Disclaimer : Katekyo Hitman Reborn! hanya milik Amano Akira seorang—saya minjem doang karena nggak mampu bikin cerita kayak gitu, sumpah ;w; *digeplak*
AU, OOC, kalimat diulang-ulang, typo-is-everywhere, awa-lawalnya ngebosenin akhirnya abal dan sebagainya saya serahkan pada reader—nggak suka jangan baca, oke?
Pemuda itu terus melangkah cepat, nafasnya terengah. Sudah lama mengabaikan hujan yang membuat tubuhnya basah kuyup, mengabaikan berapa kali dia terpeleset atau terantuk batuan dan ranting, mengabaikan tubuhnya yang bergetar karena dingin—yang dia ingat hanya dia harus pergi sejauh mungkin dari hutan ini. Dia ingin keluar, sudah terlalu lama dia ada di sini. Menghabiskan setengah hidupnya menjadi kelinci percobaan keluarga mafia Estraneo. Dan sekarang dia ingin kebebasan, dia ingin bebas seperti seekor burung skylark. Estraneo Mansion bukan tempatnya, walaupun orang-orang Estraneo sudah berkali-kali mengatakan padanya—pada para percobaan yang ada di sana—"Merasa beruntunglah kalian karena kami masih mau menerima kalian. Tak akan ada yang mau menerima kalian di dunia luar. Bahkan keluarga kalian membuang kalian. Tempat ini adalah tempat kalian." mereka pasti salah. Tidak, dia tidak mau percaya kalau Estraneo Mansion adalah tempatnya—persetan dengan para hebivora yang percaya begitu saja pada mulut Estraneo itu, dia tidak mau percaya. Dia adalah skylark, dan tidak sepantasnya dikurung di tempat seperti itu.
Mengabaikan darah yang mengucur dari luka akibat terantuk batu dan ranting, mengabaikan rintik hujan yang tidak membantu—malah membuat lukanya makin terasa, mengabaikan helaian ravennya yang hampir menutupi panglihatannya, mengabaikan kakinya yang kebas karena terlalu kedinginan, mengabaikan keinginan tubuhnya untuk berhenti berlari dan mengistirahatkan diri di bawah pohon—dia terus berlari, mengabaikan segalanya. Dia ingin pergi dari sini, bahkan dia rela jika Tuhan mengambil nyawanya saat ini juga—asal dia bisa pergi menjauh dari tempat itu. Ada benarnya juga sebenarnya, Estraneo tua itu, bahkan keluarga kalian membuang kalian, dia sudah tak punya tempat untuk kembali. Beberapa kali pikiran itu membuat keinginannya untuk bebas goyah—tapi mengingat masih ada cara lain untuk pergi dari sana, yaitu kematian. Kalau memang dunia sudah tidak menerimanya, dia lebih baik mati daripada berada di sana. Tapi kalau—dia ingin membuktikan lebih dulu apa dunia memang benar sudah tidak menerimanya atau tidak.
Dan satu-satunya cara untuk tahu adalah keluar dari sini.
Entah untuk keberapa kalinya, kakinya tersandung—dan kali ini dia benar-benar terjatuh. Dia tahu, satu kali saja dia sampai jatuh ke tanah—itu berakibat fatal, dan benar saja. Tubuhnya tidak mau bergerak untuk bangun, padahal dia bisa melihat cahaya di depannya—sebuah titik kecil cahaya. Merutuk, dia mencoba menggerakkan tubuhnya lagi—dan tubuhnya sama sekali tidak mau menurut. Dengan frustasi, dia menggigit bibir bawahnya sendiri—sudah siap bunuh diri dengan menggigit lidahnya sendiri saat melihat kaki seseorang di depannya. Lehernya yang gemetar mencoba sebisa mungkin menghadap ke atas. Orang itu berjongkok di depannya, menatapnya ganjil. Sang pemilik rambut raven bisa melihat helaian biru menjuntai di bahu pemuda itu.
"Oya oya, malangnya."
Yang tengah terbaring telungkup di atas tanah entah kenapa merasa terejek mendengar suara siapapun itu di depannya. Tapi dia merasa takdirnya akan berada di tangan orang itu—juga entah apa alasannya. Yang berambut biru mengelus helaian raven basahpemuda di depannya pelan, terkekeh dengan kekehan yang terdengar seperti 'kufufufu' yang membuat merinding di tengah dinginnya hujan. Meskipun merasa terejek dan merinding mendengar tawa pria di depannya, yang berambut raven merasa sentuhan tangan yang mengelus rambutnya itu benar-benar lembut—seolah tak ada niat menyakitinya.
"Boleh kutahu siapa namamu?"
"...nama?"
Sebuah anggukan menjawabnya.
"A—aku..."
Hanya sebuah desisan pelan yang terdengar di telinga yang berambut biru, dia mendekatkan kepalanya ke pemuda di depannya.
"—Hibari Kyouya."
Entah sudah berapa tahun Hibari Kyouya tidak melihat cahaya matahari seterang ini. Dia mengernyit, mengerjapkan mata beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya. Jadi, dia pingsan tadi malam dalam pelariannya dari Estraneo Mansion—dan tidak ingat lagi apa yag terjadi. Sepertinya dia merasa mendengar ada suara pria yang membuatnya merinding—tapi dia tak ingat dengan benar. Mungkin hanya mimpi eh? Mimpi yang terlalu indah sampai-sampai terasa nyata, mungkin dia sebentar lagi mati? Dan Tuhan dengan baik hati memberinya mimpi indah sebelum mati. Hibari mengangkat tubuhnya, rasanya sakit—meski tak sesakit yang dia bayangkan sebelumnya. Menyibak selimut tebal yang menyelimutinya dan berusaha turun dari tempat tidur—
...
Sebentar.
Hibari mengerling ke sekelilingnya—sebuah ruangan. Tepatnya kamar. Dia melirik ke tubuhnya sendiri, kemeja biru kebesaran terpasang di tubuhnya sampai menutupi lututnya dan bawahnya polos tak tertutupi apa-apa selain perban yang membalut beberapa tempat di kakinya. Hibari turun dari tempat tidur, mengabaikan kakinya yang masih terasa sakit. Dia begitu penasaran ini dimana, siapa yang membawanya ke sini dan kenapa membawanya ke sini. Kakinya melangkah ke ruang yang dia yakini sebagai ruang tamu dan melihat seorang pria berambut biru yang terbilang panjang dengan pineapple hairstyle sedang membaca koran di sofa dengan secangkir kopi di tangannya.
Hibari sengaja membuat suara untuk menyadarkan orang itu tentang kehadirannya—dan benar saja. Pria berambut biru itu menoleh ke arahnya, rautnya agak kaget—lalu tak lama senyuman terukir di wajah tampan pria tersebut. Hibari agak sedikit tersentak saat melihat matanya berbeda warna—tapi wajahnya tetap stoic tak berubah.
"Kufufufu... buon giorno, Kyouya-kun~"
Pria itu meletakkan cangkirnya di atas meja dan melempar koran ke sisi lain sofa, lalu bangkit dan mendekatinya. Hibari butuh seluruh tenaganya untuk menahan diri agar tidak kabur—dan bagusnya berhasil dia lakukan. Yang berambut biru mensejajarkan tubuhnya dengan yang berambut hitam, dan saat itu juga Hibari menyadari ada yang aneh dengan mata kanan pria di depannya—yang berwarna merah.
Ada angka kanji 6 di sana.
Hibari terpaku.
"Oya? Ada apa hm, Kyouya-kun?" Tangannya menyentuh dahi Hibari yang tak bergerak sama sekali, "Demam-mu sudah turun, 'kan? Kufufufu, tak heran kau kena demam kalau berlarian di hutan semalam hujan-hujan begitu."
Tepisan didapat dari Hibari untuk tangan pria di depannya, menatap kedua iris dwiwarna itu tajam. "Siapa kau." Desisinya.
Jeda sejenak karena yang berambut biru tampak menikmati tatapan tajam dari pemuda berambut raven itu.
"Rokudou Mukuro, yoroshiku na~" jawab pria itu—Mukuro—dengan nada manja.
Hening.
Hibari menatap Mukuro kesal, lalu berbalik dan untuk meninggalkan pria berambut biru itu kembali ke tempatnya pertama kali bangun tadi—tapi langkahnya langsung terhenti begitu merasakan ada tangan besar yang menahan bahunya. Dia berhenti bergerak, lalu seketika tangan itu membalik tubuhnya ke belakang—kembali menghadap ke arah Mukuro.
"...apa lagi." Tanya Hibari, tapi alih-alih bertanya lebih dekat ke membentak.
"Bukan apa-apa. Aku hanya ingin melihat wajahmu," jeda sejenak, seringai berkembang di wajah Mukuro, "manis sekali, kufufufu~"
Meskipun tipis, rona merah merebah di kulit pucat Hibari, "A—apa-apaan..."
"Oya~ baik, baik~ istirahatlah kalau memang masih lelah, Kyou-kun. Dan kalau ingin ganti baju, ada di lemari—kalau bajunya kebesaran, akan kucari lagi untukmu nanti. Untuk sementara pakai yang ada dulu saja."
Begitu tangan Mukuro lepas dari bahunya, Hibari segela membalik tubuhnya dan melangkah meninggalkan Mukuro. Pria itu tersenyum menatap punggung kecil pemuda berambut raven itu sebelum menghilang di balik pintu yang dibanting. Beberapa saat setelah memasukkan tangan ke sakunya, Mukuro mengeluarkan ponselnya, menekan tombol call pada salah satu kontak.
"Daemon? Ah, ya kau benar anak itu ada padaku sekarang. Tapi aku tidak peduli berapapun harganya anak itu, jangan hubungi aku lagi untuk bertanya kapan aku akan memberikan anak itu padamu—atau langsung pada Estraneo itu."
Si Rokudou itu benar-benar menyiapkan pakaiannya di lemari. Hibari menatapnya agak sweatdrop sebelum mengambil salah satu kemeja lengan pendek berwarna putih yang lebih kecil dan celana panjang hitam. Mulai membuka kemeja birunya yang kebesaran, membiarkan kain berwarna biru itu melorot lewat bahunya dan jatuh ke lantai. Dia memakai kemeja putihnya, dan celana panjangnya lalu kembali merebahkan diri diatas tempat tidur.
Membalik tubuhnya ke samping, Hibari Kyouya langsung melihat ke arah jendela. Tapi alih-alih sinar matahari yang masuk lewat jendela yang Ia lihat, malah sebuah kertas menutupi jendela. Dia bangkit, mendekati jendela itu dan membukanya—mengambil kertas itu dan membawanya masuk. Sepertinya robekan surat kabar. Dia melebarkan kertas itu dan melihat isinya—bisa dilihat wajahnya sendiri ada di dalam surat kabar.
Shock melihatnya, Hibari melirik ke artikel di sebelahnya. Estraneo baru saja kehilangan seorang anggota famiglia-nya. Bagi siapa saja yang menemukan seperti gambar di samping ini harap segera menghubungi Estraneo untuk hadiah sebesar 180 juta yen. Hibari merutuk. Dia, Hibari Kyouya sama sekali bukan anggota Estraneo Famiglia—enak saja. Pintu kamar terbuka, dia melihat Mukuro masuk dan segera melipat surat itu, menjatuhkannya ke lantai dan menendangnya ke kolong tempat tidur.
"Kufufufufu, kenapa menatapku begitu, Kyou-kun?" Tanya Mukuro, tersenyum sembari mendekat ke arahnya.
Hibari menggeleng pelan, dia duduk di samping tempat tidur dan Mukuro duduk di sebelahnya. Yang berambut hitam membiarkan Mukuro menggeser kepalanya dan meletakkannya di bahu yang berambut biru. Jantungnya berdegup kencang, benaknya kabur ke surat kabar yang saat ini berada tepat di bawahnya. Mungkinkah surat kabar itu sama dengan surat kabar yang dibaca Mukuro tadi pagi? Mungkinkah Mukuro ini hanya mengelabuinya dengan trik murahan agar bisa mengembalikannya ke Estraneo Mansion dengan imbalan 180 juta yen?
"Tak akan ada yang mau menerima kalian di dunia luar. Bahkan keluarga kalian membuang kalian. Tempat ini adalah tempat kalian."
Hibari memejamkan mata, merasakan tangan besar Mukuro mengelus rambutnya. Sebisa mungkin dia melupakan kata-kata Estraneo tua itu—dia tidak mau percaya. Tapi dia juga tidak boleh terlalu percaya pada dunia luar—karena tak ada yang mau menerimanya di dunia luar.
TbC
A/n : Jadi~ akhirnya saya buat juga 8D Ini ide udah dua bulan lalu baru diketik sekarang soalnya baru ada mood, ehehehehe~ 8D *ditendang* berhubung ini pengalaman pertama jadi—maklumin lah ya kalo abal D': bukan kalo kok—emang abal uwu /apakamu/
Dan tolong abaikan Estraneo itu; saya kehabisan ide buat nama 8)) Jadi pakai yang ada aja lah ya uwu Kan yang penting berhubungan sama Muku juga-/hah/ /nggaknyambungoke/ *ditendang*
Okelah, gitu aja bacotannya 8D RnR? Boleh nggak? Boleh dong ya 8D #KOKMAKSA *ditendang*
