"Haaah, sudahlah, Yeol. Terima saja kalau kau itu memang langganan remidi."

Chanyeol tertunduk lesu karena hasil ulangan matematikanya. Ditambah kalimat Jongin yang sungguh menohok hati membuatnya semakin lesu.

Sehun menepuk-nepuk bahu Jongin, "Hey, Jongin, jangan remehkan Chanyeol di bidang matematika. Lihat tuh hasil ulangan fisikanya—"

"Berapa nilainya? Pasti super, ya?!"

"—iya, super. Super anjlok." Lalu mereka berdua tertawa cekikikan.

Chanyeol menggebrak meja. "Berhentilah bermain-main kalian berdua!"

Jongin dan Sehun langsung diam. Sehun ada niat untuk mencarikan kipas sate untuk mengipasi sahabatnya yang tengah terpuruk setelah mengetahui hasil ulangan matematika dua minggu yang lalu.

Tapi mana ada tukang sate lewat pagi-pagi begini?!

Dan tukang sate macam apa yang berjualan di dalam kelas?!

Yah, cukup dengan diadakannya ulangan matematika dan itu menjatuhkan eksistensi seorang Park Chanyeol.

.

.

.

.

U Can Do It!

Pairing: Chanbaek / Baekyeol

Genre: Romance, Little bit humor

Shonen-ai / BL / AU / OOC

.

Sorry for typo(s)

.

.

.

.

.

Chanyeol mendengus. Beberapa kali mencurahkan perhatiannya selama sisa satu jam pelajaran sebelum pulang sekolah kepada seorang anak laki-laki yang duduk tak jauh darinya.

Tempat duduk Chanyeol jauh dari pintu, di barisan pojok urutan ketiga. Di belakangnya Jongin, di samping kanannya Sehun, dan di depannya... anak laki-laki yang dipandanginya sedari tadi.

Anak laki-laki berambut cokelat tua, dengan mata hazel dan kacamata berbingkai violet. Itu juga tumben-tumbennya dia memakai kacamata berbingkai violet, seingat Chanyeol, kemarin anak itu memakai kacamata berbingkai emerald. Terus minggu lalu dia memakai kacamata berbingkai sapphire. Dua minggu yang lalu dia memakai kacamata berbingkai onyx.

Chanyeol sendiri mulai bingung dengan anak laki-laki itu.

Pakai kacamata kok ganti-ganti melulu?

...

Tapi kok kamu bisa tahu kalau dia ganti kacamata?

Diam-diam memperhatikan, ya?

...

Chanyeol berusaha mengabaikan kata hati yang tiba-tiba saja merusak fokusnya. Tidak, bukannya dia memperhatikan, tapi memang sudah kelihatan kalau bingkai kacamata itu berubah warna dengan jelas dan kontras.

Dan kenapa dia jadi memikirkan kacamata anak itu?!

Chanyeol mengusap wajahnya kasar, lagi-lagi merasa bingung pada dirinya sendiri. Jelas-jelas laki-laki yang kini tengah duduk di depan mejanya itu adalah rival-nya sejak sekolah menengah pertama. Chanyeol benci dirinya sendiri yang selalu menjadi nomor dua dari anak itu. Selalu saja dia berada diurutan setelah anak itu.

Chanyeol kesal dengan anak itu.

Kesal setengah hidup—karena menurutnya setengah mati sudah mainstream—sampai-sampai Chanyeol rasa ia dan anak itu tak akan pernah bisa bersatu.

"Byun Baekhyun,"

Chanyeol beralih memperhatikan gurunya lagi ketika nama anak di hadapannya disebut.

"Ya, ssaem?" sahut anak laki-laki yang tadi diperhatikan Chanyeol, Byun Baekhyun.

"Satu-satunya murid di kelas ini yang tidak pernah remidi matematika kan hanya anda, jadi... tidak masalah kan kalau saya mempercayakan anda sebagai guru bimbingan di luar sekolah bagi yang remidi?"

Baekhyun terlihat mengerutkan kening sesaat sebelum menjawab, "Saya tidak keberatan."

"Tenang, saya hanya akan mempercayakan satu murid yang memang nilai ulangannya tidak pernah lulus kkm—" tatapan guru itu mengarah pada seseorang di belakang Baekhyun "—yaitu Park Chanyeol."

Chanyeol membeku, seolah kena kutuk menjadi batu setelah melihat tatapan Medusa dari sang guru matematika.

Baekhyun mengeluarkan perempatan imajiner di dahi kanannya, ingin menolak tapi dia sudah menyetujuinya tadi. Dengan helaan napas pasrah, dia menjawab, "Baiklah, ssaem."

Chanyeol masih membeku,

diam,

loading,

loading,

load—

"A-APA?!" serunya dengan wajah WTF—yang sungguh sangat tidak sopan di depan guru seperti itu.

Guru matematikanya itu mengabaikan Chanyeol dan justru merapikan buku di atas meja dan bersiap untuk menutup pelajaran. Dan Chanyeol yang merasa diabaikan hanya memasang raut wajah; aku tuh nggak bisa diginiin. Semenit kemudian bel pulang terdengar.

"Baiklah, pelajaran berakhir sampai di sini. Kalian boleh pulang."

Setelah guru matematika itu keluar, murid-murid yang lain berhamburan keluar kelas. Chanyeol masih diam di kursinya dengan buku-bukunya yang masih berserakan di atas meja. Jongin mendekatinya dan menepuk bahu kirinya dengan ekspresi yang dibuat sedih, "Jangan memalukan di depan rival-mu, ya, Chanyeol." Lalu ia pergi keluar kelas.

Sehun juga sempat-sempatnya menepuk bahu kanan Chanyeol, "Hati-hati, Yeol. Terima nasib saja ya diajari oleh rival-mu, semoga kau tetap sehat walafiat besok."

Kini tinggalah Chanyeol dan Baekhyun di dalam kelas. Baekhyun sudah siap dengan tasnya dan berdiri di hadapan Chanyeol.

"Mau sampai kapan kau berdiam diri di sana, Yoda? Kau mau membuang waktuku yang berharga? Cepatlah dan kita akan belajar di rumahku."

Chanyeol melirik tajam ke sumber suara. Lalu ia membuang muka dengan sangat dramatis. Baekhyun hanya menghela napas. Mereka berdua memang tidak pernah akur.

"Kenapa harus di rumahmu?" Chanyeol membuka suara.

Baekhyun bersandar di mejanya. "Memangnya kenapa? Kau keberatan? Jangan mempersulit, aku ini gurunya. Yang perlu kan kau, masa aku yang datang ke rumahmu? Ogah banget."

Chanyeol menyampirkan tasnya di bahu, dia melenggang pergi tanpa melirik ke arah rival-nya.

Lagi-lagi Baekhyun mengeluarkan perempatan imajiner di dahinya.

Dasar muka gigi! Aku sudah berbaik hati menunggunya malah aku yang ditinggal!

Baekhyun berjalan menyusul Chanyeol yang sudah berada di luar kelas. Sepanjang lorong itu hanya diisi keheningan, bahkan ketika mereka sudah sampai di halaman pun masih betah diam-diaman. Baekhyun berjalan di belakang Chanyeol, mana mau dia berjalan di samping Chanyeol.

Yang ada nanti Chanyeol kepedean karena Baekhyun semakin terlihat kecil di sampingnya.

BRUK!

"Awwww! Idiot! Kenapa berhenti tiba-tiba?!" sergap Baekhyun dengan tenaga dalam. Wajahnya menabrak punggung Chanyeol—yang ternyata sangat keras—karena Chanyeol berhenti melangkah secara tiba-tiba. Hidung dan dahinya memerah karena sakit.

Chanyeol berdehem, "Anu, kau jalan duluan saja."

"Huh?"

"A-Aku kan tidak tahu jalan menuju rumahmu!"

Baekhyun memasang wajah kelewat datar, "Kau mabuk gara-gara hasil ulangan matematika tadi, ya?"

"H-Hah? Kok?"

"Idiot, rumahku kan sejalan dengan rumahmu! Tepat di sebrang rumahmu!"

Chanyeol memalingkan wajahnya dan kembali berjalan, meninggalkan Baekhyun.

Kenapa aku bisa lupa?

Kenapa aku jadi gugup?

TUH KAN, AKU MEMALUKAN DI DEPAN RIVALKU, SIYAL!

Chanyeol merutuki dirinya sendiri. "Hei, kau jalan duluan saja." Kata Chanyeol lagi.

Baekhyun mengangkat wajahnya yang tadi menunduk, "Apa lagi? Kau masih mabuk?"

"Bukan itu tahu! Maksudku.. kau kan kecil, nanti kalau hilang gimana? Aku yang kerepotan!" karang Chanyeol dengan sangat berlebihan.

Baekhyun mengaktifkan mata sharingan imajinernya, siap menggunakan amaterasu untuk Chanyeol. Sungguh ucapan Chanyeol sangat sangat sangat tidak sopan di telinga Baekhyun.

"Apa kau bilang?!" perempatan imajiner memenuhi kepala Baekhyun. Tapi pada akhirnya Baekhyun ingat umur, dia menghela napas. Mereka bukan lagi seperti yang dulu, masih bocah dan mengolok-olok satu sama lain.

...

"Dasar sipit!"

"Dasar yoda!"

"Pendek!"

"Tiang listrik!"

...

Sekarang?

...

"Uh, dasar GGS."

"Huh? Apa itu?"

"Ganteng-Ganteng Semapai, semeter tak sampai!"

"AWAS KAU MUKA GIGI!"

...

Tidak, tentu saja tidak. Kalau dua setengah tahun yang lalu sih iya, ketika mereka kelas 9. Sekarang, di kelas 12 ini mereka diam-diaman, sesekali melempar tatapan tajam super dingin. Baekhyun itu jarang bicara dengan Chanyeol, makanya mereka jarang bertengkar di dalam kelas.

Tapi kan tetap saja...

"Sudahlah, aku di belakang saja. Sekali-sekali aku yang dinomor duakan, biar kau yang jalan duluan, nomor pertama, urutan pertama."

Hening.

Chanyeol hening, hening banget. Tidak menyangka rival setianya sejak dulu itu bisa mengatakan hal yang sungguh menyentuh bagi Chanyeol.

Sepuluh menit kemudian mereka sampai di perumahan dimana rumah Baekhyun dan rumah Chanyeol bersebrangan. Chanyeol mengusap dahinya yang sama sekali tidak berkeringat, tapi mendadak berkeringat dingin. Entah karena dia gugup sudah lama tidak mengunjungi rumah Baekhyun atau apa.

.

.

Gugup? Kok gugup?

.

.

.

Diamlah kau kata hati, sahut pikiran Chanyeol.

"Ayo masuk, omong-omong orang tuaku sedang bekerja. Tapi, meskipun begitu kau harus tetap menjaga sopan santunmu. Jangan menganggap rumahku ini rumahmu."

Chanyeol mendengus tertahan.

Songong banget nih si Byun.

Tapi, tiba-tiba saja Baekhyun berbalik untuk menghadap Chanyeol yang masih berada di luar pintu rumahnya. "Aku bercanda," dia tersenyum lebar dan itu membuat sesuatu yang jauh di dalam dada Chanyeol jumpalitan bermasalah, "anggap rumah sendiri. Tapi jangan diberantakin." Sambung Baekhyun.

Chanyeol menaikan satu alisnya, "Memangnya aku ke sini mau tawuran? Aku kan mau belajar!"

Baekhyun menahan tawanya. "Dasar idiot." Selipnya di antara tawa yang akhirnya pecah.

Chanyeol masuk ke rumah Baekhyun, tidak ada yang berbeda dari rumah itu. Terakhir kali Chanyeol mengunjungi rumah Baekhyun itu sekitar... setahun yang lalu?

Entahlah, Chanyeol lupa.

Mereka memang sudah menjadi tetangga sejak sekolah menengah pertama. Dan itu membuat mereka kesal setengah mati karena harus bertetangga dengan rival sendiri. Orang tua mereka berstatus rekan kerja, karena itu mau tak mau mereka saling mengenal satu sama lain.

Mereka berdua melepas sepatu dan meletakannya di rak sepatu di samping pintu.

"Kau tunggu saja dulu di sini. Aku mau ke kamar, kau boleh menonton TV, tapi jangan sentuh apapun kecuali remote TV, remote AC, dan sofa." Kata Baekhyun lalu melesat ke tangga menuju lantai dua.

"Posesif amat sih sama barang mati." Gumam Chanyeol. Chanyeol segera duduk di sofa. Dia mengamati rumah itu sekali lagi lebih saksama. Dia tersenyum geli ketika melihat bingkai-bingkai foto terpampang di dinding maupun terletak di atas meja.

Chanyeol mendekati bingkai foto yang terletak di atas meja. Ia berjongkok dan meraih bingkai itu, semakin tersenyum geli ketika melihat foto di dalamnya.

Baekhyun. Baekhyun masih kanak-kanak, lengkap dengan pipi gembulnya yang sangat mengundang untuk dicium dan dicubit.

.

.

Sekarang juga masih ada niat untuk mencium atau mencubit pipinya, kan?

.

.

.

Oke, kata hati Chanyeol mulai tidak waras.

Chanyeol meletakan kembali bingkai itu di tempat semula. Ia duduk lagi di sofa. Membuka resleting tasnya dan meraih buku latihan matematikanya. Tepat saat itu Baekhyun turun dari lantai dua. Suara langkah kaki Baekhyun membuat Chanyeol menoleh ke arahnya. Dan Chanyeol meringis ketika melihat ada tiga buku tebal yang didekap Baekhyun.

"Siapkan otakmu, aku akan membuat contoh soal untuk menguji seberapa jauh kau bisa matematika." Kata Baekhyun sedikit sarkastik.

Chanyeol lagi-lagi mendengus. Baekhyun meletakan buku-buku yang ia bawa di atas meja kayu bundar yang terletak di antara sofa dan TV. Chanyeol duduk di bawah, di karpet tebal dan empuk yang melapisi lantai dari sofa sampai TV.

"Hey, Chanyeol, kau butuh minum?"

Chanyeol mengangkat satu alisnya, "Wow, seorang Byun Baekhyun menawarkan Park Chanyeol minuman."

Baekhyun menekuk alisnya galak, "Aku sedang berbaik hati padamu."

"Uh—tidak, terima kasih. Mungkin nanti saja."

...

Kau melewatkan sikap manis Baekhyun padamu, bodoh.

...

Oh, diamlah kata hati, jerit Chanyeol dalam pikirannya yang penuh logika, tidak tahan dengan kata hati terdalamnya yang tidak mau diam. Rasanya ingin sekali Chanyeol membenturkan kepalanya ke pinggiran meja di hadapannya.

Baekhyun menyerahkan selembar kertas kepada Chanyeol, berisi soal buatannya sendiri. "Nih, kerjakan."

Chanyeol segera mengerjakannya.

Konsentrasi Chanyeol! Jangan sampai kau kalah dari rivalmu!

.

.

.

.

.

"..Chanyeol..."

"...Ya?"

"Omong-omong, waktu kita sekolah menengah pertama, seingatku... KAU TIDAK SE—ASDFGHJKL INI?! MENJAWAB SEPULUH SOAL SAJA KOK YANG BENAR HANYA EMPAT?!"

Chanyeol merengut, membenturkan dahinya ke atas meja. "Aku menyerah, Baekhyun. Aku akui, aku benci matematika. Dan... yah, kau selalu si nomor satu. Dan aku selalu si nomor dua."

Baekhyun melirik Chanyeol, menaikan satu alisnya dengan bingung. "Hei, Park, sejak kapan kau jadi mudah putus asa seperti ini?"

"Terserah kau sajalah!"

Baekhyun mengernyit, kenapa Chanyeol jadi sensitif begini. Sudah begitu mood-nya terlihat turun drastis.

Diam-diam kata hati Chanyeol berulah lagi.

.

.

Hei, Park, kau ini kesal karena selalu menjadi si nomor dua kan?

Hah, akui saja kalau kau kesal bukan karena selalu menjadi nomor dua.

Tetapi kau ingin Baekhyun memandangmu untuk sekali saja sebagai si nomor satu atas hasil usahamu sendiri.

Kau ingin membuat Baekhyun melihat keberadaanmu, kan?

.

.

.

Oh, yah, tolong ingatkan Chanyeol untuk tidak mendengarkan kata hatinya. Tapi... masa iya sih? Chanyeol bukan iri sama Baekhyun, tapi ingin Baekhyun memandangnya karena selama ini Chanyeol yang memandang Baekhyun.

.

.

Yah, masa kau harus kalah dari orang yang kau sukai?

.

.

.

.

Kali ini Chanyeol benar-benar membeku dengan kata hatinya.

orang yang kau sukai.

Oke, Chanyeol mulai merasa bahwa dia sudah tidak dapat mengelak lagi. Tapi mana mau dia mengaku terang-terangan di hadapan sang rival dan berkata bahwa ia menyuka—

"Jangan putus asa begitu,"

Chanyeol menjauhkan wajahnya dari meja. Mendapati Baekhyun yang tengah membolak-balik halaman bukunya dan terlihat fokus. Tetapi bibirnya bergerak untuk bicara lagi kepadanya,

"Kupikir seorang Park Chanyeol, rival-ku dari dulu, tidak pernah mudah berputus asa. Apa yang terjadi?"

Chanyeol melekatkan pandangannya pada Baekhyun, kemudian baru menyadari bahwa anak itu menggunakan kacamata berbingkai onyx, bukan violet seperti di sekolah tadi pagi.

Baekhyun mengangkat wajahnya, tepat menatap lurus ke arah Chanyeol, "Kau seperti bukan Park Chanyeol saja. Masa ultimatum seorang Park Chanyeol kalah telak dengan matematika? Masih mau menjadi yang nomor dua?"

Chanyeol merengut. Tidak, dia tidak boleh lagi menjadi yang nomor dua.

"Kau harus bersemangat seperti biasanya, tidak mudah putus asa, dan kelewat percaya diri—"

"Kau berniat mengejekku?"

Baekhyun tersedak tawanya, "—aku lebih suka rival-ku seperti itu. Berhentilah putus asa seperti itu, aku.. aku tidak.." Baekhyun menunduk lagi sampai poninya menutupi mata, "..aku tidak suka."

Chanyeol tersenyum jahil, "Jadi... sebenarnya kau menyukaiku?"

"I-Itu ka-kalau—"

"Bicara saja gagap begitu,"

"Hei, a-aku bu-bukannya—"

"Oh ayolah Baekhyun, kupikir kau pintar? Kenapa bicara padaku saja gugup begitu?"

"SHUT UP, CHANYEOL!"

Chanyeol tertawa keras. Baekhyun mengerucutkan bibirnya dengan wajah memerah antara kesal dan malu. "Yah, tertawa saja sesukamu." Diam-diam ia menyelipkan senyuman di akhir kalimat.

Yang sayangnya tidak Chanyeol lihat.

Setelah tawa Chanyeol reda, ia segera menggebrak meja—itu membuat Baekhyun asma mendadak—kemudian menunjuk Baekhyun dengan semangat.

"Lihat saja nanti, Baekhyun. Aku tidak akan lagi menjadi si nomor dua."

Baekhyun terpaku selama beberapa saat, jantungnya masih tawuran gara-gara gebrakan meja tadi, kemudian dia tersenyum lebar yang terlihat sungguh sangat mengejek. "Coba saja kalau bisa."

Chanyeol menunduk, mengulang soal matematikanya lagi.

"Ingat, minggu depan ulangan matematika." Tambah Baekhyun.

Dan Chanyeol diam-diam berkeringat dingin.

.

.

.

.

.

Jongin yakin sekali kalau dia salah menebak bahwa Chanyeol nampak memalukan di hadapan Baekhyun selama proses bimbingan. Sehun juga merasa bahwa dia salah menebak kalau Chanyeol akan tetap sehat walafiat setelah diajari oleh Baekhyun.

Mereka berdua terfokus pada Chanyeol yang tumben-tumbennya datang lebih awal sepuluh menit dan menyapa kelas dengan sumringah. Senyam senyum terus, itu membuat Jongin dan Sehun khawatir juga.

Chanyeol salah makan apa hari ini?

Sehun menepuk bahu sahabatnya itu, "Hei, jangan tersenyum melulu. Seram tau nggak?"

Jongin mengangguk menyetujui, "Kau tidak salah makan?"

Chanyeol menggeleng, "Tidak, aku tidak apa-apa." Kemudian tersenyum lagi.

Jongin dan Sehun kembali ke tempat duduk mereka. Memilih untuk tidak bertanya lebih. Meskipun begitu, Sehun diam-diam masih memperhatikan Chanyeol.

Sesekali si muka gigi itu terkekeh samar.

Lalu senyam senyum.

Tiba-tiba menggerutu tidak jelas.

Kemudian memukul-mukul meja.

Dan nyaris merobek selembar kertas di buku yang tengah berada di atas mejanya dengan wajah psikopat.

Tapi akhirnya tersenyum lagi. Ditambah mengulang semuanya dari awal.

Sehun jadi takut sendiri dengan sahabatnya. Ngeri bro.

Kemudian ketika bel masuk, ekspresi Chanyeol berubah seratus delapanpuluh derajat.

Rasanya tangan Chanyeol mendingin ketika melihat guru matematika si pembawa neraka bagi Chanyeol itu datang ke kelas, lengkap dengan berlembar-lembar kertas di dekapannya yang berisi soal ulangan.

Disaat Chanyeol berkeringat dingin seperti itu, Baekhyun menoleh ke belakang. Kali ini dia memakai kacamata berbingkai hazel, warna yang kontras dengan sepasang matanya.

Baekhyun tersenyum tipis yang entah kenapa kali itu terlihat sangat sangat sangat manis di mata Chanyeol. "Semoga berhasil,"

Chanyeol tidak salah dengar, nih? Rival-nya itu mengatakan hal seperti itu padanya?

Jarang-jarang Baekhyun peduli dengan keberhasilan Chanyeol. Sepertinya Chanyeol sudah tidak masalah dengan keringat dinginnya.

.

.

.

.

TAPI KINI JANTUNGNYA BERMASALAH!

.

.

.

.

.

.

.

Chanyeol berdebar-debar ketika hasil ulangan berada di atas mejanya. Kertas itu dalam posisi terbalik, Chanyeol membalik kertas itu dengan gemetar. Sehun yang melihat hal itu hanya mengomentari dalam hati; dasar parno. Dan berpura-pura bahwa orang di sebelah kirinya itu bukan temannya.

Dan Chanyeol berseru bahagia, "Akhirnyaaaaa! Hei, hei, Baekhyun! Lihat! Aku sudah ada kemajuan!"

Baekhyun menoleh ke belakang, membenarkan letak kacamatanya kemudian menatap Chanyeol dengan penasaran. "Bagaimana? Dapat berapa?"

"Entah kenapa tapi aku seratus persen yakin kalau kau masih lebih tinggi."

Baekhyun tertawa pelan.

"Tujuh puluh.."

"..delapan,"

Baekhyun menutup mulutnya terkejut, "Itu naik drastis sekali dari nilai sebelumnya. Nilaiku sembilan puluh."

Chanyeol menghembuskan napas lelah, "Lihat? Aku, si nomor dua."

Baekhyun menyentuh punggung tangan Chanyeol yang berada di atas meja, "Tapi aku rasa aku sudah cukup senang melihat perubahan drastismu. Kau pasti bisa mengalahkanku suatu saat."

Chanyeol membeku, bahunya menegang.

Tangannya...

TANGANNYA BAEKHYUN ADA DI ATAS TANGAN CHANYEOOOOOOLLLL!

Ini beneran tangan Baekhyun?

Tumben banget ini anak megang-megang tangan segala

Dan apa itu katanya? Senang melihat perubahan drastisku?

KOK BAEKHYUN PEDULI BANGET SAMA AKU TOLONG!

Inner Chanyeol beraksi sampai membuatnya keringat dingin lagi. Baekhyun tersenyum tipis padanya sekali kemudian kembali menghadap ke depan, membelakangi Chanyeol.

.

.

Dag dig dug

.

.

.

Chanyeol menundukan kepalanya, menyentuh punggung tangannya yang tadi disentuh Baekhyun.

.

.

Astaga... aku.. kenapa?

.

.

.

.

.

.

Sehun berdecak sebal, "Astaga, Yeol, jangan se-frustasi gitu. Ini kan cuma ulangan matematika, kau masih mendapat nilai tinggi di pelajaran lain—"

"kecuali fisika," sela Jongin.

"—ralat, ya kecuali fisika."

Chanyeol membenturkan kepalanya pada pinggiran meja. Beruntung kelas hanya berisi mereka bertiga saja disaat jam istirahat seperti ini.

"Kalian tidak mengerti."

"Ini belum kiamat kok." Timpal Jongin.

"Gimana sih... gimana rasanya kalian kalah sama orang yang kalian... sukai?"

Jongin dan Sehun berpandangan dengan raut bingung. Kemudian kembali menatap Chanyeol, "Maksudmu apa, sih?" tanya Sehun.

"Aku cuma mau berhenti menjadi si nomor dua dari... Baekhyun. Aku ingin melampaui dia. Masa sih aku kalah sama orang yang kusukai?"

"Kau beneran suka sama rival sejatimu itu?" tanya Jongin. Sehun mendelik ke arahnya, berusaha mengatakan; pertanyaanmu nggak penting!

"Menurut kalian aku bercanda?"

Jongin diam dan menggeleng. Sehun diam saja di sampingnya.

"Kalau aku berhasil melampaui dia... aku ingin menyatakan perasaanku."

Sehun menepuk-nepuk bahunya. "Tenang aja, pasti bisa. Dan menurutku Baekhyun juga ada rasa padamu. Yah, kayaknya sih."

Chanyeol menghela napas.

Ruang kelas menjadi hening. Mereka bertiga tidak menyadari seonggok manusia beridentitas orang yang baru saja mereka bicarakan yang tengah bersandar pada dinding luar kelas. Tepat di samping pintu.

Baekhyun mendekap erat buku fisika. Tatapannya tertuju pada lantai, kosong. Tadinya ingin masuk kelas dan segera membaca bukunya, tapi terhenti ketika mendengar seseorang menyeret-nyeret namanya ke dalam percakapan.

Dan inilah yang ia dengar.

Baekhyun semakin menunduk. Jantungnya berdebar-debar rese dan butuh dikasih snickers. Tidak, ini lain. Jantungnya tak akan diam hanya karena dikasih makanan itu.

Chanyeol...

.

Baekhyun menelan ludah.

.

...menyukaiku?

.

.

.

.

.

Baekhyun melirik jam tangannya. Pukul dua siang lewat tujuh menit. Sekarang ia sedang berdiri di depan kelasnya yang berada di lantai satu gedung sekolah. Tepat berhadapan dengan jalan menuju gerbang sekolah. Ini sudah pulang sekolah sejak tujuh menit yang lalu dan dia masih diam.

Bukan, bukan karena tiba-tiba dia mencintai sekolah dan tidak mau pulang—justru ia ingin segera pulang untuk bersantai di rumah.

Baekhyun mengadahkan kepalanya sekali lagi. Langit mendung, sangat mendung. Dan sialnya dia tidak bawa payung. Karena itu ia tertahan di sini, bingung, ingin pulang takut kehujanan. Tidak pulang tapi takut nanti hujannya kelamaan.

Serba salah emang. Aku tuh nggak bisa diginiin.

Inner Baekhyun bertingkah tidak jelas. Tiba-tiba saja seseorang menarik tangannya, membuatnya refleks mengangkat wajah.

"Ngapain, sih? Kelamaan mikir, keburu hujan nanti. Ayo, pulang sekarang bareng aku."

Baekhyun menemukan Dude Herlino yang menarik tangannya. Oke ralat, itu jauh banget dari Dude Herlino. Tapi radar gantengnya mungkin sebelas duabelas lah.

"Chanyeol? Tumben banget mau pulang bareng sama aku?" tanya Baekhyun dan ikut menyamai langkah Chanyeol.

"Pertanyaan tidak penting dan tidak perlu kujawab. Ayo, cepat. Sebenarnya sih kalau aku kehujanan juga tidak apa-apa, toh udah lama banget aku tidak main hujan—"

"Dasar bocah."

"Hei, aku memang masih anak-anak tahu!" protes Chanyeol. "Kita ini, selama belum menjadi masyarakat, tetap saja menjadi anak-anak."

Baekhyun mengerucutkan bibir. Langkah Chanyeol semakin cepat membuatnya ikut mempercepat langkahnya. Tapi ketika tinggal seperempat jalan sampai ke rumah, langit mulai menurunkan rintikan air. Gerimis.

"Tuh kan, hujan!" seru Baekhyun. "Tau gini aku di sekolah saja tadi!"

Chanyeol menoleh ke belakang, "Salah dong! Seharusnya sejak tujuh menit yang lalu yang kau buang sia-sia untuk berdiri di depan kelas itu kau gunakan untuk pulang. Gimana, sih? Lagian ini baru gerimis, bukan hujan."

"Kau sendiri ngapain belum pulang tadi, hah? Nunggu hujan juga?"

Chanyeol tidak lagi menoleh, ia menatap lurus ke depan. Tangannya tanpa sadar lebih erat mencengkram pergelangan tangan Baekhyun.

"Itu.. karena..."

Baekhyun menajamkan pendengarannya.

Chanyeol menelan ludah gugup.

"...aku menunggumu."

Baekhyun tercengang. Serius nih rival-nya sendiri bilang begitu?

Baekhyun menunduk, membasahi bibirnya dengan perasaan gugup. Tidak yakin ingin membalas kalimat Chanyeol. Bahkan godaan atau ejekan yang biasanya terlontar mengalir dari bibirnya kini seakan hilang. Ia kehabisan kata-kata. Meskipun air hujan yang masih rintik-rintik itu menghujani dirinya dan membuat dingin, tapi Baekhyun merasa wajahnya menghangat.

"Aku cuma mau berhenti menjadi si nomor dua dari... Baekhyun. Aku ingin melampaui dia. Masa aku kalah sama orang yang kusukai?"

Pipi Baekhyun bersemu merah.

"Kalau aku berhasil melampaui dia... aku ingin menyatakan perasaanku."

Hatinya juga mendadak menghangat.

Hening.

Benar-benar hening yang sangat mendadak. Tapi, diam-diam Baekhyun menarik tangannya dari cengkraman tangan Chanyeol. Beralih agar tangannya yang berada di genggaman tangan Chanyeol, bukan pergelangan tangannya. Chanyeol menyadari itu, tentu saja.

Baekhyun balas menggenggam tanganku.

Aku mimpi atau apa nih?

Ini bukan khayalanku saja kan?!

Wajah Chanyeol memerah perlahan. Pusing sendiri memikirkan apa alasan Baekhyun membalas genggaman tangannya.

Baekhyun mati-matian menahan dirinya sendiri untuk tidak bertanya langsung pada Chanyeol tentang percakapan di ruang kelas itu. Tapi dia sudah yakin dengan jawaban Chanyeol nanti, pasti Chanyeol tak akan mengakuinya.

...

Kau suka,

.

.

.

Kau itu suka Chanyeol. Nyadar dong Baekhyun!

...

Baekhyun rasanya ingin mati. Kata hatinya tak bisa diajak bekerja sama. Alhasil jantungnya semakin bermasalah.

Kemudian rumah mereka sudah terlihat di depan mata. Masing-masing pihak tidak melepas genggaman itu. Chanyeol bahkan mampir ke depan pagar rumah Baekhyun dulu. Saat itu barulah genggaman tangan mereka terlepas.

"Em, makasih." Cicit Baekhyun sambil menunduk.

"Untuk apa?"

"Sudah menemaniku pulang."

Chanyeol tersenyum senang diam-diam. "Hei, Baekhyun."

Baekhyun mengangkat wajahnya dengan perlahan, memperlihatkan sedikit rona kemerahan yang ternyata masih hinggap di wajahnya. "A-Apa?"

"Kau.. pintar bahasa inggris, kan?"

"Tentu saja." Baekhyun memasang wajah kelewat datar gara-gara Chanyeol mempertanyakan kemampuannya yang sudah pasti sangat baik itu. "Kau mau menanyakan sesuatu?"

"Iya," Chanyeol menarik napas, "apa arti dari pick me up at 7?"

Baekhyun masih memasang wajah datar seperti biasa. "Jemput aku jam tujuh,"

Ha! Kena dia. Chanyeol tertawa dalam hati.

Chanyeol tersenyum lebar—atau lebih mirip seringaian? Dia maju selangkah merundukan dirinya sendiri agar tingginya menyamai Baekhyun. Ini mungkin satu-satunya hal yang sudah ia lampaui dari Baekhyun. Tinggi badan.

Bibirnya tepat berada di samping telinga kanan Baekhyun.

"Oke, aku jemput jam tujuh malam, ya. Kita kencan."

Lalu bibirnya bergerak mencuri ciuman singkat di pipi Baekhyun.

"Sampai nanti malam, Baekhyun. Jangan lupa kencan kita." Kemudian dia terkekeh dan mengambil langkah seribu menuju rumahnya.

Baekhyun melongo. Diam di tempat. Bahkan sampai Chanyeol sudah masuk ke rumahnya sendiri pun Baekhyun masih membatu. Bahkan rintik air hujan yang turun sedikit itu mulai turun keroyokan pun belum mampu menarik Baekhyun ke dunia nyata.

.

.

.

.

.

"H-Hah?"

.

.

.

.

.

.

.

FINISH

a/n: ba dum tsssss~!yehet, saya buat apaan nih? Bukannya buat kelanjutan ff yang satunya lagi malah ke sini, yhashudahlhah kebelet ide...

Mendadak disamber ide langsung ngetik. Dan TARAAAA-BUM! Hasilnya gini... kayaknya endingnya kurang memuaskan... tapi makasih loh yang udah mau meluangkan waktu untuk membaca fic ini :') maaf kalo ada salah ketik,

Sisanya saya serahkan dengan imajinasi masing-masing pembaca

Omong-omong—

—semoga kalian meninggalkan jejak, review, fav, alert. Semuanya diterima dengan senang lahir batin.

jadi...

review yaaaaa?