Jingga
.
SasuSaku
.
.
Drama, Romance
.
Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto.
"Aku pikir cuma aku yang telat, Naruto juga ya?"
Sakura bertanya ketika langit mulai petang, dengan warna oranye yang menjingga. Wanita itu, Haruno Sakura. Gadis Musim Semi, begitu julukan yang dikenang selama masa SMA. Wanita dengan senyum menawan ketika iris emerald nya menyipit menunjukkan bulu mata lentik, juga rambut merah muda nyentrik yang sehalus sutra. Ia adalah ketua klub taekwondo ketika SMA, dengan gaya super tomboy dan rambut panjang yang selalu di ikat tinggi. Begitu berisik dan aktif, pintar dan berprestasi. Dia lah Sang Primadona yang terkenal galak dan susah di dekati.
Kini wanita itu menjelma sebagai Haruno Sakura yang feminim, dengan rambut indah sebahu yang masih lembut dan harum. Cherry, adalah khas dirinya yang selalu di kenang. Cantik, ketika rok span hitam sebatas lutut juga kemeja coklat dengan corak pada bagian kerah membalut tubuhnya yang ramping, dan heels yang membuat kaki jenjangnya semakin indah. Dia menggeser kursi kebelakang, duduk di depan pria yang sedang menyeruput kopi hitam dengan satu sendok gula, kebiasaan yang tetap ada sejak mereka saling kenal. Pria itu melirik Sakura dari balik cangkir kopi, menunjukkan jelaga dan bulu mata lentik yang mempesona.
"Macet katanya." Sasuke berkata dengan suara serak, memperhatikan senja dari balik kaca kafe. "Kebiasaan."
Sakura tertawa, begitu renyah dan indah. Dia menaruh tas mahal nya diatas meja, mengangkat tangan memanggil pelayan. "Espresso hangat, seperti biasa ya Kiba," kata Sakura tanpa melunturkan senyum.
Kiba tersenyum lebar, menunjukkan deretan gigi yang rapih sambil memegang pena dan catatan. "Aku masih ingat, Sakura Si Gadis Espresso." Pria itu menggoda, menarik atensi seorang Sasuke yang langsung menatapnya tak senang.
"Seolah-olah aku pecinta espresso saja," keluh Sakura.
"Memang."
Sakura tertawa. "Sana cepat buatkan untukku. Dan juga cappuccino dingin untuk Naruto."
Kiba tertawa sekali lagi. "Aku selalu ingat kebiasaan trio nano-nano kok," katanya berlalu. Panggilan kesayangan Kiba. Katanya, mereka itu nano-nano, beda rasa dan rupa-rupa. Sasuke Si Kelam Malam yang angkuh, Naruto Si Cerah yang tak pernah berhenti tersenyum, dan Sakura Si Merah Muda yang manis. Kombinasi jika di gabung menjadi nano-nano yang membuat perasaan orang-orang sekitar menjadi ramai.
"Kiba gak pernah berubah ya, masih suka bercanda."
Sasuke mendengus tanpa sadar, menolak melihat Sakura yang mulai sibuk dengan ponselnya, membalas beberapa email yang sejak tadi dia abaikan.
"Sibuk apa, Sas?" Tanya Sakura, menyimpan ponselnya diatas meja, membiarkan Sasuke melihat wallpaper wanita itu yang tersenyum di pantai.
Sasuke kembali menyeruput kopinya. "Lagi ada proyek di Kiri, lumayanlah bikin capek."
"Enak dong, jalan-jalan terus. Pantai di Kiri bagus-bagus kan?"
"Lumayan. Kamu mau ikut kapan-kapan?"
Sakura tersenyum tipis. "Mau sih, tapi gak tau kapan. Lagi banyak kerjaan."
"Sibuk banget ya jadi sekretaris?"
"Bukan lagi, Sas. Bos ku nyebelin. Dikit-dikit main perintah."
"Suka kali, Ra," celetuk Naruto yang baru datang, ia nyengir sambil menarik kursi di samping Sasuke dan Sakura. Mereka duduk disebuah meja bundar dengan empat bangku yang saling menghadap, disamping jendela. Favorit mereka sejak dua SMA, ketika mereka memutuskan menjadi sahabat.
"Datang-datang rusuh, kemana aja sih? Kamu yang ngajak ketemu tapi kamu yang telat," keluh Sakura, memukul bahu Naruto main-main. Kebiasaan lama yang tak pernah hilang.
Naruto tertawa pelan. "Macet, Biasalah jam pulang kerja."
"Alasan," keluh Sakura, ia pura-pura cemberut ketika Naruto mengacak rambutnya gemas, sedang Sasuke menjadi penonton yang sesekali mendengus.
Kemudian Kiba datang, membawa pesanan Sakura dan Naruto yang wanita itu wakili, bercakap nostalgia mengingat sudah tiga bulan sejak mereka maramaikan kafe. Memutar memori saat Naruto bermain gitar di panggung mini kafe dengan Sakura sebagai vokalis, juga Sasuke yang terkadang iseng merekam ketika SMA hingga kuliah.
"Omong-omong ada apa ngajak ketemu? Tumben," kata Sakura saat Kiba kembali bekerja.
"Kangen." Naruto nyengir. "Udah lama juga gak ketemu, pada sibuk kerja semua."
Sasuke mendengus. "Proyek lancar?" Tanyanya ingin tahu. Toh sudah lama juga mereka tidak saling tanya kabar, bahkan multi chat mereka cenderung sepi tanpa cakap basa-basi, setidaknya tidak ada lagi Sakura dan Naruto yang saling berdebat, dan Sasuke yang sesekali mengomel karena terganggu dengan notifikasi line nya yang selalu bunyi. Kemudian, Sakura dan Naruto akan saling menyalahkan, dan Sasuke memutuskan menonaktifkan notifikasi linenya. Dia rindu, ketika mereka masih belum sesibuk sekarang.
"Lancar dong," kata Naruto disertai cengiran yang tidak pernah pudar. "Walau kadang-kadang klien ku suka rewel."
"Sabarin aja, katanya mau jadi arsitek international."
Naruto melirik Sakura yang sedang menyeruput espresso nya. "Ya emang sabar," katanya sambil tertawa. "Lagian klienku ini calon kakak ipar ku, jadi harus pintar-pintar cari muka."
Sakura tersedak. "Maksudmu?"
"Aku akan menikah, bulan depan."
"Sialan," keluh Sakura. "Kenapa baru bilang?"
"Kejutan!"
Sasuke mendengus, sedang Sakura cemberut. "Sama Hinata?" Tanya Sasuke.
Naruto mengangguk. "Tentu saja. Siapa lagi?"
Sakura menggeleng. Dia pikir hubungan Naruto dan Hinata tidak akan sejauh ini sejak Naruto berkencan ketika kuliah pada semester empat, Naruto tipikal pria yang suka ganti-ganti pacar, bosanan. Tapi, dia salah. Nyatanya Hinata berhasil membuat Naruto jatuh hati begitu dalam hingga memutuskan tunangan dua tahun lalu.
"Selamat ya, aku harus jadi bridesmaid pokoknya!"
Naruto tertawa lagi. "Pasti, kamu kan sahabat Hinata juga. Kapan nyusul, Ra?"
"Tau deh, belum ada calon," katanya sambil ketawa. "Sasuke gak ditanya?"
"Teme sih masih tahap menunggu, ya gak Sas?"
Sasuke mendengus, membuang wajahnya ke samping, memperhatikan langit yang semakin menjingga, jam lima sore, pantas saja, pikirnya. Sedang ekspresi Sakura tiba-tiba berubah kecut, senyumnya luntur sesaat. "Sasuke udah punya calon? Kok gak cerita?" Tanyanya, mencoba kuat seperti yang sudah-sudah. Sasuke adalah cinta keduanya, setelah Sasori yang pertama. Ia jatuh cinta pada pria itu ketika di tingkat tiga, saat Sasuke menghiburnya ketika putus dengan Sasori karena masalah jarak, dimana dia harus long distance relationship karena pria itu kuliah di luar negeri. Mereka beda dua tahun, ketika itu Sasori menjadi osis yang membimbing kelas Sakura.
"Tuh, Sas. Kenapa gak cerita sama Sakura?"
Sasuke mendengus, menatap Naruto jengkel. Jelaganya lalu berpindah pada Sakura yang sedang menatapnya penasaran. "Gak penting."
"Jadi aku gak penting ya?"
"Bukan gitu," kata Sasuke cepat. "Lagian dianya aja kayanya gak suka sama aku."
"Kok gitu? Wanita mana yang berani nolak kamu?"
"Gak di tolak, Ra," kata Naruto ketawa. "Sasuke nya aja yang terlalu pengecut. Gak berani ngungkapin perasaannya."
"Spesial banget ya?"
"Banget. Cinta banget tuh."
"Oh," kata Sakura pelan. Rasanya sakit, seperti ditekan berton-ton beban berat yang membuat ulu hatinya luka. Kenapa jatuh cinta harus seperti ini? Ini mungkin salah Sakura yang membiarkan perasaannya semakin dalam. Dia sudah mencoba menolak, ketika rasa takut persahabatan mereka akan hancur karena rasa cintanya yang menggebu pada salah satu dari mereka.
Sakura berkali-kali pacaran, mencari debaran lain yang kiranya membuatnya berpaling. Nyatanya, wanita itu hanya berkali-kali menyakiti, dan mencampakkan. Dia tidak puas. Karena, setiap kali berkencan, wajah Sasuke lah yang terbayang.
"Langitnya bagus," kata Sasuke pada saat Sakura berusaha menata hatinya yang terluka. Ia menatap wanita itu, dengan iris teduh yang mampu meluluh lantahkan kembali sang wanita. Membuat Sakura ingin sekali lagi berharap meski ia tau rasanya kecewa.
Sedang Naruto, memilih menyeruput cappuccino nya yang tinggal setengah, memperhatikan Sasuke dan Sakura bergantian dalam kenyamanan suasana kafe yang tenang, diiringi lagu klasik yang dibawakan penyanyi bayaran.
"Emm." Sakura menanggapi tak minat. Berusaha membuat tameng yang tak ingin di tembus Sasuke. Dia menatap keluar kaca, menikmati jingga yang tidak sama sekali membuat perasaannya hangat seperti biasa.
"Masih suka langit jingga kan, Ra?"
"Ya," kata Sakura pelan. "Indah, rasanya seperti bernostalgia. Jingga itu langka, dan sekalinya muncul selalu membuatku teringat akan kenangan masa lalu."
Sasuke tersenyum samar dan itu tidak luput dari pandangan Naruto.
"Omong-omong, tadi kamu bilang bosmu itu nyebelin ya, Ra? Suka kali sama kamu," celetuk Naruto tiba-tiba, membuat atensi kedua sahabatnya berpaling padanya.
Sakura cemberut. "Ino juga bilang begitu."
"Serius? Terus gimana?"
"Ya gak gimana-gimana. Dia sih ngajak candle light dinner terus."
"Kamu mau?"
"Gak, aku risih."
"Gaara kan, nama bos kamu? Yang kamu bilang sering nganterin pulang itu."
Sakura mengangguk tak minat. "Dia sering banget flirtingin aku."
"Terima aja sih, Ra. Siapa tau jodoh. Ya gak Sas?"
"Hn." Sasuke membuang wajahnya ke jendela, menolak untuk terlibat.
Sementara Sakura sekali lagi merasa terluka. Sasuke seolah tidak perduli dan memberi dukungan. Sakura kemudian merasa penasaran, seperti apa sosok yang mampu membuat Uchiha bungsu itu jatuh cinta begitu dalam? Ini tentang rasa dan kecewa. Sampai wanita merah muda itu menggeleng kepala pelan, tersenyum kecut. Dia mengaduk espresso nya dengan sendok kecil sambil sedikit melamun.
"Aku coba deh," katanya tak yakin. "Ino juga nyaranin gitu." Ia kembali tersenyum kecut meski rasanya tak tampak. "Kamu benar, siapa tau jodoh. Aku gak mau keduluan Sasuke."
Naruto tertawa pelan. "Gitu dong, udah tua juga."
"Aku masih dua enam," protes Sakura.
"Umur segitu udah cukup buat nikah, Ra."
"Jangan ceramahin aku terus deh, mending ceramahin Sasuke. Biar dia cepet-cepet nyatain perasaannya."
"Tuh, Sas," kata Naruto sambil nyengir. "Nyatain perasaan kamu. Emang mau keduluan Sakura?"
Sasuke menatapnya tajam, beralih pada Sakura yang masih sibuk menunduk, mengaduk espresso nya yang mendingin. "Kalau dianya nganggap aku gak lebih dari sekedar teman gimana, Ra?"
Sakura mendongak, menatap Sasuke linglung. "Coba aja dulu," katanya kemudian.
"Kalau di tolak?"
"Yang penting udah usaha, jadi gak penasaran lagi."
"Gitu ya?"
Sakura mengangguk. "Cinta banget kamu sama dia? Kok aku gak di kenalin?" Sakura merutuk, dia sendiri tidak yakin akan siap berkenalan dengan wanita yang dicintai pria yang ia cintai.
"Hn." Sasuke bergumam pelan. "Kamu tau kok."
"Anak kampus?"
Sasuke mengangguk, jelaganya terus menatap Sakura yang membuat wanita itu sedikit salah tingkah. "Satu SMA juga."
"Aku penasaran," kata Sakura, berusaha tidak terdengar miris. "Pasti cantik, sampai bikin kamu luluh gitu. Cinta pertama kamu kan?"
Sasuke mengangguk lagi. Kali ini Sakura rasanya ingin cepat-cepat pulang, dia ingin menangis dan mengumpati dirinya sendiri. Bodoh, kenapa harus jatuh cinta jika harus merasakan sakit? Sakura benci dirinya yang tidak mampu menghentikan perasaan ini. Semakin lama rasanya semakin besar.
"Teme sih udah tergila-gila banget, Ra. Sejak SMA gak berani ngungkapin perasaannya. Takut katanya." Naruto mencibir. "Casanova sih takut di tolak."
Sakura tertawa dibuat-buat. "Payah. Mending ungkapin sebelum terlambat. Kalau dia udah nikah sama pria lain baru nyesel kamu," katanya berusaha terdengar biasa. Terlalu banyak kepura-puraan, dan Sakura lelah bersandiwara jika dia tidak apa.
Wanita itu melirik jam tangannya, pukul enam kurang sepuluh menit. Dia melihat keluar, langit yang semakin oranye membuatnya menghela.
"Aku duluan yah, kayanya mau nerima tawaran candle light dinner Gaara kali ini, mau nyoba buat buka hati deh."
Sakura memasukkan ponselnya ke dalam tas tergesa, dia benar-benar ingin pulang dan menangis sampai puas. Mengenai Gaara, mungkin kapan-kapan. Yang jelas tidak sekarang disaat perasaannya belum tertata, kasihan Gaara jika menjadi pelarian. Cukup, Sakura akan mencoba pelan-pelan.
Wanita itu menatap Naruto, memberikan senyum kecil sebelum beranjak. "Aku tunggu undangannya ya. Sekali lagi selamat," katanya tulus.
Naruto mengangguk. "Kamu juga semoga sukses sama Gaara."
Sakura tertawa pelan. "Iya, ini mau nyoba," katanya dan mulai beranjak.
"Sakura." Sasuke ikut berdiri, meraih kunci mobilnya diatas meja. "Aku antar ya?"
Sakura menggeleng cepat. "Gak usah, aku bawa mobil," katanya terlampau panik. "Aku duluan, bye."
Wanita itu berjalan dengan langkah besar, menolak menengok kebelakang karena ia tau bahwa cintanya ada disana. Cinta yang tidak mungkin bisa dia raih, cinta yang ingin dia lupakan. Mungkin menjaga jarak untuk beberapa waktu? Atau menghilang saja sekalian kebelahan negara lain, karena Sakura tau dia tidak akan sanggup jika suatu saat akan menerima undangan pernikahan Sasuke dengan wanita yang amat dia cintai. Betapa ironi.
Sakura bernapas cepat, rasanya sesak dan dia hampir saja sampai pada Audi putihnya ketika sebuah tangan tiba-tiba menariknya berbalik. Sakura tersentak, begitu terkejut saat iris oniks Sasuke lah yang ia dapati begitu berbalik.
"Sasuke?"
Sasuke menatapnya tajam. "Jangan," katanya putus asa. "Jangan coba-coba lagi."
"Hn?" Sakura mengernyit bingung akan sikap Sasuke yang tiba-tiba. "Kamu kenapa?"
"Jangan pernah nyoba buat buka hati kamu untuk pria lain. Kecuali pria itu aku."
Sakura tertegun. "Maksud kamu?" Tanyanya memastikan jika ia tidak salah dengar. Dan semoga ini bukan mimpi, kalimat terakhir yang mampu membuat ulu hatinya bergetar.
"Kamu bilang aku harus nyatain perasaan aku sebelum menyesal?"
Sakura mengangguk. "Hubungannya denganku?"
"Aku gak mau nyesel dengan membiarkan wanita yang aku sayang coba-coba dengan pria lain," kata Sasuke pelan. "Aku sayang sama kamu, dari dulu. Sejak kamu selalu membuatkan aku bento dan menemaniku main basket dikala senja. Kamu yang pertama, Ra. Wanita spesial yang membuat aku menjadi pengecut."
Dibawah langit jingga yang semakin petang, Sakura merasa hangat dengan debaran yang menggila. Dia bahagia nyaris tak percaya hingga setetes liquid membasahi pipinya yang bersemu.
Sakura menutup mulutnya tak percaya. "Aku pikir wanita lain," katanya terisak, memukul pelan dada bidang pria yang ia cintai. "Kamu jahat, rasanya aku ingin berteriak tadi. Aku nyaris putus asa ketika Naruto bilang ada wanita yang sedang kamu tunggu."
Sasuke menarik Sakura kepelukannya yang hangat, mengusap rambut wanita itu penuh kasih sayang sambil sesekali mencium menikmati aroma shampoo yang khas. "Jikapun ada, itu kamu." Sasuke memeluk tubuh mungil Sakura semakin erat saat wanita itu semakin terisak. "Jangan menangis," katanya lembut. "Kamu harus tau kalau cuma kamu yang aku mau. Dari dulu. Rasanya sakit ketika melihatmu berkencan dengan banyak lelaki."
Sakura membalas pelukan Sasuke erat, menciumi aroma prianya dengan rakus. "Aku ingin buat kamu cemburu. Tapi kamu biasa aja, aku kecewa. Aku mengencani mereka karena ingin melupakanmu, nyatanya susah. Bayanganmu selalu ada disaat aku bersama mereka. Kamu udah buat aku jatuh cinta begitu dalam."
"Aku cemburu," kata Sasuke. "Tapi aku sadar diri, sebagai sahabat yang mencintaimu, aku tidak ingin kamu berubah kerena rasa cemburuku yang begitu besar. Aku terlalu takut kehilangan kamu daripada harus melampiaskan rasa cemburuku." Sasuke mendesah, menutup matanya menikmati sinar oranye yang perlahan menjadi kelabu, bersama Sakura dipelukannya yang selalu diimpikan. "Kamu terlalu berharga hingga aku takut membuatmu terluka. Aku hanya akan menunggu sampai aku siap dengan segala konsekuensinya."
"Konsekuensi yang kamu dapat adalah aku yang juga mencintaimu, sejak dulu. Sejak kamu selalu ada ketika aku terluka karena Sasori. Karenamu lah aku berhasil menata hatiku kembali meski rasanya berat karena harus memendam lama disaat persahabatan kita sebagai taruhannya."
Sasuke melepas pelukannya, menangkup wajah Sakura dan menghapus jejak-jejak air mata. Tangan Sakura meraih lengan Sasuke yang menggantung di wajahnya. "Aku rasa kita akan menyusul Naruto segera," kata Sasuke pelan, dia mencium pelipis wanita itu penuh kelembutan, berusaha menyalurkan kasih sayang yang selama ini di pendam.
"Maksudmu?"
Sasuke mencium cepat bibir atas Sakura, mengusap wajah wanita itu yang semakin memerah ketika terkena sinar jingga. "Sepuluh tahun aku menunggu. Kali ini aku ingin egois, biarkan aku menjadi satu-satunya pria di kehidupanmu. Mungkin dua setelah ayah kamu."
Sakura kembali menangis haru. "Kamu yakin?"
"Kamu yang selalu membuat aku yakin. Would you be my wife?"
Sakura mengangguk sambil terisak. "Ya. Please, make me the last for you."
Sasuke tersenyum. Pada akhirnya dia tau jika perasaannya tidak berat sebelah, karena Sakura disini, membalas cintanya dengan penuh suka cita. Pria itu meraih wajah Sakura yang masih menangis haru, menatapnya dengan kasih sayang tak terbatas, wanita pertama yang membuatnya jatuh cinta dengan batas kewajaran, dimana ia memiliki logika untuk menunggu demi senyum Sakura yang tak ingin dilihatnya pudar.
Sasuke mencium bibir Sakura pelan, menikmati kehangatan yang semakin membuncah. Rasanya dia akan terus mengingat moment bahagia ini kala jingga datang lain kali.
"Ayo kita pacaran setelah menikah." Adalah kalimat termanis bagi Sakura. Dimana wanita itu kembali merasakan bibir Sasuke yang mengecup bibirnya bersama jutaan kupu-kupu yang memenuhi rongga dada hingga rasanya penuh dan membuncah hingga ia tak mampu menggambarkan sebesar apa bahagia yang ia rasakan.
Tidak jauh dari dua sejoli yang saling memagut mesra, Naruto tersenyum bahagia. Akhirnya, pikirnya. Sudah sejak lama Naruto tau perihal perasaan Sasuke pada Sakura, hanya saja Sakura begitu pandai bersandiwara hingga dia yakin bahwa wanita itu tidak menyimpan rasa. Setidaknya sampai sebulan lalu ketika Ino yang merupakan teman kantor Sakura menghubunginya, mengatakan jika Sakura mabuk dan hanya Naruto lah yang ia kenal. Karena Sasuke tak pernah sekalipun membangun relasi dengan wanita selain Sakura.
Saat itu Sakura meracau, mengatakan perasaannya yang sesungguhnya. Hingga membuat Naruto paham bahwa ini harus segera berakhir, ia ingin melihat sahabatnya bahagia tanpa perlu berlama-lama memendam rasa. Jadi, dia membuat rencana dengan mempertemukan mereka dan sedikit memancing. Sampai tadi Naruto mengatakan yang sesungguhnya disaat Sasuke berputus asa, jika Sakura memiliki perasaan yang sama.
Pria blonde dengan kumis kucingnya yang menawan itu memasukkan kedua tangan kedalam saku, melihat bagaimana Sasuke yang mencoba merapihkan rambut Sakura yang berantakkan, meraih kunci mobil wanita itu dan menuntunnya masuk kedalam, membiarkan ia yang menyetir. Mungkin ini tugas Naruto yang harus menghubungi asisten Sasuke untuk membawa mobil pria itu ke apartemen Sakura, atau membawanya pulang? Naruto tertawa berpikir jika Sasuke mungkin memilih menginap di apartemen wanita itu.
Ya, tak apalah repot sedikit demi menyatukan kedua sahabatnya yang terlalu bodoh menyimpan rasa terlalu lama. Naruto senang, bahwa ia tidak bahagia sendiri. Karena Sasuke dan Sakura akan menyusulnya segera.
