Kōkishin
Karena aku ingin tahu segala tentang hidupmu.
.
Naruto © Masashi Kishimoto
A story by Kaitosei Kiba
.
Siang ini cerah. Secerah hati Sakura Haruno, gadis manis berambut soft pink sebahu yang sekarang sedang berjalan santai menyusuri koridor sekolah sambil mendendangkan lagu "Dear My…" kesukaannya dari Janne Da Arc. Di sebelahnya, Tenten, sahabat berambut cepol dua-nya yang sejak tadi mendengarkan nyanyian Sakura hanya berjalan diam sambil mengamati kelas demi kelas yang dilaluinya.
Konoha International Senior High School, sekolah elit dengan berbagai program studi jurusan itu kini telah mencapai puncak kepadatannya. Bel istirahat baru saja berbunyi, seluruh siswa dengan penuh semangat berdesak-desakan membentuk antrian panjang di sekitar kantin untuk mendapatkan jatah makanan mereka. Masing-masing saling berebut kursi, dan kursi utama atau sering disebut dengan kursi vvip adalah kursi paling pojok yang menghadap langsung ke deretan kelas 2-Sains, kelasnya para orang penting, kelas dari salah satu pemuda paling tampan, cerdas, berbakat, dan tentunya sangat berpengaruh di KISHS.
"Kau tidak ingin bergabung dengan mereka?" Tenten berhenti melangkah, pandangannya tertuju pada segerombol siswi yang berkerumun di pojok kantin.
"Apa?" Sakura ikut menghentikan langkahnya dan mengikuti arah mata Tenten.
"Mereka sedang menunggu para superstar datang." Tenten memberi penjelasan atas kehebohan di seberang mereka.
Sakura mengerjapkan mata dan buru-buru mengibaskan tangannya. "Mereka labil. Sudahlah, kita punya urusan yang jauh lebih penting," katanya lalu kembali melangkah. Tenten segera menyusulnya.
KISHS memiliki gedung utama berbentuk persegi bercat putih-oranye dengan atap datar transparan yang menghubungkan mata kita langsung dengan langit. Gedung itu adalah tempat favorit ke-dua seluruh siswa KISHS setelah kantin. Gedung itu sering dijuluki sebagai "free place for life" karena menyediakan suasana yang nyaman, sejuk, dan jauh dari keributan serta kesibukan orang-orang. Di FPFL itu, setiap siswa atau orang berkepentingan yang masuk akan didata oleh seorang petugas berpengalaman bernama Chiyo—orang-orang lebih sering memanggilnya Nenek Chiyo, Nenek baik hati yang selalu duduk manis bersama secangkir tehnya sambil memberikan wejangan hangat di pagi hari.
Terlepas dari gedung utama, kelas para siswa dipisahkan berdasarkan program jurusan sejak kelas satu. Mereka dikelompokkan ke dalam bidang keahlian masing-masing dan program tersebut wajib mereka ikuti selama tiga tahun penuh hingga kelulusan. Program itu adalah kelas Sains—kelas yang paling diunggulkan, kelas Informatika, kelas Sastra, dan kelas Seni. Siswa yang telah terbagi ke dalam bidangnya masing-masing dapat mengajukan perpindahan kelas dengan syarat lulus tes uji kelayakan dan dengan nilai rapot yang memenuhi standar kualitas. Apabila siswa yang bersangkutan tidak puas dengan keputusan sekolah, siswa tersebut dipersilakan untuk mencari sekolah lain yang lebih sesuai dengan bakat maupun kemampuan yang dimiliki. Cukup bijaksana memang. Beruntung, Sakura dan Tenten masuk ke kelas yang sesuai dengan minat mereka, yaitu kelas Sastra.
"Tenten, kau salah jalan. Lewat sini!" kata Sakura tidak sabar sambil menarik tangan Tenten.
"Ruang dua puluh, kan?" Tenten berusaha menyeruak kerumunan di sekitarnya dan mengimbangi langkah kaki Sakura yang semakin cepat.
"Yup, dan ini sudah hampir ke-delapan belas. Hati-hati Tenten, kita menaiki tangga."
Sakura semakin mempercepat langkahnya dan menaiki tangga dengan ringan. Sebaliknya, di belakang, Tenten terlihat begitu kelelahan dengan wajah kuyu dan penuh keringat.
"Bisakah kau sedikit memperlambat langkahmu?" Tenten menatap pasrah pada deretan tangga di depannya. "Berapa anak tangga?"
"Dua puluh satu!" Terdengar suara riang yang menggema, Sakura sudah sampai di atas.
Gadis bercepol dua itu merasakan tubuhnya lemas seketika.
"Satu, dua, tiga." Sakura menghitung maju dengan telunjuknya. Tepat dari kelas yang paling ujung dekat tangga adalah ruang ke-delapan belas, dan ruang yang dituju Sakura adalah ruang ke-dua puluh. Jadi, ruang ke-dua puluh adalah kelas nomor tiga dari tangga tempatnya berdiri. Ya, kelas itu akan menjadi ruang ujian tengah semester Sakura besok pagi.
Sakura melangkah santai mendekati "calon ruangannya". Belum sempat memutar kenop pintu, ia melihat sebuah kertas berisi tulisan tertempel di atasnya. Gadis itu melongokkan kepala dan membacanya.
"Ruang 20: 1-Sastra 1 dan 2-Sains 1."
"Apa? Sains?" pekik Sakura setelah selesai membaca kata terakhir. "Semua orang kan juga tahu kalau Sains tidak akan mungkin pernah bisa akrab dengan Sastra. Ini pasti salah! Salah, salah!" Ia menjejak-jejakkan kakinya kesal.
Sains dan Sastra, dua nama yang sering bersaing. Mereka bersaing untuk memperebutkan nama baik di sekolah. Saat ini, kelas Sains-lah yang menjadi bintangnya. Tahun ini mereka berhasil menyumbang trofi lebih banyak dibanding kelas Sastra. Entah sejak kapan mereka bersaing, hal itu tidak bisa dijelaskan. Persitegangan itu hadir secara alami, turun temurun hingga sekarang ini.
Baru saja Sakura akan merobek kertas itu, bel tanda masuk ke kelas berbunyi. Ia mengurungkan niatnya dan mundur teratur sambil mengembuskan napas kesal.
"Fiuhh, aku sudah sampai!" sebuah suara menyambut Sakura dari belakang.
Sakura menoleh. "Tenten?" tanyanya bingung dengan kening berkerut. "Dari mana saja kau? Kau tahu, aku kesal sekali. Aku menyesal datang ke tempat ini. Kita besok satu ruangan dengan senior, dari Sains pula. Sudah ah, aku malas membahasnya. Ayo kita kembali ke kelas. Bel sudah berbunyi," tutupnya sambil mengibaskan tangan dan beranjak menuruni tangga meninggalkan Tenten.
Belum genap seluruh nyawa Tenten berkumpul, gadis berambut hitam cepol dua itu berusaha mengerjapkan matanya yang terasa mati rasa karena kelelahan. "Apa? Kembali ke kelas?" jeritnya panik. "Aku kan baru sampai! HEI SAKURA! TUNGGU! HEI!"
.
.
Udara pagi terasa sejuk membelai helai-helai rambutnya. Sinar matahari yang terik memaksa masuk lewat celah-celah jendela besar yang menghubungkan kamar bernuansa pink berukuran minimalis itu dengan dunia luar, dunia sibuk orang-orang beserta kendaraan-kendaraannya yang berseliweran di jalan raya sambil membunyikan klaksonnya tanpa ampun.
Di dalam kamar minimalis tersebut, seorang gadis masih meringkuk di balik selimutnya. Ia masih terlelap dengan nyaman sambil mendekap sebuah boneka beruang besar. Sebuah alarm kecil berbentuk hati hadiah dari Tenten masih setia di sampingnya. Ia baru saja tanpa sengaja mematikannya dengan lembut ketika alarm itu mengeluarkan suara aneh. Pagi ini pukul tujuh kurang seperempat, dan Nona Haruno belum juga kembali dari alam bawah sadarnya.
Tok, tok, tok.
"Sakura?" Sebuah suara menyapanya dari luar.
Hening, tidak ada jawaban.
Setelah beberapa kali memanggil dan tidak ada jawaban, pintu kamar akhirnya dibuka dari luar. Seorang wanita paruh baya masuk ke dalam sambil menggelengkan kepalanya. Wanita itu terlihat cantik, persis seperti putrinya. Wajahnya yang halus terlihat putih bersih dengan sikap yang anggun dan beraura keibuan. Ia tersenyum kecil, lalu dengan penuh perhatian duduk di samping Sakura dan membelai lembut kepalanya.
"Sakura, bangun."
"..."
Gadis itu hanya menggeliat pelan di atas kasurnya.
"Sekolah, kan?"
"Hmmm..."
Wanita itu menarik selimut Sakura dengan satu gerakan cepat. Sedetik kemudian tubuh Sakura menggigil, gadis pink itu segera menarik selimutnya lagi lalu kembali tidur.
"Jadi… tidak mau berangkat sekolah?"
Tidak ingin ambil pusing, wanita paruh baya itu berdiri kemudian menyibakkan tirai jendela hingga sinar matahari yang sejak tadi bersusah payah menembus celah-celahnya kini dengan mudah menembusnya, menerjang Sakura hingga gadis itu terlihat berwarna kuning keemasan di bawah cahaya matahari.
"Si..lau..." Sakura mengerang pelan dan mengucek kedua matanya.
"Sudah hampir pukul tujuh, Sakura." Suara wanita itu kembali mengingatkan.
"Apa? Oh… masih jam…" Sakura kembali membetulkan bantalnya, bersiap untuk tidur kembali tapi sejurus kemudian terkesiap. "APA? AKU ADA UJIAN JAM TUJUH!" teriaknya panik sambil menendang selimut, boneka, bantal, serta semua barang yang menghalanginya dan bergegas turun dari tempat tidur.
"Jangan tergesa-gesa."
"Tidak ada waktu lagi, Ibu" kata Sakura panik sambil buru-buru meraih seragam sekolahnya, tas, serta sepatunya dengan satu gerakan cepat. "Aku pergi dulu ya!" teriaknya sambil menuruni tangga. Ia mengelap sisa iler di sudut mulutnya dengan lengan seragamnya. Rambutnya belum disisir, dan ia juga belum cuci muka. Tapi Sakura tidak memedulikannya. Baginya, waktu adalah hal yang paling penting saat ini.
.
.
Di KISHS...
Bel masuk berbunyi sekitar lima menit lagi. Di ruang dua puluh, suasana penuh riuh oleh siswa-siswa campuran Sains dan Sastra. Sebagian dari mereka saling mencoba mengobrol, sebagian lagi memilih tenang dalam diam, dan sisanya sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Sudah tiga puluh menit sejak kedatangan pemuda berambut jabrik dengan mata onyx di ruang kelas itu, belum sekalipun ia menemukan tanda-tanda kehidupan dari pemilik bangku semeja di sebelahnya. Tapi siapapun dia, bagi pemuda itu bukanlah hal penting. Ia tidak memedulikannya, mau datang kek, mau tidak kek. Bukan urusannya. Pemuda itu tetap fokus pada kegiatannya, tidak terpengaruh sedikitpun.
"Hei, itu Sasuke duduk sendirian. Kira-kira siapa ya orang beruntung yang bisa duduk bersebelahan dengan Sasuke?" Kasak-kusuk dari siswi-siswi penggosip mulai terdengar riuh membanjiri ruangan.
Tiga menit lagi bel berbunyi, tapi pemilik bangku di sebelah Sasuke Uchiha belum juga kelihatan.
Sementara di tempat lain…
.
.
.
"Paman, tolong buka sedikiiit saja gerbangnya. Tidak kasihan aku? Hari ini ada ujian, Paman tahu bukan?"
Sakura merengek-rengek pada Kakuzu, security andalan di KISHS yang sudah kebal terhadap jurus-jurus rayuan para murid yang terlambat. Pria bertubuh besar dengan tampang seram itu memasang muka tembok. Ia tidak bergeser sedikitpun dari tempatnya.
"Ayolah Paman… Coba bayangkan, seandainya anak Paman berada di posisi saya, apa Paman tega?"
Kakuzu mengangkat sebelah alisnya yang tebal. "Anak saya selalu rajin, tidak mungkin dia ada di posisimu."
Dengan kesal Sakura mundur beberapa langkah. Ia berpikir sejenak, lalu seperti mendapatkan sebuah ide, ia kembali maju merapat pada Kakuzu.
"PHA-MAN BHE-NAR-BHE-NAR TI-DHAK MHA-U MHEM-BHU-KA-KAN PHIN-THUU~?" kata Sakura lebar-lebar selebar ia bisa berbicara. Ia sengaja mendekatkan mulutnya dan menambah tekanan napasnya yang super duper bau akibat ketidaksempatannya menggosok gigi.
Dan betul, kepala Kakuzu langsung terasa pusing. Ia oleng ke kiri dan menubruk tembok di sampingnya.
"Terima kasih!" Sakura buru-buru membuka paksa pintu gerbang yang belum sempat digembok itu lalu dengan kecepatan super kilat ia berlari sekuat tenaga, mengabaikan lantai licin yang baru saja dipel dan mengabaikan tatapan-tatapan sinis para petugas kebersihan. Di gedung utama ia langsung memberi salam pada Nenek Chiyo dan memintanya untuk mengabsenkan dirinya. Chiyo yang sudah tahu kebiasaan itu hanya tersenyum kecil.
"Gawat!"
Bel masuk akhirnya berbunyi. Perjalanan menuju lantai dua masih jauh. Gadis itu terus menambah kecepatan larinya dan berharap semua guru pengawasnya terlambat masuk. Dalam hati, ia terus berdoa.
Sakura baru saja akan melangkahkan kakinya masuk ke ruang dua puluh ketika tiba-tiba langkahnya tertahan oleh seorang pria berambut keperakan dengan sebuah buku di tangannya. Pria itu adalah Kakashi-sensei, guru pengawas ujiannya kali ini.
"Selamat pagi, Nona Haruno," sapanya ramah.
Terlambat.
Sakura membuang napas keras-keras. "Halo Kakashi-sensei. Hari yang cerah, ya!" dengan tanpa membuang-buang waktu Sakura melangkah masuk ke dalam ruangan. Jantungnya berdegup kencang tak karuan, semua mata tertuju padanya. Kasak-kusuk kembali terdengar dari setiap sudut ruangan. Tubuhnya terasa lemah, ia berjalan sambil menundukkan kepalanya menahan malu menuju ke tempat duduknya. Sampai di tempatnya, ia tertegun. Seorang Sasuke Uchiha duduk di sampingnya dengan wajah angkuh.
"Selamat pagi semuanya, pastikan kalian berada di tempat duduk yang benar." Suara Kakashi memecah kericuhan.
Sakura yang sejak tadi hanya berdiri bengong menatap Sasuke langsung terkesiap dan mengerjapkan matanya. Ia cepat-cepat duduk di kursinya. Gadis berambut pink gulali itu masih setengah sadar. Sulit dipercaya, ternyata ia duduk bersebelahan dengan Sasuke, pemuda paling digandrungi di KISHS. Sebersit perasaan bangga menyergapnya, tapi sedetik kemudian terganti oleh rasa penyesalannya yang tidak mandi, tidak menggosok gigi, dan yang paling menyedihkan, ia tidak menyisir rambutnya sedikitpun. Semua hal memalukan itu memenuhi hatinya. Sedetik kemudian bayang-bayang itu berganti lagi. Ia tertegun, lalu buru-buru menggeleng. Ia harus sadar. Di sampingnya ada siswa Sains, siswa yang seharusnya dibenci sepenuh hati, segenap jiwa dan dengan seluruh raga.
"Sakura, temui saya setelah selesai tes nanti," lanjut Kakashi-sensei sambil membagikan soal ujian.
Sakura mengangguk pasrah. Dengan malas ia mengisi identitas pada lembar jawabnya. Pengisian lembar jawab itu menggunakan pensil khusus untuk komputer. Sakura mengisinya dengan mudah, tapi, ketika ia mengisi kolom terakhirnya… goresan pensilnya keluar dari garis. Dengan panik Sakura buru-buru menoleh ke belakang dan memanggil Kiba. Ia lupa membawa penghapus.
"Kiba, pinjam penghapus."
Kiba menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bawa. Coba pinjam Naruto."
Sakura berbalik menoleh ke kanan, ia memanggil Naruto.
"Jangankan penghapus, pensil saja aku tidak bawa, Sakura."
Sakura mengembuskan napas kesal. Ia melirik ke meja Sasuke. Sebuah penghapus tergeletak manis di dekatnya. Ia ingin pinjam, tapi gengsi. Tidak mungkin ia mempertaruhkan gengsinya hanya dengan sebuah penghapus. "Tidak akan!" serunya sengit.
Setelah melalui beberapa perdebatan batin, akhirnya ia memilih jalan tengah. Sakura memutuskan untuk meminjam, tapi tanpa bicara padanya.
"Mencuri dong?"tiba-tiba akal sehatnya menyeruak.
Sakura termangu.
"Tidak, tidak. Hanya pinjam diam-diam lalu kembalikan lagi," akal sakitnya membela.
"Bilang saja lebih baik."
"Jangan! Ingat, dia anak Sains dan kau Sastra."
"Gengsi tidak memberimu penghapus, Saku—"
"DIAMM!" Tiba-tiba Sakura menggebrak meja. Ia mengacak-acak rambutnya frustasi. Tanpa pikir panjang, ia berteriak dengan keras. "SASUKE, AKU PINJAM PENGHAPUS!"
Sasuke yang kaget menatap Sakura dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ia berpikir gadis di sebelahnya sudah tidak waras lagi. Gadis itu menudingnya, tatapannya terasa seperti mengintimidasi. Sasuke mengerjapkan matanya dan mengambil sebuah tindakan tepat. "Jangan melakukan hal bodoh seperti itu!" katanya sinis lalu memberikan penghapusnya pada Sakura.
O-oh, Sakura telah melakukan kesalahan besar. Gengsinya yang kembali timbul membuatnya berpikir bahwa tidak seharusnya ia mempermalukan diri sendiri seperti itu. Sakura segera menepis pikirannya yang semakin lama semakin melayang ke mana-mana. Ia meraih penghapus yang diberikan Sasuke dan buru-buru membenarkan identitasnya. Setelah selesai, ia mengalihkan pandangannya ke lembaran kertas soal di hadapannya. Sakura membuka lembar pertama dan mengeluh pelan.
"Aduuh, ini apa sih. Aku kan tidak mengerti," katanya kesal sambil mengetuk-ngetuk kepalanya.
Ia beralih pada lembar kedua. "Nah, kalau ini aku tahu," katanya sambil meraih pensilnya dan bersiap menjawab. Tapi sejurus kemudian ia meletakkan kembali pensilnya. "Tunggu, tidak begini seharusnya. Tidak, tidak. Tapi, be— aargh, aku menyerah!"
Sakura mengacak-acak rambutnya yang semakin kusut. Ia membuka lembaran terakhir dan membacanya sebentar kemudian menarik napas panjang sambil menggeleng pelan.
Percuma. Ia tidak bisa mengerjakan satu soal pun. Gadis pinky itu merutuki dirinya yang begitu bodoh. Kalau saja ia tahu harinya akan seperti ini, ia pasti lebih memilih untuk membolos dan meminta ujian susulan sebagai gantinya. Kalau saja kemarin malam ia tidak nekat nonton bola, mungkin ia bisa belajar. Dan kalau saja ia belajar, pasti dengan mudahnya ia mampu menyelesaikan soal-soal ini.
"Iya, itu hanya keteledoran saja. Aku tidak benar-benar bodoh." Sakura berusaha menghibur dirinya sendiri. Sedetik kemudian ia melirik ke arah Sasuke. Pemuda itu sibuk mengisi jawaban di lembar jawabnya yang hampir selesai.
"Aduuuh, pamorku bisa turun, nih. Aku harus kelihatan sibuk daripada bengong seperti ini." Sakura buru-buru mengambil pensilnya dan mengetuk-ngetukkan di dahi seraya berpikir. Tiba-tiba…
Puk!
Sebuah surat kecil mendarat di mejanya.
Dengan perasaan bingung campur was-was, Sakura membuka dan membacanya.
"Nomor 1-20 apa? Balas cepat, Naruto."
Ternyata dari Naruto. Sakura membalasnya.
"Tidak tahu. Aku belum belajar. Nomor 21-40 apa?"
Sakura melipat surat itu dan melemparkannya kembali pada Naruto.
Tidak lama kemudian, surat balasan datang. Sakura membukanya
"Acdddebbadcbbadbcdab. Skors tambahan untukmu sepulang sekolah. Kakashi Hatake."
Glek. Rasanya seperti ada yang tercekat di tenggorokannya. Sakura menelan ludah dengan susah payah. Ia melirik Kakashi, guru itu tampak sibuk dengan bukunya. Sejurus kemudian ia melirik Sasuke, pemuda itu masih berkutat dengan hitungannya. Sejenak ia bisa bernapas lega, setidaknya Sasuke tidak tahu.
Satu jam berlalu, Sakura semakin gelisah. Gadis itu baru menjawab sepuluh soal dari empat puluh soal. Sementara sisa waktu tinggal empat puluh menit lagi.
Inilah saatnya Sakura melancarkan aksinya.
"Psst, Kiba, Kiba!" Gadis itu memberikan kode dengan jarinya membentuk angka 11, 12, 13, dan seterusnya.
"Tenten! 14, 15, 16!"
"Ndut, Gendut!" bisiknya setengah berteriak. "17 sampai 20!"
Sasuke yang merasa terganggu hanya memicingkan matanya sambil mendecih. Sakura mengabaikannya, ia tetap sibuk mencatat jawaban-jawaban dari temannya.
"Abb."
"Cde"
"Cccc"
Waktu tinggal setengah jam lagi. Sisa jawaban Sakura masih kurang 20 nomor. Sementara Sasuke, ia sudah selesai mengerjakan semua soalnya dengan mudah. Pemuda itu melirik Sakura dengan tatapan datar.
"Apa? Ada masalah?" Sakura membalas tatapan Sasuke dengan sinis, sesinis tatapan dendam kelas Sastra pada Sains. "Aku tahu kau ini cerdas. Aku juga tahu kau ini seniorku. Kau ingin mempermalukanku kan dengan kecerdasanmu yang katanya super sekali itu? Aku memang dari kelas Sastra, memangnya kenapa? Aku tidak takut padamu sekalipun kau dari kelas Sains atau kelas Albert Einstein sekalipun. Bawa saja antek-antekmu!"
Sasuke mengembuskan napas pelan lalu mengulurkan tangannya. "Penghapusku."
"…."
"Pe-penghapus?"
Dengan gugup Sakura langsung mengembalikan penghapus Sasuke.
"…."
Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Sasuke. Dengan santai pemuda itu membereskan mejanya dan beranjak pergi ke luar ruangan. Suasana kelas menjadi riuh, para fans mengelu-elukan namanya.
"Biasa saja tuh," cibir Sakura kesal.
.
.
TBC
.
Kritik dan saran sangat ditunggu :D
