Disclaimer: Cardfight Vanguard belongs to Bushiroad and Akira Itou-sensei. Kamisama no Inai Nichiyoubi belongs to Kimihito Irie. Author tidak mengambil keuntungan sedikit pun dari fanfic :)
Pair: Koutei-Ren & Kai-Aichi
Kami Inai verse. OOC and typos, just let me know
Sedikit penjelasan untuk dunia di Kamisama no Inai Nichiyoubi, settingnya mengambil sebuah dunia yang 15 tahun sudah ditinggalkan oleh Tuhan yang menyebabkan manusia tidak bisa lagi lahir dan 'mati'. Manusia yang mati akan hidup kembali sebagai 'living dead' a.k.a zombie, tapi tidak seperti zombie di verse lain yang langsung menjadi makhluk yang hanya ingin membunuh manusia, 'living dead' di Kami Inai verse masih mempertahankan sisi manusia mereka, tapi selayaknya kematian normal, tubuh mereka akan membusuk dan perlahan mental mereka juga akan 'menurun' (tapi tidak dijelaskan kapan 'penurunan kondisi' terjadi setelah kematian karena di anime sendiri mereka yang mati ada juga yang masih bersikap normal setelah 15 tahun, menurut author mungkin tergantung kondisi tiap individu).
Untuk membuat mereka yang mati bisa beristirahat tenang, muncul sosok yang disebut 'gravekeeper'. Hanya penguburan yang dilakukan oleh gravekeeper (atau di anime disebut 'saat tanah dari sekop gravekeeper menyentuh peti mati') yang bisa membuat mereka yang mati benar-benar beristirahat tenang. Gravekeeper tidak 'dilahirkan' tapi 'muncul begitu saja'. Gravekeeper juga tidak memiliki emosi tapi mereka memiliki sikap baik pada mereka yang hidup.
Sekian penjelasan singkat bagaimana bentuk dunia di Kamisama no Inai Nichiyoubi yang juga menjadi setting untuk fanfic ini dari author ^^
-cCc-
God created the world on Monday
On Tuesday, He draw a line between Order and Chaos
On Wednesday, He arranged each and every number
On Thursday, He permitted the ebb and flow of time
On Friday, God explored every nook and cranny of the world
On Saturday, He rested
And on Sunday, God forsook the world
Seorang pemuda berambut cokelat hanya bisa menghela nafas menatap dinding batu yang dingin di depannya. Sel tempatnya ditahan berada di bawah tanah, tidak ada jendela untuk menatap langit biru, hanya penerangan samar dari obor api yang menyala di dinding koridor yang membuatnya bisa melihat saat ini. Sesekali terdengar bunyi tetes air menggema di koridor yang sepi tapi selain itu tidak ada suara lain, bahkan tidak dari penjaga yang memasukkannya ke dalam sel yang sekarang berjaga entah di sisi koridor yang mana. Kenapa bisa berada di dalam sel tanpa melakukan kesalahan apa pun, dia, Mitsusada Kenji, juga ingin tahu hal itu. Dia hanya tidak sengaja menemukan jalan ke sebuah kota yang seharusnya tidak ada dan sebelum dia sadar apa yang sudah terjadi penjaga kota itu sudah mengepung dan membawanya ke dalam sel. Sebenarnya bukan dia saja yang harus mendekam di balik ruang dingin ini, ada seorang lagi, tapi orang yang sudah membuatnya sampai ditangkap justru menghilang saat pengawal berdatangan. Benar juga, Kenji baru sadar orang itu belum terlihat juga padahal biasanya orang itu selalu mengajaknya bicara.
"Koutei, tadi itu benar-benar lucu."
Ah...baru saja Kenji membicarakannya, orang yang dimaksud sudah terdengar suaranya disertai tawa. Dari dinding di hadapannya sosok pemuda transparan tanpa wujud fisik nyata menembus dinding dan melayang di depannya.
"Dan sebagai gantinya mereka menahanku, Ren. Sekarang bagaimana aku keluar dari tempat ini?"
Ren meletakkan telunjuk di dagunya dengan kepala dimiringkan, seakan memikirkan cara untuk keluar tapi dia justru mengatakan, "Aku tidak tahu, nanti juga mereka akan membebaskanmu, sekarang aku mau melihat-melihat Ortus. Jyaa." Ucapnya tanpa beban sebelum pergi menembus dinding lagi, meninggalkan Kenji yang kehabisan kata-kata sendirian di dalam sel.
Ren memperhatikan kota di bawahnya sambil terus melayang pelan, nyala api lampion aneka warna dan bentuk menjadi penerangan utama kota bawah tanah bernama Ortus ini. Hal yang menarik lainnya adalah banyak penduduk memakai topeng dalam bentuk dan variasi berbeda tapi dengan tujuan utama yang jelas, menyembunyikan wajah mereka. Pakaian penduduk kota ini juga menutupi seluruh kulit mereka, berusaha tidak menunjukkan kondisi fisik mereka satu dengan lain.
"Hmm...bahkan sesama mereka yang mati juga tidak suka melihat kenyataan tubuh yang mulai tidak sempurna." Guman Ren dengan seulas senyum tipis.
Ya, Ortus adalah kota bagi mereka yang mati. Hanya yang sudah kehilangan 'kehidupan' boleh menginjakkan kaki dan menjalani aktivitas di sini. Sangat terlarang bagi mereka yang masih memiliki detak jantung untuk masuk ke Ortus dan jika ada yang berani melanggar maka paling tidak kurungan yang mereka dapat, seperti yang dialami Kenji.
Sebenarnya Ortus yang dulu tidak memiliki aturan ketat, mereka yang hidup dan mati menjalani berdampingan di kota ini, tapi keharmonisan yang dianggap dapat bertahan selamanya hancur dalam sekejab, hanya dalam dua tahun. Half-Dead Fever, sebuah 'wabah' yang menyerang mereka yang mati. Wabah yang bukan berasal dari virus atau sebab luar apa pun, tapi berasal dari dalam diri mereka sendiri akibat dorongan insting untuk bertahan yang semakin menguat hingga membuat orang itu hanya memikirkan diri mereka sendiri, 'bagaimana mereka bisa mempertahankan keberadaan mereka dengan kondisi tubuh yang sudah tidak memiliki kehidupan'. Tanpa ada penanganan, Half-Dead Fever 'menyebar' dengan cepat, termasuk penduduk Ortus. Mereka yang mati mulai membunuh mereka yang hidup hingga akhirnya pecah sebuah konflik yang semakin membesar menjadi perang.
Ortus akhirnya hancur menjadi puing-puing seperti yang dilihat Ren di atas permukaan kota bawah tanah ini, Ortus yang baru yang dibangun secara diam-diam seusai perang. Ortus tetap menerima mereka yang mati bergabung menjadi penduduk, tapi jalan menuju kota ini dirahasiakan, dan secara tidak sengaja Ren menemukannya saat mengunjungi reruntuhan Ortus karena penasaran ingin melihat seperti apa kota yang dulunya dihuni oleh mereka yang hidup dan mati. Karena saat ini dua pihak itu saling memusuhi satu dan lain. Siapa yang mengira jalan masuk menuju Ortus berada di bawah sisa patung besar yang menjadi simbol 'kematian', patung yang dijauhi oleh mereka yang hidup karena mengira patung itu juga mampu membawa kematian seperti sosok yang sebenarnya, Koroshiohake, Idol of Murder. Ren tidak sengaja menemukan jalan di balik sebuah batu, yang ternyata pintu besi di desain menyerupai batu, penasaran menuju kemana jalan yang ditemukan, Ren membujuk Kenji untuk menjelajahi lorong tangga berbatu kecil hingga mencapai dasar yang ternyata menuju Ortus. Selanjutnya sudah bisa ditebak, penjaga berdatangan dan sel tahanan menunggu Kenji sementara Ren melayang santai di atas kota 'kematian'.
Bosan melihat-lihat kota yang masih dipenuhi orang-orang berlalu lalang di jalan tanpa ada hal menarik, Ren mengubah tujuan menuju bangunan terbesar Ortus yang terletak tepat di pusat kota, kastil, dan bukan bagian dalam kastil yang dia datangi, tapi kamar di menara tertinggi. Interior kamarnya tidak terlalu mewah, hanya sebuah tempat tidur besar tertutup kelambu, lemari kayu panjang di sisi jendela dengan sebuah vas bunga di atasnya, karpet biru tua yang menjadi alas untuk empat sofa juga sebuah meja oval di tengah, sebuah meja kayu lebih kecil berada di samping kanan kursi yang menghadap pintu.
"Hmm...kalau ini mengikuti klise seorang putri yang tinggal di sini." Ren tertawa kecil setelah kakinya menginjak lantai kamar.
Dari arah tempat tidur terdengar suara kelambu disibakkan, kamar yang semula Ren kira kosong ternyata masih ada seseorang di sini. Ren menoleh ke belakang, mengira akan melihat sosok yang pantas ditakuti sebagai simbol 'kematian', tapi yang berdiri di depannya justru pemuda berambut biru mengenakan straitjacket panjang dengan warna senada rambutnya tapi lebih gelap dengan ikatan sabuk cokelat menghias bagian atas badan, bagian bawah berbentuk celana dengan belahan mencapai lutut menunjukkan sepatu boot dengan warna sama. Yang menarik dari pemuda itu kedua matanya ditutupi oleh penutup mata kulit berbentuk segitiga terbalik dan perban melilit dari leher hingga hidung.
"Oya, aku tidak tahu ada orang disini." Ucap Ren, melayang hingga tepat di depan pemuda itu tapi tentu saja tidak disadari oleh pemilik kamar.
Pemuda dengan mata tertutup itu menuliskan sesuatu di papan berisi kumpulan kertas yang dibawanya. "Siapa?"
"Suzugamori Ren. Kau ini Koroshiohake?" Tanya Ren langsung tanpa rasa segan, dia membuat asumsi kamar di menara tertinggi selalu ditempati oleh sosok penting di kastil yang juga menjadikannya sosok penting bagi kota, dan sosok terpenting Ortus adalah Idol of Murder.
Pena bulu yang dipegang pemuda itu kembali bergerak di atas kertas. "Bukan, namaku Sendou Aichi, aku hanya simbol bagi Ortus, setidaknya itu yang dikatakan Kai-kun. Senang berkenalan denganmu, Suzugamori-san." Begitu yang tertulis di lembaran baru.
"Panggil saja Ren, Suzugamori terlalu panjang apalagi harus dituliskan." Ucap Ren, melayangkan tubuhnya kembali hingga nyaris menembus atap ruangan.
"Ren-san." Tulis Aichi yang kemudian membuat tulisan baru. "Bagaimana Ren-san bisa berada di sini? Aku tidak mendengar suara pintu terbuka."
Kalau saja Aichi bisa melihat langsung, dia pasti sudah mendapat jawaban dengan melihat wujud Ren yang tidak solid dan melayang di hadapannya, tapi karena kedua matanya ditutup Ren harus mencari cara untuk menjelaskan.
Ren merendahkan tubuhnya dan menjulurkan tangan seakan menyentuh tangan kanan Aichi yang menggenggam pena bulu tapi tentu saja hanya menembus. Dari reaksi Aichi yang sedikit terlonjak Ren yakin Aichi juga merasakan hal sama seperti orang lain yang ditembusnya, dingin dan sebuah perasaan kaget.
"Aku baru saja menyentuh tanganmu, tapi Aichi-kun tidak merasakannya kan. Karena aku tidak memiliki wujud fisik. Aku bisa menembus benda apa pun dan melayang di udara. Sayang sekali kau tidak bisa melihatnya." Ren menjauhkan jaraknya dengan Aichi.
"Aku tidak bisa membuka ikatan di badanku tanpa izin. Menjadi Ren-san menyenangkan ya, bisa melayang bebas di langit."
Raut wajah Ren berubah menjadi gelap membacanya, sesuatu yang tidak boleh disinggung di dalam dirinya merasa terusik dengan kata-kata yang dituliskan Aichi tanpa maksud apa pun. Tangannya terkepal erat dan bibirnya menjadi segaris tipis menahan perasaan.
"Kau tidak akan mau menjadi sepertiku." Ucap Ren dengan suara berat.
Terbiasa mengandalkan pendengaran untuk berinteraksi membuat Aichi sangat sadar dengan perubahan nada yang diberikan Ren, dia memiringkan kepala bingung apa sudah menuliskan hal yang menyinggung perasaan.
"Ren-san marah?"
"Tidak, hanya teringat sesuatu, bukan hal penting." Balas Ren yang sudah menggunakan nada riangnya diikuti senyum. "Nee nee, Aichi-kun sosok penting di Ortus kan? Artinya apa pun yang kau inginkan pasti dipenuhi kan." Ada sebuah maksud di balik kata-kata ini yang dipersiapkan Ren jika jawaban Aichi adalah 'iya'.
"Tidak semua dan aku juga jarang meminta sesuatu tapi secara keseluruhan mungkin iya."
Ren tidak lagi segan menyembunyikan sebuah senyum yang memiliki arti, yah, dia menunjukkan senyum itu dari awal Aichi juga tidak bisa melihatnya. "Pengawal kota ini menangkap temanku, dia tidak jahat, hanya di tempat yang salah dan dalam waktu yang salah, bebaskan dia." Pinta Ren. Sungguh dia harus memuji keberuntungannya bisa mendapat koneksi di lingkar dalam Ortus, apalagi dengan sosok yang menjadi simbol, semua hanya karena rasa penasaran dengan kamar di atas menara.
"Akan kuminta Kai-kun melakukannya." Meski wajah tertutup, Ren bisa mengira Aichi memberikan senyum di balik balutan perban, benar-benar sosok yang polos, sayang sekali di sekelilingnya hanya kematian.
"Bicara dengan siapa, Aichi?" Pintu kamar terbuka diikuti seorang pemuda dengan mantel hitam melangkah masuk. Ren menghilangkan wujudnya begitu mendengar derit pintu, dia masih belum mau berbicara dengan yang lain kecuali Aichi apalagi dari suaranya, orang yang baru masuk ini kurang bersahabat.
"Tidak ada siapa-siapa." Lanjutnya setelah melihat ke sudut kamar Aichi dan hanya melihat pemilik kamar berdiri di dekat tempat tidur. Berat langkah bootnya menuju sisi Aichi, membaca apa yang tertulis di lembaran kertas media komunikasi pemuda itu. "Ren? Siapa dia?" Pemuda dengan rambut cokelat itu mengangkat satu alis heran. Goresan pena di kertas masih baru yang menandakan Aichi baru menulisnya, baru saja 'berbicara' dengan orang bernama Ren ini, dia juga yakin sempat mendengar suara dari dalam kamar, tapi dia juga sudah meyakinkan diri kamar ini kosong. Tidak mungkin melompat dari jendela, bahkan mereka yang sudah mati pun tubuhnya akan tercerai-berai dari ketinggian menara.
"Nanti saja kuceritakan, Kai-kun, ada sesuatu yang kuinginkan."
"Apa?" Kai memberi perhatian penuh pada Aichi, tidak biasanya sebuah permintaan tertulis di kertas itu. Aichi sangat rendah hati sampai tidak mau merepotkan penghuni kastil dengan permintaan biarpun dialah penguasa dalam kastil. Kai sempat kaget dengan tulisan permintaan Aichi, jelas bukan permintaan biasa, dan kalau bukan Aichi dia pasti akan menolak karena ini melanggar peraturan Ortus. Sebagai Kepala Keamanan Istana Ortus bukan berarti dia bisa sesuka hati melanggar peraturan, justru sebaliknya, dia harus menjadi contoh bagi kota. "Hanya kali ini saja karena permintaanmu, hime."
Kepala Aichi tertunduk dan tangannya dengan cepat menuliskan hal lain. "Sudah kubilang berhenti memanggilku seperti itu, Toshiki." Nampaknya di balik perban putih ada rona merah yang tertutupi.
"Untuk yang ini tidak bisa, hime. Sekarang waktumu belajar, akan kuminta pengawal membawa orang itu kemari." Kai menggenggam pergelangan tangan Aichi, menuntun sang 'tuan putri' yang tidak bisa melihat itu keluar kamar, biarpun sepertinya Aichi sendiri sudah hafal posisi tiap barang di jalan yang dilalui.
"Koutei." Suara riang Ren membangunkan Kenji dari tidur singkat.
Kali ini Kenji berterima kasih Ren mengganggu istirahatnya karena jika tidak dia yakin leher dan punggungnya akan kaku tidur bersandar pada dinding batu dingin dan keras. Ada tempat tidur di dalam sel itu, tapi Kenji terlalu larut dalam pikiran hingga tertidur dalam posisi bersandar.
"Ada apa?" Tanya Kenji, meregangkan otot-ototnya yang mulai terasa kaku.
Ren menginjakkan kaki di lantai batu dan meletakkan tangan kanan di pinggang. Sikap yang sudah dihafal Kenji sebagai ekspresi rasa bangga dia sudah melakukan sesuatu yang penting. "Sebentar lagi kau bebas, berterima kasihlah padaku yang sudah mau repot-repot meminta tolong pada orang penting Ortus." Pemuda berambut merah panjang itu menjulurkan lidah.
"Ya...itu ba..." Kenji yang tadi meregangkan otot tangan menghentikan ucapannya. Otaknya mengulangi ucapan Ren sekali lagi, 'orang penting Ortus', apa yang dilakukan Ren di luar sana tanpa pengawasannya. "Kau tidak melakukan hal aneh kan, Ren." Tanyanya panik. Ren cenderung melakukan hal 'tidak biasa' jika tidak kunjung mendapat hal yang diinginkan.
"Tidak. Hanya berbicara sebentar dan orang itu menyanggupi untuk membebaskanmu, lagipula sejak awal Koutei tidak salah kan."
Ingin rasanya Kenji membalas, 'memang bukan salahku dan ini tidak akan terjadi kalau kau tidak memaksaku menelusuri tangga', tapi diurungkan. Berdebat dengan Ren yang memiliki banyak cara berpikir yang semuanya susah dipahami hanya akan membawa kekalahan telak. Paling tidak kepintaran bicara Ren bisa membuatnya terbebas dan sekali lagi dia harus memberi terima kasih pada sosok transparan itu.
Dari kejauhan Ren mendengar dua pasang langkah kaki mendekat, pasti penjaga yang akan membebaskan Kenji, pengaruh Aichi ternyata bisa membawakan hasil lebih cepat dari dugaan semula Ren. Selain langkah kaki kedua penjaga itu juga membicarakan tentang 'Upacara Penerimaan' yang akan dilakukan sebentar lagi, sudah ada sekelompok mereka yang hidup yang ingin berpindah ke Ortus.
"Upacara Penerimaan mereka yang hidup...apa artinya..." Ren berguman.
"Aku pernah dengar, tak jarang mereka yang hidup merasa putus asa untuk terus bertahan dan ingin memilih kematian, tapi 'mati' saja tidak cukup untuk mereka, mereka juga ingin mencari tempat yang bisa menerima keputusan yang sudah dibuat. Menurutmu Ren, apa ada tempat selain Ortus yang mampu menerima itu?"
Ren menggeleng. "Kurasa pilihan antara hidup di tanah tak berpenghuni atau Ortus, pilihan terakhir lebih baik, apalagi Ortus memiliki 'dokter' yang bisa memberi saran untuk menghentikan tubuh mereka supaya tidak membusuk dan terhindar dari Half-Dead Fever." Jawabnya yang diberi anggukan setuju oleh Kenji. "Dan Upacara Penerimaan ini berarti saat untuk 'dia' bertugas kan, 'Penjaga' Ortus."
"That eyes are the eyes of Death
That words are the words of Death
That body teeming with Death, that shall not allow the living to escape
Idol of Murder alone became the Guardian of the dead." Ujar Kenji.
Kata-kata yang seakan menjadi 'jimat' bagi penduduk Ortus dan juga kata-kata yang ditakuti oleh mereka yang ingin terus hidup. Sosok yang disebut 'Penjaga' Ortus tak lain sosok yang juga dikenal sebagai Koroshiohake, dia yang mampu membawa kematian melalui mata, suara, dan sentuhan. Sosok itu juga yang akhirnya mengakhiri perang di Ortus saat dia masih dalam fisik bayi melalui tangisannya. Memang sebuah kemenangan yang 'licik', bahkan Ortus sendiri mengakui, tapi lebih baik mereka bisa mempertahankan tanah yang sangat penting dan membangun ulang kota mereka dalam rahasia daripada harus berkelana tanpa tujuan di tanah tak berpenghuni.
"Apa Aichi-sama tidak akan curiga." Ucap salah satu pengawal. Suara mereka terdengar semakin jelas dengan semakin dekat juga menuju sel Kenji.
"Ssh! Kai-sama sudah memerintahkan untuk tidak pernah mengatakan kata-kata seperti itu." Rekannya memperingatkan.
"Aichi?" Ren mengeluarkan suara heran. Aichi menulis dia bukan Koroshiohake dan Ren merasa Aichi terlalu polos untuk berbohong, tapi mendengar percakapan kedua pengawal ini... Ren mengeluarkan sebuah guman yang diikuti seringai kecil saat mengolah kepingan informasi yang didapatnya.
"Ren? Ada apa?" Tanya Kenji bingung.
"Tidak hanya baru menyadari sesuatu yang menarik." Ren menjawab yang masih menunjukkan seringai.
-cCc-
A/N: author sendiri gak tau apa arti pas buat 'Koroshiohake' karena itu ditulis dengan katakana, ada yang bilang 'Incarnation of Murder' dan sub yang author pilih nulis 'Idol of Murder'. Karena itu juga istilah, dalam percakapan author lebih suka pakai 'Koroshiohake' tapi untuk narasi kadang diganti 'Idol of Murder' tergantung mana yang cocok v.v
Untuk yang bingung seperti apa pakaian Aichi, itu diambil dari straitjacket yang dipakai C.C (Code Geass) tapi untuk bagian sabuk ikatan diambil dari karakter asli di Kami Inai, Ulla Eulesse Hecmatika, termasuk penutup mata dan perban yang dipakai Aichi. Buat yang lihat Kami Inai pasti tahu kalau kata-kata Koutei itu memang diubah, 'her' author ubah jadi 'that' (entah kenapa author kurang suka kalau diganti jadi 'his')
Biarpun setting dan jalan cerita dari Kami Inai, author gak sepenuhnya copy-paste, ada bagian yang diubah dan ditambah sesuai selera author :)
dan maaf kalau ceritanya mungkin agak ribet v.v karena cerita aslinya sendiri juga agak membingungkan tapi nanti satu per satu akan dijelaskan :)
review always accepted :)
