Akutagawa Ryuunosuke berjalan melewati koridor, matanya lurus ke depan tanpa memerhatikan sekitar. Hanya sesekali ia memberi senyuman tanpa arti pada biarawati yang berjalan melewatinya. Ia mendekati halaman bermain yang cukup luas, di mana anak panti asuhan bermain bersama. Ketika kakinya menginjak tanah di halaman, semua anak-anak menyadari kedatangannya dan menghampirinya dengan gembira. Akutagawa tersenyum, yang jelas hanya sebuah sandiwara sebagai seorang pastor yang bijak dan baik hati. Ia menggendong seorang anak berusia 3 tahun, bermain-main bersama mereka.
Ia melihat ayunan yang berayun karena suaranya yang berderit. Seorang anak berusia 14 tahun tidak ikut dalam keramaian itu. Ia hanya memandang ke bawah, menatap sesuatu yang jauh di pikirannya.
Akutagawa menurunkan anak yang digendongnya, menghampiri anak yang kesepian itu.
Anak itu mengangkat kepalanya, menatap wajah sang pastor yang dingin menatapnya seperti seorang penjahat.
"Jangan sendirian, ayo ikut denganku."
Setidaknya uluran tangan dan ajakan itu tidak sedingin kelihatannya.
Anak itu mengangguk, menerima uluran tangan itu. Tangan mereka saling berhubungan. Ia masih menundukkan kepalanya, masih takut untuk menatap ke depan.
Akutagawa mengajak anak yang lain untuk bermain bersamanya. Ia memiliki waktu luang yang lebih banyak hari ini hingga ia bisa bermain dengan anak-anak panti asuhan ini. Ia membacakan sebuah cerita, di mana anak-anak akan duduk mengelilingi dan mendengarkan ceritanya.
Hari ini pun, ia masih merasa bersandiwara sebagai seorang pastor. Ia tahu, bahwa ia tidak cocok menjadi seorang pastor.
Tidak akan pernah.
Setidaknya itu yang dipikirkannya saat ia menatap anak yang kesepian itu masih saja menundukkan kepalanya dan tidak mendengarkan ceritanya.
.
Awal mulanya tidak seperti ini.
Memang suatu berkah ia menjadi seorang pastor, namun suatu kesialan ia adalah seorang Alpha.
Untungnya, ia sampai saat ini masih belum bertemu dengan sang Omega, yang takutnya akan menghancurkan imannya. Katredal adalah tempat yang dikira baik untuknya, tempat untuk melawan hawa nafsunya sebagai Alpha yang lumayan besar. Akutagawa Ryuunosuke, 25 tahun, terus menahan hasrat ingin bercintanya dengan berdoa dan mengucapkan ayat-ayat suci. Lebih baik dari itu, hampir semua orang di katredal ini hanyalah berstatus Beta. Ia sudah cukup aman di sini, imannya tidak akan goyah.
Begitu. Tapi sepertinya hal ini tidak akan begitu lama.
Sekitar 3 minggu yang lalu. Dimulai saat ia mencium bau yang tidak begitu asing bagi instingnya sebagai seorang yang berkuasa di katedral ini.
Wajah anak itu memerah, peluh bercucuran di kulitnya. Ia duduk di sudut lorong saat malam hari setiap bulan bersinar. Akutagawa yang menemukannya ingin sekali memergokinya, bertingkah layaknya pastor yang menemukan anak asuhannya tidak tidur pada jam malam. Namun ia tidak melakukannya, setelah ia mendengar suara lirih anak itu mengucapkan Salam Maria setiap rintihannya.
Pada akhirnya, Akutagawa menghampirinya.
"Apa yang kau lakukan di sini? Kembalilah ke kamarmu."
Anak itu menggeleng, bibirnya tetap menyebut nama Tuhan. Suaranya nyaris tak terdengar, seolah bibirnya hanya bergerak tanpa satupun kata yang disuarakan. Berdoa di dalam hati, meminta kepada-Nya agar ia tidak lagi merasakan apa yang ia sekarang rasakan.
Akutagawa menghela nafas panjang. Mau tak mau anak ini harus pergi tidur. Ia ingin membawanya ke ruangan pribadi untuk diberi pencerahan rohani atau membawanya kembali d ke kamar. Namun tubuhnya tidak menurutinya lagi.
Hawa nafsu. Insting makhluk hidup. 2 hal yang harus dibuang jauh-jauh kalau ingin hidup dan mati sepihak.
Bau yang khas, semakin menguar kemana-mana. Anak itu bukan lagi anak laki-laki berusia 14 tahun yang dikenalnya sebagai anak biasa yang pendiam, namun tak jarang tersenyum pada siapapun. Ia menjadi seseorang yang berbeda, tak jauh dari kata 'mangsa'.
Entah apa yang dipikirkan sang pastor saat itu, namun ia yakin akan terjun langsung ke neraka setelah ia melakukan ini. Bibirnya yang kering bersentuhan dengan bibir yang lembut dan basah. Anak itu memberontak, namun luluh seketika saat seonggok lidah menariknya dalam panasnya birahi. Pelukan hangat nan erat diberikan, semakin memperkecil jarak mereka. Akutagawa pun membawanya ke ruangan lain, tak jauh dari tempat mereka sebelumnya.
Kapel.
Di sana, anak itu merintih kesakitan. Sakit di raga, sakit pula di jiwa. Ia tidak bisa mengatakan betapa ia bisa merasakan panasnya api nafsu yang menyerangnya. Ia sendiri pun hanya menutup mata, tidak ingin melihat patung-patung yang ada di sana menatapnya dengan tajam dan jijik.
Sesekali ia membuka mata, melihat sang pastor menatapnya datar namun agak sayu sementara pinggulnya bergerak menghantam isi perutnya, mengocoknya dengan penuh kasih. Air mata anak itu mengalir. Kulitnya menjadi dingin, tak peduli seberapa panas hawa yang diberikan untuknya.
"Bapa..." panggilnya lirih. "Kenapa...?"
Akutagawa yang mendengar itu berhenti bergerak. Ia hanya bisa diam sampai anak itu melanjutkan kata-katanya. Namun anak itu tidak lanjut berbicara, sehingga Akutagawa memeluknya sambil mengucapkan kata yang paling jarang dipakainya semenjak masa sekolah.
"Maafkan aku, Kudus. Maafkan aku, Bunda Maria. Maafkan aku..."
"Atsushi..."
Di malam bulan yang bersinar ini, mereka telah mengaku bahwa mereka telah ternoda.
Akutagawa juga, tak merasa pantas berada di hadapan Tuhan kembali.
.
Continued to Next Chapter
.
bukannya ngelanjutin fic yng udah lumutan malah ganti yang baru. maap, soalnya lagi sibuk ma sekolah juga. lalu, gara2 novel Remy Silado yang hlamannya Ampe seribu lebih bikin ku gak kuat ngelanjutin fic /lah.
untuk Sekarang nikmati saja dulu omegaverse AkuAtsu ini. sekarang aku mau otw lanjutin yang lama dulu.
mind to review?
