"YOU'RE MIRACLE"
Naruto U., / Sasuke U,.
Rated : T
Author : GingerJelly
Disclaimer : Masashi Kishimoto
YOOOO JELLY BALIK LAGIII ^^
setelah lama menghilang tenggelam dengan sangat elitnya karena soal2 ujian sekolah T^T dan sakitnya tuh disini krn ga bisa bales riviu kalian semuaaa
buttt... jell seneng bgt bisa apdet lagi, ohyes langsung neee muahahh
.
.
Summary : Hanya kegelapan dan kesunyian yang Sasuke rasakan selama ini. Ia menolak semua sentuhan untuknya. Hanya saja pelukan paksaan dari dokter yang menanganinya mampu mengantarkan Sasuke kembali 'melihat' kehidupan. "Aku akan menyembuhkanmu Sasuke" NARUSASU. YAOI. TWOSHOOT.
You're Miracle © GingerJelly
.
.
Kali ini Sasuke sungguh ingin menurut.
Karena itu adalah satu-satunya yang pria manis itu bisa lakukan untuk sekarang. Setelah lelah seharian mengamuk, membanting ini dan itu, meraung-raung tak karuan. Mata bulatnya tengah meredup, disertai dengan deru napas yang mulai tenang.
Tiga orang laki-laki dewasa berpakaian serba putih dengan kencang memegangi kedua tangan dan kakinya, sementara seorang perempuan paruh baya –yang menyangul tinggi-tinggi rambutnya- sedang menyuntikkan cairan bening ke tubuh ringkih Sasuke melalui kulit lengannya. Berusaha sekuat tenaga agar tidak membuat kedua orang tua Sasuke, yang hari ini tengah menjenguk putra mereka, tidak terkena serangan jantung mendadak. Dokter perempuan paruh baya itu selalu jengkel tiap kali harus menangani Sasuke. Pria remaja tanggung berusia enam belas tahun itu selalu saja mencakar, menendang, bahkan menjambaknya dengan kasar. Pria itu tidak suka jika ada orang asing di samping atau di sekitarnya. Dia hanya ingin sentuhan kedua orang tuanya. Hanya dengan bersama mereka ia merasa aman. Itulah sebabnya Sasuke selalu melakukan perlawanan.
Biasanya, jika kedua orang tua Sasuke sedang tidak datang untuk menjenguk, maka dokter itu akan sedikit 'kasar' pada Sasuke. Tapi hari ini beda, ini hari minggu. Jadwal kunjungan rutin kedua orang tua Sasuke.
Pelan-pelan dokter itu berbalik. Melepas kacamatanya dan melangkah tersaruk-saruk menuju pintu. Salah seorang perawat memberikan tisu, ia meraihnya kemudian mengusapkannya pada rahangnya yang tadi terkena cakaran Sasuke. Ia mengerang pelan dan bibirnya mencibir tak jelas. Seorang wanita menghampiri dokter gempal tersebut.
"Apa dia sedikit membaik?" tanya ibu Sasuke.
Wanita itu gemetar mencengkram lengan suaminya.
"Apa aku lupa menyampaikan sesuatu?" dokter itu memotong perkataannya.
"Nyonya, putra anda benar-benar tidak bisa diatur..." dengan kelu ia meluruskan jarinya.
"...dia terlalu banyak merajuk. Bahkan hari ini dia sudah 'menghabiskan' tiga gelas..." jeda sejenak sekedar untuk melirik Sasuke yang sekarang sudah sepenuhnya terjatuh tidur.
"Kami sangat menyayangkan tindakannya. Bukankah anda juga melihatnya melukai perawat dan bahkan dokternya?" nada bicara dokter itu berubah sakartis.
Dia tidak bermaksud menjelekkan Sasuke, hanya saja selama delapan bulan ia merawat pria itu, dia harus banyak kehilangan benda dan tubuhnya harus terluka.
Sasuke tidak waras! Begitulah tandas dokter itu sewaktu malam.
"D-dia tidak...gila" gumam ibu Sasuke.
Wanita itu menatap Sasuke dari balik kaca tebal, seorang perawat pria di dalam sana tengah memotong kuku-kuku jari Sasuke. Air mata wanita itu mengalir. Hatinya sangat sakit setiap kali melihat anak satu-satunya harus menjalani siksaan seperti itu. Usianya masih sangat belia untuk menerima musibah seperti itu.
"Dia butuh dokter jiwa nyonya" ucap dokter itu lagi.
"Dia tidak gila!" geram sang ayah.
"Dia akan sembuh jika kau benar-benar merawatnya!"
Ibu Sasuke tak tahu lagi apa yang mereka debatkan. Hatinya sempurna teriris.
Ini adalah kisah tentang seorang anak laki-laki yang malang.
Usianya baru dua belas tahun saat dia harus menerima musibah yang merenggut sebagian kehidupannya. Sasuke kecil tumbuh menjadi anak yang tampan lagi mengagumkan. Rambut yang hitam legam. Pipinya yang sedikit berisi mulai menyusut memasuki usia remaja. Bibirnya yang kurung kurawa ganda tampak memikat dengan warna persik. Mata biji lecinya tampak tajam namun lembut saat dipandang. Oh –sungguh Sasuke akan tumbuh menjadi pria manis yang tampan lagi memikat.
Sampai pertengahan musim panas.
Dimana pertandingan softball tengah marak di kalangan masyarakat. Sasuke baru kelas satu SMP kala itu. Jangan tanya siapa saja yang menyukai Sasuke kecil, tubuhnya yang mulai berkembang dengan wajah yang rupawan membuat banyak anak perempuan –bahkan laki-laki- jatuh cinta padanya.
Tapi anak itu masih terlalu polos untuk mengerti seperti apa itu cinta. Tidak. Dia tidak akan mengerti. Dunia kecilnya masih terlalu penuh akan kesenangan masa kanak-kanak. Dunia yang dipenuhi dengan orang-orang terdekat. Hanya ayah dan ibu.
Hari itu sebuah pertandingan softball akan diselenggarakan di sekolah Sasuke.
Ia anak yang aktif. Sangat gesit di sekolah. Menjadikan Sasuke sebagai seorang pemain, tentu merupakan poin penting. Dia menjadi seorang Second Basement dalam pertandingan hari itu. Dengan senyum sumringah, wajah putihnya tampak memerah ditempa sinar matahari yang mulai meninggi.
Dengan pakaian khusus pemain, Sasuke memasuki lapangan bersama timnya. Para penonton yang terdiri dari anak-anak sekolah, orang tua –atau siapapun dari anggota keluarga yang ingin menonton- mulai menyesaki tribun di balik jaring kawat. Mata awas Sasuke menangkap ayah dan ibunya duduk di tribun teratas, ia melambai. Ibunya yang paling semangat melihat putranya bertanding, ia melambai dengan sebuah syal merah –syal keberuntungan Sasuke.
Anak itu nyengir. Beberapa anak laki-laki dan perempuan yang menyukai Sasuke mengelu-elukan namanya di balik kawat penonton, membuat tim Sasuke menggodanya. Sayangnya Sasuke terlalu polos, bahkan terkesan cuek dengan semua itu. Sudah kukatakan; Dia tidak akan mengerti.
Bola putih sebesar dua kepalan orang dewasa tersebut melambung tinggi.
Melayang mendekati base milik Sasuke. Dengan sebuah glove yang terpasang di tangan kirinya, Sasuke mulai meloncatkan tubuhnya ke udara.
BUGH–
Dengan sempurna bola tersebut terpegang di tangan kiri Sasuke. Sorak penonton pecah. Dua detik berikutnya suara peluit terdengar memekakan telinga. "Keluar!" sorakan senang terdengar dari para tim jaga –tim Sasuke- yang berhasil 'mematikan' tim lawan.
Permainan softball terus mengalir lancar.
Tepat pukul sebelas siang, di saat inning permainan sudah mencapai ke empat. Tim Sasuke harus kembali menjadi tim penjaga, kembali pula Sasuke mengambil posisi di tempat semula. Dari tim lawan, tim Sasuke sudah 'membakar' dua orang. "Hitter number ten!" teriak seorang wasit di samping home base.
Dan seorang pria bertubuh besar dengan rambut sependek anak laki-laki –yang terkenal kuat pukulannya- keluar dari balik home base. Mengenakan helm pelindung lantas meraih tongkat pemukul berwarna perak yang tergeletak. Sasuke tampak bersiap-siap di posisi dengan seorang pemain lawan di dalam base-nya. Pria hitter yang akan memukul itu menatap tajam Sasuke dengan permen karet di mulutnya. Pitcher di tengah lapangan mulai mengangkat tinggi-tinggi bola di tangan. Sebelah kakinya terangkat tinggi. Dan kemudian, bagai serangan kobra, pithcer bertubuh tinggi tersebut mengayunkan tangan kanannya. Bola putih keras tersebut meNarutoang tepat kearah pemukul.
BUGH–
Bola itu melambung tinggi bahkan mencapai pinggir sinar matahari yang menyilaukan.
Sasuke bergidik saat bola itu menukik tajam kearahnya, konsentrasinya sedikit terbagi antara menangkap bola dan lawan di base-nya yang mulai berlari.
"SASUKE!" teriak seluruh orang.
Sasuke jatuh tergeletak.
"Kau tidak apa-apa?" tanya teman satu timnya.
Sasuke langsung duduk.
"Iya" jawabnya enteng.
Sedikit menggeleng-gelengkan kepalanya. Penonton pun menjadi rusuh. Terutama orang tua Sasuke. Untungnya seorang pembawa acaranya langsung mengatakan jika Sasuke tidak apa-apa setelah dahinya terhantam bola yang melaju kencang tersebut. Permainan dilanjutkan. Namun sayangnya, permainan Sasuke perlahan menurun. Tangkapannya sering meleset. Angka poin lawan pertandingan melesat cepat karena insiden –yang kerap terjadi pada pemain softball- dari Sasuke.
"Kau tidak apa-apa nak?" tanya seorang guru wanita bertubuh tinggi.
Sasuke tetap menunduk menatapi lantai.
"Sasuke?" guru itu menepuk bahu kiri Sasuke.
Anak itu pun menoleh cepat. Dan hal itu membuat kepalanya berdenyut.
"Tidak apa-apa Sasuke, itu hanya permainan kan? Jangan disesali. Mengerti?"
Sasuke menatap kosong wanita itu. Ia tidak mengerti. Tiba-tiba telinganya sakit, membuatnya cepat-cepat menutupi telinganya dengan tangan.
Guru itu salah mengartikan.
"Sasuke, kau tidak perlu seperti itu. Masih ada tahun depan bukan? Aku tetap akan menjadikanmu sebagai pemain. Tenang saja" ia menyentuh pucuk kepala Sasuke.
Telinganya berdenging. Matanya ia pejamkan rapat-rapat. Rasanya di dalam kepalanya ada yang meninju-ninjunya. Telinganya seperti tersumpal mesin denging yang berdesing menyakitkan. Guru itu menekankan telapak tangannya ke bahu Sasuke kemudian menatap wajahnya yang menunduk. Air matanya sudah berderai menjatuhi celana olahraganya.
Guru itu kaget.
"Sasuke? Kau tidak apa-apa?" ia mulai panik karena ternyata Sasuke menangis. Ia sungguh tidak mengerti Sasuke akan menangis hanya karena ia kalah dalam pertandingan.
"AA–!"
DEG! DEG!
Jantungnya seolah berhenti berdetak. Tenggorokannya tercekat. Sempurna tercekat.
Baik kedua orang tua Sasuke maupun pihak sekolah tidak pernah menyangka jika hantaman bola itu bisa membuat Sasuke buta, tuli sekaligus bisu dalam sekali waktu. Bola itu hanya mengenai dahi Sasuke, lalu dia terjatuh begitu saja dengan sebuah batu kecil di bawah kepalanya. Batu kecil seukuran buah ceri. Dan dia juga bilang baik-baik saja pada temannya.
Tapi mengapa?
Mengapa Tuhan harus merenggut mata, telinga dan suara Sasuke dengan sebuah bola seperti itu? Orang tua Sasuke sudah membawanya untuk berobat kemanapun. Menanyakan kenapa itu bisa terjadi.
Kelenjar pituitarinya pecah saat hantaman itu terjadi. Dan ketika Sasuke terjatuh, mungkin kepala bagian belakangnya yang tersalur langsung dengan syaraf tulang belakangnya, terjepit dengan batu kecil yang ia tindih. Itu langsung bereaksi dengan kelenjarnya yang tidak mampu mengerjakan tugasnya.
Perlahan-lahan penglihatan Sasuke pun memudar; itulah mengapa tangkapannya selalu meleset.
Pendengarannya berkurang; itulah mengapa dia tidak mendengar saat ada orang berbicara dengannya.
Dan pita suaranya perlahan tidak berfungsi; itulah mengapa dia harus tercekat ketika menjawab pertanyaan gurunya.
Dan semuanya berakhir semakin menyakitkan ketika tak seorang dokter bisa menyembuhkan Sasuke. Ditambah dengan ekonomi keluarga Sasuke yang biasa-biasa saja. Ayahnya hanya pegawai kantor biasa, ibunya hanya ibu rumah tangga. Seluruh beban terberat itu harus dipikul oleh bahu kecil Sasuke.
Seorang diri.
Dia merasa dirinya sudah mati. Gelap.
Sunyi. Kosong.
Hanya itu yang Sasuke jalani. Di saat semua kekosongan, kesunyian, dan kegelapan sudah menyelubungi kehidupan Sasuke, hanya kepada ayah ibunya dia bisa berlindung. Hanya sentuhan mereka berdua yang ia kenali. Tidak pernah Sasuke menerima tangan-tangan asing menyentuhnya, meski itu saudara keluarganya sendiri. Dan harus berakhir masuk rumah sakit jiwa sejak kejadian dimana usianya baru saja memasuki empat belas tahun. Ayahnya sedang pergi untuk berkerja seperti hari-hari biasanya, dan ibunya keluar rumah.
Rumah kosong saat itu, dan Sasuke hanya duduk termenung di kamarnya dengan mata kosong dan pintu terkunci. Dia tuli dan buta, jelas tidak tahu apa yang terjadi di sekelilingnya. Dan dua orang asing masuk kerumahnya. Menariknya paksa, mencoba merobek baju yang dia kenakan, memaksanya memuaskan napsu binatang dua orang asing tersebut. Begitu kepala-kepala itu terangkat semakin dekat untuk menerkamnya, Sasuke meraih jam di nakas lampu. Meraih apa saja yang dia bisa ambil. Menghantamkannya pada dua orang tersebut. Mencari peluang untuk keluar dari rumah, meski harus berkali-kali terkantuk benda-benda keras.
Tidak perduli dia terus berlari keluar rumah. Menjauh kemana pun nalurinya membawa. Mencoba mengeluarkan teriakannya. Meski tidak akan pernah keluar. Tangannya meraba-raba kasar pagar tinggi yang berada di tepi jalan. Kakinya dengan gusar menyeret tubuhnya yang setengah terbuka –bajunya robek.
Dan saat cahaya menyilaukan bersamaan dengan decitan ban mengerikan itu datang, Sasuke hanya berlari menyongsongnya.
Konoha, 5 April Lunch Time
"Bagaimana keadaan putramu?" tanya seorang pegawai kantor komersial tersebut.
Ayah Sasuke mengusap wajah kebasnya. Ia tidak mengalihkan pandangan matanya dari bekal yang istrinya bawakan untuknya. Kerutan di wajahnya semakin kentara sejak tiga tahun terakhir ini. Semua orang di kantornya tahu tentang musibah yang dialami oleh Fugaku. Itu sapaan untuk ayah Sasuke.
"Aku turut prihatin karena Sasuke tidak kunjung sembuh" ucap seorang lainnya.
"Kami tetap akan membantu secara materiil jika kau membutuhkan" sambung yang lainnya. Mereka duduk satu meja di kantin.
"Ah...tidak. Tidak usah. Sungguh, aku tidak mau merepotkan kalian" tolak Fugaku sehalus mungkin.
Dia tersenyum sedikit.
Meski pria paruh baya itu tidak bisa menahan kepedihan di hatinya yang kian hari kian mengoyak perasaannya, namun dia mencoba untuk tetap tegar dan tidak meminta-minta. Ya, meski teman-temannya di kantor selalu dengan hati tulus akan menolongnya. Menyarankan dokter ini itu. Membawakan parsel buah untuk Sasuke tiap kali mereka menjenguk. Menyemangati keluarga kecil tersebut. Semuanya dilakukan karena mereka selalu tergugah akan penderitaan yang dialami anak laki-laki remaja tanggung tersebut.
Jadi, apa belum kukatakan? Sejak dia berlari kabur dari dua orang pencuri di rumahnya dan tertabrak sebuah mobil pick up berisi muatan yang melaju dengan kecepatan empat puluh tujuh kilometer per jam. Kecelakaan itu mengakibatkan anak malang itu harus kembali mendapat tekanan batin. Jalannya sedikit pincang.
"Jadi, apa kabarnya Sasuke sekarang?"
Fugaku membuka bekalnya.
Menghela napas sebentar.
"Aku akan menariknya dari rumah rehabilitasi itu" jawaban tersebut membuat empat orang lainnya terkejut.
"Apa? Kenapa?" ia menghela napas lagi.
Sedih rasanya mengingat-ingat perkataan pedas dokter wanita itu.
Sasuke tidak waras!
"Aku rasa...ya...Sasuke lebih nyaman di rumah" tandasnya mengambil sendoknya.
Mendiamkan yang lainnya yang meneguk ludah kaku. Inilah dia kalau begitu. Samudra kepedihan.
.
.
Ini sudah hari ke empat sejak perkataan Fugaku untuk mengeluarkan Sasuke dari rumah rehabilitas yang 'menyiksanya' selama delapan bulan terakhir. Istrinya sudah setuju dengan keputusan itu. Terutama dokter wanita itu. Dia bahkan rela menyewakan mobil untuk mengantar kepulangan Sasuke yang baginya adalah saat-saat paling membahagiakan baginya.
Dan inilah akhirnya; Sasuke kembali duduk bagai mayat hidup di atas ranjang.
"Sayang?" panggil ibunya.
Tangannya mengusap lembut anak rambut Sasuke yang kian memanjang.
"Kau sudah lapar? Ibu sudah membuatkan makan siangmu" kemudian wanita itu mengecup pelipis kiri Sasuke.
Sasuke tetap diam.
Segalanya hampa.
Meski dia mengerti jika ibunya –yang ia hapali dari betapa halus tangannya- tengah memberikannya kasih sayang. Mencoba membuatnya nyaman dan terlindungi. Sasuke tetap terdiam dengan lutut tertekuk dan mata kosong. Wanita itu tersenyum dalam kebutaan anaknya, lalu meniupkan sesendok nasi mengepul dan mendekatkannya pada bibir Sasuke
Ia pun membuka mulutnya kecil. Perutnya sangat lapar, dan dia ingin makan. Tentu ibunya tahu itu, ini sudah masuk jam makan siang. Ia mengerjap beberapa kali merasakan makanan yang masuk ke mulutnya. Dia sungguh sangat merindukan rasa masakan itu, masakan yang sudah entah berapa lama tidak dia rasakan. Di tempat yang penuh dengan tangan-tangan kasar dan tusukan sesuatu yang menyakitkan di kulit lengannya.
Pelan tapi pasti Sasuke membuka mulutnya lagi bahkan sebelum dia menelan semua yang ada dalam mulutnya. Wanita itu tersenyum senang. Setidaknya di rumah Sasuke jauh lebih tenang, dan ia bisa menjaganya sendiri.
Ia membuka mulutnya lagi, kali ini lebih lebar. Sasuke ingin bicara, tapi lehernya tercekat lagi. Tidak mampu mengeluarkan suaranya. Jadilah dia hanya membuka-menutup mulutnya yang tidak bisa dimengerti ibunya. Membuat hati wanita itu tertohok, menyadari jika dia tidak bisa berbicara dengan putranya sendiri.
Ekspresi datar Sasuke.
Tangannya yang pasif.
Pandangan mata yang kosong.
Semuanya bagai palu yang mengantam ulu hatinya. Dia ingin Sasuke kembali normal Tuhan! Sungguh. Bahkan jika Sasuke tidak bisa kembali normal, setidaknya... setidaknya Tuhan!
Kembalikan pendengarannya! Supaya dia bisa mendengar suara orang-orang yang disayanginya! Jika tidak, kembalikan penglihatannya
Kembalikan agar dia bisa melihat ayah, ibu dan teman-temannya lagi! Ya Tuhan, dan sungguh ini permohonan terakhir dari ibu Sasuke. Jika tidak bisa pula Tuhan mengembalikan pendengaran atau penglihatan putranya, setidaknya kembali suaranya!
Hanya suaranya Tuhan! Supaya mereka bisa mendengar suara Sasuke. Membuat mereka mengerti apa yang diinginkan dan dibutuhkan anak laki-laki manis itu. Tapi, tampaknya semuanya hanya kesia-siaan belaka.
.
.
Waktu sudah menunjukkan pukul lima petang. Warna mega yang berat terlihat menggantung di langit-langit setiap bangunan. Fugaku rindu pada anaknya. Dia ingin cepat-cepat sampai di rumah. Sedikit melirik jam yang tergantung di kantornya.
'Masih ada waktu untuk membeli makanan kesukaan Sasuke' pikirnya.
Dan dengan cepat dia memberesi segala kertas, map dan buku tebal yang berserakan di mejanya. Menjejalkannya dengan tergesa-gesa ke dalam tas lusuhnya dan langsung berlari mencabut kartu kerjanya yang tertempel di dinding.
"Dia terlihat lebih senang sejak Sasuke di rumah" ucap seorang di sana.
"Seharusnya dulu kita tidak usah menyarankan dia membawa Sasuke ke rumah rehabilitiasi" gumam yang lainnya.
Lalu suara tawa yang melegakan berderai di plafon kantor komersial yang megah tersebut.
.
.
Toko bergaya Jepang kuno itu terlihat hampir tutup.
Hanya ada satu pengunjung yang baru saja keluar dengan sekantong makanan. Dan seorang lagi masih di dalam toko tersebut.
"Lama sekali aku tidak melihatmu" ucap penjaga kue tradisional tersebut.
Tangannya dengan cekatan membungkus semua kue yang Fugaku masukkan kedalam keranjang.
"Ah, kupikir aku harus semakin sering kesini untuk menghabiskan isi dompetku" gurau Fugaku.
Kali ini dia tertawa. Tawa tanpa tahanan. Penjaga toko bertubuh gempal dengan celemek warna-warni itu menyodorkan kantong plastik bertuliskan brand toko roti tersebut. Disusul sebuah bon.
"Sasuke bagaimana?" tanya pria itu.
Fugaku mengeluarkan sejumlah uang.
"Kuharap akan terus membaik seiring waktu" gumam Fugaku.
"Apa dia masih sering...?"
"Haha...ya. Dia memang masih sering mengamuk, tapi sekarang Sasuke ada di rumah"
Fugaku mengambil kantong plastik tersebut dari atas etalase kaca setelah terlebih dulu meletakkan sejumlah uang yang harus dibayarnya, lalu berbalik. Penjaga kue itu segera saja menghembuskan napas dengan lega
"Hei, tunggu!" Fugaku berhenti dan memutar tubuhnya menghadap pria itu.
"Ini untuk Sasuke. Gratis" Fugaku tersenyum kecil, ada gurat lelah sekaligus bahagia di matanya yang menua. Tidak disangka jika banyak sekali orang yang peduli pada Sasukenya.
"Terima kasih"
.
.
Malam kamis ini udara sedikit dingin. Angin musim semi berhembus sedikit membuat ayah Sasuke merapatkan jas kerjanya. Dengan sedikit tergesa-gesa dia berlari kecil.
TIIIN –TIIINN!
Dalam sekejap tubuh tua dan ringkih itu sudah jatuh setengah tidur. Kantong plastik berisi kue kesukaan Sasuke terlempar beberapa kaki darinya.
Seorang pemuda segera keluar dari mobil biru yang baru saja –dengan tidak sengaja- menubruk tubuh seorang pria tua. Dia berlari dengan sedikit panik.
"Anda tidak apa-apa? Ah~ maaf. Sungguh! Aku tidak sengaja tuan. Maaf" Fugaku sedikit meringis saat pria muda berkacamata itu membantunya berdiri.
Lututnya nyeri setelah menabrak kap mesin mobil mahal tersebut.
"Maafkan aku" "Ah~tidak. Tidak apa-apa. Aku yang salah, harusnya aku menyebrang di penyeberangan"
Pemuda itu mendudukkan tubuh Fugaku di tepi jalan. Mengambilkan tas kerja dan kantong plastik dengan sebagian isinya keluar.
"Maaf, aku tidak sengaja. Biar kuobati dulu tuan" pemuda itu berlari ke pintu mobilnya lalu keluar kemudian dengan cepat. Di tangannya dia sudah membawa kotak kecil.
"Tidak apa-apa nak, ini hanya lecet kecil saja" tolak Fugaku.
Dia merasa tidak enak pada pemuda itu, dia yang salah. Pemuda itu tersenyum kecil –setulus mungkin. Lambat-lambat menggeleng sambil mengoleskan kapas yang basah oleh alkohol ke permukaan telapak tangan Fugaku.
"Aku sedikit melamun saat berkendara, jadinya maaf...malah menabrak tuan"
Fugaku terkekeh kecil.
Sama-sama tak enak hati. Dia menatap oleh-oleh untuk putranya. Sedikit hancur. Lalu ia menatap telapak tangan kanannya yang tertempeli plester.
"Ini untuk pencegahan supaya kaki tuan tidak bengkak" ucap pemuda itu sambil perlahan menarik kaki kanan Fugaku. Lututnya agak berdenyut.
"Kau dokter nak?" tanya Fugaku.
Dia mendongak, kemudian tersenyum kecil.
"Tidak. Belum. Masih mahasiswa, dalam tahap skripsi" jawabnya lalu meneruskan sedikit memutar kaki Fugaku.
Pria paruh baya itu tersenyum.
"Siapa namamu?" pria tampan itu tersenyum –lagi.
.
.
"Sasuke? Sayang? Ayahmu membelikanmu makanan kesukaanmu...makanlah" bisik wanita berwajah lelah tersebut.
Ujung jarinya mencubit sebuah kue mochi basah. Menempelkannya pada ujung bibir Sasuke yang terkatup rapat. Fugaku dengan matanya yang sangat terluka menatap anaknya. Seandainya ada alat yang bisa memindahkan penyakit, maka biarlah dia yang menanggung semua beban menyakitkan milik Sasukenya.
Anak itu diam sambil tetap meletakkan kepalanya pada bahu ibunya –yang kian hari makin berkurang kegempalannya. Jemarinya memainkan ujung selimut yang membungkus kaki penuh lukanya. Mikoto –ibunya- mencondongkan tubuhnya pada Sasuke.
"Ini kesukaanmu sayang" bisiknya lagi.
Sebelah tangannya merangkul tubuh kecil Sasuke. Ia menatap mata kelabu Sasuke, mata sedingin es.
"Sasuke?" bagai mendengar bisikan ketiga kali dari ibunya.
Wajah manis itu tertoleh untuk menatap ibunya, meski hanya akan terbentang kain hitam di depan matanya. Bisa dirasakannya saat tangan halus ibunya membelai-belai pipi tirusnya. Mulutnya membentuk huruf 'A'.
Ibunya mengangguk.
Bentuk itu selalu diartikannya sebagai panggilan untuknya.
Sasuke kembali 'memanggil' ibunya. Matanya yang kelabu mencoba 'bicara' pada ibunya. Wanita itu adalah ibunya, ibu kandung Sasuke. Seorang ibu memiliki ikatan kuat dengan anaknya, meski Mikoto belum bisa secara keseluruhan membaca gerak bibir 'A' putranya.
Tangan-tangan lemah Sasuke menggapai ujung baju ibunya, matanya terfokus lurus –tidak sepenuhnya menatap bola mata Mikoto. Air mata itu kembali berderai. Meluncur cepat membasahi sepanjang pipi putih Sasuke. Mulutnya kembali bergerak. Jika saja ibu berwajah teduh tersebut dapat membaca gerakan Sasuke, maka tiga kali gerak bibir itu telah membuat hati Mikoto –yang sudah tercabik-cabik- harus kembali merasakan sayatan sembilu secara telak.
Pandangan itu.
Gerak bibir bisu itu.
Semuanya membentuk sebuah kalimat. Kalimat yang sungguh meremukkan seluruh sendi ibu paruh baya tersebut; Aku sayang kalian.
.
.
Di dalam kamar berukuran lima kali tujuh meter tersebut Fugaku duduk di atas ranjang.
Sudah sejak setengah jam yang lalu ia menimang untuk menelpon sebuah nomor di atas secarik kartu nama. Nama itu tercetak menggunakan tinta hitam dengan huruf besar-besar, di atas sebuah nomor kantor. Di atas nama tersebut, tertulis sebuah klinik lengkap dengan alamatnya.
"Hahh..."
"Halo? Selamat malam?" sapa sebuah suara wanita di seberang.
Fugaku menatap nama di kartu tersebut. Itu nama seorang laki-laki.
"Halo?" sapa suara di seberang.
Fugaku 'terbangun'.
"Ah~ya, maaf..."
'Ya tuan? Ada yang bisa kami bantu?'
Fugaku sedikit bergumam berpikir, ada sedikit rasa ragu kembali menghantui perasaannya. "Ini benar klinik terapi dokter Naruto?"
*Flashback*
"Kau dokter nak?" tanya Fugaku.
Dia mendongak, kemudian tersenyum kecil.
"Tidak. Belum. Masih mahasiswa, dalam tahap skripsi" jawab pemuda itu lalu meneruskan sedikit memutar kaki Fugaku. Pria paruh baya itu tersenyum.
"Siapa namamu?" pria itu tersenyum –lagi.
"Gaara" jawab pemuda baik hati itu.
Fugaku tersenyum senang.
"Spesialis apa?" tanya Fugaku setelah mereka duduk di bangku umum.
Pemuda bernama Gaara itu membenarkan letak kacamatanya.
"Aku spesialis penyakit dalam, tuan"
Fugaku ber-oh pelan.
Gaara menatap kantong plastik yang dibawa Fugaku.
"Maaf atas kecelakaan tadi, dan maaf tentang kue itu. Tuan..."
"Haha...Fugaku"
Gaara mengangguk mengerti.
"Aku benar-benar tidak sengaja"
"Tidak apa-apa, ini juga salahku"
Fugaku menatap kantong plastiknya.
"Ini untuk putraku yang di rumah" gumamnya pelan.
"Ah~ putra anda masih kecil?" tanya Gaara.
Fugaku tersenyum kecut.
"Tidak. Usianya enam belas tahun"
"Mmm...dia pasti senang mendapat oleh-oleh dari ayahnya" ucap Gaara yangs secara tidak sengaja menohok perasaan Fugaku.
"Yah...seandainya"
Gaara mengernyit.
"Seandainya?" ulang pemuda itu.
Fugaku seolah tersadar akan menceritakan masalah keluarganya.
"Ah~tidak. Bukan apa-apa"
"Putra anda sedang...sakit?" tebak Gaara tanpa ada maksud memaksa bercerita.
Dia hanya bertanya. Fugaku menghela napasnya yang tertahan.
"Putraku...sedikit...berbeda" dari hasil jawaban tersebut tidak membuat Gaara menarik kesimpulan jika anak tuan Fugaku adalah; gila?
"Maksud tuan? Ah~ maksudku, aku hanya bertanya saja. Siapa tahu bisa membantu?"
Fugaku sedikit tersenyum.
"Dia tidak suka dengan orang lain, mungkin...takut" gumam Fugaku.
Perkataannya seolah ia lepas kepada angin lalu. Namun, hal itu membuat Gaara sedikit tergugah. Seperti ada kelainan mental –menurut Gaara.
"Apa...dia sering bertingkah yang...maaf...aneh?"
"Dia sering meraung dan membanting apa yang ada di sekitarnya saat ada orang asing"
"Apa anda pernah memasukkannya ke psikiater"
"Sasuke tidak gila!" geram Fugaku, amarah langsung terpancing tiap kali ada orang yang bertanya seperti itu.
Psikiater. Rumah sakit jiwa. Rehabilitasi.
Gaara terdiam.
"Mmm...maaf"
"Hahh...dia seperti itu sejak dia 'kecelakaan'" desah Fugaku.
Kentara sekali ada suara keputusasaan di sana. Hingga akhirnya Gaara memberikan sebuah kartu nama. Seorang dokter psikoterapi. Setelah meyakinkan Fugaku jika dokter itu bukanlah seorang dokter yang bisanya hanya menangangi orang-orang berkelainan mental. Dokter Naruto Uzumaki
*Flashback End*
Two days later.Konoha, in the evening. 7p.m
Tok...Tok...Tok
"Dokter Uzumaki?" tanya seorang perawat di klinik besar tersebut.
Laki-laki matang bernama asli Naruto Uzumaki tersebut mengalihkan matanya dari berkas di atas meja.
"Ya?" tanyanya balik.
"Ada yang ingin bertemu langsung dengan anda" dokter itu mengernyit.
Tidak biasanya.
"Suruh dia masuk"
Perawat itu pergi sementara dokter itu memberesi meja kerjanya. Selang beberapa detik, pintu berwarna coklat tua itu pun terbuka. Seorang pria paruh baya datang seorang diri.
"Ah~silahkan!" Fugaku –si pengunjung- tersenyum lantas duduk di kursi di hadapan dokter muda itu. Dia menatap papan nama berwarna putih di atas meja kaca hitam. NARUTO UZUMAKI.
"Ada yang bisa saya bantu tuan?" tanya Naruto.
Fugaku tersenyum kaku.
"Ada masalah apa?" tanya Naruto sambil menarik sebuah buku kecil dari laci. Fugaku mengernyit.
"Ah~tidak. Ini...ini bukan tentangku dokter" ucap Fugaku.
Dia menghela napas.
"Ini tentang anakku" ucapnya sedikit tercekat.
"Ohh...hm..."
Naruto sedikit menarik napas.
"...baiklah. Dia...ada disini tuan?"
"Ah~ mmm...tidak. Dia...maksudku...anakku tidak mau untuk ikut" Naruto mengangguk mengerti. Ini pasien teranehnya.
"Apa dia merasa tertekan?" tanyanya mengembalikan buku kecil tersebut kesamping laptopnya yang masih menyala.
Fugaku menggeleng tak tahu. Ia terlalu lelah.
"Apa dia sering melakukan hal yang sedikit tidak wajar?"
"Ah! Dengar! Dokter, begini...putraku tidak gila! Sungguh. Dia masih waras. Seratus persen waras!" sergah Fugaku membuat Naruto sedikit tersentak.
Pria di depannya tampak berapi-api. Naruto memilih kembali mengangguk-angguk memahaminya. Wajah rupawannya tetap begitu terkendali dan penuh dengan ketenangan. Kemudian Naruto membenarkan posisi duduknya agar senyaman mungkin.
"Baiklah. Jadi, bagaimana putra anda di rumah tuan?" tanya Naruto.
Fugaku menghela napas.
"Dia...dia hanya mengamuk saat ada orang asing di sekitarnya"tandas Fugaku dalam sekali tarikan napas.
Naruto menatap orang di depannya. Hanya itu? Pikir Naruto tak habis pikir.
"Mmm...itu hanya xenophobia biasa tuan..." ucap Naruto sambil melipat kedua tangannya di atas meja. Ada seukir senyum penuh kewibaan di atas bibirnya
"...berapa usianya?" tanya Naruto.
"Enam belas tahun" dokter itu mengangguk mengerti.
"Tuan bisa melakukan terapi pada putra tuan, secara rutin di rumah rehabilitasi milik kami" tandas Naruto.
"Tapi dokter..." Fugaku mencoba menyela perkataan dokter muda tersebut.
Rehabilitasi. Kata yang sangat mengusiknya.
"Ya?"
"Sasuke, pernah kami masukkan ke sebuah rumah rehabilitasi selama delapan bulan. Bukannya dia sembuh, tapi dia semakin tertekan" jelas Fugaku.
Dokter Naruto tersenyum mencoba menenangkan pria di depannya.
"Hanya sekedar untuk informasi tuan. Tidak semua rumah rehabilitasi baik untuk pasien. Ada beberapa rumah rehabilitasi yang justru membuat pasien semakin tertekan dengan pelayanannya. Tapi rumah rehabilitasi milik kami sangat berbeda tuan. Rumah rehabilitasi kami terletak di Myoboku"
"Jadi maksud dokter ada di dalam hutan?" kembali menyela, pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Fugaku.
Naruto pun mengangguk.
"Kami memang memilih hutan gunung Myoboku untuk menjadi tempat rehabilitasi agar bisa jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Mencoba mencarikan kenyamanan dan ketenangan bagi pasien. Tenang saja tuan, lokasi rehabilitasi kami hanya terletak di bibir hutan. Rumah rehabilitasi kami besar dengan penjagaan ketat. Jadi jangan khawatir, putra anda akan aman di sana..."
Naruto memotong perkataannya lalu berdiri menghampiri sebuah rak buku besar di sebelah kanan meja. Ia meraih sebuah buku tebal.
"Ini fasilisitas yang kami sediakan"
Fugaku membuka halaman demi halaman. Pelayanan kamar kelas VIP. Lengkap dengan ruangan terapi. Terapi di sana dijalankan oleh para medis yang ahli dalam bidangnya. Rumah rehabilitasi itu lebih mirip penginapan alam. Terkesan natural namun mewah. Fugaku menelan ludahnya... biayanya?
"Tuan tidak perlu risau tentang biaya. Kami mengutamakan kesembuhan pasien terlebih dahulu baru menangangi biayanya. Tapi itu setelah tuan sepakat dan menandatangani surat perjanjian terlebih dulu"
Fugaku menatap dokter muda itu. Dokter itu tidak tahu seperti apa Sasuke. Tidak, belum tahu. Apa setelah para medis di Myoboku melihat kondisi Sasuke mereka masih mau merawatnya? Lagi-lagi lidahnya tercekat.
"Kami akan berusaha tuan" ucap Naruto meyakinkan.
Sorot matanya yang lembut namun tegas mampu membuat gadis manapun luluh padanya. Kalau Sasuke melihatnya, apa dia akan...ah! Dia masih enam belas tahun! Laki-laki dan cacat pula!
"Umm...begini...aku sudah membicarakannya dengan istriku tempo hari mengenai ini, dan kami sepakat agar dokter mau melihat kondisi Sasuke, putra kami"
Naruto tampaknya berpikir. Jadwalnya sangat sibuk.
"Maaf tuan..."
"Aku mohon dokter, Sasuke sangat berharga bagiku dan istriku" ini kali pertamanya sejak dua tahun Naruto menjadi dokter secara resmi.
Baru kali inilah ada keluarga dari pasien yang meminta-mintanya begini.
"Akan kurimkan medis kesa..."
"Tidak!"
Naruto menatap bingung Fugaku yang tiba-tiba berdiri dari kursi.
"Kumohon! Bukankah anda dokternya? Kumohon! Aku sangat memohon! Sasuke sungguh berbeda dengan pasien-pasien lainnya dokter! Dia sangat...sangat...kumohon!" matanya memanas ketika berusaha memberikan detail tentang putranya.
Dokter itu tercengang, tiba-tiba ada sentakan dalam hati Naruto. Seperti ada sesuatu yang memerintahnya agar mau melihat kondisi anak bernama Sasuke tersebut. Bagai tergelitik oleh bulu-bulu halus, Naruto pun mengangguk dan meraih jasnya kemudian melangkah keluar bersama ayah si pasien.
.
.
Sementara di rumah, Mikoto terus mengusap-usap lembut rambut hitam Sasuke yang tengah tiduran di atas ranjang. Mikoto sedang membayangkan bagaimana Sasuke nanti mengamuk saat tahu ada orang asing di sekitarnya. Jam dinding Sasuke menunjukkan pukul delapan lebih lima belas.
"Hahh...ayahmu sangat lama" gumam Mikoto.
Ia menghentikan usapannya. Kepala Sasuke bergerak meminta tangan itu lagi, Mikoto hanya tersenyum.
"Ibu menyayangimu Sasuke, jadi bersabarlah dengan semua ini" mata Sasuke tetap memandang kosong.
Tidak bisa merasakan apapun di sekitarnya kecuali kehadiran ibunya. Dia hapal dengan getaran yang dipancarkan oleh kehadiran ibunya. Karena perlahan-lahan Sasuke belajar untuk mengenali keberadaan ayah dan ibunya. Hanya mereka berdua saja. Deru mobil terdengar dari luar rumah, membuat Mikoto segera menatap pintu kamar Sasuke.
Derap langkah terdengar menaiki tangga rumah. Dan mereka sampai.
Fugaku melambai kearah ranjang dimana seorang laki-laki bertubuh ringkih terbalut baju rajut merah tengah meringkuk dengan ibunya. Naruto masuk ke dalam kamar berwarna biru pudar tersebut.
"Bolehkah?" tanya Naruto tanpa suara –tidak ingin mengganggu ketenangan Sasuke.
Tanpa diminta, Naruto segera melangkah ke depan Sasuke. Matanya tengah terpejam meski deru napasnya tidak menandakan jika dia tengah tertidur. Naruto menatap ibunya, meminta persetujuan untuk sekedar membangunkan Sasuke. Ibunya hanya mengangguk sambil menggigit bibir bawahnya.
"Sasuke?" panggil Naruto perlahan.
Tetap terpejam, namun terlihat kedua alisnya tertekuk. Ibunya mencelos dan menatap suaminya.
"Sasuke?" panggil Naruto lebih keras dari sebelumnya.
Air mata hampir lolos dari mata Mikoto dan Fugaku.
"Sasuke? Kau deng–!"
Saat Sasuke merasakan ada tangan lain yang mengusap puncak kepalanya dia langsung menampik kasar tangan tersebut. Membuangnya jauh-jauh. Mata kelabunya melotot tak suka. Dan dengan cepat pula, kedua kakinya menendang-nendang tidak karuan. Bibirnya terbuka lebar, mencoba mengeluarkan suaranya.
Kosong.
Tangannya yang bergerak liar mencoba melempar jam weker, bantal, selimut dan apapun yang sanggup dia raih. Matanya lagi-lagi bergerak-gerak gusar. Tidak senang ada orang asing. Apalagi sampai menyentuhnya! Sasuke merangkak keujung ranjang, namun tangan ibu dan ayahnya meraihnya terlebih dahulu. Mencegah Sasuke membanting segala yang ada di kamar. Naruto –yang tampak setengah syok- berdiri sambil mencengkram ujung meja belajar di samping ranjang. Mulutnya membuka tidak percaya akan respon anak manis yang tadi menutup mata dengan tenang.
"Sasuke! Sasuke sudah sayang! Tenang nak! Ibu disini! Sasuke!"
Naruto pun mengerti mengapa ayah Sasuke mengatakan jika putranya 'berbeda'.
Yah, Sasuke sangat 'berbeda'.
Dia terlampau 'rapuh'.
.
.
Naruto menatap tubuh Sasuke yang sudah melemas sejak sepuluh menit yang lalu. Setelah dia membius Sasuke agar mau berhenti memberontak, meski harus dengan sebuah 'hadiah' tendangan di dadanya. Ia mengambil senter kecil dari dalam tas kerjanya, sedikit membuka kelopak mata Sasuke. Warna pupilnya keruh. Naruto menelan ludahnya. Ia memang seorang dokter psikoterapi, tapi tidak berarti dia 'buta' tentang organ lain. Pria berbibir tipis itu merasa tersendat ketika mengetahui jika mata bulat –yang kini keruh sepenuhnya- telah buta permanen.
Hati kecilnya tiba-tiba berontak –menggeliat tak terima- melihat keadaan anak itu. Kemudian setelah semakin sesak melihat kebutaan Sasuke, Naruto menegakkan dirinya dan menatap kedua orang tuanya. Mikoto sudah menangis dalam pelukan suaminya, sedangkan Fugaku menatap pasrah keatas ranjang. Pasangan suami istri itu tidak mampu melakukan apapun.
"Aku bisa langsung membawanya ke klinik" ucap Naruto pelan.
Meminta persetujuan dari mereka. Mikoto mengusap ingusnya dengan patah-patah. Hatinya semakin remuk saat tahu jika ia akan dijauhkan lagi dengan Sasukenya. Berkilo-kilo jauhnya. Konoha-Myoboku. Bisa ditempuh dengan perjalanan satu jam dan setengah jam menuju Myoboku.
Seolah dalam ulu hatinya ada gerinda yang menggilas-gilas hatinya. Sakit.
Naruto melayangkan pandangan matanya pada Sasuke lagi. Pancaran trauma yang menghantui Sasuke tampak dengan jelas di mata psikologi Naruto.
"Kalau kalian ijinkan, malam ini aku akan langsung mengurus registrasinya lalu membawa Sasuke menuju Myoboku"
"Secepat itu?" tanya Mikoto takut-takut.
Naruto mengangguk; tidak punya jawaban lagi.
"Kami akan memberinya beberapa terapi khusus"
"Berapa lama?" lanjut wanita itu.
Naruto mendesah tertahan.
"Secepat Sasuke bisa menerima"
"Bisakah kau sembuhkan dia?" rintih Mikoto.
Fugaku mengeratkan pelukannya. Mencium pucuk kepala istrinya.
"Akan kami coba" ucap Naruto.
"Kau harus menanganinya sendiri dokter!" teriak Fugaku.
Dia geram. Dia takut jika anaknya harus diurusi oleh para medis yang kasar dan tidak sabaran.
Naruto terdiam, menimang dan bimbang. Sungguh ia ingin sekali terus berada di sisi laki-laki berwajah cantik namun rapuh itu. Menghela napas dengan sangat sulit sambil menatap wajah tenang Sasuke. Wajah polos dan penuh akan penderitaan. Seolah wajah putihnya tersebut meneriakan; sembuhkan tuanku! Sembuhkan tuanku!
Persendian Naruto bergulat mendengar teriakan wajah Sasuke.
Lindungi dia Naruto! Lindungi dia!
"Baiklah."
Morning Sunday Starbucks Coffee Cafe.
"Yo! Kau sudah sampai?"
Dokter muda itu tersenyum kemudian meletakkan teh hambarnya di meja.
"Maaf aku baru bisa menemui sekarang, setelah dua minggu kau di Jepang. Hehe...bagaimana di Amerika? Enak?" tanya Gaara melambai pada pelayan kafe.
Seorang wanita datang dengan buku menu.
"Capucino" ucap Gaara sambil mengangkat satu jarinya.
Pelayan itu mengerti dan pergi.
"Seperti yang kau rasakan dulu"
"Hahaha...aku tidak suka musim panas disana"
"Kenapa?" tanya Naruto.
"Siang hari menjadi terlalu lama!" mereka berdua tertawa lepas.
Senang setelah dua tahun tidak bertemu. Naruto sibuk di Amerika dengan tes psikoterapinya, dan Gaara yang sibuk menyelesaikan kuliah kedokterannya di Jepang.
"Oh ya, aku ingin mengenalkanmu pada seseorang" Naruto mengernyit.
"Siapa?"
"Kau akan suka" jawab Gaara menerima segelas capucino dari si pelayan wanita.
Naruto hanya tersenyum geli. Kebiasaan.
Gaara dan Naruto menghabiskan satu setengah jam untuk membahas aktivitas mereka sampai akhirnya Gaara melambai kebelakang Naruto.
Naruto menoleh dan seorang gadis dewasa berjalan kearah mereka.
"Apa aku lama?" tanya wanita itu.
Naruto menatapnya. Cantik. Tentu saja.
"Tidak. Ah~ Sakura ini Naruto yang pernah aku ceritakan..."
Gaara menunjuk Naruto dengan dagunya.
Gadis berambut merah muda lembut itu menoleh, menatap pria tampan yang sedang tersenyum padanya.
"Sakura" gadis cantik itu mengulurkan tangannya pada Naruto.
"Naruto Uzumaki" ucap pria itu menyambut uluran tangan Sakura.
Gadis bernama Sakura itu cantik tidak terkira. Mata bolanya yang berkilauan. Wajah orientalnya yang manis, bibir tipisnya namun sensual. Dan Sakura tipe wanita cerdas.
"Dia teman kuliahku. Kami satu fakultas hanya beda jurusan" ucap Gaara mengambil capucinonya.
Satu senyuman terukir di bibir Sakura.
"Sungguh?" tanya Naruto menatap gadis modis di depannya.
"Aku spesialis jiwa" ucap Sakura menyandarkan punggung simetrisnya.
"Oh? Benarkah?" Naruto mulai tertarik dengan pembicaraan ini.
"Ya, masih dalam tahap skripsi" tuturnya kemudian melirik Gaara yang senyum-senyum senang.
"Hm. Aku rasa kalian cocok" tandas Gaara membuat Naruto menatapnya kaget.
"Apa?" tanyanya lambat-lambat.
"Kau psikoterapi, Sakura akan lulus sebagai dokter spesialis kejiwaan. Itu baguskan?"
Sakura menyikut lengan Gaara.
Naruto hanya tertawa menanggapi godaan Gaara.
DRRTT– DRRTTT–
"Sebentar" Naruto merogoh saku celananya.
Mengetuk layar ponselnya sekali.
Dari Rumah Rehabilitasi Myoboku.
"Halo?"
'DOKTER! DATANGLAH KEMARI! SEKARANG! SASUKE MENGAMUK!'
"Apa? Ada apa?!" tanya Naruto mulai panik.
Gaara dan Sakura terlihat bingung –bahkan menyiratkan kecemasan.
'KUMOHON! TIDAK ADA WAKTU! DIA MENGAMBIL PISAU! DOKTER CEPATLAH!'
"Aku kesana sekarang!" panggilan darurat itu langsung terputus begitu Naruto bangun dari kursi.
"Ada apa?" tanya Gaara.
"Ada masalah di tempat rehabilitasi. Maaf, aku harus kesana sekarang. Maaf. Permisi"
Setelah membungkuk untuk sekedar formalitas Naruto pun segera berlari menuju ke mobil Audy putih yang terparkir tak jauh.
"Ada apa dengannya?" tanya Sakura.
Nada kesal sangat kentara dalam pertanyaannya. Gaara mengangkat bahu; tidak tahu.
.
.
Mobil mewah itu mengebut membelah jalanan Konoha. Mengikuti jalur sungai Rinta yang megah dengan bunga sakura di sepanjang jalan. Semua itu akan menjadi pemadangan yang indah jika tidak dalam situasi genting seperti ini.
Naruto membelah kota Konoha dan mencari destinasinya. Kawasan Myoboku. Perjalanan yang seharusnya mengambil waktu sekitar satu setengah jam –dari Konoha- hanya Naruto tempuh dengan waktu setengah jam. Ban mobilnya tampak menipis dengan ekstrim. Saat ini pepohonan cemara dan gingko di depan rumah rehabilitasi tersebut menyambutnya. Yang biasanya tampak bergoyang bersahabat, kini tampak melambai angker.
Bahkan rumah rehabilitasi tersebut sudah terlihat rusuh dari luar. Memarkir asal mobilnya dan Naruto pun membanting pintunya sambil berlari keluar dari mobil. Menyusuri lorong terang rumah penampuangan tersebut dengan langkah lebar-lebar. Entah mengapa, Naruto tidak pernah merasa segugup dan secemas ini sebelumnya.
Hati kecilnya meraung mendengar Sasuke mengamuk.
Memegang pisau pula! "DOKTER!" teriak seorang perawat berbaju coklat berlari tergopoh-gopoh membawa perban dengan bercak darah disana.
Mata Naruto terpaku. Bulu remangnya berdiri melihat darah tersebut. Sasukekah?
"Dokter! Ayo cepat!" teriak perawat bertubuh gempal itu.
Dia membimbing lari Naruto, dari koridor ujung, koridor paling belakang rumah rehabilitasi –koridor khusus yang Naruto beri untuk Sasuke- tampak sedikit kacau. Dengan beberapa barang keluar, rak dorong ambruk di tengah jalan dengan mangkuk dan gelas terisi yang sudah pecah tak berbentuk. Suara pekikan terdengar semakin keras. Naruto mendahului perawat itu. Berbelok ke kanan dan menemukan kamar khusus Sasuke.
.
.
Anak laki-laki bermata kelabu itu menempel erat di dinding sambil memegangi erat-erat pisau.
Mulut Sasuke mendesis tajam. Meski begitu, air matanya terus mengalir sejak dia mengamuk tadi. Sebercak darah menempel di baju yang Sasuke kenakan.
"Darah siapa itu?" tanya Naruto tercekat melihat Sasuke yang bagai kerasukan.
"Suster Shizune" jawab seorang perawat pria di tempat itu.
Naruto perlahan mendekat pada Sasuke. Namun, seolah gadis itu sudah benar-benar hapal dengan orang di sekitarnya. Bibirnya terkatup rapat dan dia mulai berjalan dengan meraba-raba permukaan dinding.
"Sasuke?" panggil Naruto pelan, terlampau pelan bahkan.
"Sasuke, berikan pisau itu! Sasuke"
Perlahan tangan-tangan Naruto mensejajari langkah Sasuke yang mulai terhuyung-huyung. Sedikit pincang, tapi tidak memperdulikan langkah terseok-seoknya.
Menyesakkan dada Naruto! Anak itu langsung mengacungkan pisau tersebut. Naruto sungguh tidak habis pikir bagaimana Sasuke bisa mendapatkan pisau tersebut. Mulut Sasuke terbuka membentuk huruf 'A' seperti biasanya. Gerak bibir dan ekspresi dari Sasuke menunjukkan jika anak itu tengah berteriak dengan keras –jika saja bisa keluar suara. Ia bergerak semakin liar saat mendekati pojok ruangan tersebut. Berlari menghindar dari Naruto.
"Sasuke!"
.
.
Sasuke menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat. Napasnya memburu. Dia tidak suka disentuh oleh siapapun! Tangan-tangan itu akan berbuat kasar padanya. Naruto berhasil menepis cukup keras tangan Sasuke, saat ia mengacungkan pisau kehadapannya.
Dan sekarang, dengan tubuh yang sempurna Naruto cengkram, Sasuke hanya mampu 'mengerang' bisu, 'melotot' benci pada siapa saja yang menyentuhnya! Dia benci semua sentuhan itu! Dia ingin sentuhan lembut itu. Sasuke mencari tangan-tangan lembut miliknya.
Ya Tuhan, dimana tangan itu?!
Ibuuu!
Mata Sasuke kian memanas saat tubuhnya harus ditarik paksa.
Ibu...sakit.
Naruto berteriak pada seorang perawat di dekat pintu untuk mengambil kunci ruang kosong di kantornya. Perawat itu mengangguk lantas berlari. Mata Sasuke membeliak disertai dengan tubuh yang menggeletar kesal. Rasa benci mendidih dalam hati. Mencengkram lengan Naruto yang membelit perutnya.
Lepaskan! Ibu! Ibu kau dimana?!
Naruto pun menarik tubuh kecil Sasuke keluar ruangan.
Rusuk kirinya sedikit linu setelah siku Sasuke menyodoknya kencang. Perawat yang diminta mengambil kunci sudah membukakan sebuah pintu.
"Diamlah Sasuke!" geram Naruto.
Tangannya makin kencang mencengkram tubuh kurus lemah Sasuke. Air mata Sasuke sempurna jatuh di lengan besar Naruto. Dia kesakitan. Ruangan itu kosong. Tidak ada benda selain sebuah kasur tanpa kerangka yang tergeletak begitu saja di marmer biru ruangan tersebut. Aroma cat menusuk penciuman dengan begitu kuat, memusingkan.
Suara berat Naruto menggema.
"Diam! Diam! Duduklah Sasuke!" dengan sedikit paksaan, akhirnya berhasil menduduk paksakan tubuh Sasuke.
Ia pun langsung beringsut mendekati ujung ranjang. Seolah-olah ingin menyelipkan tubuhnya yang kurus ke pojok ruangan. Naruto menghembuskan napasnya, lutut dan betis Sasuke terluka cukup parah. Dia pasti jatuh dan menghantam sesuatu saat dia belum tiba.
"Ambilkan aku antiseptik dan obat merah!" pinta Naruto pada seorang perawat yang masih setia menonton adegan Naruto dan Sasuke.
Naruto menggulung lengan bajunya menuju sikunya. Tak berapa lama, dia menerima sebotol antiseptik dan obat merah, lengkap dengan kapas dan kain kasa. Wajah kebas Naruto tiba-tiba mencari ekspresi yang tepat untuk keadaan ini.
Melihat tubuh Sasuke yang kurus, luka disana-sini, ada lebam, rambutnya menjadi kusut, pandangan mata kosong, bibirnya yang terbuka dan mendesis tanpa suara. Dia tahu dunia anak itu kosong. Hampa. Tidak ada warnanya.
Perlahan dia merangkak kearah Sasuke, sepelan mungkin tidak membuat pergerakkan. Tapi tetap saja Sasuke bisa merasakan seseorang yang mendekat. Orang asing adalah sinyal bagi otak Sasuke untuk satu tujuan; melawan.
Kakinya terjulur cepat.
BUGHH–
.
.
"Ugh!" "Dokter?!" pekik beberapa suster disana.
Naruto memegangi perutnya yang berdenyut cepat. Sakit juga. Sasuke memulai aksinya lagi. Menggeleng liar dengan kaki terjulur mencoba menendang apa yang ada di sekitarnya.
"Sasuke diamlah!" Naruto mencoba meraih kedua kaki Sasuke.
Sentuhan berarti lawan!
Tangan Sasuke bergerak.
Wajah cantiknya kembali kalut. Naruto meraih bahu kanan Sasuke dari samping kanan. Mencoba meraih tubuh yang berontak tersebut. Satu ilmu yang dia pelajari selama ini; pelukan menenangkan seseorang. Namun sayangnya hal itu tidak berlaku untuk Sasuke. Dia justru semakin buas untuk menepis tangan-tangan Naruto yang mencoba memeluknya. Kakinya berputar mencari celah untuk menghajar Naruto. Tapi dokter itu dengan sigap memasukkan tubuh kecil Sasuke kedalam pelukannya. Menahan tengkuk Sasuke kedalam ceruk lehernya. Membuat Sasuke menghirup aroma menyenangkan.
Suster yang melihat di depan pintu melongo. Beberapa mengucek matanya. Dokter mereka memeluk pasiennya yang sinting?!
"Tenanglah Sasuke! Kau aman..." gumam Naruto.
Napasnya yang hangat mengenai telinga Sasuke. Mengirimkan impuls-impuls menggetarkan. Pelukan itu semakin erat.
Tangan Sasuke memang masih mendorong-dorong bahu lebar Naruto, tapi kedua kakinya sudah diam.
"Tidak apa..." desah Naruto, kali ini sebuah usapan halus di kepala Sasuke membuat anak itu terdiam.
Meski tangannya tetap mencengkram kencang bahu Naruto. Dokter itu membiarkan Sasuke 'menggerung'. Kepala itu perlahan terkulai lemas, meski tidak tertidur –Naruto tahu dari deru napasnya. Tanpa bisa dicegah, bibir Naruto melengkung membentuk senyuman. Satu langkah yang dia dapat; Sasuke membutuhkan pelukan paksa saat dia mengamuk.
.
.
Naruto mengobati luka di kaki Sasuke. Sasuke tetap meremas kencang bahu kiri Naruto. Tanpa Naruto ketahui, otak cerdas Sasuke mulai mengingat-ingat bagaimana getarannya saat ada Naruto di dekatnya. Menyimpan aroma tubuh Naruto yang menenangkan. Mencoba mengingat hangatnya. Meski sebagian besar isi hatinya, tetap berontak pada Naruto.
"Sudah" gumam Naruto.
Ia kembali memandangi wajah Sasuke. "Kau cantik Sasuke" desahnya pada angin.
Tangan kirinya berlari merapihkan anak rambut Sasuke dan anak laki-laki itu masih menolak. Menggeleng dengan keras. Naruto terkekeh.
Malam itu Sasuke tidur dengan sangat tenang. Tanpa suntikan obat bius seperti beberapa bulan terakhir. Naruto menjaga Sasuke, membiarkannya meraba-raba kasar dinding kamarnya yang baru sebelum pada akhirnya dia menuju ranjang dan tertidur dengan posisi semaunya. Pria itu mencoba menarik bibirnya membentuk simpul manis. Satu kesimpulan kecil dari Naruto; Sasuke mulai akan menerima keberadaannya. Manik mata birunyanya menatap tubuh Sasuke yang naik-turun perlahan, deru napasnya sangat teratur. Sedikit menarik napas dan menahan udara stagnan tersebut di kedua rongga paru-parunya.
Ini malam kedua Sasuke kembali terpisah dengan kedua orang tuanya. Puluhan mil jauhnya. Ia pun bangkit dari ujung ranjang Sasuke setelah melihat jam dinding. Sudah sangat larut malam, pantas saja Sasuke tertidur dengan nyenyak. Naruto pun melangkah menuju pintu putih. Menoleh dan memandang Sasuke dengan mata lembutnya.
"Selamat malam Sasuke" gumamnya.
Lantas ia pergi menuju ruangannya, mempersiapkan segala keperluan terapi untuk Sasuke esok pagi.
TBC
Huwahhh panjang bangett T_T
Hehe sasuke emang jell bikin nelangsa hehehe… but, jell suka soalnya naru jadi dokternya mwueheheh
Lanjut ga nih?
Tinggalin jejak buat jell di kolom review ya minnaaa ^^ arigatouuu
