(Edited)
.
.
Aussie mungkin benar kalau tempat ini menyeramkan. Tapi ini hal biasa bagi Indonesia.
Hari sudah malam. Indonesia melihat jam tangannya dan jarum jam sudah mendekati angka 12. Jangan salahkan dia kenapa mereka bisa ada disini.
"Mate, ayo pulang aja. Merinding aku disini terus!"
"Tapi kau yang memaksaku untuk menemani kamu kesini kan?" Indonesia menatap Australia. Alisnya dia kerutkan saking kesalnya. Pria dengan kulit sawo matang itu juga menyilangkan tangannya.
Autralia Cuma garuk-garuk kepala.
Indonesia menghela nafas. Dia tatap bangunan tua bekas zaman si kompeni. Bangunan itu cukup besar, banyak jendela rusak dan pintu dimakan rayap. Sudah bobrok. Dan tampaknya akan hancur kalau ada gempa muncul tiba-tiba.
"Dari abad kapan ini rumah?" Tanya Australia meramaikan keheningan. Entah mengapa suasana gelap, tua, dan dingin membuat bulu badannya merinding.
"Abad 18.."
Indonesia mengeratkan jaketnya. Udara malam makin lama makin dingin saja.
"Kamu beneran mau pulang?" Indonesia bertanya. Kepalanya dia palingkan agar menghadap si negeri Kangguru itu.
"Tapi aku penasaran.." ungkap pria itu lagi sambil memelas. Indonesia memutar kedua bola matanya.
"Ayolah. Lekas masuk. Jangan lama-lama diluar terus."
Akhirnya mereka berdua masuk kedalam. Kedalam bangunan tua yang hampir bobrok itu. Indonesia berharap tidak ada satupun dari mereka yang terluka karena fondasi bangunan ini yang sudah di makan usia.
"Eh.. bangunan ini beneran tak berpenghuni?" Tanya Aussie. Indonesia mengangkat alis.
"Tidak lah..."
"Lalu.. siapa gadis yang berlarian di ujung ruangan itu?" Aussie menunjuk kedepan. Kearah seorang gadis bergaun merah yang berlarian kesana-kemari. Dia tidak memakai alas kaki. Terlihat seperti mencari sesuatu.
Indonesia memincingkan mata sebentar, sebelum alisnya terangkat dan dia hanya bisa diam. Indonesia akhirnya ingat kenapa bangunan ini ditinggalkan. Gadis itu berbalik dan melihat mereka. Australia hampir menjerit. Dan Indonesia berucap,
"Mukanya rata..."
