OWNER : MASASHI KISHIMOTO

STORY BY : LLYCHU

PAIR : NARUTO X HINATA

Rated : T

.

.

.

Telunjuk panjang Naruto menyusuri setiap lekuk tubuh istrinya. Bagaimana kulit yang kasar begitu nyaman menyentuh tiap inci kulit mulus dan halus Hinata. Mata birunya yang besar menyipit saat melihat betapa pulas wanitanya tidur. Tangan satunya menjadi alas kepala bermahkotakan indigo itu. Cantik. Bahkan sekarang tak ada yang lebih cantik dari wanitanya, istrinya, Hinatanya.

Sebenarnya, ada satu hal yang Naruto lewatkan sejak dulu. Tentang Hinata. Betapa perempuan yang memiliki hati sebening kaca itu memperhatikan tiap tingkah laku konyol Naruto saat kecil. Itu terlewatkan. Dimatanya hanya ada perempuan musim semi yang tak sehangat namanya, Sakura. Perempuan yang berbanding seratus delapan puluh derajat dengan Hinata.

Tapi sekarang, hatinya memilih. Berkat Toneri yang sempat mendeklarasikan bahwa Hinata akan menjadi istrinya, Naruto tersadar. Betapa penting peran wanita baik hati itu. Bahkan rasa-rasanya saat dulu Hinata diculik dan direbut pria lain, lebih sakit daripada penolakan Sakura. Karena Naruto sadar, cintanya lebih besar pada Hinata, tentu saja.

Lenguhan kecil dan pergerakan tak seberapa Hinata membuat senyum Naruto makin lebar. Mencari posisi nyaman membuat kulit polos mereka saling bergesakan. Tentu saja Naruto harus menahan dulu sisa-sisa nafsu primitifnya. Cukup empat ronde tadi. Hinata terlihat sangat lelah. Oh— ayolah, siapa yang tak kenal Naruto? Pahlawan desa. Penyelamat dunia. Dan yang paling penting, sang jinchuuriki pemilik chakra nyaris tak terhingga. Apa daya perempuan mungil macam Hinata meladeni tenaga sebesar Naruto? Tadi saja ia hampir pingsan jika Naruto tetap memaksanya.

Dan sekarang Naruto masih terjaga. Jujur saja, bisikan halus yang terdengar sangat manis namun tajam dari Kurama beberapa kali mengganggu konsetrasinya. Mau dikata apa, mereka menyatu. Setiap perbuatan Naruto pasti si rubah yang sekarang sudah jinak itu tahu. Tapi tentu saja, Naruto enggan membagi Hinata pada siapapun. Naruto akan menggunakan kekuatan pelindung agar Kurama bisa tertidur dan tak menggangu kegiatan intimnya bersama sang istri. Dan untungnya Kurama pengertian, walau beberapa kali jahil.

Kalau terus memandangnya, kau akan kelepasan. Tidur sana.

Naruto menggeram pelan, "Hey Kurama, bisa kau yang tidur saja?"

Memang suara siapa yang sedari tadi mengganguku? Lagipula Hinata can—

"Diam Rubah mesum!"

Kurama tertawa, dan setelah itu kembali tenang. Membiarkan sang jinchuuriki kembali kewaktu pribadinya. Mungkin tanpa sadar suara Naruto membangunkan Hinata, hingga mata bulan sang istri tampak dari balik kelopak matanya.

"Naru…" suaranya nyaris seperti bisikan. Oh— tanpa sadar Naruto membangunkan sang putri tidurnya.

"Eh? Aku membangunkanmu, Hime?"

Hinata menggeleng pelan, "Tidak."

"Tidur lagi, hm?" belaian lembut di puncak kepalanya membuat Hinata mengangguk. Ia kembali menenggelamkan wajahnya di dada bidang sang suami. Terasa hangat dan sangat nyaman.

"Naru…. Aku ingin bilang sesuatu padamu."

"Apa itu?" kepala Naruto sedikit tertunduk, menyamai kepala Hinata yang sekarang mendongak. Mereka saling berpandangan, dan Hinata yang pertama kali melepas kontak mata mereka. Semburat merah jambu menjalar dari pipi gembilnya hingga ujung telinga. "Hey, ada apa?"

Tahu sang suami penasaran, Hinata kembali menenggelamkan wajahnya, "2 minggu."

"Hah?"

Apa maksudnya? 2 minggu? Perasaan Naruto berubah menjadi takut. Apa Hinata harus menjalankan misi selama 2 minggu? Tidak, Naruto pasti akan merindukan kehangatan sang istri. Kemarin saja, baru ditinggal 8 hari karena Hinata ikut ke desa Suna untuk menjadi relawan medis, Naruto menjadi pria uring-uringan dan beberapa kali kena tegur Shikamaru, sang asisten. Dan sekarang 2 minggu? Naruto yakin ia akan dehidrasi kerinduan. Memang ada?

"Jangan bilang kau akan pergi misi selama 2 minggu? Tidak! Tidak boleh!" pelukan Naruto mengerat dan sukses membuat nafas Hinata sedikit kesulitan.

"B-bukan itu…"

Pelukan mengendur dan Naruto meringsuk hingga wajah mereka saling berhadapan. "Lalu?"

Masih dengan wajah memerahnya, Hinata tersenyum, "Aku hamil. 2 minggu."

1 detik

4 detik

6 detik

Dan pada detik ke-8, Naruto baru bisa mencerna dengan jelas maksud dari 'hamil' dan '2 minggu' itu. Ia akan menjadi seorang ayah. Menyusul Sai yang baru memamerkan Ino yang hamil bulan lalu. Tidak, bahkan Shikamaru sudah akan menjadi ayah 4 bulan lagi. Ia akan segera membalas segala ejekan teman-temannya itu. Karena sekarang, Hinata hamil. Anak pertama mereka selama hampir satu tahun menikah.

"B-benar?"

Hinata mengangguk.

"Kami-sama… terimakasih! Hinata…" Naruto merangkum wajah Hinata dengan satu tangannya, membelai penuh sayang dan menghujani ciuman-ciuman lembut di seluruh wajah bulatnya. "Terimakasih."

Kali ini, impiannya membuat sebuah keluarga bisa terwujud. Ia bersyukur pendamping hidupnya adalah Hinata. Wanita dengan seribu pesonanya. Kelembuatan, kebaikan, dan caranya mencintai seorang pria yang tak pernah lepas dari keonaran membuat Naruto merasa sangat dihargai. Dulu Naruto merasa diacuhkan. Bahkan rasa-rasanya Naruto dianggap sampah oleh warga desa. Tapi tidak dengan Hinata. Wanita itu sudah mencintainya bahkan sebelum menjadi pahlawan desa dalam melawan Pain dan perang ninja keempat.

Bekas luka yang tak hilang karena tongkat yang di tancapkan Pain di daerah pahanya tak membuat kecantikan Hinata hilang. Bahkan Naruto terharu setiap menyentuh bekas luka itu saat mereka bercinta. Itu bukti betapa Hinata menyayanginya. Bahkan rela mempertaruhkan nyawanya demi membela Naruto.

Dan sekarang, Naruto berjanji mempertaruhkan apapun untuk menjaga dan membuat Hinata serta calon bayinya bahagia. Ia sudah sangat beruntung mendapat kekuatan berlimpah. Dan menjadi benar-benar sempurna karena wanita hebat disampingnya.

"Aku mencintaimu… terimakasih, Hime."

.

Kepala Naruto berkedut. Ada siku empat di sisi kiri pelipisnya. Ia bisa saja membuat nenek-nenek yang bersembunyi dibalik tubuh wanita 30-an itu menjadi wujud aslinya, nenek-nenek.

Demi apa, Hinata sedang hamil. Dan kehamilannya baru masuk trimester pertama. Jadi kenapa harus Hinata-nya yang dapat misi?

"Aku tidak mengizinkan! Tsunade-baasan bisa menyuruh yang lain!"

"Tidak bisa, Sakura dan Ino sedang sibuk dirumah sakit Konoha. Lagipula hanya menyusun beberapa buku di perpustakaan seperti dulu. Tak masalahkan, Hinata?"

Mata biru Naruto menyipit tajam ke arah Hinata yang duduk gelisah di samping Tsunade. Awalnya ia ingin menolak dan mendengarkan kata-kata Naruto. Tapi tentu saja ia tidak bisa membiarkan keadaan perpustakaan pusat Konoha berantakan.

"T-tidak masalah kok, Naruto-kun. A-aku hanya perlu menyusun beberapa data," suara cicitan Hinata menambah geraman Naruto. Ia bukannya ingin memanjakan Hinata. Tapi demi apapun Hinata masih lemah. Oke— salahkan dirinya yang tidak bisa mengendalikan nafsunya. Hinata saat itu sudah memperingati bahwa melakukan hubungan saat trimester pertama itu rawan. Dan benar saja, Hinata merintih dan mengeluarkan cukup banyak darah. Saat itu Naruto panik dan segera meminta bantuan Sakura. Dan setelahnya, tak lupa tinjuan Sayang khas sakura untuk memperingati Naruto agar menjaga Hinata dengan baik.

Dan sekarang Hinata harus bekerja di perpustakaan desa? Walaupun terdengar sepele, tetap saja melelahkan. Namanya juga perpustakaan, pasti bukunya banyak.

Mata bulan Hinata memelas. "Na-Naruto-kun…?"

"Baiklah," dengan sedikit tak rela akhirnya Naruto mengizinkan, "Tapi kalau kau sudah lelah, jangan memaksakan diri, oke?"

"Aku akan menyuruh Konohamaru membantumu. Anak itu sedikit berbuat ulah, jadi aku memberinya hukuman." setelah berbasa-basi sedikit, Tsunade pamit dan keluar dari ruangan Naruto. Ruangan yang dulu pernah ia jajaki sebagai Gondaime Hokage.

Melihat wajah Naruto yang tertekuk, Hinata bangkit dan menghampiri Naruto yang berdiri menghadap jendela. Memandangi seluruh desa yang tercangkup dari lantai dua itu. Tangan-tangan mungilnya ia susupkan disela tubuh kekar Naruto. Memeluk pinggang Naruto mesra dan menaruh wajah bulatnya di punggung kekar yang terasa hangat itu.

"Kau mengkhawatirkanku?"

Tak ada respon dan Hinata tahu bahwa suaminya itu sedang merajuk.

"Hey, Anata…." Dengan sengaja Hinata mengeluarkan rengekkannya. Dan benar saja, Naruto berbalik dan membawa Hinata pada pelukan posesifnya. Tubuh Naruto jauh lebih tinggi dan lebar dibanding Hinata, membuat tubuh mungil wanita itu masuk seutuhnya.

"Kau itu sedang hamil, sayang." Naruto berbisik, "Jangan membuat ku terus khawatir seperti kemarin. Aku minta maaf."

Kekehan kecil terdengar dari bibir mungilnya, "Daijoubu. Aku akan bilang padamu jika ada apa-apa."

"Janji?'

"Hm."

.

"Konohamaru-kun, jangan terlalu tinggi. Tangganya bergetar,"

Lehernya sedikit pegal karena terus mendongak. Sekarang Hinata sedang menunggui Konohamaru untuk menyusun buku-buku di rak paling atas. Ia memegangi tangga yang terus berguncang karena menahan berat pemuda itu.

"Hinata-sama, sudah!" teriakan itu membuat Hinata bernafas lega. Sekarang Konohamaru turun dengan sedikit berhati-hati. Ia mengambil alih tangga yang dipegang Hinata saat sudah turun dengan sempurna.

"Kerja bagus, Konohamaru-kun!"

"Terimakasih…" pipi pemuda itu sedikit memerah melihat Hinata yang terseyum manis untuknya. "Kalau begitu aku menyimpan tangga ini dulu, ya?"

Hinata mengangguk. Tanpa sadar, Konohamaru menyeret tangga tinggi itu terlalu kasar hingga menyentuh beberapa buku yang ada diatasnya. Baru beberapa langkah, murid Naruto itu berjengit karena teriakan yang berasal dari belakangnya. Ia segera menaruh tangga itu kasar dan berlari menghampiri Hinata yang pingsan karena beberapa buku tebal menimpanya. Kejadiannya begitu cepat hingga Konohamaru tak bisa memakai jutsu apapun untuk melindungi istri Hokage ketujuh itu.

"Hinata-sama!"

.

Naruto segera meninggalkan segala tetek bengek urusan Hokagenya saat mendengar Hinata dilarikan kerumah sakit. Ia sudah menduga ini. Perasaanya kurang baik saat nenek-nenek itu meminta bantuanya. Apalagi disandingkan dengan Konohamaru. Ia dan Konohamaru sebelas dua belas. Jadi Naruto sadar seharusnya Hinata yang sedang rawan seperti itu tak boleh didekatkan dengan pemuda pembuat onar macam Konohamaru. Dan sekarang, percuma mengumpat sekasar apapun.

Ia melirik Konohamaru yang menunggui di depan pintu ruangan Hinata. Mata birunya hanya memicing sebentar sebelum mengusap pelan rambut Konohamaru yang terlihat sangat menyesal. Ia tak bisa menyalahkan pemuda itu sepenuhnya. Karena memang tugas menjaga Hinata adalah tugasnya.

Kaki panjangnya kembali melangkah masuk keruangan dimana Hinata dirawat. Umpatan di hatinya digantikan rasa syukur yang berlimpah saat melihat Hinata sedang duduk manis di ranjangnya. Memandang langit sore dari balik kaca jendela. Menyadari ada suara yang mendekat, Hinata menoleh.

"Naruto-kun?"

Tanpa menjawab Naruto segera menarik Hinata dalam pelukannya. Meraba setiap inci tubuh wanitanya, memastikan tak ada satupun yang salah. Ia melepas pelukannya dan menatap Hinata penuh tuntutan. Matanya sedikit berkilat marah saat ada kapas yang tertahan plester di dahi sebelah kiri Hinata, tak besar. Tapi tetap saja membuat Naruto marah karena Hinata terluka.

"Apa yang terluka?" nadanya dingin dan terkesan menakutkan. Hinata tahu Naruto marah. Ia tak takut, karena Naruto bukan marah padanya. "Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri jika kau terluka lebih dari ini, Hinata."

Benar saja, Naruto marah pada dirinya sendiri. Ulasan senyum Hinata membuat wajah keras Naruto sedikit melunak. Dilihatnya tangan Hinata yang mengelus pelan perut ratanya, "Tak apa. Kami baik-baik saja,"

Naruto kembali memeluk Hinata, "Maafkan aku… Kumohon jangan terluka lagi."

Mungkin Madara akan heran karena melihat Naruto yang sangat lemah seperti ini. Tapi tentu saja, dari dulu hingga sekarang, kelemahan terfatal seorang pria adalah wanita. Apalagi wanita tercintanya.

"Maafkan aku juga, Naruto-kun. Aku janji menjaganya dengan baik." Hinata membalas pelukan hangat Naruto. Ia rela memberikan apapun asal dekapan hangat ini terus ia rasakan.

Naruto mengangguk. Ia mengeratkan pelukannya dan mengusap pelan punggung ringkih wanitanya. Ia akan mengamuk jika tahu Hinata terluka. Cukup dulu saja ia mengabaikan wanita berharga ini. Sekarang ia mau menjaganya. Dengan apapun yang pria itu punya.

.

Kadang kau harus merasa sendiri dulu agar bisa mengerti bagaimana rasanya memiliki seseorang dihidupmu. Biarpun dikeramaian sekalipun, bisa saja rasa hampa itu menyerang. Karena pria pirang itu pernah merasakannya. Ia selalu berbuat onar dan membuat orang-orang melihatnya. Tapi tak ada. Rasanya kosong dan menyakitkan. Dan Naruto tak mau merasakan itu lagi. Tidak setelah Hinata memberikannya rasa dikasihi. Disayangi dan dihargai.

The End

Ini aku buat saat melihat Naruto dan Hinata di the last. Telat bgt yak uploadnya? wkwkw. Tapi dari pada di buang, sayang. hihihi.