A/N: Sudah lama aku gak nulis fic lagi...^^
Dan ini rated M buatan sendiri, bukan collab seperti yang kemarin-kemarin. Hehe...
Disclamer: Kuroshitsuji belongs to Yana Toboso
Warning: AU, OOC, OC, Gore, Lime
Don't like don't read!
Black Romance
"Kumohon... Jangan..." terdengar rintihan seorang gadis. Suaranya terdengar sangat menyedihkan. Ia sedang diikat oleh tali yang sangat kuat, ia berusaha untuk melepaskan ikatan itu tapi usahanya hanya sia-sia.
Tidak terdengar balasan atas ucapan gadis itu. Hanya seringai dan langit malam yang menemani gadis itu. Wajah gadis itu sudah sangat pucat, ia sangat ketakutan. Tanpa basa-basi lagi seseorang yang berada di hadapan gadis itu langsung menusuk jantungnya.
"KYAAA!"
"Teruslah berteriak seperti itu." orang itu tetap memperlihatkan seringainya sambil menorehkan pisau di perut gadis itu, mencabik dan mengorek isi perut gadis itu. Tidak diharaukan darah yang terus mengalir dengan derasnya. Ia hanya tersenyum saja melihat gadis itu yang sudah tewas di hadapannya.
"Lagi-lagi terjadi kasus pembunuhan." gumam seorang pemuda berambut kelabu. Mata birunya memandang televisi di hadapannya dengan wajah yang datar.
"Benarkah?" tanya seorang pemuda berambut hitam yang sudah berada di samping pemuda berambut biru itu. "Itu hal yang mengerikan."
"Gadis ini adalah korban yang ke-18. Dia hebat juga bisa membunuh 18 orang dan belum ditangkap oleh polisi."
"Mungkin ia punya cara yang licik."
Pemuda berambut kelabu itu hanya menganggukkan kepalanya saja, tanda ia setuju dengan ucapan pemuda berambut hitam itu. Pemuda berambut hitam itu langsung saja memeluk pemuda berambut kelabu itu.
"Sebastian..." gumam pemuda berambut bitu itu.
Sebastian, sang pemuda berambut hitam itu hanya tersenyum. Ia melihat wajah manis kekasihnya itu dan hanya memainkan jari-jarinya di sekitar wajahnya. Begitu jarinya mengarah ke bibir merah sang pemuda berambut biru itu langsung saja dikecupnya.
"Aku akan melindungimu, Ciel." ujar Sebastian.
"Hei, aku kan bukan seorang gadis? Kenapa kau?" tanya Ciel, pemuda berambut kelabu itu heran.
"Tapi orang lain bisa melihatmu sebagai seorang gadis, kau terlalu imut."
Wajah Ciel langsung memerah, ia mengalihkan pandangannya dari Sebastian. Ia merasa marah sekaligus malu. Sebastian hanya tersenyum saja melihat tingkah laku Ciel. Ia menyentuh dagu Ciel dan kembali melumat bibir Ciel.
Ia menjilat bibir bawah Ciel, meminta izin untuk menjelajah lebih lanjut di dalam mulutnya. Ciel membuka sedikit mulutnya dan Sebastian langsung memanfaatkan kesempatan itu. Lidahnya langsung masuk ke mulut Ciel dan mengajak lidah Ciel untuk menari bersama.
Ciel berusaha mengimbangi tempo permainan Sebastian yang terkesan agak cepat itu. Meski mereka sudah sering melakukannya, Ciel masih saja belum terlalu terbiasa. Melihat Ciel yang sudah kehabisan nafas, Sebastian langsung melepaskan ciuman mereka. Saliva mereka langsung terputus begitu ciuman itu selesai.
"Huh, kau suka mencari kesempatan dalam kesempitan." keluh Ciel.
"Lho? Itu kan belum apa-apa, Ciel." ujar Sebastian dengan wajah mesumnya itu. Ciel langsung saja memukul pelan dada bidang Sebastian.
Sebastian hanya tersenyum kecil dan ia langsung menangkap tangan Ciel. Memang Sebastian yang jauh lebih tinggi dari Ciel itu mampu menahan setiap serangan Ciel dengan mudah.
"Kalau kamu terlalu manis begini, bisa-bisa pembunuh itu datang." ujar Sebastian agak menakut-nakuti.
"Kau kira aku takut? Aku seorang pria!" ujar Ciel meremehkan.
Sebastian hanya mengacak-acak rambut kelabu Ciel. Ciel memejamkan matanya, merasakan sentuhan Sebastian. Meski tidak harus selalu kontak fisik hanya seperti ini saja cukup.
"Aku mau jalan-jalan sebentar." ujar Ciel.
"Eh? Memangnya kau tahu daerah sekitar villa ini?" tanya Sebastian.
Ciel tidak mendengarkan ucapan Sebastian, ia langsung saja keluar. Sebastian agak terkejut dengan kepergian Ciel yang tiba-tiba itu.
"Terserah saja deh..." Sebastian berjalan ke dapur dan membuat sarapan pagi.
Ciel berjalan-jalan di sekitar villa-nya, sudah sekitar dua-tiga hari yang lalu ia dan Sebastian menyewa villa disini. Hanya sekitar satu minggu ia dan Sebastian berada di villa yang cukup jauh dari hiruk pikuk kota London yang ramai.
Udara yang sejuk, pemandangan yang selalu nampak hijau ini sangat memanjakn mata Ciel. Sesuatu yang jarak terlihat jika berada di kota besar. Sebastian pandai memilih villa yang bagus.
"Tidak ada salahnya kemari." gumam Ciel sambil menghirup udara segar. Ia hanya tersenyum kecil melihat sekelilingnya. Tiba-tiba Ciel melihat sosok seorang wanita berambut abu-abu pendek sedang berjalan-jalan santai. Wanita itu melihat Ciel dan ia segera berjalan mendekati Ciel.
"Hai, Ciel. Pagi yang cerah ya?" tanya wanita itu sambil tersenyum ramah.
"Iya, nona Angela." ujar Ciel.
Angela Blanc adalah penjaga sekaligus pemilik villa yang ditempati Ciel dan Sebastian. Ia menyewakan villanya untuk banyak orang. Dan karena Angela teman lama Sebastian, mereka menyewa villa tanpa biaya.
"Mana Sebastian? Apakah ia sedang menyiapkan makan?" tanya Angela lagi.
"Iya." jawab Ciel.
"Haha... Dia selalu seperti itu," ujar Angela sambil tersenyum. "Tapi ini mengejutkan juga mengingat hanya kalian berdua yang kemari. Apa yang sudah kalian lakukan?"
Wajah Ciel mendadak berubah merah, ia malu. Angela hanya tertawa kecil melihat ekspresi Ciel yang tidak diduganya. Ia tahu Sebastian dan Ciel adalah pasangan kekasih dan mungkin saja mereka berdua "berlibur" bersama dengan maksud tertentu.
"Tidak ada apa-apa." ujar Ciel.
Angela hanya tersenyum saja, saat ia dan Ciel sedang mengobrol bersama ia melihat seorang gadis berambut coklat panjang yang berjalan ke arahnya.
"Hai nona Angela." sapa gadis berambut coklat itu.
"Hai, Christine." sapa Angela.
Christine, gadis yang terlihat cantik. Ia memakai baju berwarna merah dengan jaket berwarna putih. Rambut coklat miliknya bertiup seiring dengan berhembusnya angin. Ia melirik ke arah Ciel, ia langsung saja berdiri di samping Ciel.
"Aduh... Kamu imut ya?" gumam Christine sambil menyentuh pipi Ciel.
"Eh? Jangan..." ujar Ciel yang berusaha melepaskan diri dari sentuhan Christine. Christine hanya tertawa kecil saja.
"Iya, sebaiknya jangan. Nanti pacarnya marah." tambah Angela.
"Eh? Gadis seperti apa dia?" tanya Christine.
Angela dan Ciel tidak menjawab, mereka membiarkan Christine bercuap-cuap sendiri. Tidak mungkin mereka jujur kan?
"Sebaiknya aku pergi, nona Angela dan cowok imut." pamit Christine sambil melaimbaikan tangannya. Angela dan Ciel hanya menghela nafas saja ketika Christine sudah jauh dari hadapan mereka.
"Mungkin aku juga kembali ke villa." ujar Ciel.
"Baiklah." Angela berjalan meninggalkan Ciel, Ciel langsung kembali ke dalam villa itu.
.
.
.
Sebastian sudah menunggu kedatangan Ciel, padahal hari masih pagi tapi suasananya layaknya pasangan yang ingin mengadakan cande light dinner.Ruang depan disulap dengan hiasan makan tertata rapi dengan serbet warna merah, bunga mawar terletak di tengah dengan cantiknya, serta sarapan pagi buatan Sebastian.
"Selamat datang, Ciel darling." ujar Sebastian dengan nada sedikit menggoda. Mata Ciel terbelalak melihat ruang depan yang berbeda dengan yang tadi.
"Ini? Kenapa?" tanya Ciel heran.
"Aku ingin sarapan yang romantis denganmu." jawab Sebastian. Ia segera menarik tangan Ciel dan menarikkan kursi untuknya. Melihat Sebastian yang tampaknya sedang dalam mood bagus, Ciel hanya mengikuti.
"Kurasa untuk sarapan tidak harus seheboh ini." gumam Ciel.
"Tidak apa-apa selama ini untukmu, sayang." ujar Sebastian dengan rayuannya.
Wajah Ciel mendadak memerah, membuat Sebastian menyukainya. Sebastian menyentuh pelan pipi Ciel dan menatap ke arah matanya. Biru bertemu dengan merah, berusaha mencari makna di dalamnya.
"Kenapa menatapku begitu?" tanya Ciel.
Sebastian tidak menjawab, ia mendekatkan wajahnya ke arah Ciel dan kembali mencium bibir merah Ciel. Ciel hanya bisa menurut saja, Sebastian cukup menguasai dirinya. Padahal jatah ciuman pagi mereka sudah mereka lakukan tadi, tapi namanya juga Sebastian. Ia tidak pernah puas.
Wajah Ciel sudah sangat merah, melihat Ciel yang tampak kehabisan nafas itu Sebastian langsung melepaskan ciumannya. Ia mengecup kening Ciel lembut.
"Hehe... Maafkan aku. Kita lanjutkan nanti malam saja." bisik Sebastian yang langsung membuat wajah Ciel kembali memerah.
"Dasar kau..." geram Ciel malu sambil memukul pelan bahu Sebastian. Sebastian hanya tertawa kecil, ia kembali ke kursinya dan mulai menyantap sarapannya.
"Sebaiknya kau makan."
"Baiklah."
Mereka berdua menikmati sarapan dengan gembira, meski hanya berdua tapi rasanya menyenangkan. Ciel tidak salah memilih Sebastian sebagai pacarnya, setidaknya begitu yang ia tanpa Ciel sadari Sebastian hanya menyeringai tipis ke arahnya.
Malam hari telah tiba, bulan sabit terlihat lebih indah dari biasanya. Mata biru Ciel tidak lepas dari melihat pemandangan bulan itu.
"Bulan terlihat indah malam ini." gumam Ciel.
Tiba-tiba Ciel merasa ada seseorang yang memegang pinggangnya, jarak mereka cukup dekat. Ciel tahu siapa yang berbuat begitu, Sebastian.
"Tapi tidak seindah dirimu." ujar Sebastian.
Wajah Ciel memerah, ia tidak berani menatap wajah Sebastian jika seperti ini. Sebastian langsung membalikkan badan Ciel dan mencium bibir Ciel. Untuk sesaat Ciel terkejut tapi ia langsung memejamkan matanya. Ia tahu Sebastian suka sekali memberikan 'kejutan' seperti itu.
Ciuman mereka cukup panas di tengah dinginnya malam, lidah Sebastian mampu menjelajah di dalam mulut Ciel dan membuat Ciel sedikit sesak. Tangan Sebastian yang satu memegang pinggang Ciel, satu lagi segera mengarah ke dada Ciel.
Merasa ada gerakan asing di dadanya Ciel langsung melepaskan ciuman itu. Sebastian menghentikan aktivitasnya itu dan hanya mengecup pipi Ciel.
"Kau belum siap? Tujuan kita kan 'itu'?" tanya Sebastian.
Ciel memalingkan wajah dari Sebastian, ia sebenarnya mau tapi malu. Ciel langsung menghadap ke arah Sebastian dan mencium bibir Sebastian.
"Jangan hari ini, Sebastian." bisik Ciel.
Sebastian hanya tersenyum lembut saja ke arah Ciel. Ia langsung saja mengangkat badan Ciel ala bridal style. Ciel terkejut Sebastian tiba-tiba mengangkatnya begitu. Wajahnya memerah, antara malu dan marah.
"Hei, turunkan aku! Aku bisa jalan sendiri!" seru Ciel.
"Lho? Tidak salah kan? Aku mengantamu ke kamar." ujar Sebastian dan well dengan wajah sedikit mesum itu.
Ciel hanya menuruti keinginan Sebastian dan melingkarkan kedua tangannya di leher Sebastian. Mereka berdua menuju kamar dengan satu ranjang yang cukup besar, Sebastian segera menurunkan Ciel di ranjang itu.
Mata merah Sebastian menatap ke arah Ciel dan jendela di kamar. Sebastian meminum obat dan ia langsung mencium bibir Ciel. Kali ini ciuman Sebastian sedikit menuntut, tapi hanya di awal. Lama kelamaan menjadi lembut.
"Nngh..." desah Ciel sambil meremas kemeja yang Sebastian pakai.
Sebastian menyeringai dalam hati. Ia meminumkan Ciel obat itu melalui ciumannya. Ia yakin obat itu akan langsung bekerja. Entah kenapa Ciel merasa sedikit lemas, mata birunya mulai tertutup dan akhirnya benar-benar tertutup.
Sebastian melepaskan tubuh Ciel dan menghempaskannya ke ranjang. Ia hanya menatap datar ke sosok Ciel dan segera menyelimutinya.
"Maaf Ciel, malam ini aku ingin kau tidur dulu." gumam Sebastian.
Ia segera berjalan keluar kamar dan menutup pintu dengan pelan. Langkah kakinya membawanya keluar dari villa itu, menuju hutan yang terletak tidak jauh disana.
.
.
.
"Kau datang juga." ujar seorang gadis berambut kecoklatan. Ia menatap ke arah sosok yang berada di dekat pohon. Sosok itu tidak ingin berbicara padanya.
Sosok itu, yang terlihat sebagai sosok seorang pria langsung berjalan mendekati gadis itu. Tapi tiba-tiba gerakannya cepat dan ia mengeluarkan pisau. Sekali tusukan di jantung membuat gadis itu tidak bisa melihat hari esok.
"KYAAA!" jerit gadis itu. Tapi suaranya tidak cukup terdengar karena tiba-tiba tubuhnya roboh. Darah mengalir deras dari jantungnya. Sosok pria itu langsung memberi tusukan berkali-kali pada tubuh gadis itu hingga gadis itu benar-benar tewas.
Pria itu hanya menyeringai senang. Ia memainkan pisaunya dan menatap datar tubuh gadis yang telah bersimbah darah itu. Ia menancapkan pisau itu tepat di perut gadis itu, ia langsung mengorek isi perut itu dan memainkannya dengan pisau. Usus gadis itu ia sayat-sayat hingga mengeluarkan darah, urat nadi juga ia putuskan begitu saja. Dalam gerakan cepat ia berhasil membuat tubuh gadis malang itu menjadi berantakan. Pria itu hanya menyeringai senang.
"Kau tahu seiring dengan jeritanmu itu kesenanganku bertambah." gumam pria itu.
Tapi tampaknya pria itu belum puas dengan hasil kerjanya, ia menusukkan pisau itu tangan gadis itu dan membuat sayatan panjang disana. Lalu dengan sadisnya ia langsung memotong bagian-bagian tubuh gadis itu. Hanya saja ia tidak memotong semuanya. Hanya kedua lengannya yang sudah tidak berada di tubuh itu.
Samar-samar sinar bulan menerpa ke arah hutan itu, pria itu berjalan meninggalkan tubuh gadis itu. Dan gadis itu berada dalam kondisi yang amat mengenaskan.
Pagi hari telah tiba, Ciel baru bangun dari tidurnya. Ia memandang ke sekeliling kamarnya. Entah kenapa ia kehilangan memori semalam. Ia berusaha mengingat sesuatu, tapi tidak bisa ia ingat juga.
"Kenapa tahu-tahu aku di kamar? Kayaknya kemarin ada di ruang tamu?" gumam Ciel.
Sebastian masuk ke kamar sambil membawakan sebuah teh hangat, ia memberikan cangkir itu pada Ciel.
"Minumlah." ujar Sebastian.
"Terima kasih," gumam Ciel sambil meminum teh-nya perlahan. Ia menatap ke arah Sebastian yang masih meminum teh-nya. Ciel menatap tajam ke arah Sebastian. "Sebastian, apa yang terjadi semalam?"
Sebastian berhenti meminum teh-nya. Ia menatap ke arah Ciel, hanya senyuman lembut yang terlihat di wajah Sebastian.
"Menurutmu?" tanya Sebastian balik. "Kau hanya ketiduran, itu saja."
"Oh begitu..." gumam Ciel.
Sebenarnya ia kurang percaya dengan alasan Sebastian, ia pikir Sebastian sudah 'macam-macam' padanya ketika tidur. Tapi Sebastian bukan tipe seperti itu. Ia heran kenapa ia bisa ketiduran, padahal kemarin ia ingat sedang melihat bulan. Ah, dipikirkan juga hanya membuatnya makin pusing.
"Kalau kau sudah rapi kita langsung pergi ya?" ujar Sebastian.
"Kemana?" tanya Ciel.
"Hanya jalan-jalan santai berdua. Kau mau?"
"Baiklah."
Sebastian segera pergi dari kamar itu, ia membiarkan Ciel bersiap-siap. Sepeninggalan Sebastian, Ciel segera mandi, memakai baju yang rapi dan semuanya. Setelah selesai ia keluar kamar dan menuju ruang tamu, Sebastian telah menunggunya.
.
.
.
"Pagi yang cerah. Hawanya juga sejuk." ujar Sebastian.
"Iya." gumam Ciel.
Jarang-jarang mereka pergi berdua keluar berjalan-jalan di sekitar villa, biasanya Sebastian jarang keluar villa karena ia bilang sibuk. Tapi sekarang ia ingin pergi, mungkin sudah tidak sibuk lagi.
Saat mereka berdua sedang asyik berdua tiba-tiba datanglah Angela, wajahnya terlihat pucat. Ia kelihatan capek, mungkin karena ia berlari tergesa-gesa mencari bantuan.
"Untung... aku... bertemu kalian..." ujar Angela dengan nafas yang kurang beraturan.
"Ada apa, Angela?" tanya Sebastian.
"Itu... Christine..."
Mereka berdua heran dengan ucapan Angela, mereka mengikuti Angela yang berlari membawa mereka menuju hutan. Disana terlihat sosok mayat seorang gadis berambut coklat dalam kondisi yang mengenaskan.
"Gadis itu..." gumam Ciel. Ia merasa terkejut melihat Christine, gadis yang ditemuinya kemarin sudah tewas. "Apa ini termasuk perbuatan pembunuh itu?"
Sebastian yang sedang menelpon polisi sedikit mengabaikan ucapan Ciel, begitu selesai ia melirik ke arah Ciel.
"Mungkin, aku sudah menghubungi polisi kemari," ujar Sebastian. "Kalau benar dia adalah korban yang ke 19. Kasihan gadis ini."
"Christine..." gumam Angela sedih. "Kasihan sekali dirinya."
Mereka bertiga terdiam dan segera meninggalkan hutan itu. Mereka menunggu polisi di dekat sana. Angela menatap Sebastian tajam, entah kenapa wajahnya seolah menunjukkan kebencian disana.
"Kenapa Angela?" tanya Sebastian dengan nada dingin.
"Tidak ada apa-apa," ujar Angela. Ciel agak bingung melihat sikap Angela dan Sebastian, atmosfir yang terasa diantara mereka kurang bagus. "Aku tahu ini pasti ada hubungannya denganmu." bisik Angela ketika ia berada di dekat Sebastian.
Sebastian sedikit terbelalak mendengarnya. Angela berjalan menjauh darinya sambil tersenyum sinis. Ciel memperhatikan Sebastian dan Angela berulang kali.
"Tadi apa yang kalian bicarakan?" tanya Ciel.
"Bukan apa-apa." jawab Sebastian.
TBC
A/N: Aw...
Maunya bikin oneshoot, kenapa jadi multichap gini?
Belum lagi bloody-nya kurang sadis, lagi gak ada sense-nya. Tapi malah mau bikin*aneh*
Kalau berkenan silahkan review...^^
