Sekapur Sirih : Ide cerita diambil dari Hikayat Galuh Digantung dengan banyak sekali perubahan yang ada. Saya tertarik dengan hikayat ini karena saya baru mendengar hikayat ini. Baru saja. Jujur saja, saya sejak dulu lebih tertarik hikayat-hikayat Melayu dan epos- epos India yang masuk ke Indonesia era jaman Hindu dulu. Tapi, ketika mengetahui dan membaca hikayat yang berasal dari tanah Jawa saya seriusan tertarik banget. Dan… tara, saya buat fanfiksi ini untuk memenuhi challenge Fanfiction Event Folktale Month, meskipun ini hikayat, bukan folktale. Tapi, turunan darihikayat ini kemudian dikenal sebagai cerita rakyat juga,kok.
Disclaimer : Hak cipta animanga Hetalia adalah milik Hidekaz Himaruya. Hikayat Galuh Digantung merupakan salah satu cerita Panji hasil sastra Jawa yang penciptanya adalah anonim. Saya tidak mengambil keuntungan materiil dalam peminjaman tokoh di dalam pembuatan fanfiksi ini.
Warn: Penggunaan human name bagi tokoh Hetalia. Typo yang luput dari pengamatan. Multi chapter. OOC. Absurd. Mary Sue!Fem!N. Italy
.::Selamat membaca::.
Dua raja besar itu tertawa geli karena mereka tak menyangka akan bertemu di tempat yang tak disangka-sangka jua. Keduanya saling bergandengan dan masuk ke dalam kuil dengan niatan dan doa yang sama kepada para dewa.
Mereka menginginkan keturunan.
"Aku tak menyangka kau tak bisa memberi anak kepada istrimu, Alaric." Julius menggoda kawannya tersebut. Alaric diam dan mencibir, "Bagaimana dengan dirimu sendiri? Jika engkau bisa memberi anak kepada Elizaveta, untuk apa kau datang ke kuil ini juga?"
Julius menghela napas berat. Dia menggaruk rambut cokelatnya dengan wajah yang kesulitan untuk menjelaskan, "Yah, aku masih belum bisa mengatur dunia, Teman."
Alaric memandangi patung Zeus di depannya. Punggungnya bersandar pada sandaran bangku panjang, dan dia berujar, "Hei, Julius."
"Apa?"
"Mari kita berjanji pada Zeus dan Hera, bahwa jika kita mendapatkan anak, maka kita akan menikahkan mereka berdua."
Julius diam. Dia mengambil posisi yang sama seperti Alaric. Duduk dengan bersandaran sambil memandangi patung besar Zeus di depan keduanya. Tangan besarnya mengusap-usap lututnya yang menggigil kedinginan. Tak berapa lama, dia tersenyum. "Baiklah. Aku setuju. Akan sangat menyenangkan jika bisa berbesan denganmu, Alaric."
.
For fanfiction event: Folktale Month
Hama Hitam present
HIKAYAT GALUH DIGANTUNG
.
Alaric menatap Gilbert—anak sulungnya—yang terus menggoda Caroline—putri bungsunya—yang baru mendapatkan baju baru dari sang ayah. Isabele—kakak Caroline—membela adiknya, dan mengutuki sang kakak yang terus berisik di meja makan. Putra ketiga Alaric, Timothy duduk diam sambil membaca buku, dan tidak terlihat tertarik pada makan malam yang disuguhkan di depannya.
"Mana Ludwig?"
Gilbert berhenti menggoda Caroline, tapi gadis kecil itu masih memukuli pundak si sulung. Isabele ikut-ikut memukuli Gilbert, dan si albino hanya tertawa sambil menjawab pertanyaan sang ayah, "Entahlah, Ayah. Berbicara dengan bulan lagi, mungkin."
"Dia di kamarnya." Timothy memberikan jawaban yang lebih jelas daripada kata-kata Gilbert tadi.
Sang putra kedua datang setelah tiga menit Alaric memerintahkan seorang pelayan untuk memanggilnya. Dia duduk di antara kakak dan adiknya, Timothy. Isabele dan Caroline telah kembali ke kursi mereka yang berada di seberang tiga putra Beilschmidt, dan Alaric duduk di ujung meja.
Ketika jamuan terakhir telah sampai di meja besar tersebut, Alaric meminta kelima anaknya untuk berdoa sebelum menikmati makan malam mereka kali ini. Tak ada pelayan yang berada di ruangan mereka, sehingga suasana begitu hening saat mereka berenam berdoa. Hanya terdengar suara gorden-gorden tertiup angin yang berhembus dari pintu-pintu angin besar yang terbuka sedikit di salah satu sisi dinding ruang makan itu, selebihnya sunyi dalam satu menit.
"Bagaimana dengan sekolahmu, Tim?" Alaric menatap putra terakhirnya yang berada di jangkauan terjauh dari matanya. Pemuda itu memegangi buku dengan tangan kirinya dan tangan kanannya memotong daging bakar yang ada di atas piringnya. Dia tidak menjawab pertanyaan sang ayah jika Ludwig tidak menyikutnya dan Alaric mengajukan pertanyaan yang sama untuk kedua kalinya.
"Uhm, yeah. Sekolahku menyenangkan. Guru-gurunya sesuai ekspetasiku."
Gilbert menyeletuk, "Kau harusnya meniru adikmu, Ludwig."
"Aku tidak tertarik berada di dalam ruangan—" balas Ludwig, "—dan belajar."
Gilbert menunjuk Ludwig dengan ibu jarinya saat dia berkata pada sang ayah, "Sepertinya Ludwig lebih senang menjadi pemimpin tertinggi dalam peperangan daripada menjadi seorang raja, Ayah."
Alaric menatap anak keduanya tersebut yang diam menyantap makan malamnya. Gilbert benar, ujar Alaric dalam hati. Ludwig bukan tipe pria yang senang berhitung atau mengurus tata negara, namun dia sangat tangkas memainkan senjata. Dia senang berburu, dan kegemarannya adalah memanah. Alaric sering ditamui oleh warganya yang salah satu anggota keluarga mereka mati atau terluka karena panah yang tak sengaja mengenai mereka saat mereka bermain di hutan. Dan Ludwig sama sekali tidak merasa bersalah karena hal itu. Ludwig pernah berkata pada Alaric, "Itu bukan salahku. Aku ingin memanah buruanku, tapi malangnya mereka berada di jalur yang akan dilewati panahku. Itu salah mereka."
"Ludwig, Anakku."
Ludwig menyuap satu potong daging terlebih dahulu sebelum menatap ayahnya. Alaric berkata lagi, "Bisakah engkau… sekali saja memiliki rasa tanggung jawab, Anakku?"
"Apa maksudmu, Ayah? Apakah hari ini ada yang datang kepadamu lagi? Aku bahkan tidak keluar dari istana seharian ini." Ludwig berkata dengan nada tenang, dan menatap mata biru ayahnya dengan tatapan tidak mengerti.
Menarik napas, Alaric menjawab pertanyaan Ludwig dengan nada hati-hati, "Bukan untuk hari ini dan esok saja. Aku ingin kau selamanya mengubah sifat liarmu itu, bisakah? Kau tidak ingin mempermalukan wajah ayahmu ini di depan keluarga barumu nanti, bukan?"
Alis Ludwig menyatu. Dia kebingungan, "Maksud Ayah?"
"Aku telah berjanji kepada Dewa sebelum kalian semua lahir. Di depan Zeus. Aku telah berjanji akan menikahkan anakku dengan anak seorang temanku jika aku diberi keturunan oleh Hera."
Ludwig masih belum mengerti, "Jadi maksudmu aku telah memiliki calon istri yang telah dijodohkan denganku bahkan sebelum kelahiranku?"
Alaric memberikan kode membenarkan.
"Kenapa aku? Kenapa bukan Gilbert? Dia anak tertua."
"Itu karena aku berjanji ketika aku baru beristri ibumu, Tim, Isabele, dan Little Carol. Aku tak menyangka akan menikah lagi dengan ibunya Gilbert, dan tak menyangka dia akan lahir lebih dahulu sebelum kalian."
Gilbert menyeringai dan menggoda Ludwig dengan lirikan matanya. Ludwig diam, dan wajahnya kembali seperti semula. Datar tanpa ekspresi.
"Dengan siapa Lud akan menikah, Ayah?" Isabele menatap ayahnya dengan tatapan ingin tahu dan antusiasme yang besar karena pernikahan Ludwig memberikan arti baginya bahwa Isabele akan mendapatkan kakak perempuan. Dia sudah cukup muak dengan kelakuan jahil Gilbert, atau sikap tidak peduli Ludwig. Dia juga tak bisa akrab dengan kakak lelaki terakhirnya, Tim, yang selalu berdiam diri dengan bukunya.
"Felicia Vargas."
"Felicia Vargas?"
Seorang gadis berambut cokelat panjang berbalik menyadari ada seseorang yang memanggilnya.
"Paman Antonie!" Felicia berlari ke arah seorang pria yang menatap tak percaya gadis yang baru dipanggilnya. Felicia melompat ke arah Antonio dan dengan sigap pria itu memeluknya dan mengangkat tubuh ramping sang gadis.
"Ya ampun, Feli, sudah lama sekali aku tak bertemu denganmu. Engkau sudah besar. Aku nyaris tidak mengenalimu."
Felicia tertawa sumringah. Dia mencium pipi Antonio, dan dia juga memeluk Alfonso—kakak Antonio—yang datang bersama Antonio ke Istana Vargas. Pria berambut panjang itu mengacak-acak rambut Felicia dan mencubit hidung Felicia dengan gemas. "Kau sudah menjadi wanita dewasa sekarang, Feli."
Antonio dan Alfonso diajak Felicia untuk duduk di kursi taman yang berada tak jauh dari mereka berdiri. Antonio terus menerus mengagumi bunga-bunga mawar yang mekar dengan indahnya. "Kau yang merawat mereka semua, Feli?"
"Ya. Uhm, sejujurnya tidak benar sepenuhnya. Aku dibantu juga oleh banyak pelayan. Aku mana mungkin sanggup merawat semua ini sendirian." Felicia tertawa dan tersenyum puas memandangi taman peninggalan ibunya tersebut. Dia menuangkan teh ke cangkir Alfonso dan Antonio, dan meminta pelayannya untuk membawakan lebih banyak snack untuk dua tamunya hari itu.
"Setelah lama tidak kemari, kalian baru sempat datang sekarang? Jahatnya."
Antonio tertawa dan menggoda Felicia, "Karena dunia ini lebih luas, lebih cantik, dan lebih seksi darimu, Feli. Jadi kami lebih suka menggerayanginya. Hahaha."
Felicia memperlihatkan ekspresi tidak suka. Dia memandang pamannya tersebut dengan jengkel dan memukul pelan sang paman dan ikut tertawa tak lama kemudian.
"Kau benar-benar mirip dengan ibumu, Feli." Alfonso tersenyum pada putri sulung Julius itu dan kesan menyeramkan yang selama ini selalu bersama-sama dengan sosok Alfonso seketika lenyap saat kakak dari Antonio itu menatap lembut Felicia. Felicia mendelik dan berkata dengan bosan, "Aku sering mendengar kata-kata itu, Paman. Ya, ya, ya. Aku memang mirip seperti ibuku karena aku memang putri ibuku!"
"Well, dimana adikmu, honey?"
"Lovino? Yeah, mungkin sedang di kuil lagi. Heran, tempat kesukaannya selalu kuil. Sebenarnya Lovi itu anak ayah atau anak Zeus, sih?"
"Tentu saja dia anak ayah."
Felicia terpekik saat ayahnya tiba-tiba saja muncul di belakangnya. Dia merajuk dan jengkel pada sang ayah.
"Kudengar kalian sudah sampai di Italy, jadi aku ingin mengeceknya langsung. Tak kusangka, gadis manja ini yang menemukan kalian terlebih dahulu." Julius tertawa-tawa sambil mengacak-acak rambut Felicia yang masih merajuk padanya.
Antonio dan Alfonso buru-buru menunduk pada sang raja dengan penuh hormat, tapi segera dilarang oleh Julius, "Oh, ayolah, boys. Berhenti seperti itu. Aku sudah cukup tua untuk mendapat perlakuan seperti itu."
Antonio yang berdiri tegak terlebih dahulu dan memperlihatkan sikap bersahabat, "Yah, kebiasaan lama, Your Majesty."
Julius menepuk pundak sang bungsu Carriedo, "Kebiasaan lama, katamu? Kau sendiri lama tidak menemuiku. Kemarilah! Kemarilah! Ada yang ingin aku bicarakan dengan kalian, karena itu aku mengundang kalian pulang dari perjalanan panjang kalian."
"Pembicaraan apa, Ayah?"
Julius menatap putrinya, dan menyentil hidung sang gadis, "Rahasia. Kau belum boleh tahu. Ayolah, Alfonso. Antonio. Kita ke ruangan kerjaku."
.
"Aku menyayangi ayah, jadi aku tak mungkin melawan permintaan Ayah. Apalagi hal itu merupakan janji kepada Dewa."
Felicia mengucapkan hal itu di depan ayahnya, adiknya, dan dua pamannya. Dia tersenyum dengan sangat manis kepada mereka berempat. "Dan aku percaya, pilihan ayah merupakan pilihan terbaik untukku."
Julius tersenyum gembira mendengar jawaban putrinya saat dia akhirnya memberi tahu sang sulung mengenai rencana pertunangan dengan Ludwig, putra Beilschmidt. "Aku berjanji kau akan baik-baik saja nanti, Putriku. Aku berjanji kepadamu. Putra Beilschmidt adalah pemuda baik-baik dan dia sangat penyayang. Dia adalah orang paling bertanggung jawab, dan dia akan mencintaimu dengan seluruh jiwanya."
Felicia tersenyum sangat manis kepada ayahnya. Hatinya saat ini sama hangatnya seperti perapian yang memberikan kenyamanan di tengah musim dingin tahun ini. Felicia senang, sekali lagi dia bisa memberikan kegembiraan di hati ayahnya. Baginya, tak ada yang lebih membahagiakan baginya selain melihat senyum di wajah sang ayah.
Kayu berbunyi saat api memakannya. Menjadi lagu yang menemani malam dingin Felicia yang kini sendirian di tempat yang tadi menjadi saksi pembicaraan keluarga dan penentu masa depan Felicia. Felicia masih tersenyum, mempermainkan api yang ada di perapian dengan tongkatnya. Dia tak menghiraukan wajahnya yang panas karena terlampau dekat dengan api. Dan senyumannya sama sekali tidak hilang meski terbakar api sekalipun.
Berbahagialah, Feli, katanya dalam hati kepada dirinya sendiri. Besok paman Antonio dan paman Alfonso akan pergi ke Jerman dan menyatakan pertunanganmu dengan pangeran yang bahkan belum pernah kau temui. Berbahagialah, Feli. Setidaknya kau tidak perlu bingung lagi untuk memilih pria-pria yang selalu datang kepadamu. Berbahagialah, Feli.
Bosan mempermainkan api, Feli berdiri dari jongkoknya di depan perapian dan memilih duduk di kursi santainya yang berada tak jauh dari sumber kehangatan yang ada di ruangan itu. Kursi dengan bantalan tebal dan empuk itu seperti memijat pundak dan punggung gadis itu. Memberinya sentuhan-sentuhan lembut untuk menggembirakan hati sang gadis yang terus berkeras hati bahwa saat ini dia memang sedang bahagia.
Mata indah Felicia semula-mula menatap dan mengagumi kembali keindahan pahatan yang membingkai perapiannya. Dia juga menatap satu persatu barang-barang keramik dan tembikar yang mengisi rak di atas perapian.
"Felicia?" Felicia berbalik ke arah pintu dimana ada kepala Antonio muncul dari baliknya. "Boleh aku masuk?" pinta sang paman. Felicia tersenyum dan mengangguk. Antonio masuk ke dalam ruangan itu dan duduk di kursi santai lain yang ada di dekat perapian.
"Bagaimana perasaanmu saat ini?"
"Gugup—dan masih tegang. Yeah. Tapi, aku bahagia juga." Felicia mengangguk sambil memberikan kode pada Antonio bahwa dia baik-baik saja. "Aku dengar Ludwig Beilschmidt adalah pemuda tampan. Kata teman-temanku. Haha."
"Yeah. Uhm, yeah, dia memang tampan. Aku pernah bertemu dengannya sekali. Dan…, jika aku adalah seorang gadis, aku mungkin akan jatuh cinta padanya." Antonio melirik jenaka pada Felicia, "Dan aku yakin, wajah tampannya itu sesuai dengan tipemu."
Felicia tersenyum sambil mendelik. Wajah cantiknya terlihat semakin jelita saat disirami cahaya perapian. "Hanya wajahnya saja? Kau pasti juga tahu mengenai dirinya sepenuhnya. Ceritakan padaku, Paman."
Antonio melirik pintu terlebih dahulu, memastikan bahwa dia tadi benar-benar menutup pintunya. Setelah itu dia mendekatkan kursinya pada Felicia sambil berbisik, "Dia memang tampan, yeah…."
Sekali lagi Antonio melirik. Kali ini melirik pintu-pintu angin besar yang tertutup dan dihiasi tirai-tirai besar yang tebal dan bagus. "Tapi ada rumor yang ayahmu tidak tahu mengenai si Ludwig ini."
Felicia duduk tegap dan menatap Antonio dengan wajah serius.
"Banyak yang berkata Ludwig ini tidak cocok untuk dijadikan suami wanita manapun."
"What? Kenapa?"
Antonio menghela napas panjang, lalu mengelus tangan Felicia yang memegangi pinggiran kursi santainya. "Dia suka bermain senjata dan berburu. Dia tidak pernah memikirkan orang lain selain dirinya sendiri."
"Paman tidak sedang menghasutku untuk menolak pernikahanku dengannya, bukan?"
"Oh tidak, honey. Aku tak mungkin mengkhianati rajaku sendiri, tentu saja. Aku hanya memberitahumu yang sebenarnya agar kau tidak terkejut jika telah bertemu dengannya nanti. Sungguh, tak ada maksud hatiku untuk membuatmu membangkang dari ayahmu, aku bersungguh-sungguh."
Belaian Antonio di tangan Felicia melemah. Dan dia kini bersandaran. Menatap api di perapian, dan berbicara lagi, "Semoga Dewa telah mengubah hatinya. Aku tak mungkin rela memberikan keponakan tersayangku kepada orang yang memiliki potensi hanya membuatnya sedih saja."
Felicia tersenyum lembut, "Terima kasih sudah mengkhawatirkanku, Paman."
"Ya, kau akan baik-baik saja nanti, Felicia. Aku selalu mendoakanmu."
"Dia tidak akan baik-baik saja, Ayah!"
Alaric memijat keningnya yang terasa pening. Gilbert berdiri di depannya dengan alis yang nyaris menyatu. "Sudah enam bulan aku mendidik Ludwig agar berperilaku baik, namun sama sekali tidak ada perubahan. Dia sangat keras kepala! Ah, benarkah besok utusan dari Italy akan datang? Ah, gadis Vargas yang malang."
"Aku tahu, Gilbert. Tenangkanlah dirimu. Aku juga sedang memikirkan sesuatu."
Gilbert berhenti berjalan hilir mudik di depan ayahnya. Dia duduk di kursi yang berseberangan dengan kursi sang ayah, dan memosisikan diri laksana orang berpikir. Dia sudah kehabisan akal. Enam bulan lalu dia mengetahui Ludwig akan ditunangkan dengan seorang gadis baik-baik dari Italy. Dengan niatan tidak ingin mempermalukan wajah sang ayah di depan kawan baiknya, dia bersedia untuk mengajarkan Ludwig hal-hal apa saja yang dia perlukan untuk menjadi seorang pria yang bertanggung jawab dan memiliki laku yang baik dan disenangi orang lain. Tapi Ludwig lebih sering tidak mengindahkan kata-katanya dan sering kabur diam-diam saat Gilbert memberinya tugas membaca gulungan-gulungan sastra di perpustakaan.
Dan enam bulan berlalu tanpa perubahaan sedikit pun pada diri Ludwig.
"Dia tidak bisa menjadi seorang raja yang baik, Ayah."
"AKU TAHU ITU, GILBERT! JADI DIAMLAH!"
Gilbert terdiam dan kini kembali menekur di kursinya. Alaric yang melihat perubahan sikap Gilbert buru-buru berujar bahwa dia menyesal telah berteriak pada anak sulungnya tersebut, "Ah. Maafkan Ayah, Gilbert. Ayah juga sedang memikirkan Ludwig. Aku juga mengkhawatirkannya, sama seperti engkau yang mengkhawatirkan adikmu itu."
Gilbert masih diam. Alaric menggosok-gosokkan tangannya, menghangatkan jari jemarinya. "Apa yang akan kukatakan pada Julius nanti jika ternyata calon suami putrinya tidak bisa menjadi raja yang baik? Aku tak bisa memikirkan hal itu."
DUG
Ludwig tak sengaja mengekspresikan kekesalannya dengan memukul dinding yang ada di belakangnya. Niatnya untuk masuk ke ruangan kerja sang ayah dia batalkan setelah mendengar kerisauan hati kakak dan ayahnya. Dia menggigit bibirnya kuat-kuat dengan kesal dan penuh amarah, dan wajahnya mengerut dalam. Alisnya menyatu, dan mata birunya terlihat mengerikan. Dia beranjak dari tempatnya berdiri dan berjalan dengan cepat ke arah kamarnya.
"Toris! Raivis!"
Dua pengawal setianya yang berdiri di depan kamar sang pangeran terpekik dan nyaris melompat saat Ludwig berteriak memanggil mereka. Segera mereka masuk ke dalam kamar Sang Beilschmidt muda dan kebingungan setelah itu saat melihat Ludwig yang bersiap-siap, seakan hendak pergi ke tempat yang jauh.
"Your Highness?"
"Aku akan pergi malam ini. Kalian ikut denganku!"
Toris bertanya dengan nada bergetar, "Kita akan pergi kemana, Your Highness?"
Ludwig memasukkan banyak anak panah ke dalam tempatnya sambil menjawab, "Kemana saja. Yang penting jauh dari tempat ini."
Ludwig juga mempersiapkan pedang kebanggaannya dan pisau kecilnya, hadiah pertama yang dia dapat dari sang ayah ketika dia baru berumur lima tahun.
Toris kembali bertanya karena kawannya masih gemetaran berhadapan Ludwig yang saat ini terlihat sangat murka, "Tapi besok utusan dari Ita…."
"Laksanakan perintahku sekarang, Toris! Aku ingin pergi dari sini, maka aku akan pergi malam ini juga! Jangan mencoba melawanku!"
"Y… yes, Your Highness!" Toris dan Raivis menjawab dengan kompak dan gemetar ketakutan. Mereka berdua segera keluar dari kamar saat Ludwig menyuruh mereka mengambil barang-barang yang dia perlukan selama perjalanan. Ludwig menyumpah dalam hati, "Yeah, aku memang tidak bisa menjadi raja yang baik, well, jika semua orang berpikiran begitu. Bahkan Gilbert. Aku akan menjadi raja dengan caraku sendiri. Lihat saja nanti."
.
Baik Antonio maupun Alfonso saling mengerutkan kening masing-masing ketika mata mereka saling beradu pandang satu sama lain.
"Maaf, Your Majesty. Setidaknya bisakah kami menemui putra anda, Sir? Bukankah pertunangan seharusnya juga dihadiri oleh Ludwig Beilschmidt?"
Gilbert segera angkat bicara, "Maafkan jika kami lancang dan tidak mengikuti aturan yang berlaku. Jadi sekali lagi saya meminta, bisakah kalian melanjutkan prosesi pertunangannya?"
"Kami, sebagai perwakilan Julius Vargas The Great King of Italy, tidak akan melanjutkan prosesi ini sebelum pihak lelaki berhadir di hadapan kami." Antonio berkata dengan nada sopan namun memaksa kepada Gilbert. Gilbert mendelik dan menjawab, "Oh, ayolah. Kalian juga tidak menghadirkan pihak perempuan dalam pertunangan ini."
"Karena memang tradisinya begitu, bukan?" Antonio terdengar mulai kehabisan kesabaran menghadapi Gilbert.
"Sudahlah, Gilbert. Hentikan hal ini segera." Alaric menengahi keduanya yang terlihat mulai akan bertengkar mulut di hadapannya dan beberapa pemuka lain. "Aku akan berkata jujur dan yang sebenar-benarnya kepada kalian—utusan dari keluarga Vargas dan Negara Italy, dan aku sebagai Raja dari Jerman dan ayah dari Ludwig Beilschmidt meminta maaf yang sedalam-dalamnya kepada Vargas dan seluruh warga Italy. Sebenarnya, putraku—Ludwig Beilschmidt, telah pergi meninggalkan istana tadi malam tanpa sepengetahuan satu pun anggota keluarga. Karena itu kukatakan sekali lagi bahwa aku, sebagai kepala keluarga Beilschmidt dan sebagai pemimpin Jerman merasa perlu meminta maaf kepada kalian."
Alaric menundukkan kepalanya dengan penuh penyesalan. Kegeraman Gilbert muncul, dan kekesalannya kepada Ludwig makin menjadi-jadi. Dia buru-buru menghampiri sang ayah yang duduk di kursi besarnya dan meminta sang ayah untuk tidak menunduk seperti itu di depan orang lain.
Gilbert merasa sangat marah ketika dia dengar bisik-bisik di antara pemuka yang hadir dan tatapan tak percaya dari dua utusan yang kini ada di depannya. Tapi dia masih diam sambil memegangi tangan sang ayah yang terlihat sangat tertekan. Dia lalu berdiri, dan berkata dengan suara lantang pada Antonio dan Alfonso, juga kepada pemuka yang lain, "Aku akan segera membawa kembali adikku, Ludwig Beilschmidt, Putra Mahkota kerajaan Jerman. Aku berjanji demi darah yang mengalir di tubuhku dan demi mahkota ayahku. Aku akan membawa Ludwig Beilschmidt dari tempat pelariannya, dan akan kembali melanjutkan pertunangan yang tertunda ini. Aku bersumpah."
Antonio dan Alfonso saling berpandangan lalu saling setuju untuk membawa berita ini kepada Raja mereka, Julius Vargas, dan juga kepada putri manis yang dimiliki Italy, Felicia Vargas. Antonio tidak bisa membayangkan, apa yang akan dikatakan Felicia nanti jika dia tahu kabar bahwa calon tunangannya ternyata kabur tanpa memberikan kabar.
Selama perjalanan pulang, terus menerus dia merisaukan hal itu. Dia memang sangat menyayangi Felicia, dan dia akan melakukan apapun demi kebahagiaan keponakannya tersebut.
"Felicia yang malang." Antonio menatap kakaknya yang duduk di sebelahnya. Pria berambut panjang itu menatap jalanan yang dia lalui dengan mata yang sulit ditafsirkan, bahkan oleh Antonio sendiri. Ada kemarahan di mata cokelat itu. Tapi ada juga kesedihan. "Jika aku melihat Felicia menangis, aku seperti melihat kakakku sendirilah yang menangis. Dan aku benci hal itu."
Antonio menghela napas berat. "Ya, aku juga."
"Sebenarnya apa yang dipikirkan lelaki Beilschmidt itu? Dia membuat segalanya menjadi rumit."
Antonio diam tak menjawab pertanyaan kakaknya, karena dia sendiri pun tak tahu jawabannya. Dan dia tidak ingin repot-repot memikirkan hal itu, karena dia sudah terlampau sibuk memikirkan Felicia. Suara tapak kuda menjadi satu-satunya melodi yang mengisi perjalanan pulang kedua utusan dari Italy itu. Tak ada satupun yang bersuara karena keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing dan kekhawatiran masing-masing.
.
"Hhhh, Your Highness… ini sudah cukup jauh dari Jerman, Your Highness." Raivis tak henti-hentinya berujar seperti itu kepada Ludwig yang tak jua berhenti mendaki gunung Olimpus. Napasnya terputus-putus, dan dia harus dibantu oleh Toris untuk melanjutkan menanjaki tebing-tebing terjal.
"Belum cukup, Raivis. Belum cukup jauh."
Ludwig pun sama terengah-engahnya seperti dua pengawalnya. Sejak tadi malam, tidak sekali pun mereka bertiga berhenti melangkah dan beristirahat meskipun hanya beberapa jenak. Ludwig terus berjalan ke atas, ke puncak Olimpus.
"Aku akan berbicara dengan para Dewa. Akan kuambil semua pelajaran mereka mengenai kepemimpinan dan keperkasaan. Ya, akan kudapatkan semua itu. Gilbert akan terdiam melihatku nanti, dan ayahku pasti akan bangga padaku."
Mereka bertiga berhenti saat badai salju menerpa mereka. Bersembunyi di dalam goa yang mereka temukan, dan akhirnya mereka beristirahat. Ludwig berdiam diri di bagian terdalam goa, dan mendengarkan suara-suara alam. Dia bertapa, menyatu dengan sekitarnya untuk mendengarkan suara para dewa. Raivis maupun Toris tak ada satu pun dari mereka yang berani mengganggu dan bersuara berisik. Keduanya duduk di dekat mulut goa, menghangatkan diri dengan api unggun, dan berjaga di sana.
.::To be continued::.
Cast : Alaric (Germania), Ludwig (Germany), Gilbert (Prussia), Timothy (Netherland), Isabele (Belgium), Caroline (Luxembourg), Julius (Ancient Rome), Felicia (Italy), Lovino (Romano), Antonio (Spain), Alfonso (Portugal), Toris (Lithuania), Raivis (Latvia).
