus mempertimbangkan mengenai perihal pemasangan CCTV juga pada ruangan tempat bosnya bekerja ini.

"Oh ya? Kalau begitu, kau bermimpi seumur hidupmu, Uchiha-san ," desisnya tajam setelah kembali menemukan dirinya.

Sasuke bangkit dari posisinya, suara langkah sepatunya yang menggema terdengar mendekat ke arahnya secara perlahan. Ino meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia tidak merasa gentar. Laki-laki seperti Sasuke harus dihadapi dengan berani, karena demi harga dirinya, Ino tidak mau dirinya menjadi mudah ditaklukan oleh pesona sang Uchiha. Jika Sasuke memang ingin tidur dengannya, maka biarkan pria itu berusaha lebih keras agar Ino mau mengabulkannya. Lagian Sasuke bukan tipenya, aku Ino.

"Benarkah?" Ino menahan napasnya untuk beberapa detik saat menyadari bahwa lelaki itu berdiri terlalu dekat dengannya, dan perlahan memangkas jarak. "Sungguh, Yamanaka ... Sifat sok jual mahalmu ini benar-benar menghiburku." Sasuke terkekeh pelan, tangannya terangkat dan menyentuh rahang Ino agar wajah perempuan itu jadi semakin mendekat padanya.

Wajah Ino sudah merah padam. Dia bahkan bisa merasakan embusan napas Sasuke yang sensasinya terasa membakar di wajahnya. Akal sehatnya memperingatkan bahwa jarak ini terlalu dekat, dan Ino bersumpah dia tidak akan segan-segan menampar wajah atasannya itu kalau Sasuke berani berbuat lebih dari ini. Seperti tiba-tiba mencium misalnya.

"Lepaskan tanganmu dari wajahku, Uchiha-san ..." Sialan. Ino bahkan bisa mendengar suaranya bergetar mengkhianatinya dirinya lantaran merasa takut sekaligus marah pada waktu yang bersamaan. "Kau pikir kau siapa hm?" tambahnya, sambil mengigit bibir bawahnya menahan emosi.

Sasuke menahan napasnya selama beberapa detik. Menyadari bahwa dia nyaris kehilangan kontrol untuk tidak membungkam bibir itu dengan bibirnya. Betapa Yamanaka Ino mampu menyulut gairahnya hingga ke ubun-ubun hanya karena perdebatan main-main seperti ini. Sungguh menarik.

Sejak awal Sasuke sudah tahu kalau perempuan pirang itu agak berbeda dari perempuan-perempuan lain yang pernah singgah di hidupnya (jelas saja berbeda, sebab perempuan itu menolaknya mentah-mentah dan membuat harga dirinya sebagai lelaki terusik). Bahkan Sasuke menemukan dirinya tidak menolak (atau sebenarnya mungkin tidak peduli, atau apalah itu) ketika dia tahu ayahnya berniat menjodohkannya dengan putri tunggal Yamanaka. Yang mana kedua belah pihak sepakat bahwa perjodohan itu ingin terlihat alami sebisa mungkin hingga membuat perempuan itu kini berakhir di perusahaan ini sebagai sekretaris pribadinya.

Sasuke jelas tidak pernah menolak barang sebagus ini. Dlihat bagaimana pun Yamanaka Ino punya kualitas di atas standarnya; cerdas, keras kepala, dan seksi. Bukan Uchiha Sasuke namanya jika pada akhirnya dia tidak bisa membuat si pirang Yamanaka terjerat pada kabut pesonanya. Sasuke yakin suatu hari Ino pasti akan luluh juga, dan dia tidak sabar menunggu hari itu datang.

"Aku tidak sabar melihat bagaimana nanti kau akan menjilat omonganmu sendiri, Yamanaka."

Sasuke tersenyum. Sebuah senyuman meremehkan yang sangat menyebalkan dan membuat Ino membuang muka karena merasa muak. Menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan, Ino mulai menghindari Sasuke dan melangkah maju untuk meletakan map dalam pelukannya ke atas meja. Lalu, tanpa berpikir lebih jauh, dia mundur beberapa langkah menjauh.

"Kupikir tidak ada lagi yang harus dibicarakan," ujarnya tegas. Sebelum akhirnya Ino membalik tubuhnya dan tanpa ragu berjalan keluar. Sebelum benar-benar meninggalkan ruangan itu, melalui ekor matanya dia melihat Uchiha Sasuke yang masih memasang senyum menyebalkan tersungging angkuh di bibirnya.

Tidak, tidak akan! Ino mencengkram bagian depan blazer-nya, dan merasakan debaran di jantungnya yang tidak normal.


Hal yang paling tidak disukai oleh Uchiha Sasuke adalah ketika dia terjebak di dalam keadaan di mana dia tidak tahu harus mengambil langkah seperti apa agar kelak tidak menjadi sebuah penyesalan baginya.

Menggoda sekretarisnya yang seksi memang menjadi hiburan tersendiri untuknya sebagai pengalihan. Harus Sasuke akui bahwa menggangu Ino belakangan ini terasa lebih menyenangkan karena sedikit banyak bisa menghibur suasana hatinya yang buruk. Tapi hal itu tidak lantas membuatnya keluar dari permasalahan yang menjeratnya ini.

Sebagai seorang pria berusia dua puluh tujuh tahun yang sedang menuju kedewasaan dan hampir berdiri di puncak karirnya seolah dunia hampir dalam genggamannya, bisa dibilang Sasuke belum punya cukup banyak pengalaman dalam hubungan percintaan. Dia merasa seperti seorang yang buta yang penuh keraguan dalam dirinya sendiri jika menyangkut soal percintaan. Untuk pertama kali di tahun ini, Sasuke berdiri menatap keadaan luar gedung perkantoran dari ruangannya dengan perasaan yang bimbang.

Jam makan siang sudah 20 menit berlalu dan dia masih sibuk dengan memikirkan apa yang sebaiknya harus dilakukannya atau tidak. Sasuke menyenderkan tubuhnya dengan lesu, seolah raganya ada di sini tapi pikirannya melayang entah kemana. Kejadian beberapa waktu lalu berputar-putar dalam kepalanya seperti roll film yang rusak. Empat hari telah berlalu sejak perempuan itu memintanya untuk memilih dan dia tidak tahu apa dia bisa memilih.

Bagi Sasuke, cinta adalah wujud kebebasan yang lain. Perempuan itu satu-satunya yang dirasa pantas dipertahankan selama lima tahun belakangan ini, meski dia tidak memungkiri entah berapa kali dirinya bermain api di belakang kekasihnya. Wanita itu pasti tahu, tapi anehnya dia tidak pernah mempermasalahkan atau cemburu buta karena hal itu.

Sasuke pikir selama ini hubungan mereka baik-baik saja, atau hanya dia yang berpikir begitu. Kekasihnya itu adalah perempuan yang membuatnya jatuh cinta oleh kemandirian dan sifat dewasanya yang tidak membuat Sasuke terkekang. Perempuan itu memberinya kebebasan yang tidak pernah dia dapatkan dari mantan-mantannya sebelumnya. Sasuke tidak begitu yakin tapi dia tahu bahwa dia mencintai wanita itu. Namun cinta saja kelihatannya tidak cukup membuat Sasuke berani mengambil langkah untuk lebih serius dan mungkin kehilangan sesuatu akibat keinginan wanita itu.

Sasuke ingat jelas kejadian hari itu.

"Aku sudah tiga puluh tahun, Sasuke. Aku ingin menikah, aku juga sama seperti wanita lainnya yang ingin membangun sebuah keluarga," Wanita itu kelihatan sedih, dengan suaranya yang tegas dia melanjutkan, "Aku juta butuh kepastian akan dibawa kemana hubungan ini. Selama lima tahun aku menunggumu melamarku dan tidam pernah menyinggung perihal keinginanku ini, dan kupikir sekarang penantianku sudah mencapai batasnya. Kau memang tidak akan tahu jika tidak diberitahu. Jika kau memang mencintaiku seperti yang selalu kau katakan, kuharap kau memikirkannya dengan benar kali ini."

Sasuke menatap perempuan itu dengan ekspresi yang tidak dapat dijelaskan. Seperti ada batu yang baru saja mendarat keras di wajahnya dan membuatnya seketika merasa depresi. Dia tidak percaya kalau akhirnya pembahasan mereka bisa sampai pada tahap ini. Sasuke ingin berharap kalau wanita-nya hanya sedang mengigau akibat efek wine yang mereka minum sebelum bercinta tadi. Sasuke menunggu tapi keadaan tidak lantas menjadi seperti harapannya.

"Apakah dengan kamu tahu bahwa aku mencintaimu saja tidak cukup? Aku bisa memberikan semua yang kamu mau, segalanya—asal jangan hal itu. Aku belum memikirkan pernikahan sama sekali. Bukankah hubungan kita baik-baik saja selama ini?" akunya jujur, berusaha membawa perempuan itu dalam dekapannya namun yang didapatkannya adalah sebuah penolakan.

Sasuke hanya diam seperti orang dungu melihat perempuan itu terlihat kecewa dan meninggalkannya begitu saja di dalam kamar apartemennya tanpa mengatakan apa pun dengan air mata yang menggenang di sudut matanya.


Jam sudah menunjukan pukul tujuh malam. Entah sudah yang keberapa kali Ino menguap dengan wajah suntuk di mejanya sementara matanya masih sibuk menatap layar laptop di depannya dengan tubuh yang lelah. Belakangan ini pekerjannya menumpuk sekali. Uchiha Sasuke benar-benar membuat Ino mengurus segalanya, seperti Ino yang menangani urusan keuangan semacam tagihan kartu kredit tiap bulan yang isinya pengeluaran dan kebutuhan pribadi Sasuke sehari-hari yang tagihannya sampai di meja kerjanya dan juga memikirkan hadiah untuk setiap kolega bisnis lelaki itu.

Pria itu benar-benar tahu bagaimana cara mempekerjakan sekretarisnya untuk menghandle segala hal. Ino mengerang, dia suka pekerjaannya tapi tidak suka bekerja di bawah Pimpinan menyebalkan seperti Uchiha Sasuke.

Malam ini dingin. Ino hanya perlu menyelesaikan anggaran biaya perjalanan dinas yang akan dilakukan bosnya itu minggu depan setelah itu dia bisa pulang ke rumahnya. Tidak ada yang ingin dilakukannya selain bergulat dengan kasurnya yang empuk dan nyaman. Ino menguap lagi, sebenarnya dia butuh segelas kopi tapi malas sekali rasanya berjalan ke pantry .

Keadaan ini ternyata tidak bisa menjadi lebih baik lagi.

"Buatkan aku segelas kopi, Yamanaka."

Ino tersentak mendengar suara yang datang bersamaan dengan bunyi pintu yang dibuka. Sasuke berdiri di sana, dengan wajah yang mengantuk seperti habis bangun dari tidur dan agak sempoyongan sehingga lelaki itu bersandar pada dinding. Ino dibuat kaget, tentu saja. Dia tidak tahu kalau ternyata bosnya itu belum pulang dan masih berada di dalam ruangannya sejak tadi.

"Kopi hitam atau kopi susu?" tanyanya malas, matanya beralih ke layar laptopnya lalu ke Sasuke lagi secara bergantian.

"Kopi ... hitam." Pria itu mulai berjalan mendekat. Kemejanya kelihatan berantakan dengan dua kancing paling atas yang terbuka sementara jas yang selalu dipakai pria itu entah hilang kemana.

Ino mendengus, "Tolong jangan dekat-dekat, Uchiha-san," dia memperingati sambil melirik Sasuke dengan ekor matanya yang memicing tajam. Berdebat dengan Sasuke adalah hal pertama yang tidak diinginkannya malam ini.

Jadi setelah menyimpan file dokumennya, Ino bangkit berdiri, hendak berjalan dengan setengah hati menuju ke pantry untuk membuatkan segelas kopi, atau mungkin dua gelas dan yang satunya lagi untuknya. Tapi sebuah tangan malah mencengkram lengannya.

"Tunggu dulu," ujar Sasuke serak. Ino membelakan matanya ketika dia menyadari sesuatu. Ada bau alkohol mengguar dari tubuh atasannya itu. Sasuke mabuk, pantas saja penampilannya kacau sekali dan tidak terkendali seperti biasanya.

Bos macam apa sih yang mabuk saat bekerja? Oh iya Ino baru ingat kalau bosnya ini bahkan bisa bercinta di jam kerja, jadi seharusnya dia tidak perlu heran mendapati pria itu mabuk. Ino menatap Sasuke dengan gusar, melepaskan cengkraman lelaki itu di lengannya dengan perlahan.

"Ada apa? Kubuatkan kopi segera. Tunggu di sini." Pria itu tidak merespon, matanya menatap Ino tajam. Ino membalas tatapan itu dan mencoba memahami apa kemauan atasannya itu tapi tidak berhasil. Jadi dia mendengus dan bertanya lagi, "Ada apa sih?"

"Sejak kapan kamu menjadi begitu rumit?" Sasuke kini semakin mendekat, sorot matanya berubah dari tajam lalu mengkilat marah. Ino berjalan mundur pelan-pelan, menatap Sasuke dengan heran dan berharap tidak akan ada hal-hal buruk yang terjadi, seperti diperkosa mungikin (tidak, tidak. Ino menggeleng dan merasa mual menyadari apa yang dipikirkannya barusan). "Aku mencintaimu, sialan!"

Ino terpojok di mejanya, wajahnya memerah karena kesal dan kaget. Sasuke menghimpit tubuhnya sehingga Ino berusaha mendorong lelaki itu menjauh dengan tenaga yang dipusatkan di tangannya. "Sadarlah, uh sial, Uchiha!" umpat Ino ketika lelaki itu menarik kepalanya dan tiba-tiba memeluk Ino erat sekali. Bau alkohol yang bercampur dengan parfum maskulin langsung berdesak-desakan di hidungnya.

"Eh?" Perempuan itu kehilangan keseimbangan dan tubuhnya nyaris terjungkal jika saja tidak ada meja di belakangnya. Suara dengkuran halus samar-samar terdengar di telinga Ino. Butuh waktu untuk menyadari kalau ternyata pria itu tertidur begitu saja dengan keadaan mendekap tubuhnya. Ino menahan napas dengan wajah yang masih memerah. Merasa bingung antara ingin marah atas kelancangan atasannya itu atau mengalah dan melupakan yang dilakukan lelaki itu begitu saja.

Pertama-tama dia mendorong Sasuke agar melepaskan pelukannya. Sebenarnya Ino tidak suka dipeluk oleh orang asing seperti ini. Tapi yang dilakukannya justru membuat masalah yang lain, sebab tubuh lelaki itu jatuh begitu saja ke atas lantai, dengan suara debuman yang cukup keras sampai membuat Ino sadar apa yang baru saja dilakukannya sangat tidak berperikemanusiaan dan mungkin dapat menyebabkan atasannya itu kenapa-napa.

Sambil buru-buru berjongkok dan memeriksa kepala Sasuke dengan cemas lantaran takut kalau yang dilakukannya tadi membuat bosnya terluka atau cidera. Ino mulai berpikir Sasuke sepertinya pingsan, bukan tidur sebab lelaki itu tidak langsung sadar setelah tubuhnya terhempas cukup keras di lantai.

Orang macam apa sih dia?

Untuk sesaat Ino berpikir apa yang harus dilakukannya dan dia tidak boleh panik. Dia bisa saja tidak peduli dan kembali menyelesaikan pekerjaannya lalu pulang dan membiarkan Sasuke kedinginan karena bermalam di kantornya. Namun rasanya tidak tega juga. Dan demi rasa kemanusiaan dengan berat hati dia akhirnya memilih menghubungi pos satpam dan meminta bantuan satpam untuk membawa lelaki mabuk yang tidak sadarkan diri itu ke dalam mobilnya.

Ino mendesah, sekali lagi menatap Sasuke yang terbaring di kursi belakang mobilnya. Karena lelaki itu dia jadi tidak menyelesaikan pekerjaan yang harusnya selesai malam ini. Ino baru ingat kalau dia tidak tahu di mana tempat tinggal Sasuke, seingatnya Sasuke punya beberapa apartemen pribadi, salah satunya tentu saja berada di Tokyo, bekerja satu bulan di bawah pimpinan lelaki itu bukan berarti dia tahu segala hal tentang Sasuke.

Ayahnya—ya, ayahnya pasti tahu kediaman Uchiha, tapi kemudian Ino mengurungkan niatnya untuk bertanya ke ayahnya karena dia malas ditanyai macam-macam. Oh iya Ino baru ingat kalau sekitar seminggu yang lalu Sasuke pernah memintanya untuk membeli televisi baru dan dikirimkan ke alamat apartemennya. Ino langsung merogoh ponsel yang disimpan dalam tas, seingatnya dia tidak pernah menghapus pesan dari Sasuke.

Dia langsung menyalakan mesin mobilnya dan berharap tidak ada kejadian seperti ini lagi.


Sasuke mengerang dan hal pertama yang dilakukannya ketika kesadaran perlahan-lahan menguasai tubuhnya adalah mengerjapkan matanya, berusaha berpikir dan mengingat-ingat kenapa kepalanya terasa pusing sekali. Dia menatap langit-langit ruangan tempatnya berada dan mendengus menyadari kalau ini adalah kamarnya.

Ada kerutan di dahinya begitu dia menyadari kalau seharusnya dia masih berada di kantor, sedang meminum vodka hadiah dari Suigetsu yang diantarkan sendiri oleh si empunya ke ruangannya, pasti Suigetsu mencampur sesuatu dalam minuman itu sebab rasanya aneh sekali. Sasuke baru akan kembali melanjutkan tidurnya tapi kemudian dia menyadari ada seseorang yang terlelap di sampingnya. Seseorang berambut pirang. Dia terdiam untuk beberapa saat, menatap sosok yang ternyata adalah Ino yang tertidur lelap di sampingnya dengan pandangan bingung.

Apa yang sebenarnya semalam sudah mereka lakukan?

Dia mendengus lagi menyadari kalau perempuan itu masih berpakaian lengkap dengan blazer kantornya. Jadi mungkin tidak terjadi apa pun, pikirnya. Tangan Sasuke menyingkirkan rambut yang jatuh menutupi wajah Ino, keinginan untuk menggoda wanita itu kalah dengan rasa ingin tahunya. Sasuke lalu memencet hidung itu dengan cukup keras, sampai membuat si pemilik tersentak dan langsung bangun karena terganggu.

"Uh, apaan sih!" Ujar Ino yang belum benar-benar sadar dari tidurnya, mencoba melepaskan tangan yang usil itu dari hidungnya.

"Coba jelaskan kenapa aku ada di sini, dan kenapa kau juga ada di sini. "

Suara Sasuke membuat Ino yang sedang mengusap nyeri di hidungnya langsung memperoleh kesadaran penuh. Dia langsung duduk di kasur, dan menunjuk Sasuke tepat di wajah, merasa kesal karena pria itu sengaja membuatnya kaget.

"Jangan berpikir macam-macam. Kau mabuk dan pingsan di depanku, aku hanya mengantarmu ke apartemenmu," Ino mengatur napasnya yang megap-megap, seharusnya dia langsung pulang saja semalam dan tidak perlu merasa kasihan. Sasuke menatapnya dengan tatapan menyelidiki yang sangat menyebalkan, "lalu saat aku susah payah menyeretmu ke kamar, kau menahanku! Kau tiba-tiba memelukku dan memohon agar aku jangan pergi, kau mengoceh terus—"

"Cukup." Sasuke memotong ucapan Ino, pria itu bangkit dari kasurnya dan meninggalkan Ino begitu saja di kasur dan menolak untuk membalas tatapannya.

Ino berdecak kesal, seenaknya saja Sasuke itu memotong ucapannya. Tapi kemudian Ino tersenyum miring—apa pria itu merasa malu? Jadi Sasuke punya malu juga, pikir Ino sambil memutar bola matanya tidak peduli.

to be continue.


Note:

Pertama-tama saya mau bilang hallo, karena udah lama rasanya ga nulis dan ternyata saya kangen juga hshsh. Banyak yang harus saya pelajari dari ulang lagi saat menulis ff sebab saya kaku banget. Dari sekian banyak hal, saya kepengen nulis SasuIno dan ternyata saya belum pernah nulis pair ini meski saya sudah cukup lama menyukainya hehe.

Temanya pasaran banget kan ya? /pundung. Saya gak janji bisa update cepat atau sejenisnya, tapi saya akan berusaha untuk nggak menelantarkan FF ini seperti FF saya yang sudah2. Terakhir, makasih banyak sudah membaca, kalau sempat silakan beri masukan di kolom review ya, sebab saya butuh itu. terimakasih banyak:)