Dapet ide pas nonton Gintama eps. lupa lagi..

ide sendiri trus gk plagiat org lain, sumveh..

Main Pair : KaiHun, yang gx suka langsung pencet 'X'

.

Standard disclaimer applied..

.

.

Hyun present

.

.

.

Diviner & Writer

.

.

Bingkai-bingkai jendela bangunan ini dicat sewarna arang. Pria enam belas itu yakin sekali, orang tak akan tersesat jika bertanya mengenai tempat ini karena selain menyolok, tempat ini strategis, berada di pusat dan dibangun secara terpisah dengan gedung lain sekolahnya. Sementara dindingnya terlihat terlalu terang, bersama pintu kayu yang disandingkan di salah satu bagian sisinya lengkap dengan papan metal tipis bertuliskan "Library".

Tapi sejak menjejaki sekolah ini Sehun langsung tahu, bagaimanapun tampilannya, semewah apapun fasilitasnya, sebanyak apapun buku yang disediakan, perpustakaan di tempat manapun tak akan menjadi favorit kalangan remaja. Ia menengadah sekali lagi. Papan metal tipis yang terombang-ambing angin itu membuat Sehun tersenyum renyah. Ia hampir tak menemui manusia selain di seberang 'perbatasan daerah terpencil' itu. Alasannya cukup jelas, jam istirahat merupakan pantangan bagi siswa menjadi pengunjung ruangan bau apak buku-buku tua.

Suhu di luar sedang sangat tinggi. Maklum, bulan ini adalah pembukaan musim panas. Sehun tak berhenti mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajahnya barang melangkah meninggalkan kelas bahasa. Keputusannya berkunjung ke sini ternyata tepat. Begitu pintu perpustakaan ia buka, udara dingin AC langsung menyambutnya.

"Hey nak, buku baru."

Sehun menoleh ke arah wanita paruh baya yang tengah memamerkan buku bersampul hitam. "Benarkah?" Tanyanya antusias.

Penjaga perpustakaan itu tertawa, "Hmm.. Kau pasti suka."

"Genre?"

"Romance, thriller."

"Kau memang tahu seleraku, Park Saem." Canda Sehun ditengah langkahnya. Ia tersenyum mengisyarat lalu merebut buku di tangan perempuan itu dengan cepat.

"Sopanlah sedikit. Kecil-kecil begini aku ini jauh lebih tua darimu, Sehun." Wanita dengan gelar Saem itu menggerutu. "Oh iya, kelihatannya kau punya teman baca baru."

"Teman?"

"Iya, sepertinya murid kelas dua sepertimu."

Sehun mengerutkan alis. "Kau bercanda 'kan?"

"Memangnya aku ini siapa?" Kesal Park Saem sembari menuliskan nama anak di depannya ke dalam daftar peminjaman.

"Hanya penjaga perpustakaan, kau tahu itu."

"Dasar bocah. Kau mencoba menggodaku, huh?"

Pria dengan surai karamel itu tertawa renyah. "Orang itu sudah lama disini?"

"Kau tanya saja sendiri."

"Ah, baiklah.. baiklah. Terima kasih bukunya." Sehun berbalik dengan niat pergi duduk di meja baca. Tapi sebelum itu,

"Hey, nak!"

"Ne?

"Jangan berpikir bahwa tempat ini milikmu sendiri ya. Bukan apa-apa, tapi kulihat sepertinya kau cukup terganggu saat aku mengatakan ada orang lain di sini."

Sehun menatap mata kecoklatan penjaga perpustakaan. "Benarkah? Tidak juga." Ia menghela napasnya lalu tersenyum miring, "Hanya saja.. terasa aneh bagiku."

"Tak biasanya 'kan?"

Tak menjawab, raut kebingungan tersirat di wajah Sehun. Sebentar setelah itu ia kembali melangkah. Dilihatnya judul buku yang tengah ia pegang. "Diviner & Writer".

Buku fiksi yang benar-benar asing.

Sama asingnya dengan cerita yang baru saja ia dengar. Seharusnya 'kan Sehun sudah tahu bahwa akan ada orang selain dirinya di sana saat itu. Tapi kemampuan melihatnya tak mengatakan apa-apa.

"Ah, aku harus lebih hati-hati lagi saat mengendalikan ekspresi wajah. Atau Park Saem akan tahu sesuatu." Batin Sehun.

Hanya tinggal beberapa langkah lagi Sehun akan mencapai meja baca, saat atensinya menangkap siluet seorang pemuda berambut hitam legam menempati tempatnya biasa duduk. Orang itu sedang membaca buku setebal kamus bahasa. Benar kata Park Saem, seragam yang dia kenakan sama persis dengan miliknya –berdasi ungu, menunjukan bahwa pria di sana merupakan anak kelas dua dari sekolah ini juga. Dari penampilannya Sehun menilik, apa benar pemuda urakan seperti dia akan tahan di tempat mirip pemakaman ini?

Sehun memilih duduk di seberang pemuda itu. Mengabaikan keberadaan makhluk hidup lain dengan berusaha berkonsentrasi hanya pada novel barunya. Lima menit ia masih mampu menjaga fokusnya, namun berikutnya tak lagi. Sehun beberapa kali mencuri-curi lihat, diselingi gelengan saat sadar ia malah lebih tertarik memperhatikan lelaki yang jika dilihat dari dekat Sehun akui cukup tampan itu.

Tidak hanya cukup sih, dia memang tampan.

Kulit pria itu jauh lebih gelap dibanding dengannya. Rambutnya hitam dan terlihat berantakan, sama berantakan dengan kemejanya. Bibirnya merah dan tebal. Sebagian dadanya terlihat oleh Sehun karena dua kancing teratasnya terlepas. Dasi yang mestinya terikat rapi berbentuk segitiga itu hanya melilit seadanya. Deskripsi yang cukup membingungkan untuk seseorang yang bisa menarik perhatian Sehun, terutama raut keseriusan pemuda itu.

"Kau.. suka membaca?" Kata-kata Sehun meluncur begitu saja. Tanpa sadar, nada bicaranya yang biasa dingin dan tanpa emosipun –pengecualian untuk Park Saem, dari awal Sehun selalu bermanja-manja pada penjaga perpustakaan satu itu– berubah menjadi hangat seperti perempuan.

Pria itu nampak terganggu. Ia berhenti membaca lantas menatap Sehun dengan sorot mata yang cukup angkuh. "Menurutmu?"

Ssehun termangu sesaat. Ia menggaruk belakang kepalanya, tak tahu mesti berkata apa. "Eung.. maaf jika aku mengganggumu. Silahkan teruskan, abaikan saja yang tadi."

Don't jugde a book by the cover!

Sehun bukan tidak pernah mendengar pepatah tersebut. Hanya saja, lagi-lagi terasa aneh baginya. Kebiasaannya menghadapi orang lain setenang mungkin tak berlaku kali ini. Itu karena, ia tak bisa melihat apa-apa mengenai lelaki itu. Kemampuannya seakan dibutakan secara mendadak. Iapun baru sadar, ia tak bisa mengetahui siapa pemuda itu, siapa nama pemuda itu? Payahnya lagi, pria itu tak memasang name tag pada seragamnya.

Yang sering Sehun lihat, orang berseragam sekolah tanpa tanda pengenal dengan kancing tidak dipasang semua, adalah preman atau berandalan. Merupakan sumber kebisingan. Kerap mengutuk keheningan dan kedamaian. Gaya bicara mereka jarang ada yang terdengar sopan, malah nyaris tak tau tatakrama dengan membalas lawan bicara menggunakan nada setinggi penyanyi sopran. Agak jahil, kebanyakan dari mereka tak akan mengabaikan keberadaan pria manis seperti dirinya –Sehun narsis. Dan yang terpenting, mustahil bagi berandalan sudi menurunkan matanya untuk menyusuri huruf-huruf kecil di atas warna kertas usang.

Tapi orang itu bahkan ditemani buku bacaan literatur kuno!

Sehun terperangah saat sekilas membaca kalimat-kalimat yang berentetan itu di tulis menggunakan bahasa baku dan diksi tingkat tinggi. Sehun yang selama nyaris tiga tahun ini merasa paling rajin di perpustakaan, jadi malu sendiri karena selama itupun teman bacaannya hanya buku-buku novel tanpa mau melirik jajaran lemari ilmu murni.

Sehun kembali menoleh sedikit. Diperhatikannya pria itu ketika membuka lembaran bukunya. Tapi angin yang menyusup ke dalam ruangan sepertinya membuat pria itu balas melihat. Sehun kelabakan, dan mendadak di serang perasaan gugup. Kedapatan mencuri-curi lihat bukan gayanya sama sekali. "A- ah, itu.. itu.. maaf. Bukan maksudku-"

"Kau menyukai novel itu?"

Sehun menatap mata segelap malam di depannya. "Eh?"

"Kau sudah membaca semuanya?"

"Belum. Buku ini baru kupinjam, dan katanya baru dikirim."

"Aku sarankan untuk membaca novel 'The Attendant' lebih dulu. Kau akan bingung jika langsung membaca itu."

"Rupanya kau suka novel juga. Kau benar-benar sudah membaca ini?" Kali ini Sehun menjawab dengan sedikit antusias. Menemui seseorang dengan selera sama itu menyenangkan.

"Siapa namamu?"

"Eh?" Sehun terheran-heran, namun ia tetap menjawab. "Sehun. Oh Sehun."

"Kim Jongin."

Sehun mengangguk, "Nama yang bagus."

"Kau juga."

Kim Jongin terlihat menutup bukunya. Sementara, pandangan Sehun mengekor ketika pria itu berlalu menyimpan bukunya ke dalam lemari. Sehun mengira dia akan pergi karena jam istirahat hampir usai. Akan tetapi, lelaki itu malah terlihat berjalan kembali ke tempat duduknya.

"Kau tak kembali ke kelasmu?"

"Tidak." Jawab Jongin dingin.

"Kenapa?" Tanpa sadar Sehun menutup bukunya juga, lebih tertarik mendengarkan cerita Jongin.

"Aku hanya malas."

Sehun mengerutkan alis, "Dan.. baru kali ini kau mengunjungi perpustakaan saat malas mengikuti kelas?"

Jongin mengangguk, tapi kemudian menggeleng. "Sebenarnya aku baru pindah ke sekolah ini."

"Hah?"

"Kupikir kau tak perlu sekaget itu."

Sehun menemukan tas hitam di balik punggung pemuda itu. Ternyata Jongin sama sekali belum memasuki kelas pertamanya. Sehun payah tak mengetahui itu lebih awal, dan berakhir dengan sikap konyolnya barusan. Ini benar-benar aneh. Banyak sekali orang yang memanggilnya 'peramal' karena disamping ia memang mampu membaca masa depan, mengetahui pikiran teman obrolannya, iapun kerap tak sengaja menunjukkan kemampuannya di depan khalayak banyak.

Apa dalam hal ini Jongin orang spesial? Sehun sampai tak mengetahui hal sekecilpun mengenai Jongin. Iapun tak bisa menemukan apa-apa dalam pikiran pemuda itu.

"Bukan begitu, tapi kau jangan membolos di hari pertama. Itu akan menjadi poin hitam untukmu."

"Benarkah? Ah, sayang sekali. Aku ingin lebih lama duduk di sini."

"Masih ada besok dan besoknya lagi. Ku pikir kau tak perlu semenyesal itu."

"Dan kupikir kau tak harus meniru kata-kataku." Canda Jongin.

Sehun tertawa. "Oh, maaf-maaf. Aku tak sadar mengatakannya."

"Tak usah sesungkan itu." Jongin tersenyum.

"Benar juga."

Mereka larut dalam obrolan singkat. Sehun yang sempat mengira Jongin bukan orang ramah berfikir lagi bahwa pepatah tadi bukan hanya permainan kata-kata, melainkan muncul setelah banyak orang mengalaminya. Sehun berdehem ringan begitu mendengar bel masuk berbunyi. Ia menoleh ke arah lapangan di luar jendela. Banyak siswa yang berlarian.

"Sebaiknya kau masuk ke kelasmu sekarang."

"Terdengarnya seperti kau itu ibuku." Sindir Jongin sembari menjinjing tasnya di tangan kiri.

"Kurasa kau tak perlu mempermasalahkan hal itu." Sehun menggaruk belakang kepalanya, lalu tertawa canggung.

"Iya, iya. Tapi kau janji harus menyelesaikan membaca novel itu. Dan jangan lupa saranku sebelumnya." Kata Jongin sembari menunjuk buku di tangan Sehun.

"Kau peduli sekali." Mata Sehun memicing, "Tenang saja, aku maniak novel. Aku tak akan melewatkan satupun, terlebih genrenya aku favoritkan."

Jongin berjalan mendahului Sehun menuju pintu keluar. Sementara itu, Sehun masih bergeming di tempat pencatatan buku perpustakaan. Park Saem tak terlihat berada di sana. Maka Sehun memutuskan untuk menunggu wanita setengah baya itu setelah ingat ia harus mengambil kartu peminjaman yang belum sempat ia minta tadi.

"Sekalian saja kutanyakan apa dia punya The Attendant." Gumamnya.

Selagi menunggu, Sehun mulai membolak-balik novel baru itu. Kemungkinan perusahaan penerbit benar-benar mengeluarkan uang untuk buku satu ini. Terlihat dari covernya yang menarik, berikut kertas Asia Esperansa yang digunakan untuk sampul dalamnya. Sehun membaca kata demi kata yang tertera pada sampulnya. Dan betapa ia terkejut, saat melihat nama yang tertera pada bagian bawah buku, dicetak tebal menggunakan jenis huruf Monotype Corsiva.

"Mwo? Kim Jongin? Kim Jongin yang tadi maksudnya?!"

Layaknya alur-alur cerita dalam buku fiksi, pertemuan mereka berlangsung singkat namun memberikan efek banyak bagi pikiran dan perasaan Sehun.

...

La'Purple Rose

...

"Novel baru lagi?! Ya Tuhan!"

Secepat kilat yang menyambar di musim hujan, mata kecoklatan itu hanya melirik wajah histeris temannya sebentar sekali.

"Kau yakin sudah belajar untuk ujian jam kedua nanti?!"

Menarik napas keras, Sehun yang tak sedang ingin menampung celotehan Kyungsoo akhirnya menyudahi kegiatan. Sehun menutup bukunya. Sementara itu Kyungsoo berjengit tak suka.

"A-apa?"

"Kau-" Telunjuk Sehun menggantung tak sopan di depan wajah Kyungsoo. "-bisa diam 'kan? Ssst!"

Kyungsoo melebarkan matanya. Dalam suaranya yang sekeras halilintar ia menepis tangan tak sopan itu dengan mudah. "Dasar, Oh Sehun bodoh!"

"Sudah, diamlah! Kau tak lihat aku sedang apa?"

"Salahmu sendiri. Apa-apaan mengacuhkanku seperti tadi?"

Sehun tersenyum. "Makanya jangan mengganggu terus."

Candaan kedua orang itu memang terkesan aneh.

Orang sejahil Kyungsoo yang berusaha meruntuhkan prinsip ketenangan Oh Sehun merupakan barang langka. Biasanya Sehun akan langsung memusuhi orang yang mengganggu kegiatannya dalam membaca buku fiksi. Namun lain hal untuk Kyungsoo, pemuda dengan tubuh kecilnya itu diperlakukan berbeda. Wajar saja, karena bagi Sehun Kyungsoo sebagian warna harinya. Iapun bersedia terus berteman dan membantu Kyungsoo dalam belajar karena disamping kebaikan serta kesediaan Kyungsoo yang mau terus berteman, Sehun tak pernah menemukan ketidaktulusan dalam pikiran pria itu. Pemuda berbibir sintal itu selalu tampil apa adanya. Meski mengganggu, itu lebih baik dari pada harus menghadapi orang dengan segudang kebohongan.

Kyungsoo menyodorkan sebuah buku PR ke depan wajah Sehun. Sementara, tahu akan niat bulus yang dipikirkan Kyungsoo, sepasang iris Sehun menyorot tajam menembus permukan iris temannya yang menyimpul bagai anjing minta dipungut. Menyebalkan.

"Ujung-ujungnya pasti ini." Sindir Sehun.

Kyungsoo tersenyum lima jari. "Boleh, ya?"

"Kerjakan saja sendiri."

"Jebal! Jebal! Jebal!"

"Salahmu sendiri. Apa-apaan menggangguku seperti tadi?"

"Kau meniru kata-kataku? Dasar tak kreatif. Suka baca tapi masih hobi plagiat." Gerutu Kyungsoo.

"Kau tak sadar niatmu itu juga plagiat?! Bodoh!"

Senyum tipis diukirnya. Berbicara mengenai "meniru kata-kataku" mengingatkan Sehun pada pemuda yang ia temui di perpustakaan kemarin. Apa kabar dengan Kim Jongin? Kira-kira, dia berada di kelas mana? Apa jam rehat nanti Jongin akan di perpustakaan? Tapi lagi-lagi Sehun tak mampu mengetahui apapun.

Tak berapa lama, tak sampai Kyungsoo berhasil meminta Sehun memberikan buku PRnya sebagai objek contekan, bel masuk berdering. Guna menghidari rengekan Kyungsoo, Sehun bergegas pindah dan mengambil tempat duduk jauh dari keberadaan Kyungsoo. Kyungsoo terlihat hendak menyusul, namun terhenti saat dari tempat duduknya yang paling belakang, Sehun memelototi Kyungsoo agar membiarkannya duduk sendirian. Bukannya Sehun bersikap kejam membiarkan Kyungsoo mengisi absennya tanpa melengkapi tugas, akan tetapi ia tahu bahwa orang yang akan mengisi jam pertama bukanlah guru pengajar semestinya. Melainkan-

"Annyeonghaseo.."

-guru dari kesiswaan.

Merasa tak akan ada hal penting yang mesti ia dengar, diam-diam Sehun membuka novelnya. Ia melanjutkan kegiatan membacanya tanpa diketahui siapapun. Siapapun, termasuk teman satu kelasnya yang duduk tidak jauh di samping seberang. Dalam keheningan sesaat, begitu orang dari kesiswaan itu selesai berceloteh, sesuatu lebih dulu Sehun ketahui. Sebuah bayangan di hari mendatang berhasil memecah konsentrasinya. Sehun berjengit, tangan-tangannya terkepal spontan. Gambaran dalam pikirannya belum terlalu jelas. Namun perlahan, ia tetap mengangkat kepala dan menunggu seorang lagi datang memasuki kelas.

"Hey nak, masuklah!"

Terjadi keheningan mendadak di kelas itu. Sama seperti siswa-siswi lainnya, Sehun kini bersikap 'normal'. Mulutnya dibuat terbuka cukup lama, fokusnya terpaku pada satu objek menarik saja. Sehunpun tak bisa menyerukan kata-kata. Selama beberapa saat, ia bergeming. Sikapnya sama seperti yang ditunjukan teman-temannya yang lain. Yang berbeda di sini, Sehun bukan teracuni udara terkontaminasi feromon pemuda Kim itu, ia hanya.. terkejut? Mungkin. Tapi kenapa Kim Jongin berada di sini?

Jika memang dia ditempatkan di kelas yang sama dengannya, itu berarti, kemarin pemuda itu benar-benar bolos?

Lantas, ke mana dia pergi setelah dari perpustakaan? Gerbang sekolah tak bisa ditembus kepala pemerintahan sekalipun.

Ternyata benar tentang anggapannya mengenai 'pepatah hanyalah sebuah permainan kata-kata'. Penampilan menunjukan kepribadian. Kim Jongin itu berandalan. Jadi sangat disayangkan orang macam dia menjadi penulis novel yang sedang digemarinya.

"Kau bisa duduk di sebelah Do Kyungsoo. Kyungsoo, angkat tanganmu!"

"Eh? A-ah, ne! Kyu- Kyungsoo imnida."

Alis Sehun mengerut bingung. Dibanding menyambut teman barunya, Kyungsoo malah melihat ke belakang, ke arahnya. Tatapannya memelas. Dan sempat membuat Sehun kesal mengira Kyungsoo sedang meminta persetujuan darinya untuk memberi Jongin izin duduk di bangku miliknya.

Hah! 'Kan terserah saja?!

Begitu pikir Sehun sebelum tahu isi pikiran Kyungsoo.

Kim Jongin mulai melangkah. Letak meja belajar Kyungsoo dan Sehun yang memang berada paling depan memudahkan Jongin mencapai kursinya tanpa memakan waktu banyak. Dengan satu tangan berada pada saku celana, pria itu menaruh tasnya di atas meja. Jongin menduduki kursi Sehun dengan tenang.

"Oraemaniyeyo."

Dalam kecanggungan, Kyungsoo hanya mengangguk. Pria itu terlihat ketakutan akan kehadiran Jongin. Setidaknya begitulah Sehun mendapati raut muka Kyungsoo. Setelah dua tahun bersama, dari jarak antara tiga meja di depannya Sehun tentu bisa menyadari hal tersebut. Kyungsoo mungkin sudah mengenal Jongin, karena ternyata orang sejahil Kyungsoo bisa ketakutan, Jongin mungkin sudah melakukan kekerasan padanya. Terlebih, mungkin ini alasan Kyungsoo bersikap aneh saat Jongin diminta duduk di sebelahnya tadi.

"Saem!" Jongin berseru dengan sebelah tangan terangkat.

"Ya, Kim Jongin? Ada sesuatu?"

Jongin menoleh ke belakang. "Saem, boleh saya pindah tempat duduk? Saya ingin duduk dengan orang itu." Pintanya seraya menunjuk Sehun.

"Ya, boleh saja." Izin staff kesiswaan itu, sebelum akhirnya beliau undur diri lantas berjalan keluar kelas.

Sehun yang kini merasa menjadi objek perhatian siswa hanya mampu bergeming. Ia menatap heran sosok Kim Jongin yang dengan tenang berjalan sambil menyeret tasnya di tangan kiri. Sehun ingat, ia sudah pernah melihat tas itu kemarin.

"Hai, Oh Sehun." Sapa Jongin. Pria itu tersenyum simpul kemudian duduk di kursinya.

Sementara Sehun hanya diam. Mengingat reaksi Kyungsoo tadi mendadak membuat tangannya gemetaran, adrenalinnyapun ikut berpacu. Mungkin alasan Sehun tak dapat membaca masa depan orang itu karena Jongin orang jahat. Masa depan penjahat yang suram kemungkinan tak dapat terbaca melalui penglihatannya.

"Akan kukatakan sekali lagi. Jagalah sikap, atau kau akan mendapat poin hitam yang bisa mengeluarkanmu dari sekolah ini." Ucap Sehun dengan nada suara dingin. Ia hanya mengambil pencegahan dini untuk menghindari hal yang tidak-tidak.

Benar.

Sehun hanya perlu waspada.

Jangan sampai Jongin melakukan kekerasan padanya.

Lantas melupakan fakta bahwa pria di sampingnya merupakan orang yang mencantumkan tanda tangan pada sampul buku novelnya.

To be Continued...

.

.

.

ato End nih? hayo, yang abis baca review ok?!

2015/05/12