Awalnya aku hanya bosan merusak diri, mengiris nadi, atau bahkan meminum pil tidur dengan wine biru yang ku curi dari gudang rumah. Tidak berefek sama sekali, aku hanya tertidur beberapa jam lalu terbangun lagi.
Merasakan sakit lagi,
Ibuku selalu bilang, jangan menjadi sampah hidup. Anak buangan tidak selamanya menjadi sampah, mungkin ia pikir aku bisa di daur ulang. Koyakkan tubuhku lalu ambil nyawanya, isi dengan tubuh yang lebih baik dari ini. Lalu aku akan merusaknya lagi dengan senang hati.
"Mau kemana kau?" Tanyanya dengan cerutu manis di tangannya, kakinya bergoyang kekanan dan kekiri diatas meja kayu pemberian ayahnya yang sekarat didalam sana. "Bunuh diri." Ujarku acuh, sambil terus berjalan melewatinya keluar dari rumah sembari membawa tas ransel warna hitam.
ia terikikik geli lalu menghampiriku dengan seringainya yang memuakkan. "Jangan kembali, jangan pernah."
Tidak ada niat
Tapi aku tidak berjanji
Taehyung kakak tiriku yang paling kecil, tentu saja ia selalu takut akan posisiku yang tiba-tiba datang dengan popok bayi. Surat ibuku masih ku simpan, entah itu hanya bualan atau memang kenyataan. Disana tertulis jelas jika aku adalah salah satu bagian dari keluarga ini, keluarga yang dengan terang-terangan tidak menghargai keberadaanku. Setiap hari mencaci memaki membuatku muak, aku ingin cepat pergi bertemu dengan ibuku. Namun sial, tuhan seolah mempermainkanku. Ia membuatku berputar-putar dengan duniaku sendiri, hilang arah. Dan sayang sekali, menjadi sampah.
"Berdoa saja" ujarku kemudian, lantas pergi meninggalkannya yang terus tertawa. Ku harap ia menjadi gila secepatnya.
.
.
Mata itu mencari, ku dengar ada danau cukup dalam di tengah hutan. tentu saja tidak berpenghuni, bukankah tempat mati yang bagus? Tidak ada yang akan tahu aku mati disini, tidak ada yang menemukan sampai tubuhku hancur dimakan plankton dan bakteri pemakan mayat. Kau sangat pintar Jeon Jungkook. Kenapa tidak kau pikirkan ini lebih dulu?
Mataku terperangah, melihat genangan air yang sangat biru berada di tengah tengah dedaunan merambat, Di sebrangnya terdapat pohon besar yang penuh lumut. Beberapa binatang serangga seolah menyapaku dengan suara bisingnya. Aku tertawa, mengapa aku terlalu menyia-nyiakan tempat bagus seperti ini? Sudah hampir 18 tahun aku tinggal disini dan selama itu juga aku berpikir jika tempat ini tidak pernah ada.
Ku rentangkan tanganku, merasakan angin dan nafasnya. Untuk terakhir kali saja. Sebelum paru-paru penuh dengan air, sebelum tubuh ini terombang-ambing.
Inikah hidup yang sebenarnya? Rasanya tenang, nyaman. Tapi tenang saja, aku masih sadar, ini bukan hidupku, aku sudah yakin dengan kematianku.
"ibu-sebentar lagi kita akan bertemu"
Berjalan mendekat, air itu sedikit demi sedikit membasahi ku. semata kaki, selutut, hingga ke dada. Menarik nafas panjang lagi, setitik demi titik air mata keluar dari mataku. Ini lah akhirnya Jungkook, mungkin inilah proses daur ulang yang tadi kau maksud. Aku akan mati dan satu manusia kembali lahir, dan aku harap manusia itu tidak menjadi manusia sepertiku.
Tidak lagi
Semuanya menjadi gelap ketika tubuhku sepenuhnya tenggelam dalam kubangan, mencoba bernafas hingga gelembung-gelembung kecil keluar dari mulutku, menikmati prosesnya. Dadaku terasa sakit seperti ditusuk paku kecil, ini jauh lebih menyenangkan dari pada menyilet lengan mu setiap hari.
Mencoba membuka mata, dan kulihat bayangan hitam memutari tubuhku yang hampir hilang nafas sepenuhnya, mataku mulai rabun ketika makhluk itu seolah memandangiku. Apa ia malaikat pencabut nyawa?
Dan aku tidak merasakan apapun lagi.
Selamat tinggal.
. . .
"Jimin- jangan bertindak bodoh. Kita tidak boleh dekat dekat dengan manusia"
"Ugh, tapi dia bisa mati hyung" Seokjin menggeleng, tangannya menarik kerah yang termuda lalu menyeretnya menjauh dari danau. Tidak ingin mengambil resiko lebih jauh, dewa hutan akan marah jika mereka memperlihatkan wujudnya kepada manusia. "Sekali tidak tetap tidak" jelas Seokjin sambil melipat dadanya.
Mata sayu Jimin mengedip-ngedip, telinga panjangnya terus bergerak-gerak lantas mengintip dari semak belukar, namja itu sudah menenggelamkan setengah tubuhnya kedalam danau -tempat biasa mereka mengambil air-, Insting Jimin yang memang sedikit berbeda dengan kebanyakan kaumnya semakin menjadi-jadi ketika melihat namja itu menangis dalam diamnya, perasaannya membuncah. Ingin segera mengambil namja itu dari sana, Ia menoleh pada Seokjin yang mulai lengah dengan gurauan tentang Dewa yang sama sekali tidak pernah menunjukkan wujudnya, ia memantapkan posisinya lalu berlari secepat kilat sampai suara air beriak menyadarkan Seokjin jika Jimin telah menghilang dari sisinya.
"JIMIN! KAU-" Seokjin ketakutan, matanya melotot. Karna Jimin sudah jatuh ke danau sana. Panik, ia terbang menuju hutan dalam, bermaksud mengadu pada si petuah. Atau mungkin hanya meminta bantuan karna ia tidak ingin salah satu adiknya mendapatkan masalah.
. . .
