"Lama tak bersua. Masih berminat menjadi sentral duniaku?"
"Sentral dunia apa. Ucapanmu menggelikan. Apa kepalamu terbentur sesuatu?"
Sepasang manik sewarna darah mengerling malas. Kedua tangan kecil memeluk buku yang memiliki ketebalan tidak normal, salah satu sikutnya terangkat; menutup loker berwarna kelabu dengan sedikit dorongan.
"Ah, Seijurou," iris biru menatap tajam sosok dengan helai merah di hadapannya. Pria dengan rema sewarna senja tersebut menyenderkan tubuhnya pada loker di sampingnya. Bersedekap dengan mimik congkak memuakkan, ia tersenyum menggoda. "Aku serius."
"Senang mendengarmu bisa serius." Seijurou menghela napasnya, terlalu malas menghadapi sosok besar yang sedang menatapnya seolah dia adalah makanan yang dapat disantap kapan saja. Kelereng merahnya balas menatap sang lawan bicara. Meski enggan, Seijurou mencoba tersenyum demi menjunjung nama kesopanan.
"Jadi, apa yang membawamu kemari, Nash senpai?"
"Suaramu."
Seijurou mendadak tuli.
"...maaf?"
"Suaramu." Nash mengulangi ucapannya. Ia mengedipkan sebelah matanya lantas mengangkat salah satu ujung bibirnya untuk membentuk sebuah senyuman menjengkelkan. "Aku ingin mendengar suaramu lagi. Makanya-"
"I have no time for your bullshit, senpai." Seijurou masih tersenyum. Ia hendak melangkahkan sepasang tungkainya untuk pergi, namun kedua tangan Nash sudah lebih dulu mengurungnya dan menyudutkannya di loker.
Sialan.
"Mind your language, Seijurou." Nash mendesis pelan. "Tidak seharusnya kau berbicara kasar."
"Punya cermin, senpai?" tanya Seijurou dengan tambahan nyada sarkas yang berlebihan.
Nash tergelak.
"Kau tahu jawabannya, Seijurou. Atau kau lupa jika dulu kita sering melakukan hal tidak senonoh di depan cermin yang ada di rumahlu?"
Wajah Seijurou memanas seketika. Dengan susah payah ia mencoba mempertahankan ekspresi stoiknya.
Namun gagal.
Nash dan mulut beracunnya berada di luar kuasa seorang Seijurou.
Selesai.
