Bukan hal yang aneh bagi Aomine Daiki bila mendapatkan surat cinta di lokernya setiap pagi. Setiap minggu ada saja yang menembak dirinya. Namun pagi ini sedikit aneh, surat tersebut tak berwarna pink dan berpita seperti biasanya.
Lebih aneh lagi, surat-surat yang selalu ia temukan setiap pagi akhir-akhir ini tak bernama. Anonim. Hanya sepucuk surat berwarna putih polos. Isinya ditulis tangan rapi.
'Senpai, aku suka Aomine-senpai.'
'Aku sangat suka.'
'Kapan yaa aku bisa jadi pacar senpai!'
Kalau begitu tunjukkan dirimu, pikir Aomine.
'Aku hanya bisa mengirim surat seperti ini. Sedihnyaa.'
Mungkin gadis itu sakit dan terbaring di rumah sakit? Oh, lalu siapa yang menyimpan suratnya setiap pagi buta sebelum Aomine datang? Bodoh.
'Aku tidak cukup pemberani untuk menyatakannya langsung. Aku suka senpai.'
Oh, jadi begitu. Gadis pemalu.
'Aku... senpai, aku sangat suka senpai. Sayangnya senpai sukanya sama yang dada besar.'
"Aominecchi-senpai!" seseorang tiba-tiba menggabrugnya dari belakang. Hampir saja Aomine tersedak.
"Kise! Jangan mengagetkanku seperti itu, baka!" Aomine menjitak kepala pirangnya. Kise memanyunkan bibirnya.
"Hidoi-ssu." Kise mengeluarkan airmata buaya andalannya, seperti anak anjing yang terbully. Ia mengintip kertas yang sedang dipegang Aomine. "Apa itu-ssu?"
"Uwaaah! Jangan lihat!" hardik Aomine. Ia buru-buru memasukkan surat ke dalam tasnya.
"Whoa, Aominecchi ditembak lagi? Asik ya."
"Berisik. Kau ditembak lebih sering dari aku, hentikan sarkasme itu."
"Tapi senpai yang paling sering gonta-ganti pacar."
"Itu karena kau tidak pernah menerima pernyataan cinta mereka."
Kise tidak menjawab. Dan ia masih tersenyum dengan senyum satu juta dolarnya.
"Aominecchi saja sudah cukup!" serunya sambil memeluk erat Aomine. Aomine berontak berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Kise.
"Argh. Karena ini nih kau harus cari pacar. Biar tidak terus memelukku."
"Tapi aku suka Aominecchi!"
"Ya, ya, aku tidak suka kau. Sekarang, lepas, kalau tidak aku tidak mau lagi one-on-one dengan kouhai tidak sopan sepertimu."
Kise melepaskan pelukan mautnya dan merajuk. Aomine meninggalkan Kise ke ruang kelasnya untuk membaca surat anonim yang tersimpan di tasnya.
Di kelas masih cukup sepi, hanya ada beberapa orang yang sudah datang dan mengobrol di teras depan. Aomine mengambil kesempatan ini untuk membaca kelanjutan dari surat yang baru. Aomine melirik kanan-kirinya, takut bila tiba-tiba ada yang memergokinya membaca surat cinta. Bisa-bisa ia digoda habis-habisan oleh teman-temannya. Tapi Aomine tidak menyangkal bahwa orang satu ini berbeda dari yang lain. Entah mengapa ada semacam aura misterius yang membuat Aomine tertarik ingin tahu siapa sebenarnya gadis ini.
Aomine membuka surat dari amplop putihnya dan mulai membacanya.
..'senpai, apakah senpai ada waktu sepulang sekolah? Aku ingin bicara denganmu. Aku akan menunggu di belakang gedung olahraga.
Aku sebenarnya tidak yakin senpai akan senang, tapi aku harus bertaruh peruntunganku jika aku tidak mau menjadi pecundang.
Sampai bertemu siang ini.'
Ini dia. Akhirnya Aomine bisa melihat orangnya. Ini bukan hal baru, pasti gadis itu akan memberanikan diri menampakkan wujudnya. Aomine mau tak mau menantikan sekolah berakhir, walau ia tak akan pernah mengakuinya.
~*-*-*-0v0-*-*-*~
Aomine membereskan bukunya setelah jam terakhir selesai. Ia sudah memberitahu Kise terlebih dahulu bahwa ia tidak bisa pulang bareng dengannya, sehingga Kise mengabarinya ia bisa pulang sendiri. Kedekatan senpai-kouhai antara Kise dengan Aomine membuat pulang bersama menjadi rutinitas yang tak bisa terlepaskan dari kegiatan mereka. Setiap pulang latihan, atau di hari lain saat latihan tidak ada. Kecuali saat Kise harus pulang duluan karena ada photoshoot sepulang sekolah. Menjadi model tentu bukan hal yang mudah, dan Aomine kadang kesal dengan kouhainya yang kadang terlalu keras pada dirinya sendiri.
Aomine bergegas menuju tempat yang dijanjikan, belakang gedung olah raga. Jarak dari ruang kelasnya tak terlalu jauh, dan tempat itu memang sepi sehingga biasa dipakai sebagai arena pernyataan cinta alias menembak.
"Kise?" Aomine terheran saat melihat Kise sedang duduk bersandar pada dinding belakang gedung olahraga. "Bukannya kau sudah pulang?"
Kise tersenyum kecil. "Nanti setelah ini aku akan pulang."
"Kau mau ditembak juga ya?" tanya Aomine, tanpa memperhatikan raut wajah Kise yang sendu. Kise kembali tersenyum.
"Aku mau menembak, bukan ditembak." Kise tertawa kecil. Ia berdiri dari posisi duduknya dan menepuk-nepuk pantat celananya yang kotor akibat duduk di lantai.
"Huh? Tumben Kise. Jadi karena ini kau selalu menolak yang lain. Oh, aku mengerti sekarang. Tapi aneh juga, oke kalau begitu kau duluan saja, haha..."
"Ok. Aominecchi." Kise memandang Aomine tajam. Aomine memandangnya balik bingung.
"Aku suka Aominecchi. Bukan suka sebagai teman biasa, tapi lebih dari itu. Aku sayang sekali dengan Aominecchi." sebelum Aomine membuka mulut untuk menyela Kise, Kise mendahuluinya. "Aku yang mengirim itu setiap pagi."
Aomine terpaku. Ia tidak bisa berkata apapun, lidahnya kelu.
"Ki..."
"Aku tahu Aominecchi mengira aku perempuan. Mungkin berharap perempuan berdada besar. Tapi maaf aku tetap menembak Aominecchi, sebelum semuanya terlambat." Kise tersenyum sendu, tak terasa air matanya keluar, mengantisipasi penolakan yang akan dilakukan si lelaki dim.
Aomine benar-benar tidak pernah terpikir bahwa kouhai manisnya menyimpan perasaan padanya. Melihat tangisan Kise, Aomine merasa tergugah untuk memeluknya, mengatakan bahwa ia tak salah. Namun Aomine hanya diam, tak mampu menggerakkan tubuhnya. Jangankan itu, lidahnya pun tak mampu berkata apa yang ingin ia katakan.
"Maaf... Aominecchi... Gara-gara aku persahabatan kita jadi rusak... Tapi kumohon aku ingin Aominecchi menganggap aku seperti biasa. Anggap saja ini tidak pernah terjadi." Kise semakin tersedu dengan keheningan. Dan Aomine yang diam. Aomine mengusir segala pikiran yang menghalaginya dan melangkahkan kakinya mendekati Kise.
Ia memeluk tubuh yang bergetar karena tangis itu.
"Maaf, Kise... Kau selalu di sampingku tapi aku tak pernah sadar. Jangan nangis, cengeng."
"T-tapi..."
"Sssh."
"Aominecchi..." rengek Kise. Aomine mengelus punggungnya dengan harapan tangis Kise berhenti. Kise yang biasanya ceria, hari ini menangis dan ini menyakitkan Aomine. "kalau kau memelukku seerat ini, kau bisa membuatku salah paham." bisik Kise pelan di dada Aomine. Tangisannya sudah berhenti, hanya tersisa sesenggukan yang pelan.
"Bodoh, aku melakukan ini karena aku... Tidak menolakmu."
Kise menengadah menemui wajah Aomine yang sedikit nge-blush karena kulitnya yang gelap. Aomine memandangnya lembut, berusaha meyakinkan Kise.
"Aominecchi? Tidak, bohong, ini pasti mimpi..."
"Bakaa. Sudah. Aku... Akan berpacaran denganmu. Tapi... Aku sejujurnya belum tahu apa aku menyukaimu apa tidak, tapi aku tidak mau membuatmu menangis seperti ini..."
Kise tersenyum. "Tidak apa Aominecchi."
Setelah itu mereka masih berpelukan dalam keheningan, yang membuat Aomine tidak tahan. Mengapa Kise tidak mengatakan sesuatu, pikirnya.
"Aominecchi?" panggil Kise tanpa menengadah. Wajahnya masih terbenam di otot pektoral Aomine yang bidang.
" Hmm?"
Kise menengadah penuh harap. "Bisakah aku dapat ciuman?"
"Uh... Baiklah?" Aomine tanpa pikir panjang meraih kedua sisi kepala Kise, mengarahkannya, dan bibirnya mengecup bibir Kise yang penuh dan lembab. Ah, lembut sekali, pikir Aomine. Ia terus mencium bibir Kise berkali-kali, seakan menemukan rasa permen baru yang ia sukai. Ia melihat Kise menutup matanya, dan ia baru sadar bahwa bulu matanya terlalu lentik dan panjang untuk seorang laki-laki. Tetap saja, Kise Ryouta di depannya ini sangat cocok dengan bulu mata itu.
Setelah beberapa saat mereka melepaskan diri. Aomine tak menyangka ia bisa mencium seorang laki-laki (dan parahnya, beberapa kali, sampai bibir Kise sedikit bengkak dan ia merasa malu dengan hal itu). Ia meraih tasnya.
"Ayo pulang, Kise."
Kise mengangguk dan mengekor seperti biasanya, tidak tahu bahwa di depannya Aomine berjalan dengan muka yang sangat merah seperti kepiting rebus.
xxxxxx_xxxxxx
Hello, I'm back! Sekarang saya mencoba bikin fic yang rate T (walau... yakin da dengan tingkat kemesuman ini lama-lama juga jadi M, ckckck) tapi setidaknya yang ini masih T. Soal lanjut atau nggaknya gimana nanti guys. Karena aku lagi sangat sibuk juga /duh/
Give your thoughts pls ;'3
Oh ya, di cerita ini Kise satu tingkat lebih muda dari Aomine, makanya manggilnya senpai. Tapi mereka dekat gegara satu tim basket, aku gatau nantinya ini masih Teiko apa gimana dah random aja hehehe
cya~
