Author lagi tergila-gila ama film CSI. Gini jadinya. Hahaha. Dan fandom yang sial kena imajinasi gila author adalah -Man. Sebenarnya inspirasinya muncul pas nonton film Numb3rs ke episode-entah-berapa. Nikmati saja ya...
.
.
Disclaimer: Hoshino Katsura. Atau Katsura Hoshino. Entahlah.
Rate: T
Warning: AU, OOC, Allen's POV, gaje, etc.
.
.
.
"Allen! Cepat turun! Aku buatkan sandwich untuk sarapan. Kalau lama, kuhabiskan, loh!" teriak ayah dari dapur. Dia tahu kelemahanku.
"Tunggu! Tinggal pakai sepatu," balasku. Setelah selesai berurusan dengan sepatuku, aku pun keluar dari kamar sambil menggendong tas. Hampir lupa. Belum pakai dasi! Hari Senin adalah hari yang buruk untuk sekolah.
TING! TONG! TING! TONG!
Itu bunyi bel. Ada tamu. Aku terdiam sebentar di depan pintu kamar, sebelum mengarah ke tangga. Konsentrasi memakai dasi.
DOORR!
Suara kembang api. Atau tembakan? Asal suaranya di bawah. Aku buru-buru menuju jendela karena mendengar suara mobil. Mobil silver pergi. Aku turun dengan hipotesa-hipotesa aneh menggantung di otakku. Aku tak mempedulikannya. Sekarang terlihat, walau baru berdiri di pertengahan tangga, aku bisa melihatnya. Ayah tergeletak di depan pintu yang terbuka, bersimba darah di dadanya. Matanya terbuka. Mulutnya terbuka. Aku melorot ke anak tangga di belakang. Tak tahu harus menangis, menjerit, ketakutan, atau berharap ini leluconnya. Aku mendekatinya. Pistol tergeletak di sebelah. Aku menekan pergelangan tangannya, lehernya. Memeriksa nafasnya. Mendengar detak jantungnya –membuat telingaku terkena darah. Memeriksa darahnya –bau amis darah asli.
"Dad, kuharap aku bodoh, tak bisa menemukan tanda-tanda kehidupan padamu," kataku. Dia tetap diam.
"Dad!" teriakku mengguncang bahunya. Aku membuka jas kerjanya. Memeriksa apa ada luka. Tidak salah lagi. Lubang kecil di dada kirinya adalah luka akibat ditembus peluru. Aku tahu yang harus kulakukan. Telepon polisi!
.
Bunyi sirine polisi beberapa menit lalu masih memekakkan telingaku. Mereka menyelimutiku –aku tak merasa kedinginan. Menyuruhku duduk di sofa di seberang ruang. Tak terlalu jauh dari tempat ayah tergeletak. Tapi ayah sudah dipindahkan. Sedangkan mereka bekerja menyelidiki TKP.
"Korban adalah Mana Walker, 48 tahun. Pemilik perusahan besar Walker," kata seorang polisi pada atasannya –sepertinya. Aku tak sengaja mendengar, dia berada kurang dari lima meter dariku. "Penyebab kematian adalah peluru kaliber 38 yang menembus jantungnya. Karena pemilik perusahaan yang sangat besar, tentu punya banyak musuh. Yang pertama kali menemukan korban adalah anaknya, Allen Walker," kata si polisi melirik padaku. Atasannya yang berambut merah itu ikut melirikku. Aku mengalihkan pandangan dengan gerakan lambat. Dan dia berjalan mendekatiku setelah mengisyaratkan polisi pelapor untuk kembali bekerja.
"Halo, Mr. Walker. Kau anaknya Mr. Mana, kan?" dia bertanya sambil berjongkok di depanku –tak ada sofa di seberangku. Aku tak bisa menjawab atau menggunakan bahasa tubuh. Terlalu kaku dan shock atas kejadian tadi.
"Tak apa. Wajar kalau anak 10 tahun terlalu kaget setelah melihat pembunuhan. Ingatanmu lebih kuat daripada para ilmuwan yang sudah tua," katanya. Aku tetap tak merespon. Tapi dia tak menyerah.
"Hmm. Namaku Cross Marian, anggota CSI bagian penyelidikan," katanya.
Dia terus menginterogasiku. Tapi dia tak berhasil mengetahui suaraku semerdu apa. Dia menyerah.
"Hei, Reever! Anak ini kubawa ke rumah, ya?" teriaknya pada seorang yang sepertinya memiliki jabatan yang sama dengannya. Pria itu mengangguk. Dan Cross mengajakku ke tempat yang dia sebut rumah.
.
Rumah? Besar sekali. Tapi di atas pintu masuk ada tulisan 'CSI Office'.
Dia memperlihatkan kartu pada penjaga pintu di luar lalu masuk –dengan aku mengekorinya.
"Ini baru kantornya. Belum laboratoriumnya," kata Cross padaku. Ini besar sekali. Terang oleh cahaya lampu. Dingin oleh AC. Lantai yang licin. Sepanjang jalan orang memberi hormat. Lalu kami menelusuri lorong yang sempit. Ada lift di sisi kanan. Dia menekan tombol, membuat pintu terbuka dan masuk ke lift. Aku mengikutinya. Lalu berhenti di tempat teratas –dia menekan tombol 27 untuk ke lantai 27. Suasananya lebih sepi daripada di bawah tadi. Mungkin untuk para master. Di depan lift ada staf dengan meja besar seperti resepsionis yang sepertinya bertugas jaga. Sisi kanan dan kiri ada beberapa pintu, salah satunya bertuliskan 'Kitchen'. Tidak seperti di bawah, di sini lantai ditutupi oleh karpet merah. Ada lorong lagi di sebelah kanan dan kiri si staf. Mau ke mana Cross? Dia berjalan ke lorong kanan. Si staf menyapa, tapi Cross mengabaikannya. Belok ke kanan. Lalu ada pertigaan lagi di lorong itu. Cross belok ke kiri. Sampai ada perempatan, dia belok kiri. Tetap terasa hawa AC, di lorong sempit sekali pun. Lalu sampai di sebuah ruang, di tengahnya ada patung Poseidon dengan air mancur dan kolam berdiameter sekitar enam meter. Dindingnya melingkar, tak seperti kamarku yang persegi panjang. Di dinding ada lukisan Mona Lisa –tentu hanya duplikat- dan pajangan dinding lainnya. Ada tiga lorong, selain lorong tempat kami datang. Dia mengambil lorong dekat pajangan kepala rusa, di kanan. Terus berjalan. Ada pintu di sisi kiri. Dia membuka dengan uji sidik jari dan uji retina mata. Akhirnya. Aku ikut masuk. Tapi... Pintu itu menghubungkan dengan ruang yang di tengahnya ada patung air mancur Zeus, dan kolam –mirip yang tadi. Ada pertigaan seperti tadi. Lagi! Kuharap tak bertemu patung Hades, si penjaga neraka.
.
Selama 30 menit, dia terus berjalan. Aku sudah capek. Akhirnya aku mengeluh.
"Kapan sampainya?" tanyaku pada Cross.
"Aha! Akhirnya kau bicara," ujarnya. Dia gila. Hanya demi mendengarku, dia membuatku hampir mati kelelahan. Dia mengambil beberapa lorong dan kami sampai di ruang tempat patung Poseidon ada. Gila! Kurasa jalan yang kutempuh dari ruang ini ke lorong-yang-selama-30-menit itu lebih dari satu kilometer. Dia dengan mudahnya mengambil jalan pintas.
"Sial! Jadi kau mengajakku berputar-putar?" tanyaku kesal. Dia hanya tertawa kecil. Kemudian berjalan menuju sisi dinding yang kosong. Di sebelah Mona Lisa.
"Open!" katanya setengah berbisik. Dinding itu –tepatnya pintu yang berkamuflase- bergerak turun.
Memperlihatkan lorong yang lebih luas dari yang tadi-tadi. Langit-langitnya lebih tinggi. Karpet berwarna hijau. Aku mengikutinya masuk.
"Close!" katanya dengan nada rendah. Aku menatap heran pada teknologi mutakhir ini.
"Wow, keren. Aku tak bisa bayangkan cara kerja mesin itu. Di kantor ayah tak ada yang seperti itu," kataku.
"Memang keren, ya. Tak ada yang bisa menyusup ke sini. Dia mengidentifikasi suaraku dengan sidik suara. Orang-orang yang sudah tercatat dalam datanya saja yang bisa masuk," jelasnya.
"Sidik suara?" tanyaku.
"Yang paling familiar pasti sidik jari, ya. Sidik suara pertama kali dilakukan di Connecticut, Amerika Serikat. Dicoba seorang detektif yang diminta menyelidiki pelaku peneror keluarga korban lewat telepon," jelasnya.
"Wow!" kataku kagum. Dia terlihat bodoh, tapi dalamnya tidak.
"Ada juga sidik bibir loh," ujarnya.
"Hah? Apakah ada sidik lidah?" kataku bercanda.
"Apa kau tertarik, Nak? Jadilah muridku. Hohoho," kata Cross. Memang terlihat bodoh.
"Ayo kita jalan," kataku. Aku baru sadar, kami masih diam di dekat pintu dinding itu.
.
Kami memasuki sebuah ruang. Lumayan besar. Kira-kira 15 x 20 meter. Tertulis di atasnya 'Ruang Santai'. Masa di CSI ada ruang santai? Ada sofa di pojok. Ada TV menempel di dinding. Ada beberapa tanaman dalam pot. Jendelanya berukuran dari bawah sampai langit-langit. Tapi di luar ada beranda. Cross menyuruhku menunggu di sini. Dia akan membawakanku makanan.
Aku baru ingat. Aku belum sempat makan sandwich buatan ayah untuk yang terakhir kali. Aku juga lupa minta izin ke sekolah –tapi kupikir polisi sudah bertindak duluan. Aku mau ayah. Aku mau ayah.
Pintu terbuka. Kupikir Cross. Tapi seorang anak perempuan berambut panjang. Memakai dress sebatas lutut dengan lengan panjang.
"Maaf. Aku ke sini dengan kakakku. Tapi aku tersesat. Tempat ini begitu besar. Kupikir ini ruang kakak," katanya. Aku tak merespon. Menunduk menatap karpet hijau. Menaruh dagu di lutut. Enaknya punya kakak.
"Hei!" kata gadis itu menepuk pundakku. Dia sudah duduk di sebelahku.
"Boleh tahu siapa kau?" tanyanya. Aku mengalihkan pandangan darinya. Hendak berjalan menuju beranda. Tapi dia menarik lenganku.
"Lenalee Lee," katanya mengulurkan tangan. "Kau siapa?"
"Tolong. Jika tidak berkepentingan di sini. Tolong tinggalkan tempat ini," kataku.
"Kau kenapa? Ada masalah denganmu? Apa aku bisa bantu?" tanya gadis bernama Lenalee itu.
"Tolong," kataku agak pelan.
"Ayolah, katakan saja," katanya memaksa.
"Tolong," ucapku lagi agak lembut.
"Namamu saja. Siapa?"
"Pergi!" aku agak membentak. Membuatnya membulatkan mata ketakutan. Lalu pergi. Tepat saat itu Cross datang.
"Lenalee?" tanya Cross agak kebingungan. "Dia ngapain ke sini?"
"Tersesat. Dia cari kakaknya," kataku.
"Peraturannya kan tak boleh bawa anak kecil yang tak berkepentingan," kata Cross. "Ini. Kubelikan burger."
"Terima kasih." Aku mengambil bungkusan itu. Berisi makanan dan minuman. Aku memakannya.
"Enak, kan?" tanya Cross.
"Lebih enak sandwich ayah," kataku menaruh setengah burger yang belum kumakan. Berpikir lagi. Ingat ayah.
"Ya. Pasti begitu. Aku juga lebih suka sup buatan mama daripada makanan restoran yang berlemak," ujar Cross.
"Aku ingin ayah," kataku.
"Itu tak bisa. Yang bisa kau lakukan adalah membantu penyelidik untuk menemukan pembunuh ayahmu. Ya?" kata Cross. Aku menatap matanya. Menelusur apa yang ada di dalamnya. Lalu mengangguk.
"Jadi, ceritakan, apa yang kau lihat pagi ini," pinta Cross.
"Ayah berteriak memanggil. Lalu ada suara bel. Setelah aku keluar kamar, ada bunyi tembakan," kataku dengan suara serak.
"Apa kau dengar percakapan, suara jeritan, atau lainnya?" tanya Cross. Aku menggeleng.
"Tapi...aku dengar suara derum mobil. Aku melongok ke jendela. Ada mobil silver atau putih pergi."
"Tahu apa merek mobilnya? Tipenya?" tanya Cross. Aku menggeleng.
"Aku tak tertarik pada jenis mobil," kataku.
"Lihat plat mobilnya?" tanya Cross. Sekali lagi aku menggeleng.
"Kalau aku perlihatkan beberapa jenis mobil, apa kau bisa mengenalinya?" tanya Cross. Aku mengangkat bahu.
"Mobil itu sekilas," kataku.
"Lakukanlah yang terbaik," kata Cross, lalu pergi. Aku menghabiskan sisa makananku begitu sadar aku masih lapar.
.
Dia menunjukkan beberapa gambar mobil berwarna silver dan putih di laptop-nya. Kami belum menemukannya.
"Ini dia," aku menunjuk.
"Oh, Aston Martin. Oke, terima kasih," ujar Cross, lalu bergegas keluar dari ruang santai.
Aku hanya duduk-duduk. Menonton acara tidak penting. Lama sekali.
.
Jam menunjukkan pukul 01.02 p.m. Lamanya aku duduk.
"Allen!" Cross setengah berteriak, menggebrak masuk. "Aku sudah cari orang yang berkemungkinan berurusan dengan ayahmu. Tak ada yang punya Aston Martin. Keluarga dan teman mereka juga tak ada yang punya –jadi tak mungkin bisa pinjam. Aku periksa di penyewaan-penyewaan mobil. Orang yang sewa Aston Martin dari minggu lalu... Tak ada," jelas Cross. Aku mengangkat bahu.
"Mana kutahu. Itu di luar wewenangku," kataku.
"Maksudnya, apa mungkin kau melihat hal yang beda dari gambar yang kutunjukkan?" tanya Cross sambil duduk di sofa.
"Yang kulihat dengan gambar di laptop-mu itu sama," kataku. Dia diam. Mungkin berpikir tentang mobil yang sama modelnya dengan Aston Martin.
"Mungkin. Pelakunya..." kataku terputus.
"Apa? Katakan saja yang kau pikirkan," ujar Cross.
"Mungkin pelakunya menyewa pembunuh bayaran," kataku ragu-ragu. Cross membulatkan mata.
"Ah, pembunuh bayaran? Untuk menyewanya akan membayar cukup mahal. Memang siapa yang..." Cross berhenti. Dia berpikir. "Hipotesa yang bagus," kata Cross. Dia berdiri, hendak pergi.
"Mr. Marian. Kapan rumahku selesai diamankan?" tanyaku.
"Bukan wewenangku," kata Cross tersenyum, lalu pergi. Dia datang dan pergi seenaknya menggebrak pintu.
Handphone-ku bergetar. Telepon masuk. Unknown number.
"Halo?"
"Halo, Mr. Walker. Ini saya," kata penelepon diikuti tawa yang merusak telinga.
"Siapa? Aku tak kenal suaramu."
"Hebat sekali, Anda tahu yang membunuh ayahmu adalah pembunuh bayaran."
Aku terlonjak kaget. Apa dia ada hubungannya? Aku merekam perbincangan ini, sehingga bisa menyidik suaranya.
"Oh, Mr. Walker Jr memang pintar. Sekarang dia sedang merekam suara orang yang dicurigainya untuk disidik nanti," katanya.
"Siapa kau? Apa kau menyadap ruang ini?" tanyaku sambil tengok kanan kiri.
"Kau memang hebat. Kusadap dengan kamera pengintai. Aku adalah Earl. Yang membayar pembunuh itu. Kesalahan ayahmu adalah... Menyaksikan perdagangan gelapku."
"Apa? Brengsek. Apa maumu meneleponku?" kataku berdiri. Penuh emosi.
"Tenang, Mr. Walker. Aku hanya mau memujimu," kata Earl.
"Hidupmu. Akan kau habiskan di penjara!" bentakku.
"Hii, aku takut," dia meledek. "Sepertinya harus kuledakkan barang buktinya, nih."
"Kau juga menyusupkan bom?" tanyaku berjalan mendekati pintu keluar. Ingin kabur.
"Aku bilang cuma barang buktinya. Bukan saksinya juga. Tak usah takut."
"Apa maksudmu?"
"Saat kau mengangkat telepon, kumasukkan virus. Jika kuhidupkan, virus itu akan meledakkan media yang dia tempati. Handphone-mu akan meledak 30 detik setelah itu," kata Earl tertawa senang.
"Brengsek!"
"Oh, Mr. Walker. Sebaiknya buang ponselmu jika tak mau telingamu hancur," Earl memperingati.
"Ini cuma tipuan! Kau menginginkan itu!" bentakku.
"Terserah," kata Earl. "Kunyalakan, ya. Say good bye to your lovely phone."
"Hentikan!" Aku menghentikan rekamannya. Mencari sesuatu.
"Percuma, Allen. Datamu sudah terisi virus. Jika mau memindahkannya ke laptop atau hp lain, media itu akan meledak juga," kata Earl.
"Sialan!"
"5... 4... 3..."
"Diam!"
"2... Noah's Ark." Aku spontan menjauhkan telepon dari telingaku. Noah's Ark? Lalu meledak.
To Be Continued
Thank's udah baca. Kalau berkenan, mohon reviewnya ya... Silahkan...X)
