Oppai-do Sennin (Pertapa Jalan Dada)
Rate: M buat jaga-jaga.
Genre: Adventure. Humour. Drama.
Disclaimer: Highschool DxD, Naruto & segala bentuk cerita maupun unsur dari anime/manga manapun bukan punya saya. Semuanya milik masing-masing pengarang yang bersangkutan.
Summary: Shinobi gugur dalam melaksanakan misi hampir setiap saat, bahkan yang sekelas dirinya. Ia sudah menyambut ajal dengan pasrah, menutup mata sambil tersenyum. Tongkat estafet sudah ia sampaikan pada generasi berikutnya. Tapi perjalanannya belumlah selesai.
WARNING: 1st fic. Typo(s). AU. Harem. Semi-canon. Alur loncat2/Bergeser. OC. OOC. Strong/Not Godlike! Issei. Serious! Issei. Occasional Lemon/Lime. Include elements from various anime/manga. Etc.
'Thinking'
"Speaking"
"Creature talk"
'Creature think'
-keterangan tempat/waktu/situasi-
(POV/Flashback)
[Sacred Gear]
[Sacred Gear Talk]
Jutsu/Jurus/Sihir/Teknik
*Sfx!*
New Life – Prologue
-Suatu tempat di Amegakure-
'Shinobi bukan dilihat dari cara hidupnya, tapi kematiannya. Kehidupan shinobi dinilai bukan dari bagaimana menjalaninya, tapi dari apa yang sudah dilakukannya. Kalau kuingat lagi, ceritaku penuh kegagalan… Untuk membayar kegagalanku selama ini, aku akan meraih prestasi luar biasa. Mati sebagai shinobi yang hebat! …Tapi, 'akhir' itu harus dengan cara mati seperti ini. …Menyedihkan… Tak kusangka, ini akan jadi akhir dari kisah kepahlawanan Jiraiya. Cerita konyol…'
Jiraiya. Sennin Katak. Anggota Sannin, trio shinobi yang menjadi legenda hidup dalam dunia shinobi. Pria termahsyur ini tewas di tangan mantan muridnya sendiri. Jasadnya tenggelam jauh di kedalaman samudera seiring kesadaran yang mulai meninggalkan tubuhnya.
'Dengan ini… Mungkin kisah kepahlawanan Jiraiya akan lebih disukai. Bab terakhir… Bab katak dalam tempurung musnah di lautan. Fu fu… Cukup mengagumkan… Mengagumkan… Nah… Sudah saatnya meletakkan pena. Oh, iya… Judul apa yang bagus untuk sambungannya? Benar juga… "Kisah Uzumaki Naruto". Ya, judul yang bagus…'
-Suatu tempat di celah antar dimensi-
Sosok naga kolosal berwarna merah bagai darah tengah berenang mengarungi celah antar dimensi seolah sedang bermalas-malasan. Tetapi untuk pertama kali sejak menghuni tempat itu, ia merasakan sebuah hawa kekuatan yang melintas seperti bintang jatuh. Hawa kekuatan itu menghilang sama cepatnya seperti saat muncul.
Celah dimensi merupakan tempat yang hampa dan tak bisa dimasuki sembarang orang. Mereka akan mati ditelan kehampaan tanpa kekuatan yang mumpuni Bahkan, sejak sang naga raksasa mendiami tempat itu, tak seorangpun berani menginjakkan kaki di sana selama berabad-abad. Kalau ada yang masih nekat masuk, niscaya kehilangan nyawa di tangan naga kolosal bernama Great Red tersebut. Ia tidak suka kediamannya dimasuki siapa pun. Tempat ini adalah teritorinya, dan masuk berarti mati.
"Kenapa bisa ada yang tiba-tiba muncul dan menghilang dalam tempat ini?" Great Red bergumam penuh tanda tanya, sebelum garis lengkung yang membentuk senyuman terkembang di wajahnya. "Apa lagi rencana yang ditinggalkan God of the Bible kali ini…?"
(Jiraiya's POV)
"U-uuhhh…"
Aku mengerang lemah. Kelopak mataku perlahan-lahan mengerjap terbuka, memperlihatkan sebuah kamar yang terasa asing. Spontan aku terlonjak duduk mengingat peristiwa terakhir dalam kepalaku, secara refleks memeriksa luka-luka yang seharusnya membuatku tewas. Betapa terkejutnya aku saat menyadari kalau lima luka tusukan benda tajam yang menembus tubuhku lenyap tanpa bekas. Tidak cuma itu, lengan kiriku yang terputus sampai siku juga sudah tersambung kembali. Tidak ada bekas luka apa pun di tubuhku, seolah-olah aku sembuh secara ajaib.
'Bagaimana bisa…? Aku tak memiliki kemampuan regenerasi super cepat seperti Naruto, dan bahkan anak itu tidak mungkin menumbuhkan lengan yang putus. Dia dirasuki rubah, bukan kadal.'
"Anda sudah bangun rupanya…" Suara lembut seorang wanita terdengar merayap masuk dalam telingaku.
(Jiraiya's POV end)
Ketika menoleh ke asal suara tersebut, Jiraiya melihat seorang wanita berambut kecoklatan yang membawa baskom sedang berdiri di pintu. Ia memandangi wanita yang tengah berjalan masuk dengan bingung. "Di mana aku?"
"Tenanglah, anda berada di rumah kami. Suamiku menemukan anda tergeletak pingsan di depan pagar rumah kami, jadi dia membawa anda masuk." Wanita itu mendudukkan diri di sebelah Jiraiya sambil meletakkan baskom yang dibawanya. "Aku nyonya Hyodou."
"Ah, namaku Jiraiya." Kata Jiraiya menyebutkan namanya.
"Senang berkenalan dengan anda." Kata nyonya Hyodou tersenyum ramah, mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
"Sama-sama." Jiraiya menyambut uluran tangan itu.
"Sayang, apakah tamu kita sudah bangun?" Suara seorang pria terdengar berjalan memasuki kamar.
"Baru saja, suamiku." Sahut nyonya Hyodou.
"Ah, kalau begitu anda tuan Hyodou yang tadi menemukanku? Aku harus berterimakasih karena anda sudah menolong orang asing tidak dikenal." Jiraiya membungkuk sedikit pada si penolong yang kini memegang pundak istrinya.
"Tak usah berlebihan begitu, pak…" Ujar tuan Hyodou mengambang. Ia belum tahu nama tamunya.
"Jiraiya, suamiku." Sambung nyonya Hyodou.
"Ah, Jiraiya. Panggil saja saya pak Hyodou. Ngomong-ngomong makan malam sudah siap, anda bisa makan bersama kami di bawah kalau cukup sehat." Tawar tuan Hyodou. "Dan mungkin kita bisa mendengar cerita kenapa anda sampai pingsan di jalanan."
"Tidak masalah. Rasanya saya sudah cukup istirahat dan bisa berjalan sendiri sekarang." Kata Jiraiya mengangguk setuju, lalu mengikuti pasangan Hyodou menuju ruang makan di lantai satu.
-Usai makan malam-
Jiraiya duduk di ruang tamu menemani pak Hyodou yang sedang merokok. Nyonya Hyodou tampak sedang bermain dengan anak laki-laki mereka yang baru berumur tiga tahun bernama Hyodou Issei di ruang keluarga.
"Jadi Jiraiya, apa kau ingat kenapa kau pingsan di pinggir jalan seperti itu?" Tanya pak Hyodou memulai pembicaraan. Gaya bicaranya sudah lebih kasual karena di meja makan tadi Jiraiya cukup akrab dengan mereka seperti teman lama.
"Eh… Aku tidak yakin, sepertinya aku pingsan karena sudah beberapa hari tidak makan. Maklum, aku cuma pekerja serabutan yang hidup berpindah-pindah." Kilah Jiraiya setengah bohong.
Jiraiya tidak bisa menceritakan siapa dirinya pada keluarga ini, bisa-bisa dikira orang gila. Lagipula dia sudah merasa aneh ketika sempat melihat bayangan dirinya di cermin dekat ruang makan. Refleksi yang terlihat di cermin memantulkan sosok dirinya ketika masih berumur 30an, padahal dia tahu betul saat terbunuh oleh Pain umurnya sudah sekitar 50an. Meskipun tak yakin, dia menduga kalau dia entah bagaimana telah terbawa ke dunia lain dan dibangkitkan kembali.
"Sejujurnya, aku kehilangan ingatan karena kecelakaan tiga tahun lalu dan tidak ada yang menjemputku di rumah sakit. Aku cuma ingat namaku Jiraiya, tapi tak bisa ingat nama keluargaku. Setelah diizinkan pergi karena sudah sembuh, aku hidup berkelana dari bekerja serabutan di berbagai tempat. Aku baru sampai di kota ini kemarin, tapi belum makan karena uang simpanan terakhirku sudah habis."
"Amnesia? Kasihan sekali…" Timpal pak Hyodou. "Lalu dari sini kau mau ke mana? Ada tempat tinggal atau tujuan tertentu?"
"Yah, sebenarnya tidak ada… Aku juga tak punya uang sama sekali, jadi tak punya tempat menginap. Tujuan pun tak ada karena kehilangan ingatan."
Itu tak sepenuhnya salah. Dia punya uang ryo yang terbuat dari emas dan beberapa barang berharga yang pasti bisa ditukarkan menjadi uang dunia ini tersegel dengan fuuinjutsu di tubuhnya, tapi kalau tujuan atau tempat menginap memang tidak punya.
"Hm… Kalau begitu bagaimana kalau tinggal di sini untuk sementara? Setidaknya sampai kau bisa mendapat uang dan bisa menyewa tempat tinggal sendiri." Ujar pak Hyodou mengelus-elus dagunya. "Lagipula, aku juga sedikit bertanggungjawab karena sudah membawamu ke rumah kami. Kalau kami mengusirmu keluar begitu saja, apa gunanya aku menolongmu tadi? Bukankah lebih baik aku membiarkanmu saja di luar sana? Hahahahahaa…"
Jiraiya pun ikut tertawa mendengar lelucon pak Hyodou. "Aku sebenarnya tidak ingin merepotkan, apa benar tidak apa-apa?"
"Tentu saja! Aku serius, kok. Paling tidak, sampai kau cukup punya tabungan untuk berdikari, silakan saja tinggal bersama kami." Kata pak Hyodou mengangguk-angguk. "Aku yakin istriku tak keberatan. Ya kan ma?"
"Iya, suamiku. Tidak masalah…" Sahut nyonya Hyodou dari ruang keluarga. "Kalau berkenan, tinggal saja bersama kami untuk sementara Jiraiya!"
"Emm… Baiklah kalau begitu!" Kata Jiraiya sedikit membungkuk. "Saya berterimakasih atas satu kebaikan lagi dari kalian semua."
"Tidak usah terlalu resmi begitu… Kami senang kalau bisa menolong, kok…" Sahut pak Hyodou.
(Bersambung...)
