Pintu mahoni yang menjadi satu-satunya jalan masuk ke sebuah ruang baca yang luas berderit terbuka, memberi celah kecil yang menampakkan dua sosok laki-laki paruh baya yang duduk berhadapan dengan pandangan yang bertumbukan, kentara sekali sedang dalam diskusi sengit. Satu di antaranya, yang mengenakan jas lengkap dengan tatanan rambut yang lebih klimis tampak berusaha meredakan perdebatan.
"Aku mengerti, tapi masalah bisnis tetaplah urusan berbeda. Hutangmu pada perusahaanku sudah begitu banyak," pria berambut klimis itu berujar.
Sosok di depannya—yang sedari tadi tak henti-hentinya mengacak rambutnya yang sedikit banyak memutih—menghela napas panjang dan berkata, "Bukan berarti aku harus menjual perusahaanku padamu. Perusahaan itu kubangun dengan tanganku sendiri!"
"Aku tahu. Tapi hutangmu—"
"Kim, bagaimana kalau kuberi jaminan bahwa aku akan membayarnya tapi kau harus memberiku waktu lebih?" potong pria berambut putih cepat. Ia berdiri dan mendekat ke perapian yang tidak menyala, mengambil sebuah pigura foto hitam ber-lis emas yang ada di atasnya.
"Apa ini?" tanya Kim—pria berambut klimis—ketika sosok satunya meletakkan pigura foto tadi di hadapannya.
Foto di dalamnya menunjukkan seorang pemuda berkulit putih yang tersenyum ke arah kamera yang sedang berpose di atas sepeda. Mata sipitnya tampak hangat dan senyumnya begitu sumringah—ia terlihat bahagia. Pria berambut putih—Jeon Wongjin—kini kembali duduk di hadapannya, bulir keringat menghiasi dahinya yang sudah berkerut menunjukkan usia. Namun alih-alih terlihat stres seperti tadi, Jeon justru tersenyum puas.
"Itu putraku. Nikahkan dia dengan putramu sebagai jaminan."
.
.
End of The Day
[ warning: alternate universe, boys love, ooc, typos ]
.
.
"M-me—uhuk!—menikah?!"
Mata Wonwoo berkaca-kaca karena kesulitan bernapas. Rasanya semua makanan yang ia lahap memutuskan untuk berhenti di kerongkongannya. Ibunya yang baik hati dengan sigap menyodorkan segelas air padanya. Masih dengan napas tersengal-sengal, Wonwoo meminumnya. Sang ayah yang baru saja membeberkan kabar bahagianya masih diam dan melanjutkan makan malam.
"Ibu, ayah hanya bercanda 'kan?" Wonwoo akhirnya buka suara lagi. Selera makannya hilang sudah.
Sang ibu tersenyum menenangkan—menurut Wonwoo sih lebih seperti senyum pengkhianat—sambil mengusap punggung tangan Wonwoo pelan. "Tidak, Wonwoo-ya. Kau akan dinikahkan dengan putra relasi kerja Ayah, ini semacam perjanjian lama," kata Ibunya lembut.
Wonwoo geleng-geleng enggan percaya. Usianya masih 22 tahun, ia baru saja selesai kuliah, dan sekarang sudah akan menikah? Dengan dasar paksaan pula. Kiranya hidup seperti ini hanya ada dalam drama picisan yang selalu ibunya tonton sebelum tidur.
"Ayah, aku—"
"Cukup. Kau tidak akan membantah apapun, lakukan semua sesuai rencana. Ayah tidak akan menerima satupun alasan darimu," potong Ayahnya tegas. Hawa ruang makan yang luas itu tiba-tiba mendingin.
Wonwoo menggertakkan giginya geram, ia tak pernah sekalipun bersikap kurang ajar di depan orang tuanya, dan sekarang meminta penjelasan pun ia tak diberi ijin. Ibunya yang masih setia mengusap punggung tangannya masih tersenyum, menjadi satu-satunya wanita di rumah besar itu membuat ia harus selalu bisa menjadi penengah di antara suami dan putra semata wayangnya.
"Wonwoo-ya, Ibu yakin keputusan Ayahmu sudah dipikirkan matang-matang. Lagipula ibu dengar calon suamimu adalah orang yang baik."
Calon suami. Pacar saja Wonwoo tak punya.
Wonwoo memilih untuk tetap diam, sebelah tangannya sibuk memainkan sendok yang ia gunakan makan tadi. Otaknya terus berputar berusaha mencari jalan keluar, tapi rasanya tak ada jalan keluar lain selain benar-benar mengeluarkan diri dari dunia ini. Mana mungkin Wonwoo senekat itu 'kan? Pada akhirnya Wonwoo hanyalah seorang anak laki-laki yang tidak punya kuasa apapun dalam hidupnya, setidaknya itu yang Wonwoo tahu setelah lebih dari dua dekade hidup di antara Ayahnya yang tegas, pekerja keras, dan pendiam, dan ibunya yang penyayang namun selalu ada di pihak Ayahnya. Wonwoo sangat mengerti.
Merasa melawan pun tak ada gunanya, Wonwoo meletakkan sendoknya dan berdiri. Ayahnya mendongak dengan alis terangkat. Makanan Wonwoo belumlah habis.
"Aku sudah tidak lapar, aku akan tidur duluan," jawab Wonwoo atas pertanyaan non verbal Ayahnya. Kedua orang tuanya mengangguk dan Wonwoo segera membalikkan tubuh dan berjalan menjauh. Mungkin malam ini ia bisa membaca sampai tertidur, sejenak melupakan masalah barunya.
Baru beberapa langkah dari meja, suara ibunya membuat langkah Wonwoo terhenti.
"Tidur cepat ya, besok pagi jangan sampai terlambat bangun," tutur sang ibu pada punggung putranya.
Wonwoo menoleh dan melempar pandangan tak mengerti, tak biasanya ia punya larangan bangun siang, tidak sejak ia menyelesaikan kuliahnya.
Alih-alih ibunya yang menjawab, justru suara berat ayahnya yang terdengar.
"Besok keluarga suamimu akan datang."
.
-to be continued.
author's note:
halo, sudah 4 tahun saya nggak nulis, jadi maafkan segala kekakuan di atas ya. Saya tahu plot arranged marriage/perjodohan Meanie itu sangat mainstream, tapi apa daya saya minatnya yang gitu-gitu hehehehehehehe. chapter ini pendek sekali yaaa? namanya juga pilot ehehe, kalau sekiranya respon pilot chap ini bagus mungkin bakal saya lanjutin ;) terimakasih sudah menyempatkan waktunya untuk membaca!
regards,
stilinsking
