Daun-daun berbentuk seperti daun momiji jatuh berguguran dari sebuah pohon besar. Pohon besar itu berdiri kokoh tepat di tengah-tengah sebuah kota kecil bernama Seiretei, tempat dimana para shinigami tinggal.
Beberapa shinigami berdiri di sekeliling pohon itu. Ada yang hanya menyaksikan keindahan para daun yang menari-nari sejenak di udara lalu jatuh ke tanah dan ada juga yang menunggu tugas mereka.
Salah satu dari para shinigami itu adalah Kuchiki Rukia, gadis berperawakan mungil dan berambut hitam sekelam malam itu sedang berdiri di bawah pohon berdaun momiji itu –walau sebenarnya pohon itu bukanlah pohon momiji- menunggu sehelai daun jatuh ke telapak tangannya yang terus menadah ke atas. Jika sehelai daun jatuh ke tangannya, itu berarti tugas sudah menunggunya.
Gadis bermarga Kuchiki itu menutup mulutnya yang menguap lebar, tanda ia bosan. Gadis itu mengharapkan ada tugas yang menghampirinya hari ini. Jujur saja, sejak seminggu yang lalu, ia selalu berdiri di bawah 'pohon tugas' ini, tapi tak ada satu pun daun momiji itu yang menjatuhkan diri ke telapak tangannya. Tiba-tiba, Voilá! Harapan Kuchiki Rukia terkabul tepat saat gadis itu sedang melamun tentang dirinya yang akhir-akhir ini menjadi seorang pengangguran. Sehelai daun momiji menari-nari pelan di udara dan jatuh tepat ke telapak tangannya yang masih dengan setia menadahi daun-daun yang berguguran itu.
Rukia membalikkan daun momiji berwarna merah terang di tangannya dengan senyum mengembang lebar. "Mari kita lihat, siapa orang malang ini?" gumam Kuchiki Rukia dengan senyum yang masih mengembang lebar, membuat gadis mungil itu terlihat semakin manis. Tak lama setelah gadis itu membalikkan daun tersebut, terlihatlah sebuah nama yang tertera pada daun momiji itu. Nama yang tertulis secara alami, nama yang seakan ditulis dengan tinta berwarna hitam. Nama itu adalah. . . "Kurosaki Ichigo, waktumu di dunia tinggal 40 hari lagi, bersiaplah."
.
.
Disclaimer :: kan udah saya bilang berkali-kali, Bleach itu punya Tite Kubo. Walaupun saya mau mengubah dunia 5 kali, tetep aja Bleach itu punya Tite Kubo = =b
Claimer :: ya saya. Nama saya Asani Suzuka, panggil aja saya pake nama kecil saya, Suzuka. Salam kenal untuk minna yang baru kenal saya *membungkuk ala butler*
Rated :: T aja, nggak lebih, tapi boleh kurang(?)
Genre :: gado-gado saya rasa =.=a
Warning :: segala ketidak sempurnaan sebuah fic saya rasa ada dalam sini, plus fic ini adalah fic yang sangat gaje binti/bin aneh... Silakan tekan tombol 'back' kalau tidak berkenan membaca
Kalo jelek maaf ya, soalnya saya cuma seorang author amatiran tak berbakat tak berkemampuan berumur 14 tahun yang menjalani hidup super biasa(?) yang entah bagaimana bisa nyasar dan jadi author disini. . .
DON'T LIKE? DON'T READ! Gampang kan?
.
.
Sebuah pintu geser yang terbuat dari kayu berwarna kecokelatan khas Jepang terbuka dan terlihatlah seorang gadis berambut hitam sekelam malam dan ber-iris seindah permata amethyst. Kemunculannya bersama pintu geser kuno secara tiba-tiba itu mengagetkan seorang pemuda berambut orange terang yang sebelumnya sedang membaca sebundel manga di sebuah kamar di lantai dua kediaman keluarga Kurosaki.
Sejujurnya, tidak akan ada yang tidak terkejut saat tiba-tiba ada seorang gadis berpakaian kimono hitam muncul tiba-tiba dari sebuah pintu kayu kuno yang muncul secara tiba-tiba pula di kamar yang tertutup rapat! Kurosaki Ichigo, nama dari pemuda itu, masih belum dapat sembuh total dari keterkejutannya. Pintu geser kuno yang tadi muncul di belakang gadis itu tertutup kemudian menghilang secara misterius sedangkan gadis itu sendiri –dengan topeng datar yang senantiasa menutupi wajahnya- mulai memandang berkeliling. Seakan mengabaikan eksistensi seorang Kurosaki Ichigo yang juga berada di sana bersamanya saat ini.
Alarm dalam kepala orange terang milik seorang Kurosaki Ichigo berbunyi nyaring seiring dengan kesadarannya yang kian memulih. Dia pasti pencuri! Pencuri yang aneh bin ajaib! Begitulah pikir Ichigo kala itu. Secara refleks, seorang Kurosaki Ichigo yang dikenal sebagai berandalan dan dikenal jago berkelahi itu pun menendang bokong gadis berkimono hitam itu dan sukses membuat gadis tersebut jatuh tersungkur di lantai kamar. Memang kedengarannya tidak sopan dan tidak etis untuk menendang seorang gadis. Tapi mau bagaimana lagi? Itu refleks, dan refleks dapat membuat orang melakukan hal-hal tak terduga. . .
Gadis berkimono hitam yang bernama asli Kuchiki Rukia itu terbengong-bengong di lantai. Ia masih belum bisa mencerna apa yang baru saja terjadi. Kejadian tadi terjadi terlalu cepat dan terlalu mengejutkan. Seingatnya, ia baru saja keluar dari senkaimon di kamar milik Kurosaki Ichigo, targetnya, dan ia sedang mengamati kamar pemuda itu. Lalu tiba-tiba. . .
Seakan ada bohlam yang bersinar terang di kepalanya, Kuchiki Rukia baru menyadari apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya beberapa saat yang lalu. "Ka, kau bisa melihatku? Maksudku kau baru saja menendangku. Padahal aku belum memakai tubuh manusiaku. Seharusnya kau tak bisa melihatku. . ." seru Kuchiki Rukia sambil membenarkan posisinya yang sungguh sangat tidak enak untuk dilihat. Karena –tentu saja- posisinya itu benar-benar tidak etis. Setelah ia berhasil berdiri sempurna, gadis itu menepuk-nepuk bagian bawah kimononya yang menurutnya sedikit kotor. Ia sama sekali tak menyadari kalau Kurosaki Ichigo kini sedang menatapnya dengan seksama dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Tatapan dari iris amber milik Kurosaki Ichigo terpaku sesaat saat melihat katana yang melekat di pinggang Kuchiki Rukia dan juga baju yang dikenakan gadis itu. Tapi sesaat kemudian, pemuda berambut secerah matahari sore itu memasang sebuah senyum. Bukan senyum senang atau senyum cool yang biasa dilontarkannya, melainkan sebuah senyuman getir.
Tapi tak lama, karena pemuda itu buru-buru memperbaiki ekspresinya menjadi ekspresi datar yang selalu dipakainya.
"Jadi, ada apa seorang shinigami datang kesini? Apa umurku sudah dekat?" tanya Kurosaki Ichigo sambil menatap gadis yang menggerutu dengan bibir mengerucut di depannya dengan tatapan geli bercampur heran. Kuchiki Rukia yang merasa terpanggil pun mengangkat kepalanya dan menghentikan aktivitasnya tadi, membersihkan kimononya yang menurutnya kotor. Gadis berambut hitam itu memandangi Ichigo dengan ekspresi kaget dan kagum. "Bagaimana kau bisa tahu kalau aku ini shinigami? Kau bisa melihat hantu? Atau kau ini seorang anak indigo yang bisa membaca pribadi seseorang?" tanya Rukia heran. Sebelah alisnya yang pendek terangkat.
Ichigo tersenyum misterius, menghela nafas, dan kemudian berkata, "Itu rahasia. Ya, aku bisa melihat hantu dan aku bukan anak indigo yang bisa membaca pribadi seseorang. Lagipula, kenapa seorang shinigami sepertimu bisa ada disini, bocah?" tanya Ichigo sambil mensejajarkan tinggi badannya yang tinggi dengan Rukia yang pendek dengan cara membungkukkan badan jangkungnya.
Mendengar kata 'bocah', emosi Rukia tersulut. Berani-beraninya bocah oranye di hadapannya memanggilnya dengan sebutan bocah. Hei, kalau dibandingkan dengan pemuda oranye ini, umur Rukia sudah jauh jauh lebih tua! "Hei, siapa yang kau panggil bocah, hah, bocah? Umurku sudah lewat 150 tahun, kau tahu? Lagipula namaku bukan bocah! Aku Kuchiki Rukia." Rukia berkata dengan kesal. Menurutnya, pemuda oranye ini adalah targetnya yang paling menyebalkan sekaligus pemuda paling menyebalkan yang pernah ia temui.
"Ya, ya. Terserah apa katamu lah. Kau belum menjawab pertanyaanku tadi, kau tahu? Dan namaku juga bukan bocah! Namaku Kurosaki Ichigo," kata plus tanya Ichigo dengan nada sedikit kesal. Pemuda berambut oranye tadi tidak suka dipanggil bocah karena menurutnya, umur 17 tahun itu sudah tidak bisa lagi disebut bocah. Umur 17 tahun sudah bisa dikategorikan sebagai dewasa!
Rukia segera mengambil daun momiji yang ia simpan di saku bagian dalam kimono hitamnya sambil tetap menggerutu. Kenapa sekalinya ia dapat tugas mengawasi dan mengambil nyawa manusia, ia malah dapat manusia yang seperti ini? Ralat, manusia yang menyebalkan seperti ini. Walaupun lirih tapi Ichigo masih bisa mendengar beberapa kata-kata makian yang Rukia sebutkan, seperti 'gila', 'bodoh', 'konyol', 'menyebalkan', dan 'oranye'. Kata oranye itu pasti maksudnya adalah dirinya.
Setelah mengaduk-aduk isi sakunya, Rukia pun akhirnya berhasil mengambil daun momiji berwarna merah terang itu. "Kau lihat ini?" tanya Rukia sambil merentangkan daun momiji tersebut lebar-lebar di depan wajah Kurosaki Ichigo, tepat di sisi yang bertuliskan nama 'Kurosaki Ichigo'. Ichigo mengangguk singkat dan alisnya yang sudah berkerut kini tambah mengerut melihat namanya bisa tertulis di daun itu.
"Bukankah itu daun momiji? Kenapa namaku bisa ada disana?" Kurosaki Ichigo mengambil –merebut lebih tepatnya- daun itu dari tangan Kuchiki Rukia dan mengamatinya dengan lebih seksama. Memang benar daun di tangannya itu adalah daun momiji dan memang benar disana tertulis namanya.
"Daun itu adalah daun yang tumbuh di pohon kehidupan yang tumbuh menjulang di kota tempat kami tinggal, yakni Seiretei. Setiap kali ada satu manusia yang terlahir ke dunia, maka akan ada satu daun baru yang muncul di pucuk batang pohon besar itu. Di daun baru itu akan tertulis nama dari si manusia." Rukia mulai duduk bersilang kaki di lantai kamar Ichigo, kemudian mengeluarkan, membuka buku gambar yang selalu dibawanya dan menggambarkan sketsa pohon kehidupan itu untuk Ichigo. Ichigo pun ikut duduk bersila di hadapan Rukia dan memperhatikan dengan serius gambar yang kini ditunjukkan Rukia padanya. Rukia mulai bercerita tentang pohon kehidupan, dibantu dengan sketsa gambarnya yang benar-benar jauh dari kata 'bagus'.
"Dan ketika seorang manusia hanya tinggal memiliki waktu 40 hari untuk hidup, maka daun yang bertuliskan nama manusia tersebut akan gugur. Dan kami, para shinigami, akan mengunjungi dunia manusia, mengawasi manusia tersebut selama 40 hari, mencabut, serta mengirim rohnya ke Soul Society, dunia kami. Kau mengerti? Jadi umurmu tinggal 40 hari lagi dari sekarang."
"Ehm, ya, sebenarnya aku mengerti, hanya saja ada satu hal yang tidak kumengerti. Kenapa gambarmu jelek sekali?" Ichigo segera membungkam mulutnya sendiri saat Rukia melemparkan sebuah tatapan mematikan terbaik yang ia miliki pada pemuda itu. Yang entah kenapa membuat bulu roma seorang Kurosaki Ichigo berdiri tegak. Dengan seulas senyum canggung dan takut, Ichigo berkata, "Ehm, maaf, maksudku kenapa shinigami harus mengawasi manusia yang hidupnya tinggal 40 hari itu?"
Ekspresi Rukia yang tadinya menggambarkan ekspresi kesal, kini melunak. Setelah menghembuskan nafas panjang, Rukia berkata, "Karena para manusia itu akan diincar oleh para hollow, hollow adalah roh jahat yang memakan roh manusia yang sudah mendekati ajalnya," jelas Rukia sambil kembali menggoyangkan penanya di atas kertas, menggambarkan sosok hollow yang kini sedang dijelaskannya dengan sesosok. . . beruang mungkin?
Kemudian, Kuchiki Rukia kembali menerangkan beberapa hal pada Kurosaki Ichigo seperti pemuda itu tidak boleh berada terlalu jauh darinya karena tentu saja itu berbahaya baginya. "Aku akan terus bersamamu sampai waktumu tiba, aku akan memakai tubuh buatan yang diberikan padaku, dan. . . mungkin aku akan tinggal di rumahmu juga." Rukia mengakhiri penjelasannya dengan nada tegas di bagian akhir kalimat. Tanda ia tak mau mendengar bantahan lagi.
d(^_^)b
Hari ke-2 sejak pertemuan mereka. Saat ini, kedua insan itu tengah duduk di atap SMA Karakura, tempat dimana Kurosaki Ichigo -dan kini Kuchiki Rukia juga- menuntut ilmu. Jam istirahat makan siang sedang berlangsung, dan itulah sebabnya mereka berdua bisa berada di atap sekolah. Menyendiri dari keramaian yang nyaris ada di setiap sudut SMA itu agar si pemuda Kurosaki itu tak tersangkut masalah akibat dirinya yang dekat dengan gadis Kuchiki itu akhir-akhir ini.
Aku bisa gila. Itulah yang sedari tadi terpikir di kepala oranye milik seorang Kurosaki Ichigo. Sejak kemarin-kemarin, Kuchiki Rukia yang baru dikenalnya selama 2 hari itu terus menempel padanya seperti perangko yang direkatkan dengan lem pada sebuah amplop. Gadis berperawakan mungil itu selalu berada di sekitar Ichigo. Bahkan saat gadis itu memperkenalkan diri di depan kelas 3-3, ia langsung meminta agar ditempatkan di meja yang sama dengannya. Membuat teman-teman Ichigo yang lain merasa aneh karena biasanya, Ichigo tak pernah dekat dengan perempuan mana pun atau dengan anak baru mana pun.
Sebenarnya, bukan itu yang membuat Ichigo merasa hampir jadi gila, tapi karena gadis Kuchiki di sampingnya ini selalu bertanya macam-macam padanya. Gadis itu selalu mengatakan 'Ichigo, bagaimana cara melakukan ini?' padanya hampir seratus kali dalam satu hari. Seperti yang tengah gadis mungil itu lakukan sekarang.
"Ichigo, bagaimana cara minum ini? Dan apa gunanya benda ini?" tanya gadis itu dengan iris amethyst-nya yang menyinarkan rasa heran sambil menyodorkan sekotak jus lengkap dengan sedotannya. Ichigo yang mendengarnya kembali menghela nafas panjang, sejurus kemudian ia memandang Rukia dengan tatapan kesal. Tapi pada akhirnya ia merebut sedotan dan jus kotak itu dari tangan Rukia dan menunjukkan padanya bagaimana cara menggunakan benda putih dari plastik bernama sedotan itu.
Gadis bermarga Kuchiki itu mengangguk tanda mengerti begitu Ichigo selesai memberikan penjelasan tentang 'cara meminum jus kotak menggunakan sedotan'. Setelah mengucapkan terima kasih pada si pemuda berambut oranye, dengan wajah sumringah dan sebuah senyuman tersungging di bibir, ia merebut jus kotak dari genggaman tangan Ichigo dan segera menenggak isinya. Bibir mungilnya yang menyunggingkan seulas senyum tulus itu melebar ketika ia merasakan sensasi enak dari jus yang kini tengah diminumnya.
"Ti-tidak masalah," gumam Ichigo gugup saat melihat seulas senyum tulus yang Rukia lontarkan padanya. Entah kenapa tapi ia merasa kalau senyum itu terlihat manis sekali. Lebih parahnya lagi, wajahnya langsung terasa panas ketika ia melihat senyum itu. Alhasil, Ichigo segera memalingkan wajahnya dari Kuchiki Rukia agar gadis itu tidak bisa melihat rona merah yang mungkin tengah menghiasi wajahnya.
Ichigo mempelajari satu hal tentang Rukia hari ini, di balik wajah datar dan kemampuan aktingnya yang menjijikkan tapi cukup meyakinkan itu, ternyata seorang Kuchiki Rukia mempunyai seulas senyum tulus yang terlihat begitu manis.
Saat sedang asyik memandangi wajah manis gadis yang sedang menyesap jus kotak di sebelahnya nya, Ichigo dikejutkan oleh pintu atap yang tiba-tiba terbuka dan teman-teman Ichigo pun tampak. Semuanya berjumlah 4 orang. Chad, Keigo, Mizuiro dan Ishida. Keigo yang ramah tapi menyebalkan itu langsung berlari menghampiri dua sejoli yang –salah satunya- sedang menikmati makan siang.
"Kau curang, Ichigo! Masa' kau makan siang dengan Kuchiki-san yang manis ini tanpa mengajakku, sih!" seru Keigo sambil mulai bertingkah berlebihan, membuat pemuda berambut oranye itu ingin segera menghantamkan tinjunya tepat di wajah Keigo. Tapi untungnya, pemuda Kurosaki itu masih dapat menahan diri.
Di saat Keigo asyik memprotes 'kecurangan' Ichigo, salah satu teman Ichigo yang bernama Kojima Mizuiro maju selangkah ke arah Rukia dan berkata, "Halo, Kuchiki-san. Boleh kami ikut makan siang denganmu dan Ichigo?" sapa Mizuiro sopan. Tak lupa disunggingkannya seulas senyum ramah. Rukia yang menyadari bahwa Mizuiro sedang menyapanya, langsung menghentikan kegiatan minum jus kotaknya.
Gadis berambut hitam kelam itu berdiri. Menyunggingkan seulas senyum sopan yang sengaja dibuat agar tampak seramah mungkin dan mengangkat kedua sisi rok abu-abunya seraya berkata, "Halo juga, Kojima-san. Tentu, tentu saja boleh. Silakan."
Setelah tawaran mereka disambut baik oleh gadis ber-iris amethyst itu, keempat teman Ichigo pun segera duduk bersila di lantai atap. Membentuk formasi lingkaran. Dan mereka pun mulai memakan bekal atau makanan apa pun itu yang mereka bawa masing-masing sambil bersenda gurau. Menikmati angin sepoi-sepoi yang terus bertiup di sekitar mereka, membuat anak rambut mereka bergoyang mengikuti gerakan angin.
Saat itu, Kurosaki Ichigo yang duduk di sebelah Kuchiki Rukia kembali mempelajari satu hal dari gadis bertubuh mungil itu. Seulas senyum tulus milik Kuchiki Rukia ini, belum pernah sekali pun dilontarkan gadis itu pada orang lain, ia selalu melontarkan senyum manis itu -baru- hanya untuk Kurosaki Ichigo, hanya untuknya seorang. . .
d(^_^)b
Malam ini, tepat hari ke-10 sejak seorang shinigami bernama Kuchiki Rukia datang. Gadis shinigamiberambut hitam itu sedang berbaring di atas tempat tidur Kurosaki Ichigo. Iris amethyst indah milik gadis itu memandang langit-langit kamar Ichigo dengan tatapan kosong. Gadis itu sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Entah memikirkan apa. Sedangkan si pemilik kamar itu sendiri sedang terduduk di kursi yang berhadapan dengan meja belajar. Pemuda berambut oranye terang itu kini tengah belajar.
"Aku masih penasaran, bagaimana bisa seorang manusia sepertimu mengenaliku sebagai shinigami dalam sekali tatap?" tanya Rukia, saat gadis shinigami yang kini telah memakai piyama lengkap itu bangun dari posisinya sebelumnya di atas tempat tidur Ichigo. Kini gadis itu duduk bersila kaki di atas tempat tidur si pemuda Kurosaki. Mata violet besarnya menatap Ichigo dengan tatapan meminta penjelasan dari pemuda itu.
Ichigo yang sedang duduk tenang sambil membaca buku pelajarannya di meja belajarnya pun langsung menoleh begitu mendengar pertanyaan Rukia yang sudah jelas dilontarkan padanya. Seketika itu juga wajahnya memucat dan ia terlihat gelisah. Ia tidak keberatan untuk menceritakan secuil masa lalunya itu, tapi ini benar-benar sulit baginya. "Kau. . . benar-benar ingin tahu?" setelah sekian lama terdiam, Ichigo akhirnya membuka mulut.
"Kalau kau tidak keberatan. . ." kata Rukia sambil mengangkat bahu. Gadis itu menyadari perubahan sikap Ichigo dan ia pun mulai merasa bersalah. Akhirnya ia memutuskan untuk mendengarkan jika Ichigo memang ingin menceritakannya, dan tak akan memaksanya bercerita jika pemuda itu tak mau membicarakannya. "Baiklah, baiklah. Kau tidak perlu menceritakannya kalau kau memang tidak mau." Rukia mengangkat kedua tangannya sejajar dengan dada tanda ia menyerah. Ia tak akan meminta Ichigo bercerita lagi. Tidak. Tidak akan pernah lagi.
Ichigo bangkit dari kursinya, berjalan ke arah tempat tidur, kemudian duduk tepat di samping Rukia. Membuat mata amethyst gadis itu sedikit melebar. "Tidak, tidak apa-apa. Aku akan menceritakannya padamu, kok. Tapi setelah ini, jangan menanyakan hal seperti ini lagi padaku." Ichigo berkata acuh tak acuh.
"Semua itu bermula dari sore hari 10 tahun yang lalu. . ." Ichigo mulai bercerita. Gadis berambut hitam kelam di sampingnya membenarkan posisi duduknya menjadi menghadap Ichigo agar ia bisa mendengar cerita pemuda itu lebih jelas dan menatap iris amber indah milik pemuda itu.
Ichigo menceritakan semuanya. Dengan detail. Dari awal hingga akhir. Ia tak bisa ingat dengan persis kapan ia mulai bisa melihat hantu. Seingatnya ia sudah bisa melihat hantu sejak ia masih kecil. Di sore hari 10 tahun, hujan deras mengguyur kota Karakura. Ichigo kecil yang dulu sangat manja dan selalu menempel pada ibunya sedang berjalan di sisi trotoar. Mereka baru saja pulang dari dojo tempat Ichigo berlatih karate.
Tepat saat mereka melewati sebuah taman kecil, mereka berdua, khususnya Ichigo mendengar raungan yang begitu keras dan terdengar memilukan, tapi di saat yang bersamaan juga terdengar mengerikan. Lalu sesaat kemudian, ibu Ichigo, Kurosaki Masaki sudah menarik tangan kecil Ichigo dan berlari menjauh dari sana dengan wajah panik.
Semuanya terjadi begitu cepat sampai-sampai Ichigo kecil tak bisa menyadari apa yang sebenarnya sedang terjadi pada saat itu. Yang bisa disadarinya saat itu hanyalah ibunya menariknya dengan cepat, menyuruhnya berlari dari taman yang mereka lewati tadi secepat mungkin. Tapi Ichigo kecil yang tidak mengerti pun akhirnya berhenti berlari, ia tidak mau disuruh melakukan sesuatu dengan tujuan yang tidak jelas.
Dan menurutnya saat itu, tidak ada alasan dan tujuan yang jelas baginya untuk berlari menghindari taman tadi. Ibunya tetap menyuruh, meminta dan membujuknya untuk lari sejauh-jauhnya dari sana. Tapi Ichigo menolak dan bersikeras untuk tetap disana. Pada saat itulah raungan memilukan nan mengerikan tadi kembali terdengar, bahkan lebih keras dari sebelumnya. Sepersekian detik berikutnya, sesosok monster bertubuh hitam kelam bertopeng seperti ikan muncul tepat di hadapan sepasang ibu dan anak itu.
Lagi-lagi semuanya terjadi begitu cepat. Bukan. Lebih tepatnya terlalu cepat. Seingatnya, saat itu monster itu berusaha menyerang mereka dan ibu Ichigo tentu saja melindungi Ichigo dengan cara mendekapnya erat-erat. Ichigo tak ingat apa yang terjadi selanjutnya sampai saat mereka berdua sudah sangat terpojok, seorang laki-laki datang. Seseorang yang memakai kimono hitam yang sama dengan yang dikenakan Rukia. Di pinggangnya juga tersemat sebuah katana.
Orang itu berdiri di depan mereka, tetapi membelakangi matahari. Sehingga iris amber milik Ichigo kecil tidak dapat melihat siapa orang itu dengan jelas. Tapi ia masih bisa mendengar ibunya memanggil orang itu sebagai 'Tuan Shinigami' dengan nada terkejut, kemudian orang itu mengangguk kecil dan berkata sambil menatap mereka dari sudut matanya. Mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja karena ia sudah datang dan ia tak akan membiarkan Masaki meninggal 10 hari lebih awal karena dilahap jiwanya oleh hollow.
Tapi justru di sanalah letak bencana itu dimulai. Saat laki-laki yang dipanggil 'Tuan Shinigami' itu bicara pada mereka, si monster yang berada tak jauh dari mereka bertiga mengendap-endap mendekati mereka sementara si 'Tuan Shinigami' lengah. Tiba-tiba saja laki-laki tadi terlempar sejauh 3 meter dengan darah tersimbah di sekelilingnya. Ichigo dan ibunya kini tak punya pertahanan lagi. Kaki Ichigo melemas karena takut sedangkan ibunya sudah terlalu capek untuk berlari lagi. Di saat itulah Ichigo kecil merasa semuanya menjadi gelap.
"Tak lama setelahnya, aku terbangun dari pingsanku. Ibuku masih mendekapku dengan erat, tapi ia sudah tak bernyawa. Punggungnya bersimbah darah. Saat aku menoleh ke arah tempat dimana 'Tuan Shinigami' tadi terlempar, Ia sudah tak ada di sana. Yang ada hanya bekas darahnya saja. Setiap kali aku melihat shinigami –sebelum bertemu denganmu, aku sudah pernah bertemu dengan shinigami lain- selalu membuatku mengingat saat-saat itu. Hal itu selalu berhasil membuatku sedih dan terus memikirkan 'seandainya saat itu aku mengikuti kata ibuku, ibuku pasti masih ada disini sekarang'." Ichigo menutup ceritanya. Pemuda itu menutup wajahnya dengan satu tangan kemudian menghela nafas panjang. Rukia yang berada di sebelahnya belum bisa berkata apa-apa. Gadis itu sepertinya masih terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya. Gadis berambut hitam sekelam malam itu tak pernah mengira kalau pemuda berambut oranye itu ternyata punya masa lalu seperti itu.
Rukia mengerti. Sangat mengerti malah, akan rasa kehilangan dan rasa bersalah yang Ichigo rasakan. Karena ia sendiri juga pernah merasakan rasa itu saat kakak kandungnya, Kuchiki Hisana meninggalkannya lima puluh tahun yang lalu dan juga saat ia kehilangan. . . dia. Kehilangan orang yang sangat berarti bagi kita itu tidaklah mudah. . .
Amber Ichigo melebar seketika saat ia merasakan ada tangan yang melingkar di punggungnya dan ada dagu yang bertumpu di bahunya. Sebelum ia sempat menyadari apa yang terjadi, Kuchiki Rukia berkata, "Maaf sudah membuatmu mengingat dan menceritakan hal itu." Rukia mengatakannya sambil memeluk Ichigo dengan erat. Seakan berbagi kehangatan tubuh dengan pemuda berambut oranye terang itu.
Gadis itu mengusap-usap punggung lebar Ichigo, berusaha menenangkan pemuda yang sepertinya sedang bergejolak emosinya saat ini. Sesaat kemudian, Ichigo tersenyum tipis, senyuman yang sebenarnya ia tujukan pada gadis yang kini tengah memeluknya walaupun ia tahu pasti kalau gadis itu tak akan bisa melihatnya.
Kurosaki Ichigo bukanlah tipe orang romantis, ia adalah seorang pemuda dengan sikap seperti pemuda biasa yang menjunjung tinggi harga diri. Walaupun ia mengakui kalau ia sangat menyukai pelukan hangat nan menenangkan dari Rukia ini, tapi sampai mati pun ia tak akan pernah mau mengakuinya. Entah kenapa, tapi ia merasa sangat tenang dan nyaman dalam pelukan Rukia kini.
Lagi. Ichigo lagi-lagi mempelajari satu lagi sifat Kuchiki Rukia, dibalik sikapnya yang menyebalkan dan seringkali acuh tak acuh terhadapnya, ternyata gadis berambut hitam sekelam malam ini adalah orang yang sangat pengertian dan baik.
Ichigo membalas pelukan itu, kemudian ia memejamkan matanya, meresapi setiap sentuhan yang dirasakannya serta menghirup dalam-dalam aroma tubuh yang dikeluarkan gadis mungil ini sebelum akhirnya berkata, "Terima kasih, Rukia."
d(^_^)b
Hari ini adalah hari ke-12 sejak hari pertemuan Kuchiki Rukia dan Kurosaki Ichigo. Derap langkah kaki menggema di sepanjang jalan menuju taman. Derap langkah kaki itu adalah suara yang ditimbulkan seorang pemuda dan seorang gadis dalam wujud seorang shinigami di sampingnya. Nafas mereka berdua terputus-putus karena capek berlari. Keduanya belum berniat untuk memulai sebuah percakapan sampai si pemuda yang memiliki rambut secerah matahari sore itu membuka pembicaraan, "Kau yakin ada hollow yang menyerang roh di sekitar sini?"
"Ya. Sensor hollow-ku tidak pernah salah," jawab Kuchiki Rukia, si gadis shinigami, sambil menggoyangkan pelacak hollow miliknya yang berupa sebuah i-phone di tangan kanannya. Mereka berdua kembali terdiam. Sepasang kaki milik mereka masih tetap menimbulkan suara derap kaki yang tidak pelan.
"Kalau begitu, kenapa kita malah mendatanginya? Bukankah hollow berbahaya untukku?" Kurosaki Ichigo, si pemuda berambut oranye cerah itu menoleh ke arah gadis mungil di sampingnya. Alis Kuchiki Rukia terlihat mengerut sesaat, mungkin karena kesal atau apa. Entahlah, Ichigo tak tahu
"Aku tidak pernah menyuruhmu ikut. Aku menyuruhmu untuk tetap tinggal di rumah." Rukia membalas pertanyaan Ichigo dengan acuh tak acuh sambil mengangkat kedua bahunya. Kemudian ia kembali fokus pada jalan di depannya. "Kau sendiri yang memaksa ikut." Rukia menghela nafas. "Tapi tak apa, kalau hollow itu berusaha menyerangmu, aku pasti akan melindungimu. Jadi tidak usah khawatir, percayalah pada kemampuanku."
Lagi. Lagi-lagi Rukia menunjukkan senyum tulus itu pada Ichigo. Dan lagi-lagi ada rasa hangat menjalari wajah pemuda itu setiap kali ia melihat senyuman tulus itu. 'Satu-satunya alasan kenapa aku memaksa ikut adalah karena aku mengkhawatirkanmu, bodoh!' batin Ichigo, tapi ia tak benar-benar mengatakannya. Lagi-lagi itu dikarenakan menjunjung tinggi harga diri sudah menjadi salah satu sifat dasar seorang Kurosaki Ichigo. Sejujurnya, Ichigo tidak tahu kenapa, tapi akhir-akhir ini Ichigo jadi lebih sering mengkhawatirkan Rukia.
Entah kenapa, sejak Rukia menenangkannya malam itu, pemuda itu merasa ia harus memastikan gadis itu aman setiap saat. Ada perasaan hangat yang menjalarinya setiap kali ia melihat gadis berambut hitam kelam itu tersenyum dan tertawa lepas, atau saat pemuda itu menyadari kalau Rukia pulang dengan selamat setelah membasmi hollow secara diam-diam di malam hari, begitu pun saat ia tahu Rukia berada di sampingnya dan dalam keadaan sempurna. Bahkan terkadang ia merasa senang saat gadis itu memarahinya, menendangnya, atau memukulnya karena dengan begitu ia tahu kalau gadisshinigami itu baik-baik saja. Pemuda berambut cerah itu sendiri tidak tahu kenapa ia bisa merasa seperti itu dan tak tahu perasaan apa yang kini tengah menggerogotinya.
Pada akhirnya, pemuda yang menyadari kalau pipinya memanas itu hanya bisa memalingkan wajahnya dari si gadis mungil agar gadis itu tak bisa melihat rona merah yang diyakini Ichigo kini tengah menjajah pipinya. Ichigo mulai menggerutu tak jelas selagi memalingkan wajahnya, membuat gadis mungil di sampingnya kini menjadi heran akan sikapnya yang kian hari kian aneh.
Begitu sampai di ambang pintu taman, mereka berdua berbelok begitu saja tanpa memperlambat kecepatan lari mereka sedikit pun. "Itu dia hollow-nya! Disana, Ichigo! Lindungi anak itu dan pergilah sejauh mungkin! Tidak ada kata 'tapi', mengerti?" seru Rukia cepat. Membuat si pemuda berambut oranye itu kembali menutup mulutnya yang sempat ingin melontarkan kata 'tapi'. Kemudian Ichigo mengangguk tanda mengerti, ia segera berlari menuju roh seorang anak kecil berambut cokelat yang menangis ketakutan di dekat pohon. Ichigo tahu persis kalau anak itu adalah roh anak yang meninggal karena kecelakaan di depan taman ini satu bulan yang lalu.
Dengan sigap, Ichigo mendekap anak itu erat-erat, menepuk-nepuk kepala cokelat anak itu, berusaha menenangkannya agar anak itu berhenti menangis kemudian pemuda itu segera membawanya berlindung di belakang pohon yang tak terlalu jauh dari lokasi Rukia bertarung saat ini. Rukia memang menyuruhnya untuk pergi sejauh mungkin, tapi tentu saja Ichigo tak akan bisa melakukannya. Ia tak akan bisa meninggalkan gadis itu sendirian apalagi di saat seperti ini.
"Sudah, jangan menangis. Kita pasti selamat dan semua akan baik-baik saja." Ya. Semua akan baik-baik saja selama gadis shinigami yang sedang bertarung di sana itu juga baik-baik saja. Selama Rukia masih ada di dekatnya, semuanya akan terasa baik-baik saja baginya. Setidaknya, begitulah menurut Ichigo. Pemuda berambut oranye itu menepuk-nepuk kepala cokelat anak tersebut agar anak itu berhenti menangis. Kemudian ia kembali melihat ke balik pohon, mengawasi Kuchiki Rukia yang kini sedang bertarung. Kelihatannya lawannya kali ini agak sulit ditangani. . .
d(^_^)b
"Kau yakin kau baik-baik saja? Sepertinya bahumu terluka parah." Ichigo menatap bahu mungil itu lekat-lekat. Kimono hitam yang Rukia pakai memang koyak di bagian itu. Membuat bahu mungil Kuchiki Rukia yang bersimbah darah itu terlihat. Terbersit rasa khawatir dalam hati Ichigo. Rukia menatap amber Ichigo lurus-lurus sambil bersedekap. Gadis itu berusaha untuk terlihat kesal walau sebenarnya –ia akui- kalau rona merah menjalari wajahnya saat ia melihat amber Ichigo menatapnya dengan tatapan khawatir.
"Sudah kubilang, aku baik-baik saja! Lagipula luka ini sudah kusembuhkan dengan kidou-ku tadi," kata Rukia dengan kesal sambil menutupi bercak darah yang tertinggal di bahunya. Ia berusaha menghalangi pandangan Ichigo pada bahunya agar pemuda itu tak bisa lagi melihatnya dan menanyakan hal yang sama. Sejujurnya, bisakah Ichigo berhenti menanyakan hal itu? Ya ampun, pemuda berambut cerah itu sudah menanyakannya puluhan kali sejak tadi!
Ichigo mengangkat kedua alisnya. Kelihatannya pemuda itu terkejut akan sikap gadis berambut hitam di hadapannya yang tiba-tiba saja berubah galak. Sesaat kemudian ia mengangkat bahu, menyadari kalau ia terus menanyakan hal yang sama sejak tadi dan berjalan mendekati –roh- anak laki-laki berambut cokelat tadi. "Hei, Rukia, kenapa anak ini bisa terlantar begini? Bukankah seharusnya ia bersama dengan shinigami-nya dan sudah dikirim ke Soul-Apalah-Namanya-Itu sejak sebulan lalu? Apa jangan-jangan rohnya terlepas dari tubuhnya dengan sendirinya?" tanya Ichigo sambil menunjuk anak berambut cokelat itu dengan ibu jarinya.
Rukia berjalan mendekati Ichigo. "Jangan konyol, Ichigo. Hal seperti itu tidak mungkin terjadi. Roh manusia hanya bisa dicabut oleh shinigami dan hollow. Itu berarti mereka tidak bisa terlepas sendiri. Sepertinya setelah berhasil mencabut jiwa anak ini, shinigami itu tewas terbunuh oleh hollow sebelum ia sempat mengirim anak ini ke Soul Society," jelas Rukia sambil menatap mata hitam anak itu lekat-lekat. Membuat anak itu kaget dan takut.
"Ka, kalau boleh tahu, aku harus apa setelah ini?" tanya anak itu dengan takut-takut, takut pada Rukia lebih tepatnya. Rukia mendengus pelan, kemudian ia menarik katana di pinggangnya keluar dari sarungnya. Katana berwarna putih bersih itu jadi terlihat mengilat karena tersiram cahaya matahari.
"Tenang saja, aku akan mengirimmu ke Soul Society." Rukia mengarahkan katana-nya tepat ke arah anak itu. Anak itu semakin ketakutan dan akhirnya ia menangis kencang. Membuat Rukia panik dan bertanya 'Apa salahku?' pada dirinya sendiri. Si pemuda berambut oranye yang sejak tadi diam saja mendengarkan ocehan mereka pun menatap Rukia dengan tatapan meledek.
"Ternyata kau tidak pandai berurusan dengan anak kecil ya, Rukia," katanya sambil mendengus. Gadis berkimono hitam di sampingnya melemparkan tatapan mematikan ke arahnya. Tapi karena ia tak melihat reaksi apa pun dari Ichigo, gadis itu pun menyerah dan mengaku, "Yah, aku memang tak pandai berurusan dengan anak kecil. Kau saja yang bicara dengannya, Ichigo."
Mendengar pengakuan dari gadis itu membuat Ichigo tersenyum. Entah karena apa. Satu hal lagi yang ia pelajari dari seorang Kuchiki Rukia, Rukia ternyata tidak pandai berurusan dengan anak kecil. Bagi pemuda bermarga Kurosaki itu, hal ini lucu karena Rukia pandai sekali berurusan dengannya, gadis itu selalu tahu cara untuk membuatnya merasa lebih baik saat ia sedang kesal atau sedih. Tapi begitu ia dihadapkan pada anak kecil? Ia jadi tidak berdaya. . .
Lagi-lagi pemuda itu mendengus, kemudian ia berjongkok di hadapan roh anak berambut cokelat itu. "Dik, siapa namamu?" tanyanya dengan lembut. Membuat Rukia tertegun, kedua alis hitamnya yang pendek itu terangkat. Ichigo yang seperti ini terasa berbeda sekali, nada bicaranya terdengar lebih ramah, lebih santai, dan yang jelas, pemuda berambut oranye yang memiliki tampang seram itu jadi terlihat lebih. . . penyayang.
Anak kecil berambut cokelat itu menghentikan tangisnya saat Ichigo mengenggam sebelah tangannya. Dengan kepala menunduk anak itu menjawab, "To-Tomoya." Ia mengusap-usap mata dan pipinya yang basah. Berusaha menghapus air mata yang beberapa saat lalu sempat singgah di sana.
"Aku Kurosaki Ichigo. Tidak usah takut padaku dan dia." Ichigo menunjuk Rukia yang berdiri di belakangnya. "Kami tidak akan memakanmu, kok. Tapi, kau lihat monster tadi?" tanya Ichigo. Tomoya –anak kecil itu- mengangguk. "Monster tadi itu berniat memakanmu. Apa kau mau dimakan oleh monster seperti dia?"
Tomoya menggeleng kuat-kuat. Wajahnya terlihat pucat pasi ketakutan. "Nah, karena itulah. Lebih baik kau pergi ke tempat Soul-Apalah-Itu-Namanya." kata Ichigo sambil tersenyum untuk meyakinkan Tomoya. Tak lupa sebuah tatapan lembut ia lontarkan pada anak berambut cokelat itu. "Namanya Soul Society, Ichigo," koreksi Rukia.
"Kalau kau terus berada di sini, monster semacam tadi akan terus mengejarmu sampai mereka mendapatkanmu. Lagipula, orangtuamu pasti akan sedih kalau mereka tahu kau masih berada di sini dan terancam bahaya," Ichigo menggoyang-goyangkan tangan anak itu sejenak.
"To-Tomoya tidak mau membuat orangtua Tomoya sedih," kata Tomoya sambil sekali lagi mengusap-usap pipi dan matanya. "Kalau dengan pergi ke Soul Society bisa membuat orangtua Tomoya senang, maka Tomoya mau pergi," katanya dengan semangat.
Rukia yang berada di balik punggung Ichigo tersenyum tipis kemudian berkata, "Kalau begitu, ayo kita mulai konsou-nya. Tenang saja, ini tidak akan sakit, kok."
d(^_^)b
Kuchiki Rukia yang sedang duduk di dahan sebuah pohon yang terdapat di pekarangan SMA Karakura menatap layar i-phone yang merangkap sebagai pendeteksi hollow miliknya dengan tatapan sendu. Layar i-phone itu berkedip-kedip menunjukkan tulisan '27 Days Left'. Rukia menghela nafas panjang kemudian ia mencengkeram kemeja SMA Karakura yang dipakainya tepat di bagian dada.
Saat ia dan Ichigo pulang dari taman setelah menyelamatkan Tomoya kemarin sore, gadis itu merasakan perasaan hangat dan nyaman saat Ichigo mengelus puncak kepalanya dengan lembut seraya tersenyum dan menasihati gadis itu agar lebih hati-hati saat melawan hollow. Saat itu Ichigo memang kelihatan acuh tak acuh tapi orang awam juga pasti tahu kalau ada nada khawatir dalam perkataannya saat itu.
Terlebih lagi saat Rukia melihat pemuda itu tersenyum. Gadis itu yakin seyakin-yakinnya kalau setiap kali ia melihat pemuda itu tersenyum ke arahnya, pasti pipinya akan terasa hangat dan rona merah akan segera menjajah pipinya. Sejujurnya, gadis itu sudah merasa tidak enak sejak pertama kali ia melihat Ichigo. Karena sekilas, Ichigo terlihat sangat mirip dengannya.Seakan-akan pemuda berambut oranye cerah itu adalah reinkarnasi darinya. Dan semakin Rukia dekat dengannya, Rukia semakin merasa kalau Ichigo memang reinkarnasi dia. Si Shiba Kaien. Dan gadis mungil itu mau tidak mau mulai mengakui, kalau ia sudah mulai jatuh dalam pesona yang dipancarkan seorang Kurosaki Ichigo.
Gadis berambut hitam kelam itu mencengkeram kemejanya lebih erat lagi. Jika dugaannya benar tentang perasaan ini, maka ia harus menghilangkan perasaan ini secepatnya. Mau tidak mau. Suka atau tidak suka. Karena jika ia tidak menghilangkan perasaan sialan itu dengan segera, maka Ichigo akan bernasib sama dengan Shiba Kaien. Dan Rukia tak mau hal buruk itu terulang kembali. . .
=TBC=
re-edited
yang kemaren itu banyak paragraf dan kalimat yang hilang = =" saya ceroboh? ya emang
ini cuma twoshot kok, jadi jangan khawatirkan fic-ku yang lain ya ^^ (emangnya ada yang khawatir?)
keep or delete? RnR please?
