"Empty Letter"
By Zero Eleven (011)
Cast : Uchiha Sasuke; Uzumaki Naruto; Haruno Sakura; Hyuuga Hinata
Genre(s) : Romance ; Comedy
Rate : T
Warning : AU/AT; rather OOC (Out of Character), I think
.
.
.
Prologue
Kedua gadis itu segera mengarahkan telinga mereka ke sumber suara. Mereka tidak berani mengintip karena takut akan terlihat—mengingat Naruto sedang berjalan tepat ke arah persembunyian mereka.
Deg. Deg. Deg. Sakura tidak yakin suara detak jantung siapa itu. Apakah milik Hinata atau justru miliknya. Ketegangan temannya sukses membuatnya ikut tertular juga.
Ketika suara langkah kaki semakin mendekat, Hinata memantapkan diri. Ia menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Tarik napas. Hembuskan. Tarik napas. Hembuskan.
Satu langkah.
Dua langkah.
Tiga langkah—dan, Hinata segera keluar dari persembunyiannya. Melompat seperti singa yang sedang menghadang mangsanya. Ia memberanikan diri untuk menghadapi takdirnya, menghadapi pujaan hatinya, menghadapi hasilnya.
Hinata langsung membungkuk 90 derajat sambil menyodorkan sepucuk surat yang berisi curahan hatinya yang tulus. "Na-Na-Naruto!Ma-ma-maafkan aku karena sudah mengganggumu! Se-sebelumnya, perkenalkan namaku Hyuga Hinata. Ke-kelasku tepat berada di samping kelasmu. A-aku, aku, aku hanya ingin menyerahkan ini! Kumohon, terimalah! D-dan, aku akan sangat berterima kasih jika kau bersedia membacanya!"
Hening.
Deg. Deg. Deg. Deg.
Hinata tidak berani mengangkat wajahnya. Ia justru melirik ke belakang untuk melihat ke arah Sakura—berharap dengan melihat wajah temannya yang selalu tampak tenang meski di saat-saat sulit mampu memberikan sedikit keberanian padanya untuk menatap lelaki di depannya. Namun sungguh aneh, kemana perginya ekspresi tenang yang biasa Sakura perlihatkan? Mengapa dia justru memasang ekspresi tegang dan… syok? Kenapa Sakura tampak sangat syok?! Ayolah, Hinata tahu situasi saat ini memang menegangkan, namun Sakura tidak perlu sampai berlebihan begitu, seakan-seakan orang yang ada di hadapannya bukan seorang manusia, melainkan hantu. Yah… kecuali jika sosok di depannya memang bukan Naruto, melainkan roh gentayangan.
Penasaran, Hinata memberanikan diri mengangkat wajahnya dan berharap akan melihat sosok pemuda berkulit gelap—yang menurutnya sangat eksotis, berbanding terbalik dengan kulitnya yang seputih susu—dan berambut pirang cerah, tidak lupa dengan sepasang mata biru kentalnya yang indah, serta bulu matanya yang panjang dan tebal, itulah Uzumaki Naruto, pujaan hatinya. Namun, apa yang terjadi?! Mengapa dia tidak melihat pemuda eksotik itu? Mengapa yang berdiri di depannya justru pemuda berkulit pucat—sama seperti dirinya, berambut hitam, yang juga memiliki sepasang mata bewarna hitam, sehitam burung gagak? Hinata tidak tahu apa yang terjadi. Namun satu hal yang pasti, lelaki di depannya bukan Uzumaki Naruto!
Hinata tidak dapat mencegah mulutnya untuk tidak terbuka lebar. Membuatnya benar-benar tampak seperti orang bodoh yang kebingungan.
"Yo," sapa pemuda itu datar.
BAB 1
Sakura menerawang ke langit. Tidak seperti beberapa hari belakangan, hari ini langit tampak cerah. Ditambah dengan sapuan lembut angin pagi yang menyegarkan. Sempurna! Sakura memejamkan kedua mata lalu menghirup oksigen sebanyak yang mampu paru-parunya tampung. Rambut merah mudanya—yang menurut sebagian, atau bahkan semua orang yang pernah melihatnya pasti akan menganggap bahwa itu unik—tergerai bebas di bahunya dan ikut menari-nari kecil sesuai dengan irama hembusan angin yang melaluinya. Ia ingin menikmati momen itu lebih lama lagi, namun gerakan gelisah seseorang membuatnya terpaksa membuka mata.
Sakura menghela napas kesal. "Tenanglah, Hinata. Kau terlalu gelisah. Dan…" Matanya menyipit. "Itu menggangguku. Sangat, sangat, sangat menggangguku."
"Ma-maaf, Sakura. Aku tidak berniat membuatmu kesal. Ha-hanya saja, jika kau berada di posisiku kau juga pasti akan sama gelisahnya dengan yang aku rasakan sekarang." Setelah membela diri, Hinata kembali mondar-mandir di depan Sakura. Bergerak ke arah kanan, lalu ke arah kiri, lalu ke arah kanan lagi, lalu sebaliknya. Dan, Hinata sudah melakukan gerakan itu sejak 15 menit yang lalu!
Sakura menggeleng pelan, tidak mengerti dengan tindakan temannya itu. Jika Hinata segitu gelisahnya, seharusnya dia berhenti saja saat ini juga, pikir Sakura. Bukannya justru berbuat nekat dengan berencana menyerahkan surat cinta pada lelaki yang selama ini selalu membuat jantung Hinata berdebar-debar. Nama lelaki itu—alis Sakura mengerut, berusaha mengingat nama lelaki yang telah berhasil membuat temannya panas dingin sejak beberapa bulan terakhir—Uzumaki Naruto. Ya, Uzumaki Naruto. Akhirnya Sakura berhasil mengingatnya.
Sakura tidak begitu ingat kapan tepatnya Hinata jatuh hati pada Naruto. Apakah 8 bulan yang lalu? Entahlah. Yang pasti, sejak Hinata menyadari keberadaan pemuda itu, tak pernah sekalipun Hinata lupa membahas hal-hal seputar Uzumaki muda itu kepada Sakura. Padahal Sakura jelas-jelas tidak tertarik dan sudah berulang kali memperingatkan Hinata agar mengganti topik pembicaraan. Bukannya Sakura melarang Hinata menyukai seseorang, hanya saja Sakura benar-benar tidak tahu harus memberikan respon seperti apa tiap kali Hinata meminta pendapatnya. Oh, ayolah! Hanya dengan melihat penampilan Sakura, orang-orang pasti sudah bisa menebak seberapa tomboi dirinya, berbanding terbalik dengan Hinata yang feminim dan lemah lembut.
Sakura kembali mengamati Hinata yang semakin gelisah. Tak lama setelah itu perhatian Sakura teralih ke arah suara seseorang—bukan! Sepertinya dua orang, pikirnya—yang mulai mendekat. Suara itu terdengar familiar di telinga Sakura. Secara refleks, ia pun tersentak. Dengan tarikan napas cepat ia segera melihat ke arah Hinata. Sakura tidak terlalu kaget saat melihat wajah Hinata sudah merah padam. Bahkan keringat dingin tampak jelas di sekitar dahi dan pelipisnya.
"Hinata… kau baik-baik saja?" tanya Sakura ragu ketika melihat temannya semakin gemetaran. Sakura melihat ke arah sepucuk surat yang sejak tadi dipegang oleh Hinata lalu kembali melihat ke arah wajahnya. Mengerikan! Hinata tampak pucat. Kemana perginya darah yang tadi membuat wajahnya memerah?! Bisa-bisa orang-orang mengira dia adalah mayat hidup. Sakura bersimpati untuk Hinata, namun lebih bersimpati lagi pada sepucuk surat tak berdosa yang ada dalam remasan tangan mungil gadis itu. "Eng… Hinata? Jika kau benar-benar berniat memberikan surat itu pada Naruto, ada baiknya jika kau berhenti 'menyiksanya'."
Karena entah mengapa rasanya aku bisa mendengar jeritannya, pikir Sakura miris.
"Itu Naruto! Aku yakin! A-aku mengenal suaranya! Sa-sangat mengenalnya, Sakura!" Hinata memberi Sakura pelototan lebar seakan-akan jika sedikit saja ia mengurangi ketegasannya Sakura tidak akan mempercayai perkataannya.
Tentu saja Sakura tahu siapa pemilik suara itu karena dalam ingatannya, satu-satunya manusia yang ia tahu mempunyai suara cempreng mirip banci keselek biji durian hanya Naruto seorang. Sakura berusaha menahan tawa saat memikirkan hal itu. Ia sadar penggambarannya tentang suara Naruto sedikit berlebihan namun dia tidak merasa menyesal sedikitpun.
"A-aku harus memberikan surat ini padanya!" tegas ini Hinata sambil mengangguk cepat—berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
"Kau yakin?" Sakura ragu.
"Tidak!" Hinata mengerjap. "Ma-maksudku… Iya! Tentu saja aku yakin!" Hinata semakin panik dan Sakura dapat merasakan keraguan gadis itu.
"Kau tahu… kau tidak harus memaksakan diri, Hinata. Kau masih bisa mencobanya lagi nanti." Sakura memegang bahu Hinata, menenangkan gadis itu.
"Tidak! Aku tidak bisa menundanya lagi! Jika aku terus berkata nanti, nanti, dan nanti, lalu kapan aku bisa menyatakan perasaanku padanya? Jika bukan sekarang, lalu kapan, Sakura?" Hinata memberi Sakura tatapan menuntut.
Sakura terdiam. Jujur saja, dia benar-benar tidak tahu harus berkata apa. "Baiklah," Sakura mulai bersuara, "segera serahkan surat itu pada Naruto. Sekarang." Sakura menusuk telunjuknya ke dada Hinata. "Detik ini juga," tegasnya.
Hinata mengangguk mantap.
Kedua gadis itu segera mengarahkan telinga mereka ke sumber suara. Mereka tidak berani mengintip karena takut akan terlihat—mengingat Naruto sedang berjalan tepat ke arah persembunyian mereka.
Deg. Deg. Deg. Sakura tidak yakin suara detak jantung siapa itu. Apakah milik Hinata atau justru miliknya. Ketegangan temannya sukses membuatnya ikut tertular juga.
Ketika suara langkah kaki semakin mendekat, Hinata memantapkan diri. Ia menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Tarik napas. Hembuskan. Tarik napas. Hembuskan.
Satu langkah.
Dua langkah.
Tiga langkah—dan, Hinata segera keluar dari persembunyiannya. Melompat seperti singa yang sedang menghadang mangsanya. Ia memberanikan diri untuk menghadapi takdirnya, menghadapi pujaan hatinya, menghadapi hasilnya.
Hinata langsung membungkuk 90 derajat sambil menyodorkan sepucuk surat yang berisi curahan hatinya yang tulus. "Na-Na-Naruto!Ma-ma-maafkan aku karena sudah mengganggumu! Se-sebelumnya, perkenalkan namaku Hyuga Hinata. Ke-kelasku tepat berada di samping kelasmu. A-aku, aku, aku hanya ingin menyerahkan ini! Kumohon, terimalah! D-dan, aku akan sangat berterima kasih jika kau bersedia membacanya!"
Hening.
Deg. Deg. Deg. Deg.
Hinata tidak berani mengangkat wajahnya. Ia justru melirik ke belakang untuk melihat ke arah Sakura—berharap dengan melihat wajah temannya yang selalu tampak tenang meski di saat-saat sulit mampu memberikan sedikit keberanian padanya untuk menatap lelaki di depannya. Namun sungguh aneh, kemana perginya ekspresi tenang yang biasa Sakura perlihatkan? Mengapa dia justru memasang ekspresi tegang dan… syok? Kenapa Sakura tampak sangat syok?! Ayolah, Hinata tahu situasi saat ini memang menegangkan, namun Sakura tidak perlu sampai berlebihan begitu, seakan-seakan orang yang ada di hadapannya bukan seorang manusia, melainkan hantu. Yah… kecuali jika sosok di depannya memang bukan Naruto, melainkan roh gentayangan.
Penasaran, Hinata memberanikan diri mengangkat wajahnya dan berharap akan melihat sosok pemuda berkulit gelap—yang menurutnya sangat eksotis, berbanding terbalik dengan kulitnya yang seputih susu—dan berambut pirang cerah, tidak lupa dengan sepasang mata biru kentalnya yang indah, serta bulu matanya yang panjang dan tebal, itulah Uzumaki Naruto, pujaan hatinya. Namun, apa yang terjadi?! Mengapa dia tidak melihat pemuda eksotik itu? Mengapa yang berdiri di depannya justru pemuda berkulit pucat—sama seperti dirinya, berambut hitam, yang juga memiliki sepasang mata bewarna hitam, sehitam burung gagak? Hinata tidak tahu apa yang terjadi. Namun satu hal yang pasti, lelaki di depannya bukan Uzumaki Naruto!
Hinata tidak dapat mencegah mulutnya untuk tidak terbuka lebar. Membuatnya benar-benar tampak seperti orang bodoh yang kebingungan.
"Yo," sapa pemuda itu datar.
Sakura mendekat untuk memegang bahu Hinata. Firasatnya mengatakan, jika dia tidak segera menopang tubuh Hyuga yang satu ini, gadis itu akan terduduk di lantai akibat lutut yang melemas.
"Kau tidak apa-apa?" Sungguh pertanyaan yang bodoh—Sakura sangat tahu itu. Dia juga sangat bingung saat ini. Berbagai pertanyaan terus berputar di pikirannya. Dan, pertanyaan-pertanyaan itu menuntut untuk dijawab segera—secara bersamaan. Seperti, kemana Naruto? Dia sangat yakin suara yang barusan dia dengar itu adalah milik pemuda jabrik itu. Kenapa harus pemuda ini yang berdiri di hadapan Hinata? Apa yang harus dia lakukan sekarang? Apa yang bisa dia lakukan untuk Hinata? Bagaimana caranya menghilangkan rasa malu Hinata? Apa yang sebenarnya terjadi?!
Wajah Hinata yang tadinya pucat sekarang kembali memerah. Bahkan lebih merah lagi akibat malu. Sangat malu! Beberapa kali dia mencoba untuk bersuara namun suaranya seakan tertahan di tenggorokan.
Sakura melihat lelaki di depannya. Meskipun dia belum pernah berbicara pada lelaki itu—sekalipun tidak pernah, dia mengenalnya. Paling tidak, dia mengetahui namanya. Setahunya, lelaki itu salah satu teman sekelas Naruto dan bisa dibilang sahabat Naruto—meskipun Sakura tidak yakin apakah lelaki itu mengerti arti dari persahabatan mengingat betapa dingin sikapnya. Lelaki itu bernama Uchiha Sasuke. Tidak banyak yang Sakura tahu tentang lelaki ini, mengingat dia juga memang tidak tertarik untuk cari tahu. Menurut kabar yang beredar, Sasuke berasal dari keluarga kaya raya dan merupakan keluarga terkaya di Konoha.
Sasuke membalas tatapan Sakura. Pada detik itu juga, Sakura merasa seperti terhisap ke dalam kegelapan. Rasanya seperti jatuh ke dalam jurang yang tak berujung dan jika dia tidak mempererat pegangannya pada bahu Hinata maka Sakura khawatir dia benar-benar akan terjerumus ke dalamnya. Untuk sesaat dia benar-benar lupa bagaimana caranya bernapas. Bagaimana bisa lelaki ini mampu mengintimidasinya hanya dengan sekali tatap?
Sakura menelan dengan susah payah. Berterimakasilah pada kemampuan Sakura dalam menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya di balik ekspresinya yang tenang. "Maaf," ujarnya berusaha terdengar tenang. "Kami kira kau adalah Naruto—meskipun aku sangat yakin tadi itu memang suara Naruto."
Sakura tidak dapat menyembunyikan rasa kesalnya—dan dia memang tidak berniat menyembunyikannya. "Lalu, kemana perginya bocah cempreng itu?" Berani sekali Naruto membuat Hinata dan dirinya terlihat konyol.
Sasuke berpaling menatap langit-langit koridor. Pada jam-jam istirahat, koridor itu akan sangat ramai dilalui oleh siswa-siswa SMA Konoha. Sakura bersyukur saat ini masih sangat pagi sehingga tidak ada yang menyaksikan insiden barusan—selain Sasuke tentunya.
Sakura mendengar Sasuke mendengus. Namun setelah memperhatikan lebih teliti, dia menyadari bahwa pemuda itu sebenarnya sedang menahan tawa. Ya Tuhan! Dia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Apakah harus terpukau oleh tawa yang disembunyikan itu—mengingat Sasuke memiliki julukan Pangeran dari Kutub Utara—atau justru marah karena sepertinya dirinyalah yang menjadi objek tawanya itu? Apa yang Sasuke lihat dari dirinya sehingga membuatnya ingin tertawa? Membuat Sakura merasa dirinya lebih konyol daripada badut monyet!
"'Bocah cempreng'?" Sasuke kembali melihat Sakura. "Untuk yang satu ini aku sependapat denganmu."
Rahang Sakura menjadi tegang akibat menggeretakkan giginya. Ada apa dengannya? Mungkin orang-orang akan menganggapnya konyol jika dia mengakui bahwa perkataan Sasuke barusan membuatnya merasa… sedikit senang? Hanya karena—katanya—Sasuke memiliki pendapat yang sama dengannya?! Ya tuhan…
Dengan santainya Sasuke mengambil surat dari tangan Hinata, membuat gadis itu tersentak. Lalu membuka penutup amplopnya.
"Apa yang kau lakukan?!" bentak Sakura dan segera mengulurkan tangan untuk merampas surat itu.
Terlambat! Sasuke berhasil menjauhkan surat itu darinya dengan mengangkatnya setinggi mungkin. Ditambah dengan tubuh Sasuke yang jauh lebih tinggi darinya membuatnya tidak memiliki kesempatan untuk meraih surat Hinata.
Pemuda itu memberinya tatapan mengejek. Hanya dengan sebuah senyuman tipis—bahkan nyaris tak terlihat—sukses membuat Sakura merasa terhina. Dia bukanlah gadis yang pendek. Bisa dibilang, tingginya justru di atas rata-rata gadis pada umumnya. Namun di hadapan Sasuke, untuk pertama kalinya dia merasa seperti orang kerdil.
Sasuke mengabaikan tatapan membunuh Sakura dan justru mengintip isi amplop itu. Anehnya, dia tidak mencoba mengeluarkan isinya dan malah mengembalikannya pada Hinata.
Sepertinya Sasuke tidak seburuk yang Sakura pikirkan.
"Te-terima kasih." Hinata menerima suratnya dengan perasaan malu sekaligus lega. Setidaknya, Sasuke belum membaca isinya.
"Tidak perlu." Sasuke memasukkan kedua tangannya ke masing-masing saku celana. "Tidak ada yang bisa diharapkan dari isinya. Meskipun kau memberikan itu pada Naruto, dia juga tidak akan mendapat apa-apa."
Sakura dan Hinata saling bertukar pandang. Bingung. Hinata mencoba mengintip isi amplop itu. Dan… Ya Tuhan! Ingin rasanya Hinata membenturkan kepalanya ke tembok atau terjun ke samudera Hindia.
"Ada apa?" tanya Sakura penasaran.
"Sakura…" ujar Hinata dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Sakura merasa benar-benar akan mati penasaran jika Hinata tetap menggantungkan kalimatnya. "Amplopnya… kosong."
Sakura terbelalak.
"EH?!"
Segitu gugupnya Hinata sampai-sampai lupa memasukkan suratnya ke dalam amplop?! Astaga! Apakah Hinata bisa lebih konyol lagi dari ini?!
"Bagaimana bisa—"
"Oi, Sasuke!"
Mendengar namanya disebut dengan suara lantang di tengah-tengah koridor yang sepi, Sasuke berbalik dengan malas. "Tidak perlu berteriak. Aku bisa mendengarmu, Bocah cempreng."
"Oi, oi, oi. Siapa yang baru saja kau panggil 'bocah cempreng', huh?" protes pemuda yang tiba-tiba muncul dari persimpangan di ujung koridor.
Hinata kembali tegang melihat pemuda itu.
"Bagaimana dengan urusanmu, Naruto?" Sasuke bertanya.
"Tentu saja sudah beres. Aku sudah memberikan buku itu pada Kakashi-sensei. Aku tidak mengerti apa hebatnya buku Icha Icha Paradise karya Petapa Genit itu?"
Sakura melirik Hinata yang sudah semerah kepiting remus. Bagus. Apa yang akan mereka lakukan mulai dari sekarang? Memberikan amplop kosong itu pada Naruto? Atau melarikan diri seperti pecundang?
"Lho? Sepertinya kau sedang ada tamu, Sasuke. Hehehe… apa aku mengganggu kalian?" tanya pemuda itu—Naruto—sambil memiringkan badannya untuk melirik dua gadis di belakang Sasuke. "Meskipun ini bukan pertama kalinya aku melihat kau di sekelilingi perempuan, tetap saja kau membuatku terkejut, Sasuke," puji Naruto sambil menepuk bahu Sasuke.
"So, ladies… sebaiknya aku pergi saja. Dan selamat melanjutkan—"
"TIDAK!" potong Hinata.
Sakura terkejut dibuatnya. Untuk gadis seperti Hinata, Sakura tidak menyangka akan mendengar Hyuga muda itu menaikkan volume suaranya. Bahkan Hinata sendiri terlihat terkejut oleh aksinya. Dadanya naik turun akibat panik.
"Ng…" alis Naruto berkerut, "apanya yang 'tidak'?" tanyanya sambil menggaruk lehernya yang tidak gatal.
"Eh?" Hinata menatapnya bingung. Bingung dengan dirinya sendiri, bingung dengan Naruto, bingung dengan semuanya. Dia benar-benar tidak dapat berpikir waras sekarang.
"Hahaha…" Naruto tertawa garing. "Tidak apa-apa. Lupakan saja."
"Ba-baik."
Hening.
Demi saos tartar! Sakura benci berada dalam suasana canggung seperti ini. Dia tidak ingin membuat Hinata semakin malu. Cukuplah sudah dengan dia salah target dan lupa memasukkan suratnya ke dalam amplop. Jangan ditambah lagi dengan tindakannya yang gegabah akibat salah tingkah di depan Naruto. Apalagi melihat ekspresi polos Naruto, ingin rasanya Sakura menonjok wajah menyebalkan itu.
"Jadi… siapa di antara kalian yang menyukai Sasuke? Ayo… siapa yok?" Naruto menatap jail ke arah Sakura dan Hinata secara bergantian. "Untuk sekedar memperingatkan, Sasuke bahkan lebih dingin dari kelihatannya. Apa kalian benar-benar yakin?"
Cukup sudah! Kesabaran Sakura telah habis. Dia benar-benar ingin menonjok wajah itu sekarang. Detik ini juga! Kedua tangannya telah mengepal erat di masing-masing sisi tubuhnya. "Tutup mulutmu, bocah cempreng!" ancamnya dari balik giginya yang tertutup rapat.
"Hei, kenapa lagi-lagi aku mendengar julukan itu?" protes Naruto.
"Sakura…" bisik Hinata, memegang siku gadis tomboi itu agar tenang. Ketika gadis itu melihat ke arahnya, Hinata menggeleng pelan.
Sakura mengumpat dalam hati dan menggigit bibir bawahnya. Dia tidak tahu apa yang merasuki pikirannya sehingga dia mengucapkan kata-katanya yang tidak seharusnya dia ucapkan meskipun itu adalah kebohongan.
"Seperti yang aku katakan tadi, Sasuke. Aku menyukaimu. Tapi…" Sakura menatap tajam ke arah Naruto lalu kembali ke Sasuke, "karena tadi temanmu mengatakan kau bahkan lebih dingin dari kelihatannya, aku mendadak berubah pikiran. Aku tidak tertarik lagi dengan lelaki sepertimu. Aku harap kau tidak terlalu kecewa oleh penolakanku."
Hinata tersentak. Begitu juga dengan Sasuke, namun pemuda itu berhasil menyembunyikannya. Sementara Naruto… justru dia yang paling terkejut mendengarnya.
"APA?!" Hinata, Naruto, dan Sasuke menatapnya bersamaan.
Demi saus tartar! Sakura juga ingin bergabung dengan mereka namun suaranya tertahan di tenggorokan.
.
.
.
"Ada apa denganmu?" tanya Hinata kala itu di jam istirahat.
"Ada apa denganku?" balas Sakura.
"Aku serius, Sakura. Ada apa denganmu? Kenapa kau sampai mengatakan hal seperti itu pada Sasuke?"
"Aku juga serius, Hinata. Ada apa denganku?! Apa kau tidak bisa lihat betapa menyesalnya aku telah mengatakan semua itu?!" Sakura menyisir rambutnya menggunakan jari-jari sehingga menampilkan jidatnya yang lebar. Ya tuhan… sungguh lebar!
"Kau seharusnya tidak mengatakan itu," tegur Hinata. Kali ini dia yang bosan melihat Sakura mondar-mandir seperti cacing kepanasan.
"Aku tahu!"
"Setidaknya Naruto tidak jadi menerima amplop kosong."
Sakura dapat mendengar nada lega dari ucapan Hinata dan itu sukses membuat amarahnya semakin terbakar. Gara-gara amplop sialan itu! Ya! Semua gara-gara amplop sialan itu!
Dia segera melepaskan sepatu dari kaki kanannya lalu mendekat ke arah Hinata yang sedang mengelus-ngelus amplop itu.
"Kenapa kau melepas—"
Sleb!
Sakura merampas amplop itu dengan kasar. Lalu membantingnya ke tanah dan memukulnya menggunakan sepatu yang telah dilepasnya. Memukulnya… berulang kali… tanpa belas kasihan sedikitpun. Dia hampir tidak percaya bahwa beberapa jam yang lalu dia sempat merasa kasihan pada amplop itu karena harus menerima remasan Hinata. Demi saus tartar! Amplop ini berhak mendapatkan perlakuan kejam!
"Gara-gara amplop sialan ini," Sakura menampar amplop itu dengan telapak sepatu, "aku terpaksa mempermalukan diriku sendiri," sakura menampar lagi, "gara-gara amplop persetan ini," sakura menampar lagi, "aku bahkan lebih memalukan dibandingkan tuannya!"
'tuan' yang Sakura maksud di sini tentu saja Hinata.
"Sa-sakura! Amplopku! Amplopku!" Hinata panik.
Sakura mengabaikannya. Setelah puas menampar amplop itu, dia meremasnya dengan kasar lalu melemparnya jauh-jauh.
Clingggg… amplop itu mendarat entah di mana. Hanya Tuhan yang tahu.
"Apa yang kau lakukan?" protes Hinata. "Kau baru saja membuang amplopku!"
"Tidak. Aku baru saja menyiksanya lalu membuangnya," koreksi Sakura puas sambil berkacak pinggang.
Hinata menatap tajam ke arahnya. Bahkan sepasang mata bening milik Hinata juga bisa terlihat menakutkan saat pemiliknya benar-benar marah. Gadis itu beranjak dari tempatnya lalu segera merampas sepatu Sakura. Tanpa mengucapkan sepatah-kata, dia segera melemparnya sejauh mungkin.
Pembalasan dendam untuk sang amplop. Dan, sepertinya pembalasan itu cukup adil.
Mulut Sakura terbuka lebar. Sementara Hinata bergegas meninggalkannya.
Demi saus tartar… ini benar-benar hari yang buruk.
.
.
.
"Bwahhhh!" Sakura mengelus perutnya. Dia baru saja menghabiskan semangkuk ramen dalam porsi jumbo. Karena itu merupakan mangkuk ketiganya, tidak heran sekarang perutnya tampak menggembung seperti wanita yang sedang hamil muda. Dia menarik sedotan agar mendekat ke bibirnya lalu menyeruput jus orange pesanannya.
Tidak ada yang spesial dari kegiatannya. Termasuk fakta bahwa saat ini dia sedang menghabiskan jam makan siang di kantin tanpa kehadiran Hinata. Ini bukanlah pertama kali Hinata marah padanya. Jadi, dia tidak terkejut sama sekali.
Siswa-siswa yang ada di kantin terlihat sibuk dengan urusan masing-masing. Sebagian besar memilih untuk membentuk kelompok masing-masing. Namun ada juga yang memilih untuk menyendiri, sama seperti Sakura—atau lebih tepatnya, 'terpaksa' menyendiri. Ketika dia sedang sibuk dengan pikirannya, dia dikejutkan oleh gerakan meja yang tiba-tiba akibat mendapat tabrakan keras, membuat jus yang sedang diminumnya tertumpah dan sebagian terciprat ke seragamnya.
Sakura tersentak. Secara refleks, dia segera berdiri dan menjauh dari meja itu. Setelah menyadari apa yang terjadi sebenarnya, dia melotot kesal ke gadis ramping yang juga sedang berdiri di sisi meja yang berlawanan dari tempatnya berdiri. "Kau!" Darahnya mendesir. Emosinya memuncak.
Gadis ramping itu tak sendirian. Dia ditemani oleh dua lelaki, satu berbadan kurus kering dan satunya lagi berbadan gemuk. Sakura mengenal mereka karena sejak dulu selalu berada di sekolah yang sama dengannya. Sakura tidak mungkin melupakan gadis ramping itu—Yamanaka Ino, mengingat sejak mereka masih di Taman Kanak-Kanak, tak pernah sekalipun mereka lupa untuk bertengkar tiap kali bertemu. 'Pisang Ambon', begitulah Sakura selalu mengejek Ino. Sementara Rock Lee—lelaki bertubuh kurus—dan Akimichi Chouji—lelaki bertubuh gemuk—telah lama menjadi antek-antek Yamanaka muda itu. Sebenarnya Sakura tidak memiliki masalah dengan Lee dan Chouji. Hanya saja kedua makhluk itu—yang jika berdiri berdampingan akan tampak seperti angka 10—selalu mencari gara-gara dengannya. Sakura sangat yakin mereka juga tidak punya masalah dengannya. Mereka hanya ingin menunjukkan solidaritasnya dengan cara menjajah Sakura—meskipun selalu berakhir dengan Sakura sebagai pemenang. Tak mengherankan jika Sakura juga memberi julukan pada mereka, yaitu "Sedotan Es Cincau Konoha" untuk Lee dan "Kaleng Kerupuk Kentang Konoha" untuk Chouji. Julukan-julukan itu terbentuk secara spontan. Sakura tidak ingin menghabiskan waktunya hanya untuk menciptakan julukan-julukan pada musuh-musuhnya. Apa yang pertama kali terucap oleh bibirnya maka itulah julukan orang itu. Tak peduli itu sesuai dengan karakter atau tidak.
"Ops! Sowwwry…" Ino meletakkan ujung-ujung jarinya di bibir. Tatapannya tidak menunjukkan rasa bersalah sedikipun. Sementara Lee dan Chouji terkekeh.
"Kau memilih waktu yang salah, Pisang Ambon!" Sakura menatap garang. "Hari ini mood-ku sedang jelek. Aku tidak ada niat bermain denganmu!"
"Jaga mulutmu, Jidat! Aku sudah memperingatkanmu, kan? Jangan pernah memanggilku 'Pisang Ambon'!" Kali ini Ino balas menatap garang padanya. Wajahnya memerah akibat emosi.
"Kau tahu," bisik Chouji pada Lee, "sejak pertama kali aku mendengar julukan itu, aku tetap tidak mengerti."
"Tentang apa?" bisik Lee. Telinganya Ia dekatkan ke mulut Chouji, membuat tubuhnya tampak seperti sedotan yang dilengkungkan.
"Antara pisang ambon dan Ino, di mana letak persamaannya coba?"
Lee melengkungkan telapak tangannya di sekitar mulut. "Aku bahkan tidak tahu bentuk pisang ambon itu seperti apa. Aku belum pernah melihatnya. Setahuku pisang itu berasal dari Indonesia."
Lee dan Chouji saling bertukar pandang, kemudian kembali terkekeh.
"Apa yang kalian tertawakan?!" bentak Ino.
"Tidak ada," jawab Lee dan Chouji.
"Jelas-jelas sudah berbuat salah, dan sekarang kau tidak berniat minta maaf, huh?" sindir Sakura. Dia mencondongkan dada untuk memperlihatkan noda jus di kemeja putihnya. "Kau baru saja mengotori seragamku! Tanggung jawab!"
Ino menatap noda itu lalu kembali menatap wajah Sakura. Sebelum bersuara, Ia mengibaskan rambut pirangnya yang sepanjang pinggul dengan angkuh. "Masalahnya… bagian mana yang telah aku kotori? Seingatku, mau noda itu ada di seragammu atau tidak, di mataku kau selalu tampak kotor, Haruno Sakura."
"Iuuwwhhh…" tambah Lee dan Chouji sambil melambai-lambaikan tangan di depan dada tanda jijik. Sekali lagi, mereka kembali terkekeh.
"Kau membuatku bertanya-tanya, Lee," Sakura melihat ke arah Rock Lee. Memberinya tatapan yang sangat Lee kenal. Tatapan merendahkan. "Sebenarnya kau ini lelaki atau perempuan? Haruskah aku mengganti julukanmu dari 'Sedotan Es Cincau Konoha' menjadi 'Banci Konoha'?"
"Dasar kau jidat! Berhenti memanggilku seperti itu! Panggil aku Lily! Bukannya Lee!" Lee terdiam beberapa saat untuk menarik napas. Setelah kembali tenang, Ia melanjutkan, "Fisikku memang seorang lelaki, namun hatiku hangat dan lembut, serta penuh dengan kasih sayang seperti seorang gadis. Aahh…" Lee mendesah dan menggelengkan kepalanya ke kiri agak keras, membuat rambutnya yang mirip dengan rambut penyanyi Justing Bubur—penyanyi remaja yang dulunya sempat mendunia sebelum akhirnya dibuat patah hati oleh mantan kekasihnya yang bernama Selenak Gemez—beterbangan dalam gerakan slow motion. Blesshhhhh… Di detik berikutnya, poni lemparnya kembali menampar jidatnya. "Suatu hari nanti kau akan menyadarinya, Haruno."
Terserah, pikir Sakura bosan.
"Justru kau yang membuatku bertanya-tanya," lanjut Lee, "kau perempuan atau laki sih? Soalnya, tingkah lakumu sangat jauh dari kata feminim. Apalagi dengan tinggimu yang…" Lee menatap Sakura dari kepala hingga kaki, "tidak normal. Iuuwhh…"
"Lebih baik kau diam sebelum aku mematahkan kuku-kukumu itu," ancam Sakura datar.
"TIDAK! Jangan berani menyentuh kuku-kukuku! Aku rela kelaparan demi membiayai perawatan ini!"
Sakura memutar bola matanya bosan.
"Kalau aku jadi kau, aku tidak akan membuat perutku kelaparan hanya karena kuku," sahut Chouji polos.
Meski tidak mengucapkannya, Sakura setuju dengan Chouji. Apa gunanya punya kuku-kuku yang panjang dan cantik jika pada akhirnya akan dipotong juga jika sampai ketahuan oleh pihak sekolah, apalagi di masa-masa razia.
Sakura melemparkan pandangan ke arah Ino. Meski Lee sempat mengganggu, bukan berarti dia melupakan urusannya dengan Ino."Dengar, kau harus bertanggung jawab."
"Dan. Jika. Aku. Menolak?" tantang Ino. Salah satu alisnya terangkat.
"Maka kau pantas mendapatkan ini." Sakura mengambil gelas berisi sisa jus orange. Tanpa peringatan, dia melempar cairan itu tepat ke seragam Ino.
Pada detik itu juga mereka langsung menjadi pusat perhatian. Sakura sukses membuat orang-orang di sekitarnya terperangah, terutama Ino. Sepasang mata hijau cerahnya mengunci tatapan Ino. Dengan perasaan bangga, Sakura melengkungkan bibirnya, membentuk sebuah senyum menantang dan merendahkan.
Apa? Kalian tidak menyangka gadis tomboi itu akan seberani itu? Jangan naïf. Tentu saja Sakura tidak akan tinggal diam mendapat penghinaan seperti itu. Gigi dibalas gigi. Mata dibalas mata. Darah dibalas darah. Segala sesuatu berhak mendapat balasan yang setimpal. Itulah yang selalu dia yakini.
"Beraninya… beraninya kau melakukan ini padaku! Akkhhh!" Segera, Ino menerjang Sakura. Hal pertama yang terpikirkan olehnya adalah menarik rambut Sakura sekeras mungkin.
"Akkhhhh!" Sakura menjerit kesakitan.
"Rasakan ini! Kau jidat lebar! Aku tidak akan memaafkanmu!" Ino menjambak rambut gadis itu dengan ganas.
Tidak mau kalah, Sakura juga menarik rambut Ino dan menjambaknya dengan sama ganasnya. Rambut Ino yang panjang dan tergerai memberi keuntungan pada Sakura, membuatnya lebih mudah meraih rambut itu dan menyiksanya. "Itu kata-kataku, Pisang Ambon! Akulah yang tidak akan memaafkanmu! Kau pantas mendapatkan semua ini!"
Lee dan Chouji panik. Apa yang harus mereka lakukan? Melerai mereka? Oh, Lee tidak yakin. Dia khawatir kukunya akan patah jika berani masuk dalam lingkaran jambak-menjambak itu. Lalu, apakah dia harus diam saja menyaksikan dua gadis itu saling cakar-mencakar? Sungguh, instingnya sebagai 'perempuan' tidak tega menyaksikan itu.
"Ka-kalian berdua… berhenti! Berhenti sekarang juga!" Suara Lee melengking.
Ketika kedua gadis itu semakin ganas, Chouji segera mendekat. Lee merasa lega karena berpikir Chouji akan melerai mereka. Mengingat tubuh Chouji yang gemuk, tentu bukan hal yang mustahil baginya untuk memisahkan Sakura dan Ino. Namun, bukannya menghentikan perkelahian itu, Chouji justru menangkap sebungkus keripik kentang yang hampir terjatuh dari meja akibat mendapat benturan dari pinggul Ino. Setelah mengamankan keripik itu, Chouji menghembus napas lega lalu kembali mundur ke arah Lee.
Lee syok.
"Fiuuhh… hampir saja," ujar Chouji sambil mengelap keringat di dahinya menggunakan lengan baju.
"APANYA YANG HAMPIR SAJA, GENDUT?!" Lee menampar kepala Chouji. Ingin rasanya mencakar wajah Chouji namun terlalu sayang dengan kukunya.
"Auw! Kenapa kau memukulku, Lee? Sakit tahu!" Chouji meringis sambil mengelus kepalanya.
"Seharusnya kau melerai mereka! Bukannya malah mengambil keripik itu!"
"Tapi kalau aku tidak mengambilnya, keripik ini akan jatuh ke lantai. Dan," Chouji mengalihkan pandangannya, ke mana saja, asalkan tidak ke arah Lee, "dan… itu akan mubazir sekali…" bisiknya.
Lee berteriak frustasi sambil menjambak rambutnya sendiri.
Siswa-siswa yang menyaksikan pertempuran Sakura dan Ino justru terlihat kegirangan. Tak jarang beberapa orang dari mereka menyorakkan dukungan mereka. Sakura dapat mendengar semua itu meskipun saat ini sedang berusaha melepaskan cengkeraman Ino di kerah bajunya. Sakura tersentak ketika menerima pukulan asal-asalan milik Ino di daerah perut. Secara spontan dia pun menjerit kesakitan.
Sial, umpatnya.
Akibat dorongan yang sangat kuat untuk melepaskan diri, Sakura berhasil mengumpulkan tenaganya dan mendorong Ino hingga terhempas ke lantai. Kali ini Ino yang menjerit kesakitan. Sepertinya bokongnya mendarat keras di lantai. Sakura terengah-engah. Ino terengah-engah. Dan itu wajar saja terjadi. Namun, Lee yang juga ikut terengah-engah sungguh tidak wajar. Padahal sejak tadi dia tetap berdiri di posisinya, namun menyaksikan perkelahian itu telah membuatnya kehabisan tenaga.
Sakura dan Ino bertatapan. Masing-masing saling melemparkan tatapan tajam dan mengancam. Tatapan mereka terkunci hingga sebuah suara berhasil mengambil alih perhatian mereka. "Lho? Apa yang terjadi? Apa baru saja terjadi gempa bumi?"
Sakura langsung mengenali pemilik suara itu. Naruto. Dan di sebelahnya telah berdiri Sasuke dengan ekspresi yang tidak dapat dibaca. Namun insting Sakura mengatakan ekspresi itu memiliki arti 'aku-tidak-peduli-dengan-apa-yang-terjadi-cukup-menyingkir-dari-hadapanku-kau menghalangi-jalanku'.
Ucapan Naruto tidaklah berlebihan. Apalagi setelah melihat beberapa meja yang tersingkir dari tempat yang seharusnya, dan ada juga yang terbalik—membuat sekumpulan sendok dan garpu yang seharusnya berada di atas meja justru berhamburan ke lantai. Beruntung tidak ada yang pecah. Sekilas, kantin itu akan terlihat seperti baru saja dihadang gempa bumi.
Naruto melihat Sakura dan Ino secara bergantian. Begitu terus menerus hingga membuat Sakura kesal. Ia merasa diperlakukan seperti hewan langka. "Ada apa dengan kalian berdua?" tanya pemuda itu pada akhirnya. Alisnya berkerut dengan kepala yang agak dimiringkan. Mungkin jika Hinata melihatnya akan menganggap ekspresi itu menggemaskan. Tapi tidak untuk Sakura. Menurutnya, ekspresi itu merupakan ekspresi yang secara tidak sadar minta untuk ditonjok.
Sakura mengabaikan Naruto. Alih-alih melihat Ino. Dengan emosi yang tidak lagi meledak-ledak, Sakura memperhatikan gadis pirang itu—lebih tepatnya, mengamati rambutnya. Sakura tersentak dengan apa yang telah tangannya lakukan pada rambut gadis itu. Rambut yang tadinya tergerai rapi dengan beberapa jepitan lucu yang menghiasinya, kini terlihat kusut. Bahkan ada beberapa helai—yang entah bagaimana ceritanya—berdiri kaku. Membuat Ino terlihat seperti orang yang baru saja tersengat listrik.
"HAHAHA…" Sakura mengejutkan orang-orang di sekitarnya. Tanpa berniat menyembunyikannya, dia tertawa lepas tepat di depan Ino.
"Apanya yang lucu, huh?!"
"Lihat dirimu, Ino," ujar Sakura di tengah tawanya, "kau tampak konyol."
"Aku sarankan agar kau segera berkaca. Penampilanmu bahkan lebih buruk dariku, Jidat!"
"Apa maksudmu?" Ekspresi Sakura kembali serius.
Dan, entah darimana asalnya, Lee mengarahkan cermin berbentuk hati tepat ke depan wajah Sakura. Rambut sama kusutnya—bahkan lebih parah, beberapa bekas cakaran di pipi, serta sebuah luka kecil di bibir bawahnya. Demi saus tartar! Penampilannya memang lebih buruk ketimbang Ino.
Sakura mengerang pelan sambil menundukkan kepalanya. Berharap dengan begitu dia tidak dikenali—minimal orang-orang tidak dapat melihat wajahnya. Namun percuma, orang-orang sudah sangat, sangat, sangat, mengenalinya. Sementara itu, Ino justru terpaku melihat sosok Sasuke. Ketika pemuda itu melemparkan tatapan malas ke arah Ino, Sakura berani bersumpah demi ketapel kesayangannya yang biasa digunakan untuk mengincar mangga tetangga atas apa yang sedang ia saksikan, Ino mendadak salah tingkah. Wajahnya memerah dan pupil matanya melebar. Dengan sigap, Ino mengambil sisir dari tangan Lee—yang lagi-lagi entah dari mana asalnya—lalu merapikan rambutnya. Lee dengan terampil merapikan jepitan di rambut gadis itu.
"Oh, aku tahu siapa kau!" Naruto menepuk tangannya di depan dada, menatap Sakura dengan tatapan kagum. "Kau gadis yang tadi pagi. Iya, kan?"
Sakura tersentak.
"Maafkan aku karena tidak menyadarinya lebih awal. Dengan penampilan kacau seperti itu, wajar dong kalau aku sampai tidak mengenalimu," bela Naruto. "Ng… dan namamu adalah…?" Naruto menaikkan salah satu alisnya, menantikan jawaban Sakura.
"Haruno Sakura."
Sebenarnya Sakura enggan menjawabnya. Namun tatapan penuh harap Naruto membuatnya tidak nyaman dipelototi lebih lama.
"Yap! Haruno Sakura. Asal kau tahu saja, kau gadis pertama yang menolak Sasuke—meskipun awalnya kau sempat menyatakan perasaan padanya. Hehehe…" Naruto menggesek jari telunjuknya di bawah hidung.
Jleb!
Sakura melotot. Membuat lingkaran hijau cerahnya terekspos dengan sangat jelas. Beranikah dirinya melihat ke arah Sasuke? Meski ragu, dengan sangat pelan dia berpaling ke tempat di mana Sasuke berada.
Sasuke menatapnya! Tajam dan dingin!
Sakura menelan dengan susah payah. Entah perasaannya saja atau mata Sasuke memang menjadi lebih gelap dibandingkan kali pertama Ia melihatnya? Dia bisa merasakan semua mata mengarah kepadanya. Sakura sangat tahu betapa populernya Sasuke di kalangan para gadis. Oleh karena itu, dia juga sangat tahu bahwa kata-kata Naruto barusan dapat memprovokasi para gadis-gadis yang ada di kantin saat itu. Bukan berarti Sakura takut pada mereka. Hanya saja, entah sejak kapan Sakura telah membuat janji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan pernah berkelahi hanya karena seorang lelaki. Tidak akan pernah!
"Dan aku juga mengenalmu," ujar Naruto pada Ino. "Kau salah satu penggemar Sasuke, kan? Aku sering melihatmu mencuri pandang ke arahnya—meskipun aku tidak yakin si pangeran es ini," Naruto menyikut siku Sasuke, "menyadarinya."
Wajah Ino semakin merah. Semerah kepiting rebus.
Sakura tidak percaya ternyata dirinya bisa juga merasa kasihan pada musuh bebuyutannya itu. Sadarkah Naruto betapa sensitifnya hal itu untuk ukuran para gadis? Dia tidak ingin percaya bahwa teman dekatnya—Hinata—telah jatuh hati pada lelaki blak-blakan itu.
"Jangan bilang… kalian…" Mata Naruto menyipit menatap Sakura dan Ino bergantian, "bertengkar gara-gara… Sasuke?"
"APA?!" Sakura dan Ino membalas tatapan pemuda itu dengan pelototan tajam.
"Oi, Teme!" Sasuke menyikut rusuk Naruto.
"Cukup! Tutup mulutmu itu!" bentak Sakura. "Jika kau berani mengeluarkan satu kata saja, jangan salahkan aku jika aku menghajar wajahmu itu!"
"Sa-Sakura, apa yang terjadi?"
Sakura berbalik. Tampaklah Hinata yang menatap khawatir ke arahnya. Dia tidak sempat menjawab karena Hinata segera menghampirinya dan memegang kedua bahunya. "Kau tidak apa-apa? Dari mana kau mendapat luka cakar ini?" tuntutnya was-was.
"Aku baik-baik saja. Meskipun… sedikit sakit," akunya.
Hinata segera merapikan rambut Sakura. Setelah yakin temannya tampak lebih 'waras', Hinata melihat Naruto. Meskipun wajahnya merona merah dan jantungnya berdetak sangat cepat, dia tetap memberanikan diri berbicara pada pemuda itu. "K-kau salah paham, Naruto. Eh, sepertinya kau tidak mengenalku. Na-namaku Hyuga Hinata. Kelasku tepat di sebelah kelasmu. A-apa yang terjadi tadi pagi tidak seperti yang kau pikirkan."
"Tidak seperti yang aku pikirkan?" Naruto bingung.
Hinata mengangguk pelan.
"Maksudmu?"
"Eto… Ng… sebenarnya… aku… aku—"
"Hentikan," potong Sakura sambil memegang siku Hinata. "Dia tidak pantas mendapat penjelasan darimu."
"Tapi… orang-orang akan salah paham padamu," bisik Hinata.
Benar. Orang-orang akan salah paham padanya. Tapi, apakah dirinya tega melihat Hinata melakukan sesuatu yang akan membuat gadis itu kehilangan muka di depan umum? Sakura tahu kesalahpahaman ini akan memberi beban di pundaknya. Namun dia cukup tahu bahwa kepribadiannya yang keras mampu membawa beban itu. Tidak untuk Hinata yang pemalu dan lemah-lembut.
"Tidak apa-apa, Hinata. Aku bisa mengatasinya." Sakura tersenyum. "Jangan katakan apa-apa lagi."
Meski ragu, Hinata mengangguk juga.
"Jadi… tentang pembicaraan yang tadi… apa kau akan melanjutkannya?" tanya Naruto. "Karena aku benar-benar bingung sekarang."
Seolah-olah aku peduli, pikir Sakura.
"Terserah kau mau pikir apa," balas Sakura. "Jika kau menganggap aku gadis pertama yang menolak temanmu itu," Sakura menunjuk menggunakan dagu, "maka begitulah yang terjadi."
Sakura dapat melihat keterkejutan di wajah Sasuke, meskipun samar-samar. Lagi-lagi mata hitam itu membuat Sakura lupa untuk bernapas. Meski enggan mengalihkan tatapannya dari mata pemuda itu, Sakura tetap berpaling ke arah Ino. "Sampai jumpa lagi, Pisang Ambon." Sakura menghadiahi gadis itu sebuah senyum menyeringai.
"Namaku bukan pisang ambon! Namaku Yamanaka Ino! Yamanaka Ino, Jidat!" pekik Ino frustasi sambil menghentak-hentakkan kaki ke lantai.
Percuma. Ino terabaikan. Sakura dan Hinata telah pergi.
"'Pisang Ambon'?" ulang Naruto.
"Diam!" bentak Ino.
.
.
.
Sakura merebahkan diri ke ranjang. Di sisi ranjang terdapat sebuah meja belajar beserta atributnya. Seperti lampu belajar, beberapa buku, serta satu kursi belajar yang dapat diputar. Tidak banyak yang dapat dilihat dari kamarnya, selain sebuah ranjang, meja belajar, dan sebuah lemari pakaian yang berada di salah satu sudut kamar. Sebuah jendela berlapiskan gorden berada di posisi sejajar dengan ranjang sehingga ketika pagi telah tiba, cahaya matahari akan mengenainya.
Kedua orangtua Sakura berada di luar negeri untuk urusan pekerjaan dan akan menetap di sana untuk waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, saat ini dia tinggal sendiri di kediaman Haruno. Meskipun sudah terbiasa ditinggal sendiri, ada kalanya Sakura merasa kesepian. Untuk alasan itulah dia memutuskan untuk bekerja part-time di sebuah toko kue yang lumayan dekat dari rumahnya. Jika masalah keuangan, tak perlu diragukan. Orangtuanya tak pernah membuatnya merasa kekurangan—setidaknya, dalam hal keuangan.
Sakura mendengus kesal. Hari ini benar-benar menjadi hari yang berat untuknya.
"Ada apa sebenarnya? Apa jangan-jangan ada yang sengaja mengatur agar hari ini menjadi sangat menyebalkan? Apa aku sedang dikerjai? Jangan-jangan ada kamera CCTV di sini?" Sakura melihat ke posisi-posisi yang mencurigakan. Tidak ada satu pun kamera CCTV.
Gadis itu menerawang ke langit-langit kamar lalu berpaling ke sepatu sekolahnya yang berada di rak khusus sepatu. Melihat sepatu itu membuatnya teringat amplop kosong Hinata. Mengingat amplop itu membuatnya teringat rencana pengakuan Hinata. Mengingat rencana itu—yang gagal total—membuatnya teringat sosok Naruto yang menyebalkan. Mengingat Naruto membuatnya teringat sosok pemuda lain. Uchiha Sasuke.
Aneh. Sakura merasakan perasaan yang asing. Rasanya begitu aneh. Menyesakkan dada, namun di sisi lain juga memberikan rasa senang padanya.
Tidak ingin terjebak lebih lama lagi, Sakura segera menepis pikirannya. Ia pun bangkit dari ranjang kemudian mengambil laptopnya. Lebih baik berselancar di internet, pikirnya. Main game online, mungkin? Dia mulai mengetikkan beberapa huruf di keyboard-nya dengan lancar.
"Sai? Mengagumkan. Padahal kami seumuran tapi dia sudah jadi orang terkenal," ujarnya cuek saat membaca sebuah artikel tentang seorang pelukis muda berbakat.
.
.
.
Hinata terlihat murung. Rambutnya yang biasa tergerai kini tergelung membentuk sebuah sanggul imut di atas kepalanya. Ditambah dengan pita merah muda yang menghiasinya.
"Seharusnya akulah yang murung, bukannya kau," tegur Sakura ketika meletakkan segelas jus alpokat di meja yang di tempati Hinata. Kemudian meletakkan sepotong kue berlapis krim warna-warni yang bertaburkan cokelat dan parutan keju. "Kau masih punya kesempatan mengungkap perasaanmu pada Naruto—meskipun aku lebih senang jika kau tidak melakukannya."
Hinata menghembus napas frustasi. "Tidak mungkin, Sakura. Aku terlanjur malu. Sasuke sudah melihat kebodohanku. Aku ragu dia akan tetap diam. Bisa saja sekarang Naruto sudah mengetahui kejadian memalukan itu. Dan… dan… aku benar-benar tidak berani membayangkan bagaimana reaksi Naruto saat mendengarnya. Mungkin sekarang dia menganggapku seperti gadis bodoh. " Hinata menyuap sesendok kue full cream ke mulutnya. "Aku bahkan tidak tahu bagaimana harus bersikap jika kami berpapasan."
Sakura mempererat pegangannya pada nampan yang merapat di dadanya. Dia benar-benar tidak tahu harus berkata apa.
"Tidak apa-apa, Sakura. Aku baik-baik saja. Sebaiknya kau kembali bekerja. Aku tidak ingin kau dimarahi bosmu hanya gara-gara dianggap bermalas-malasan. Silakan layani pelanggan yang lain."
Sakura mengangguk mengerti. Dia pun segera pergi dari hadapan Hinata. Saat ini rambutnya terikat ke belakang seperti ekor kuda. Dia juga tidak sedang mengenakan seragam sekolah, melainkan seragam khusus pegawai toko kue yang sedang Ia tempati bekerja—bewarna pink cerah. Meskipun tidak sesuai karakternya, dia tidak keberatan mengenakan seragam itu.
"Sakura, bawakan pesanan ini ke meja enam," ujar Tenten, salah satu pegawai di toko itu. Sama halnya seperti dirinya, Tenten juga hanya pekerja part-time.
Sakura segera membawa pesanan itu ke meja enam.
"Kakashi-sensei?" ujarnya pada si pemesan.
"Sakura? Kau bekerja di sini?" Seperti biasa, salah satu sensei-nya itu selalu bersikap ramah.
"Hanya pekerja part-time," akunya.
Sakura lalu mengamati pria yang duduk di seberang Kakashi. Pria itu sangat tampan—Sakura bahkan tidak ragu mengakuinya. Kulitnya seputih susu. Rambutnya yang hitam dan panjang terikat rapi di sekitar tekuk leher. Sementara sepasang matanya gelap membuat Sakura merasa familiar. Mata itu tidak asing baginya.
Sepertinya Kakashi melihat alis Sakura yang mengerut. "Ada apa, Sakura-chan? Terpesona?" godanya.
Sakura tersentak dan segera melihat ke arah Kakashi. Sementara pria tampan itu hanya tertawa kecil. Sakura tidak yakin, sepertinya pipinya memerah. Apa dia benar-benar merona? Tuhan…
"Dia Uchiha Itachi. Bisa dibilang kami bersahabat," aku Kakashi kemudian tersenyum.
"Oh…" Sakura mengangguk pelan. Dia masih bisa merasakan pipinya yang memanas.
Tunggu! Apa dia salah dengar? Apa dia baru saja mendengar... Uchiha? Seorang Uchiha?! Sakura kembali melihat pria tampan itu. Kali ini dengan tatapan tajam. Astaga! Pantas saja mata itu tidak asing baginya. Kenyataannya, mata itu merupakan mata yang sama dengan milik Sasuke. Uchiha Sasuke!
"Ada apa?" tanya pria tampan itu—Uchiha Itachi.
Berbanding terbalik dengan Sasuke, nada bicara Itachi terdengar sangat ramah dan menenangkan—membuat Sakura bertanya-tanya apakah kedua lelaki ini benar-benar memiliki darah yang sama atau tidak.
"Ti-tidak. Ma-maaf."
Sakura bertanya-tanya ada apa sebenarnya dengan hari ini. Kenapa dia selalu saja mendapat kejutan? Dan sialnya, bukan kejutan yang menyenangkan.
"Lho?! Sakura? Kenapa kau bisa ada di sini?"
Deg!
Sakura tersentak. Pada saat itu juga jantungnya berdetak sangat cepat. Suara itu… ya, suara itu… bagaimana mungkin dia tidak mengenal suara cempreng itu. Dengan sangat pelan, Sakura mengangkat wajahnya dan… tampaklah Naruto beserta—orang yang paling tidak ingin dia temui hari ini—Sasuke.
Takdir benar-benar mempermainkannya hari ini.
Naruto segera menduduki kursi kosong yang ada di antara Kakashi dan Itachi. Begitu juga dengan Sasuke. Kini posisi mereka saling berseberangan. Sasuke berhadapan dengan Naruto, Kakashi berhadapan dengan Itachi.
"Kau bekerja di sini?" tebak Naruto setelah melihat seragam Sakura.
"Iya."
Naruto mengangguk mengerti. "Kakashi-sensei tahu siapa sebenarnya Sakura?" tanya pemuda itu semangat.
"Tentu saja. Dia salah satu murid di SMA Konoha."
"Bukan. Bukan itu maksudku. Tentu saja aku juga tahu dia berada di sekolah yang sama denganku."
"Lalu?" salah satu alis Kakashi terangkat.
"Maksudku, apa Kakashi-sensei dan kak Itachi tahu siapa Sakura di mata Sasuke?" Senyum Naruto melebar, bahkan berubah menjadi sebuah seringai penuh makna.
Sakura tersentak.
"Apa maksudmu?" Kali ini Itachi yang bertanya. Bahkan dengan ekspresi… sangat tertarik? Ia meletakkan kedua sikunya di atas meja dan mencondongkan tubuh ke arah Naruto.
"Nona ini merupakan gadis pertama yang menolak Sasuke!" jawab Naruto antusias.
Argghhhh! Ingin rasanya Sakura menjerit namun suaranya tertahan begitu saja di tenggorokan.
"Oi, Teme! Sudah aku bilang, bukan seperti itu kejadiannya." Sasuke mendelik kesal.
Itachi menatap Naruto dan Kakashi bergantian. Lalu, ketiga orang itu—Itachi, Kakashi, Naruto—melemparkan tatapan yang sama ke arah Sasuke. Sebuah tatapan mengejek dan menggoda. Yang paling menyebalkan bagi Sasuke, tatapan itu digabung dengan senyuman yang tidak kalah mengejeknya. Sasuke merasa tersudut.
"Sudah aku bilang tidak seperti itu." Sasuke berpura-pura terlihat santai dan tak peduli.
Mata ketiga lelaki itu—Naruto, Itachi, Kakashi—menyipit. Berbanding terbalik dengan senyuman mereka yang semakin melebar. "Eeemmm…?" gumam mereka.
Sasuke menggeretakkan giginya.
Ketiga lelaki itu berpaling ke Sakura. Masih dengan tatapan dan senyuman yang sama, mereka mengamati reaksi gadis itu.
"Bu-bukan seperti itu kejadiannya," ujar Sakura grogi karena mendapat tatapan meneliti sekaligus menuntut seperti itu. Apalagi, para lelaki itu memiliki mata yang indah dengan ciri khas masing-masing dan wajah yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Sekalipun Sakura kurang menyukai sikap Naruto, sebagai seorang gadis, dia tidak dapat mengbohongi penglihatannya. Naruto memiliki wajah yang tampan dengan kulitnya yang eksotik.
"Eeemmm…?"
Kali ini Sakura juga menggeretakkan giginya.
Itachi tertawa. Sambil mengacak-acak rambut gelap Sasuke, dia berkata, "Selalu ada yang pertama dalam segala hal, Sasuke. Hahaha… bagaimana rasanya ditolak seorang gadis, huh? Aku harap adik kecilku tidak patah hati."
"Hentikan, Itachi." Sasuke menepis tangan pria itu. "Dan, aku. Baik. . Camkan itu!"
Itachi hanya tertawa.
Sekali lagi, Sakura kembali dikejutkan. Pria itu adalah kakak Sasuke?! Benar-benar bikin iri. Sakura sudah lama mendambakan seorang kakak lelaki yang tampan dan menyenangkan seperti Itachi. Dan, kenapa harus orang sedingin Sasuke yang mendapatkannya? Benar-benar tidak adil!
Sasuke membalas tatapan Sakura. Hijau cerah bertemu hitam pekat. Masing-masing tidak ada yang mau mengalah. Seakan-akan mereka sedang bertarung melalui tatapan itu.
Dasar kau Uchiha. Kau menyebalkan.
Kau merusak hariku, Haruno.
.
.
.
To be continue…
