Warning: Bromance, untuk sementara ini rate T

Fanfic pertamaku yang terinspirasi dari para pendahulu xD, pencinta Taekook. Aku kagum sama kalian semua. Semoga pembaca bisa menerima karya amatiran ini –tabik-

Bacaan kalian, keputusan kalian. Jika merasa kurang nyaman dengan apa yang termuat disini, silakan mengambil keputusan bijak dengan tidak membacanya.


I don't owe every character in this story

.

.

I CAN NEVER FLY

.

..

Kim Taehyung tidak pernah merasa serindu ini. Ia tidak pernah merasa merindukan sesuatu seperti ini. Tidak pada sesuatu yang sejak awal memang bukan miliknya. Tidak pernah begitu menderitanya seperti ini. Kecuali pada saat itu. Delapan tahun yang lalu. Saat ia dengan berani memutuskan sesuatu atas dasar keinginannya sendiri. Memberi kebahagiaan pada Jungkook, anak kecil berusia 8 tahun yang selalu mengekori dirinya seperti gravitasi dan benda bermassa.

"Tae…,"

"Taehyungie!"

"Jungkookie, panggil dia hyung," tegur seorang pria paruh baya.

"Hyung, Kookie ingin es krim," bocah yang dipanggil Jungkook tadi melakukan aegyo di depan anak berambut coklat berambut kecoklatan yang terlihat lebih kurus darinya. Anak berambut coklat itu tersenyum lembut sembari merapikan buku-bukunya yang berserakan di atas sebuah meja mahoni kecil. Bocah itu baru saja selesai mengerjakan tugas sekolahnya.

Anak yang dipanggil Taehyung itu berdiri untuk merespon panggilan dari Jungkook. Jungkook mengosok-gosokan poni rambutnya pada lengan Taehyung. Sedangkan si pria paruh baya yang biasa Jungkook panggil Sejin ahjussi sedikit tak enak hati pada Taehyung karena Jungkook terlalu menempel pada Taehyung. Pada dasarnya, Taehyung juga anak yang jarang bicara, Taehyung juga tidak terlalu menunjukan minat untuk berkawan dengan anak seusianya. Ia lebih suka menyendiri namun tidak pernah bisa mengabaikan keberadaan Jungkook.

Jungkook tidak segan untuk mengungkapkan apapun keinginannya pada Taehyung dan Taehyung tidak pernah menolaknya.

"Oke, kau ingin rasa apa?" tanya Taehyung dengan raut muka lucu.

"Kau tidak harus melakukannya, Tae. Jungkook terlalu manja padamu. Dia sudah menghabiskan jatah uang jajannya hari ini," kata Kim Sejin sembari melipat selimut baru untuk Jungkook.

"Aku selalu punya uang untuk Jungkook, ahjussi," Taehyung tersenyum lebar, "Lagipula Jungkook jarang meminta es krim padaku, siapa yang bisa mengecewakan pria kecil ini, hm?" Taehyung mencubit pipi gembil Jungkook lalu mengenggap pergelangan tangannya yang mungil. Taehyung menangkap raut kebahagiaan dari muka Jungkook. Bocah itu tak sungkan menunjukkan kelincinya tatkala Taehyung membisikan jika ia punya uang untuk membeli es krim.

"Kajja, kita beli es krim!"

"Jinjja? Kookie boleh beli es krim?"

"Ne, tentu saja."

Mata hitam Jungkook berbinar-binar lucu. Kemudian, ia menyeret lengan kurus Taehyung keluar dari kamar, meninggalkan seorang pria yang hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil melihat kelakuan manja Jungkook.

Taehyung tidak tahu kenapa Jungkook tiba-tiba bersikap seperti ini. Bahagia setelah sedikit memaksakan kehendaknya sendiri. Hanya pada Taehyung.

Jungkook bukan anak yang bisa dekat dan akrab dengan siapa saja sehingga Taehyung merasakan sebuah kebanggaan tersendiri saat Jungkook menggandengnya penuh semangat untuk pergi ke kedai yang menjual es krim murah di dekat tempat tinggal mereka. Taehyung tidak pernah melihat Jungkook menggantungkan diri pada orang lain dan ketika Jungkook melakukannya, Taehyung senang bahwa orang itu adalah dirinya.

Taehyung ikut tertawa saat Jungkook salah mengenakan alas kaki sementara anak itu tidak menyadarinya. Ia terlampau bersemangat untuk pergi membeli es krim dengan Taehyung. Punggung kecilnya bergetar semangat, tengkuknya berkeringat, terlihat segar seperti buah pir yang baru dicuci, putih kekuningan. Rambut hitamnya menjuntai menutupi sedikit tengkuknya dan akan tersibak sedikit saat angin menerpanya.

Taehyung kecil melongo, ia tidak tahu kenapa Jungkook begitu indah. Jungkook memang seperti itu – seingat Taehyung. Bocah itu memang elok, mencuri perhatian Taehyung sejak mereka pertama kali bertemu.

Taehyung bertemu Jungkook saat usianya menginjak 4 tahun. Saat itu, ia melihat seorang anak berusia 2 tahun yang melempar mobil-mobilan plastik warna merah dan menghardik teman-temannya sendiri. Taehyung menatap Jungkook penuh minat namun ibunya segera menarik pergelangan tangannya, tak membiarkan dirinya menatap sesosok anak kecil yang indah itu terlalu lama. Beberapa hari kemudian secara resmi Taehyung mengenal anak kecil itu sebagai Jungkook. Seorang balita pendiam yang suka bermain sendirian. Ia tidak terbiasa dengan keramaian dan hal itu membuat Jungkook sedikit ketakutan. Taehyung tidak pernah meniatkan diri untuk mendekati Jungkook. Mereka dekat dengan sendirinya. Ya begitu saja.

Jungkook mengekori Taehyung setelah Taehyung mengambilkan layang-layang Jungkook di atas pohon. Bocah itu memandang kagum Taehyung dan tersentak saat Taehyung kecil mengulurkan tangan, menawarkan jari-jari kurusnya untuk menggandeng tangan gemuk Jungkook. Taehyung mengira jika Jungkook mungkin melihat sosok kakak dalam dirinya. Tapi, Taehyung salah. Ia bukan hanya seorang kakak bagi Jungkook.

"Kau mau rasa apa? Coklat?" tanya Taehyung saat ia dan Jungkook sampai di depan toko kecil. Taehyung mengaduk kotak es krim berusaha mencari es krim yang menurutnya enak.

"Strawberry," pekik Jungkook. Ia menunjuk sebuah es krim dari balik kaca yang berembun.

Taehyung menghentikan Jungkook yang hendak menyambar dua es krim strawberry. Taehyung hanya sanggup membelikan satu.

"Satu saja, Jungkook-ah," Taehyung meringis saat menyadari ekspresi Jungkook berubah.

"Satu untuk Kookie, satu untuk Tae-hyung," ucap Jungkook lucu.

"Untukmu saja, hyung sedang tidak ingin makan es krim. Gigiku bolong, kau ingat?"

Jungkook mengangguk mengerti lalu mengekori Taehyung membayar es krim di kasir. Jungkook memegangi es krim itu erat, hampir memeluknya, sampai es krim itu nyaris pecah, gepeng di dalam bungkusnya.

Taehyung terbahak, ia menyuruh Jungkook untuk segera memakan es krimnya dalam perjalanan pulang.

"Saat perjalanan pulang-," Jungkook mengambil jeda dalam nada bicaranya untuk memberi kesempatan lidahnya mencecap es krim, "Kookie melihat seorang Ahjumma membelikan es krim untuk seorang anak laki-laki. Dia bilang 'eomma mencintaimu'. K-Kookie tidak punya eomma, Kookie hanya ingin seseorang membelikan Kookie es krim dan bilang-,"

"Jungkook-ah, saranghae!"

Mata Jungkook membulat. Poninya terbang tersibak angin. Entah mengapa es krim yang ia makan menjadi lebih manis dari beberapa menit yang sebelumnya. Taehyung mengenggam tangannya dan hal tersebut membuat Jungkook merasakan sebuah kehangatan yang asing. Seperti seorang yang peduli, seperti ibu. Jungkook menangis kala Taehyung menatapnya penuh arti, netra coklat anak yang 2 tahun lebih tua dari Jungkook itu berpendar saat tertimba sisa-sisa cahaya sinar matahari.

Sementara bagi Taehyung, seharusnya Jungkook tidak mempertanyakan kepeduliannya lagi. Namun, Jungkook tidak lebih dari seorang anak umur 8 tahun yang tidak terlalu memahami rasa sayang dari seorang kakak. Ia mungkin juga tidak tahu rasa sayang dari kedua orang tuanya karena Jungkook memang tidak memilikinya, tapi Jungkook selalu punya Taehyung.

Jungkook masih menangis. Taehyung bingung saat mendapati teman kecilnya itu berlumuran air mata. Es krim di tangannya terlupakan dan bagian ujungnya sudah jatuh ke tanah karena mencair.

"Nado, N-nado saranghae," Jungkook memegang ujung kaos biru Taehyung.

Secara reflek Taehyung mengusap kepala Jungkook lalu menepuknya perlahan. Taehyung bisa merasakan kesedihan Jungkook yang merindukan kasih sayang kedua orang tuanya karena Taehyung merasakan hal yang sama.

"Hyung akan terus menyayangiku kan? Kita bisa beli es krim terus kan?" tanya Jungkook. Jungkook beranggapan jika Taehyung membelikannya es krim maka anak yang lebih tua itu akan mengatakan bahwa ia menyayangi Jungkook lagi.

"Tidak perlu saling menyayangi untuk dapat membeli sebuah es krim, Kookie. Tapi ya, Hyung akan menyayangi terus, sampai hyung tua."

Jungkook tersenyum manis, memperlihatkan gigi kelincinya. Ia merasa tidak ada yang lebih menyayanginya di dunia ini dibandingkan Taehyung.

Sementara itu, Taehyung berusaha menahan tangis melihat Jungkook yang seperti ini. Terlalu polos, ceria dan terkadang kesulitan saat mencoba bergaul dengan anak yang lain.

Jungkook itu manis. Sangat manis, tanpa benar-benar tahu jika panti asuhan adalah tempat dimana seorang anak tidak pernah benar-benar mempunyai ibu dan ayah sedari awal. Itulah tempat tinggal mereka.

Kim Taehyung

Jungkook

Tanpa terasa, air mata Taehyung lolos begitu saja bersama senyum bocah yang 2 tahun lebih muda darinya,

Jungkook.


Jungkook tinggal di panti asuhan lebih dahulu daripada Taehyung. Taehyung pertama bertemu Jungkook saat dirinya berusia 4 tahun. Kala itu, dia melihat Jungkook menangis sehabis bertengkar dengan temannya di halaman panti. Taehyung tidak bisa melupakan rupa Jungkook saat itu. Pipi gembilnya ternodai tanah, coreng moreng, poninya belum sepanjang ini dan Jungkook berlari saat kepala panti, Kim Sejin, memarahinya.

Sejak awal, Taehyung tidak terlalu paham kenapa ibunya mengantarkannya ke sebuah tempat penuh anak-anak asing. Ia tidak mengerti. Apa ini sekolah?

Kemudian, Taehyung tetap tidak mengerti arti semua ini. Ibunya yang mengemasi barang-barangnya dengan tangis yang pecah, seorang pria yang ia kira ayahnya menghardik dan memukul ibunya terus-menerus, dan ia mencoba meraba-raba arti semua ini saat ibunya melambai pelan meninggalkan Taehyung bersama pria asing yang baru dikenalnya beberapa jam. Pria asing yang memegang pundaknya saat ibunya melambai meninggalkan Taehyung.

"Ibu akan sering menjengukmu, Tae," kebahagiaan Taehyung benar-benar hancur saat itu juga. Dan detik dimana ibunya melangkah pergi dari gerbang panti, Taehyung sudah kehilangan harapannya.

Taehyung punya cukup waktu untuk menangisi kepergian ibunya. Tidak ada orang dipanti yang melarangnya menangis, tidak ada yang memperhatikannya karena kepala panti punya lebih dari selusin anak yang menangis sama seperti Taehyung. Tidak ada yang memperhatikannya kecuali anak bermata bulat yang mengintipnya dari balik dinding.

Taehyung mengusap air matanya saat menyadari dirinya diawasi. Matanya masih merah saat si anak dengan perlahan menunjukkan dirinya sebagai sosok anak kecil dan mengacungkan sebuah mobil-mobilan dengan pintu yang rusak sebelah.

"Ain cama Kookie (Main sama Kookie)?"

Taehyung tak acuh pada si anak. Mobil-mobilan tidak akan semudah itu membuatnya melupakan rasa sakit hatinya. Ia masih sama tertariknya dengan anak berpipi penuh lumpur itu yang Taehyung akui mengingatkannya pada seekor kelinci. Akan tetapi, dia tidak ingin bermain saat ini. Semua berakhir dengan Taehyung yang menepis mobil-mobilan Jungkook dan meninggalkan bocah yang tidak mengerti apa-apa itu dengan kebingungan dan kesedihan. Tepisan Taehyung membuat lampu depan mobil-mobilan Jungkook pecah

.

.

Taehyung kecil menurut saat kepala panti mengantarkannya pada sebuah kamar dengan dua ranjang susun. Taehyung mendapati jika hanya ada satu ranjang yang kosong. Namja kecil itu mendapatkan tempat tidur di bagian atas.

"Nah, Taehyungie, kau akan berbagi tempat tidur dengan Jungkook," kata Kim Sejin sambil menunjuk tempat tidur tepat di bawah milik Taehyung, "di sana ada Kyungsoo dan Jongin. Ah, kau pasti akan mengenal mereka nanti. Aku akan memperkenalkanmu pada mereka."

Taehyung mengerjapkan bola matanya yang bulat. Ia menggigit pipi bagian dalamnya dan menduduki kasur milik Jungkook. Bocah laki-laki berusia 4 tahun itu memandang halaman panti dari balik jendela kecil yang kacanya sudah buram. Ia kembali melihat anak-anak yang berlarian di halaman. Seharusnya ia tidak disini. Ia punya ibu dan orang yang mengaku sebagai ayahnya. Ia tidak seharusnya disini, menghabiskan tahun-tahun sunyi tanpa pernah melihat kulit wajah ibunya yang berjanji untuk datang lagi.


"Kyungsoo hyung akan mendapat orang tua baru minggu depan. Ahjussi bilang dia akan pindah ke Seoul," kata seorang anak berkulit kecoklatan, Kim Jongin.

Merasa tak mendapat respon dari orang di sebelahnya membuat Jongin harus repot-repot menoleh. Ia mendapati Kim Taehyung berbaring memejamkan mata. Poni panjangnya menutupi mata bocah tampan itu.

"Taehyung?"

"Aku mendengarmu, hyung."

Jongin menghela nafas dan ikut membaringkan dirinya di atas atap sama seperti Taehyung. Ia mengambil sebatang rumput yang terus ia kunyah pangkalnya sejak tadi dan menimbangnya di udara. Berbaring di atas atap menjadi rutinitas bagi Taehyung dan Jongin sejak usia mereka menginjak 7 tahun. Mungkin hal ini juga yang membuat kulit Taehyung dan Jongin berwarna kecoklatan terbakar matahari. Mereka sering memanjat pagar panti yang hampir roboh dan meloncat ke atas atap hanya untuk sekedar membaringkan tubuh dan menatap langit sore yang keemasan.

"Menurutmu, apa mendapat orang tua baru itu menyenangkan?" Jongin mengamati rumput yang ia ayun-ayunkan di udara.

"Mungkin," Taehyung masih memejamkan mata.

"Aisshh anak ini, aku bertanya dengan sungguh-sungguh," Jongin memukul lengan Taehyung sehingga membuat anak yang setahun lebih muda darinya itu berjengit menahan sakit.

"Kyungsoo hyung pasti akan bahagia. Dia tidak pernah punya orang tua. Ini kesempatannya untuk memiliki ayah dan ibu. Begitu pula Jungkook, aku tidak bisa membayangkan betapa bahagianya dia jika ada yang ingin mengadopsinya," Taehyung menyibak poninya dan memandang mendung tipis berwarna hitam yang berarak rendah.

Jongin mengangguk, ia dan Taehyung sama-sama pernah memiliki orang tua. Taehyung punya ibu dan Jongin punya seorang ayah yang meninggal karena ditembak polisi.

"Aku ragu Jungkook bisa bahagia. Dia kan lengket sekali padamu," Taehyung tertawa kecil mendengar nada sarkastik di dalam pernyataan Jongin.

Taehyung menarik nafas, "Aku juga tidak yakin bisa meninggalkan dia. Dia sudah seperti adikku sendiri. Anak itu memang manja sekali."

Jongin melihat perubahan samar di wajah Taehyung. Wajahnya melembut dan suaranya juga melemah. Jongin terkadang heran bagaimana bocah kurus itu mampu tersenyum konyol setiap hari jika mengingat bahwa kesedihan dalam dirinya sama sekali tidak hilang sejak ibunya meninggalkan Taehyung.

Jongin mengerti benar apa yang dirasakan Taehyung. Kesedihan. Kesedihan yang merobek dirinya menjadi sehalus bubur kertas saat mengetahui ayahnya tewas ditembak karena ketahuan mencuri. Tidak main-main, ayahnya mencoba mencuri sebuah cincin berlian yang dipajang di sebuah toko perhiasan di Seoul. Polisi terpaksa menembaknya karena ayah Jongin mencoba kabur. Namun, tembakan yang seharusnya mengarah ke kaki itu lantas menembus dada ayah Kim Jongin hingga pria paruh baya itu terkapar, tewas tanpa suara.

Rasanya sudah lama sekali, Jongin hampir lupa dengan masa lalunya sendiri. Dirinya yang berakhir di panti asuhan Daegu, Magnolia Orphanage, karena satu-satunya bibi yang ia punya terlalu banyak anak dan tidak sanggup menghidupi satu manusia lagi.

"Menurutmu, Jungkook akan mendapatkan orang tua baru?" tanya Jongin.

"Jungkook anak yang sempurna. Tidak ada alasan untuk menolaknya."

Tapi Taehyung salah.

Ia tidak pernah menyangka jika dirinya akan menjadi saingan Jungkook untuk mendapat sepasang orang tua baik hati yang akan membawa mereka keluar dari panti asuhan.

Pada suatu sore, Sejin memanggil Jungkook dan Taehyung lalu memperkenalkan mereka kepada sepasang laki-laki dan perempuan yang bernama Kim Wonwoo dan Kim Mingyu. Seperti biasanya, Jungkook berlindung di belakang tubuh Taehyung. Bocah 8 tahun itu memegangi sejumput kaos Taehyung dan mencoba menyembunyikan wajahnya di lengan kurus Kim Taehyung.

"Aigo, mereka lucu sekali," ucap Jeon Wonwoo. Wanita itu mengulurkan tangan memberi isyarat agar Taehyung dan Jungkook mendekat.

"Kalian kakak-beradik?" tanya Mingyu.

Jungkook memandang Taehyung seolah minta jawaban.

"Tidak, Tidak. Jungkook dan Taehyung bukan saudara. Mereka berteman dari kecil," jawab Kim Sejin, "Taehyung, perkenalkan dirimu."

"Jeo-neun Kim Taehyung imnida. Jeoneun yeol sal ieyo," Taehyung membungkuk sopan. Ia kemudian mengandeng tangan Jungkook agar mau maju kedepan.

"Jungkook i-imnida. Jeoneun-y-yeo deol sal i-ieyo," kata Jungkook. Mata onyxnya terpaku pada Taehyung seolah minta perlindungan.

"Tidak apa-apa, Jungkookie," Taehyung membelai lembut surai kepala Jungkook. Anak yang lebih tua 2 tahun dari Jungkook itu mengamit tubuh Jungkook seakan-akan jika tidak melakukannya Jungkook bisa goyah dan ambruk begitu saja.

"Ya Tuhan, mereka lucu sekali, iya kan, Mingyu?" tanya Wonwoo yang direspon dengan anggukan dari namja tampan berambut hitam dengan sentuhan biru pada layer atasnya, "Aku ingin segera mengadopsi mereka, aigo! Dia berkedip lucu," Wonwoo tertawa senang ketika melihat Jungkook yang berkedip lucu pada Taehyung. Pipi Jungkook yang gembil memerah karena Wonwoo sejak tadi memandanginya dengan tatapan memuja.

"Hyung, Kookie ingin pergi. Ayo kita main!" rengek Jungkook.

Taehyung yang kebingungan mengalihkan pandangan matanya pada Kim Sejin dan pria paruh baya itu mengangguk lembut saat mengetahui Jungkook yang menggeliat gelisah diantara lengan kurus Kim Taehyung.

"Ne, ayo!" jawab Taehyung.

Jungkook langsung menghambur keluar saat kata ya terucap dari mulut Taehyung. Bocah laki-laki itu berlari kencang menuju ke dalam kamarnya. Langkah-langkah kaki Jungkook terdengar, bergema di ruangan yang hanya terisi oleh meja dan kursi sederhana.

Taehyung membungkuk sopan dengan cepat dan mengikuti Jungkook yang telah menghilang dibalik dinding. Taehyung berjalan dengan normal sampai di depan pintu dan ia hampir saja berlari saat salah satu dari pasangan suami istri itu kembali buka suara,

"Kami hanya akan mengadopsi salah satu dari mereka."

Mata Taehyung membulat. Ini diluar ekspektasinya.

"Ah, tentu saja. Kira-kira siapa yang kalian pilih?"

Taehyung ingin mendengarnya juga. Apakah…

"Kim Taehyung."


Taehyung memperhatikan Jungkook yang sejak tadi bermain mobil-mobilan. Bocah berambut coklat itu mengamati Jungkook yang mengubur mobil-mobilannya dalam pasir. Itu mobil-mobilan yang sama, mobil-mobilan yang ditepis Taehyung 6 tahun lalu. Jungkook selalu berkeras untuk menyimpannya dan memainkannya hanya pada waktu-waktu tertentu karena engsel pintu belakang mobil sudah mulai bermasalah. Kacanya juga sudah terlampau buram, terdapat bekas guratan-guratan benda tumpul hasil dari keusilan Jongin.

Angin musim panas membelai pipi Taehyung. Angin musim panas itu juga bergulir menerbangkan rambut Jungkook sehingga dahinya kelihatan dan Taehyung bisa melihat bekas gigitan nyamuk disana.

"Hyung?!"

Taehyung mengangkat alisnya dan berjalan mendekati Jungkook. Ikut bermain pasir yang penuh dengan daun kering.

"Diadopsi itu apa?" Jungkook mengernyitkan mata. Matanya kemasukan debu yang terbang terbawa angin. Bocah itu mencoba mengusap matanya dengan lengan bajunya.

"Artinya kau akan mendapat orang tua ba-," Taehyung ragu untuk menyebut kata 'baru'. Jungkook tidak pernah punya orang tua, tidak ada kata baru untuknya karena dia bahkan tidak memiliki awal, " dan tinggal bersama mereka sebagai sebuah keluarga. Kau akan punya keluarga. Seperti Ahjumma dan anak yang kau ceritakan," jawab Taehyung.

Jungkook mengangguk. Ia mengingat ketika ada sepasang laki-laki dan perempuan yang menjemput Do Kyungsoo tempo hari. Jungkook berpikir jika hyungnya itu hanya pergi jalan-jalan namun nyatanya Kyungsoo tidak kembali sampai keesokan harinya. Keesokan harinya lagi dan keesokan harinya lagi.

"Ahjumma tadi akan mengadopsi kita?" Jungkook memandang Taehyung dengan rasa penasaran yang menggebu. Meskipun ia harus meninggalkan panti asuhan namun jika ia tetap bersama Taehyung, Jungkook sama sekali tidak keberatan.

Taehyung mengangguk. Ia membelai mata kiri Jungkook, memastikan tidak ada pasir yang mengenai mata anak kecil yang sudah ia anggap sebagai saudara itu.

"Kita akan tinggal bersama?"

"Geure," Taehyung mencium puncak kepala Jungkook. Bocah 10 tahun itu berdiri. Tangannya masih berada di surai hitam Jungkook.

"Jungkook-ah, mau beli es krim? Aku yang traktir!" Taehyung tersenyum lebar, matanya nyaris tenggelam di bawah kelopak matanya.

Jungkook mendongak heran. Bayang-bayang tubuh Taehyung menghalangi pandangannya dari matahari. Kemudian Jungkook ikut tersenyum dan mengelap tangannya yang penuh pasir ke celana. Bocah berambut hitam legam itu menarik lengan Taehyung sedangkan bocah yang lebih tua dari Jungkook tidak kuasa melawan semburan kebahagiaan Jungkook, anak laki-laki tanpa nama marga.

Hari-hari ini akan Jungkook ingat selamanya. Hari dimana ia dan Taehyung berjalan beriringan menyongsong matahari terbenam. Mendongak mengamati langit yang merona darah, hari terakhirnya yang damai bersama Kim Taehyung.

.

.

.

Taehyung menengok ke arah datangnya kereta. Ia jarang bepergian dan bocah itu terlampau kagum melihat roda besi yang bergerak di atas besi yang lain. Ia merasakan tarikan di punggungnya.

Jungkook

Raut wajah adik kecilnya itu ketakutan. Jungkook berdiri gelisah sembari membawa tas jinjing kecil berisi pakaiannya. Ada semacam kecemasan yang tergambar di wajah imutnya. Entah apa itu. Jungkook berjengit setiap kali ada kereta datang. Ia mengeratkan cengkeraman jari-jarinya pada punggung Taehyung.

Sejin memberi aba-aba pada Taehyung saat sebuah kereta berwarna abu-abu dengan gradasi warna hitam datang, menyusuri rel dengan malas. Taehyung menggandeng Jungkook masuk kedalam kereta. Sejin mengantarkan mereka masuk ke ruang kelas 1. Mereka melihat Kim Wonwoo dan Kim Mingyu masuk dengan raut wajah gembira. Mingyu dan Wonwoo masih sama mempesonanya seperti saat mereka datang pertama kali ke panti asuhan.

"Hyung," Jungkook merengek.

"Gwenchana, ayo kita duduk," Taehyung menggandeng tangan Jungkook dan menyuruhnya untuk duduk di hadapan Wonwoo dan Mingyu. Tiba-tiba Taehyung terlihat kebingungan, ia mencari-cari sesuatu, "Jungkook-ah, aku melupakan tasku. Aku akan mengambilnya sebentar di luar, pasti sedang di bawa Sejin Ahjussi. Kau tunggu disini ya?"

Jungkook mengangguk patuh tatkala Taehyung menyentuh bahunya dan berlari kecil keluar dari gerbong kereta. Jungkook meremas pegangan tasnya. Ia sendirian duduk bersama orang asing tanpa Taehyung. Hal ini membuatnya ingin menangis. Sungguh.

Bermenit-menit kemudian Taehyung tak kunjung kembali dan Jungkook terlalu takut untuk bertanya pada dua orang asing di depannya itu. Mata bulatnya mencari-cari, ke kanan ke kiri, keluar jendela dan ia menemukan Taehyung yang sedang berdiri di depan tubuh tinggi Kim Sejin tanpa tas ataupun atribut bepergian lainnya.

"Hyung!" teriak Jungkook.

Taehyung tak menoleh

"Hyung! Tae-hyung!" jerit Jungkook. Tenggorokannya sakit, air matanya sudah mengumpul di pelupuk matanya, siap lolos kapan saja.

"Hyung!"

Lokomotif kereta yang keras bagai terompet meredam teriakan Jungkook. Tapi Taehyung berbalik. Taehyung melihat Jungkook yang menangis di balik jendela. Namun, Taehyung tak bergeming. Ia tetap berdiri bersama Sejin.

Nafas Jungkook memburu. Ia menyambar tas jinjingnya dengan terburu, berusaha untuk mengangkatnya dan pergi keluar dari kereta yang pintunya sudah mulai menutup dan berjalan perlahan. Jungkook menangis. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Jungkook kembali menangis.

"Kookie, kau mau kemana?" Wonwoo menahan bahu Jungkook.

"Taehyungie," Jungkook meratap. Mukanya memerah dengan cepat, "Hyung tertinggal," tangis Jungkook semakin menjadi ketika kereta sudah mulai melaju meninggalkan stasiun.

Dari balik jendela kecil ini, Jungkook meratap menangisi Taehyung yang berdiri kaku dan menunduk. Dengan matanya hitamnya, Jungkook melihat sosok Taehyung yang semakin mengecil dan menghilang. Secara harfiah memang menghilang dari hidupnya.

"TAEHYUNGIE!"

'Jungkook-ah'

/

/

/

Bersambung…..

…..

Yaampun ini aku nulis apa?

Aku ga tahu harus membuat pembelaan yang kayak gimana lagi, ya beginilah.

So lanjut atau engga?

It's up to you

cya