i
.
Pigura kecil itu berada di atas nakas kayu, ditemani sebotol air mineral dan sebuah pasport
Dua bocah yang terpotret di sana tersenyum lebar. Memamerkan deretan tak sempurna gigi-gigi putih mereka. Keduanya memakai kaos putih dengan logo besar salah satu pahlawan super. Satu di antaranya berkulit sedikit lebih gelap, dan yang lain memiliki mata heterochromia.
Seorang namja berdiri tidak jauh dari nakas. Memandang cermin besar yang memantulkan seluruh penampilan terbarunya. Senyum puas terulas jelas. Ini benar-benar menakjubkan.
Dia mengenakan celana kain coklat gelap yang dipadukan dengan kemeja kotak-kotak merah cerah. Seluruh kancingnya terkancing sempurna. Pergelangan tangannya dilingkari jam tangan murah beserta sebuah gelang kawat tipis. Sebagai alas dia memilih sepatu kanvas biru kusam.
"Sempurna Kim Taehyung,"
Taehyung mencondongkan tubuh ke depan. Menyentuh tatanan licin rambut hitamnya. Kemudian turun ke ujung kacamata berbingkai tebal. Menggunakan benda itu sebagai pelengkap penampilan.
Tas punggung hitam dan dua kardus putih tergeletak di samping nakas. Angin pagi menyusup melalui jendela yang dibiarkan terbuka. menggerakan sejumlah memo di atas seprai kusut. Puluhan gundam tergeletak di lantai mamer. Dan tempat sampah di bawah jendela telah memuntahkan sebagian muatannya.
Dering bel itu berasal dari ponsel yang tergeletak di ranjang. Mengingatkan namja itu mengenai waktu yang terus berjalan. Ada sejumlah agenda yang harus diselesaikan hari ini.
Sambil berjingkat-jingkat menghindari apa-saja-yang-ada-di-lantai, Taehyung meraih ponsel. Ketika membuka sebuah pesan teratas, erangan panik meluncur. Tanpa dia sadari, waktu telah benar-benar menjepitnya.
Sial.
Dengan tergesa-gesa, Taehyung menyambar pasport sekaligus mengenakan tas punggung dalam waktu yang bersamaan. Lalu tangannya menjinjing kedua kardus putih. Dia melangkah lebar melewati pintu flat. Meloncati sejumlah anak tangga. Berlari kecil melewati meja kosong resepsionis, menuju pintu kaca utama.
"Fiuh."
Beruntung, taksi lokal yang dia pesan sudah terparkir manis di samping trotoar. Sang supir telah membuka pintu penumpang. Dia mengangkat topi baseball sebelum berkata, "Siap mengantarkan kemanapun tujuan anda, tuan,"
.
.
ii
.
Botol-botol whiskey dan puluhan kaleng beer kosong tersebar di sekitar sofa kulit. Beberapa di antaranya pecah berkeping-keping, sedangkan yang lain berlekuk aneh akibat cetakan tangan.
Sebuah cermin oval menggantung di dinding, tepat di atas wastafel putih. Namja berotot yang mengenakan kaos oblong dan boxer hitam menatap pantulan diri di sana. Satu kata cukup mendefinisikan bagaimana penampilannya saat ini.
Mengenaskan.
Mata merah. Jalur saliva menuju kedua pipi. Rambut hitam kusut, menggelitik kelopak mata tiap kedipan. Dan hal paling mengganggu namja berotot itu adalah jenggot tipis di dagunya. Sial. Kapan terakhir kali dia bercukur?
Dari jendela tanpa tirai yang tidak tertutup rapat, angin menyelinap. Membangkitkan aroma alkohol. Cukup kuat hingga membuat eksistensi tunggal di ruangan menggerang. Memuntahkan seluruh isi perutnya untuk kesekian kali.
Air keran mengucur deras. Dengan gerakan kasar, namja berotot itu membilas wajah, "Sial." Dia mengutuk. Mencengkram kedua sisi wastafel. Buku jarinya memutih, seputih wajah pucatnya. Ini merupakan awal terburuk untuk memulai senin terkutuk.
Drrt... drrt... drrt...
Getar ponsel mengalihkan perhatiannya dari kekesalan. Dalam satu hentakan dia berbalik. Menyapu pandangan dan menemukan benda bergetar itu di bawah meja. Tergeletak menyedihkan bersama sisa saus tacos dan box pizza.
Setelah namja berotot itu meraihnya, satu alis terangkat. Yang menyala di layar adalah nomor asing.
"Halo?"
Namun dia mengenal baik desahan malas itu.
"Kau tidak lupa jika hari ini adalah jadwalmu untuk pulang, bukan, Jeon Jungkook?"
Erangan meluncur begitu saja. Jawaban 'ingat' merupakan kebohongan. Seminggu terakhir, musik, alkohol dan pelacur acak di bar telah menyibukkan pikirannya. Kemudian, pesta alkohol tunggal semalam suntuk tidak hanya meledakkan otaknya namun juga mood serta kinerja tubuhnya.
"Tenang saja, aku akan pulang hari ini, hyung" jam kecil di counter menunjukan pukul sepuluh lebih tujuh belas menit. Masih ada banyak waktu berkemas—dan beberapa gelas wine untuk menenangkan syarafnya. Penerbangan terakhir terdengar seperti pilihan yang cerdas.
.
.
TBC
.
